BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang ingin dilahirkan dalam keadaan yang sempurna dan normal, akan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan secara

BAB I PENDAHULUAN. Retardasi mental adalah suatu gangguan yang heterogen yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kelahiran anak dalam kondisi sehat dan normal adalah harapan setiap ibu (UNICEF,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyandang tuna rungu adalah bagian dari kesatuan masyarakat Karena

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

Individualized Education Program (IEP) Least Restrictive Environment (LRE) Teaming and Collaboration among Professionals

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak.

BAB I PENDAHULUAN. positif dan dampak negatif dalam kehidupan kita. Berbagai macam orang dari

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Semua individu berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut sesuai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mutia Ramadanti Nur,2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah proses belajar seumur hidup yang didapatkan baik secara formal maupun nonformal.

BAB I PENDAHULUAN. Orang tua merupakan sosok yang paling terdekat dengan anak. Baik Ibu

BAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

HUBUNGAN ANTARA GEGAR BUDAYA DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA BERSUKU MINANG DI UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB I PENDAHULUAN. (verbal communication) dan komunikasi nonverbal (non verbal communication).

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan

2015 UPAYA GURU D ALAM MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN VOKASIONAL BAGI ANAK TUNAGRAHITA RINGAN

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Syifa Zulfa Hanani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

PEND. ANAK LUAR BIASA

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan

BAB I PENDAHULUAN. pertengahan tahun (Monks, dkk., dalam Desmita, 2008 : 190) kerap

BAB I PENDAHULUAN. lain dan kelak dapat hidup secara mandiri merupakan keinginan setiap orangtua

LAPORAN OBSERVASI LAPANGAN PERKEMBANGAN DAN PROSES PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. Mohammad Effendi. Pengantar Pdikopedagogik Anak Berkelainan.(Jakarta: Bumi Aksara. 2006). hlm 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan, sehingga menjadi orang yang terdidik. dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Di negara kita ini pendidikan menjadi

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu ;

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang

Seminar Tugas Akhir BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang

BAB I PENDAHULUAN. berkebutuhan khusus. Permasalahan pendidikan sebenarnya sudah lama

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilihat dari fisik, tetapi juga dilihat dari kelebihan yang dimiliki.

BAB I PENDAHULUAN. adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan anak lainnya. Mereka adalah yang

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan fisik dan juga kelainan fisik yang sering disebut tunadaksa.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia Hal 4

BAB I PENDAHULUAN. orang tua. Anak bisa menjadi pengikat cinta kasih yang kuat bagi kedua orang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

Hubungan antara Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Penyesuaian Diri Siswa Tunarungu di Sekolah Inklusi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan inklusi, yaitu Peraturan Gubernur No. 116 tahun 2007 saja, masih belum

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA TUNARUNGU (Studi Kasus di SMK Negeri 30 Jakarta)

PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN Oleh

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai kodratnya manusia adalah makhluk pribadi dan sosial dengan

BAB I PENDAHULUAN. manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang diharapkan memiliki kecakapan hidup dan mampu mengoptimalkan segenap

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Putri Permatasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. yang begitu bahagia dan ceria tanpa lagi ada kesepian. dengan sempurna. Namun kenyataannya berkata lain, tidak semua anak dapat

BAB I PENDAHULUAN jiwa, yang terdiri dari tuna netra jiwa, tuna daksa

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kehidupan manusia (Ramawati, 2011). Kemampuan merawat diri adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak yang Spesial ini disebut juga sebagai Anak Berkebutuhan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang ingin dilahirkan dalam keadaan yang sempurna dan normal, akan tetapi tidak semua orang mendapatkan kesempatan itu. Hal ini dapat disebabkan karena adanya keterbatasan atau disabilitas, seperti kecacatan dan kelainan. Hallahan & Kauffman (2012) mengatakan bahwa disabilitas dapat diartikan sebagai ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu seperti yang dilakukan orang lain pada umumnya. Disabilitas dapat juga dikatakan sebagai kehilangan fungsi fisik atau kesulitan dalam belajar ataupun penyesuaian sosial yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan. Menurut Winarsih, Jamal, Asiah, Idris, Adnan, dkk. (2013) disabilitas berada dibawah klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang dibagi menjadi dua belas kategori, yaitu anak dengan disabilitas penglihatan, pendengaran, intelektual, fisik, sosial, anak dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif, spectrum autism, gangguan kemampuan komunikasi, anak dengan gangguan ganda, anak lambat belajar, anak dengan kesulitan belajar, dan anak dengan potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Sedangkan Anak Berkebutuhan Khusus dapat diartikan sebagai anak yang memiliki keterbatasan atau keluarbiasaan, baik fisik, mental intelektual, sosial, maupun emosional, yang berpengaruh secara signifikan dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain 1

2 yang seusia dengannya (Winarsih dkk., 2013). Jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat (Desiningrum, 2016). Berdasarkan data Susenas tahun 2012 didapatkan estimasi penduduk di Indonesia yang menyandang disabilitas sebesar 2,45% (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Sedangkan data Sensus Nasional Biro Statistik (BPS) pada tahun 2013 mencatat sebanyak 9,9 juta anak Indonesia adalah anak berkebutuhan khusus dalam kategori penyandang disabilitas (Winarsih dkk., 2013). Jumlah anak berkebutuhan khusus di Sumatera Barat pada tahun 2018 pun telah mencapai sekitar 6.133 orang. Setiap anak dengan kebutuhan khusus mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak seperti anak normal lainnya. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 Ayat (1) menegaskan bahwa Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Pendidikan secara formal bagi anak berkebutuhan khusus ini bisa didapatkan melalui Sekolah Luar Biasa (SLB). Namun, sekitar sembilan tahun yang lalu, dunia pendidikan di Indonesia memperoleh pengayaan dengan munculnya konsep inklusi dalam dunia pendidikan, khususnya bagi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus (Marti, 2012). Menurut Staub dan Peck (dalam Marti, 2012) pendidikan inklusi merupakan penempatan anak berkelainan ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan atau berkebutuhan khusus diharapkan dapat dididik bersama-sama dengan anak normal lainnya. Hal ini bertujuan agar tidak

3 adanya kesenjangan dan diskriminasi antara anak berkebutuhan khusus dengan anak normal. Selain itu, diharapkan pula anak berkebutuhan khusus dapat memaksimalkan potensi yang ada dalam dirinya (Marti, 2012). Pendidikan inklusi ini telah dilaksanakan pada beberapa kota di Indonesia, salah satunya ialah Kota Padang. Kota Padang sering dikenal sebagai Kota Inklusi yang terdiri dari puluhan sekolah inklusi. Dinas Pendidikan Kota Padang tahun 2018 mencatat sekitar 2.500 anak berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan inklusi, dan 338 orang diantaranya mengikuti pendidikan inklusi tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada tingkat SMP tersebut siswa dengan kebutuhan khusus memiliki usia sekitar 12-15 tahun. Pada usia inilah mereka sedang berada pada masa remaja. Pada masa remaja banyak tugas perkembangan yang harus dilakukan, salah satu diantaranya adalah mengembangkan keterampilan intelektual dan memperluas kompetensi sosial (Hurlock, 2002). Namun, pada umumnya anak berkebutuhan khusus mempunyai hambatan dalam mengembangkan dirinya, terutama saat menikmati masa perkembangan remaja tersebut. Hambatan ini dapat disebabkan karena banyaknya anak berkebutuhan khusus yang mengalami permasalahan sosial. Perilaku seperi rasa rendah diri, kurang percaya diri, kurang dapat menerima kondisi diri, sehingga cenderung mengisolasi diri merupakan salah satu bentuk hambatan yang disebabkan oleh kelainan atau disabilitas yang dimiliki siswa berkebutuhan khusus (Widjayanti, dalam Pramesti, 2011). Hambatan-hambatan tersebut dapat menimbulkan kesulitan bagi mereka dalam upaya menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar.

4 Menurut Schneider (1964) penyesuaian diri merupakan suatu proses dimana seseorang berusaha keras untuk mengatasi atau menguasai kebutuhan dari dalam diri, ketegangan, frustrasi, konflik, dengan tujuan untuk mendapatkan keharmonisan dan keselarasan antara tuntutan lingkungan dimana ia tinggal dengan tuntutan dari dalam dirinya sendiri. Schneider (1964) mendefinisikan penyesuaian diri yang baik melalui tujuh aspek yaitu kontrol terhadap emosi yang berlebihan, mekanisme pertahanan diri, frustrasi personal yang minimal, pertimbangan rasional, kemampuan untuk belajar, pemanfaatan pengalaman masa lalu, serta sikap realistis dan objektif. Kesulitan dalam penyesuaian diri dapat ditemukan pada siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi. Satapathy (2008) menemukan sebanyak 80 orang siswa berkebutuhan khusus dengan tunarungu di New Delhi, memiliki resiko yang lebih besar mengalami permasalahan penyesuaian diri yang dapat berpengaruh kepada kemampuan kognitif dan akademik. Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus dengan kesulitan belajar di sekolah pemerintah Chandigarh memiliki permasalahan berat dalam penyesuaian diri, baik dengan lingkungan sekolah maupun dengan lingkungan sosialnya (Sharma, Sandhu, & Zarabi, 2015). Penelitian serupa juga dilakukan oleh Ryabova dan Parfyonova (2015) yang menunjukkan bahwa mayoritas siswa berkebutuhan khusus di Ulyanovsk Rusia memiliki hambatan dalam penyesuaian diri, sehingga membuat mereka menjadi rendah diri dan mengalami kesulitan pada kemampuan kognitif. Selain itu, Sari (2015) dalam penelitiannya menemukan sebesar 12,50% siswa berkebutuhan khusus di SMPN 3 Solok Selatan memiliki penyesuaian diri yang

5 rendah. Mereka bingung dan merasa disisihkan karena berbeda dengan temannya, sehingga mereka sering merasa kurang percaya diri. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati, Indra, dan Ahmad (2014) juga menunjukkan bahwa adanya permasalahan penyesuaian diri siswa berkebutuhan khusus di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 4 Padang, mereka sulit bergaul dan memperoleh teman dalam belajar maupun bermain karena merasa berbeda, sehingga mereka lebih memilih untuk menyendiri dibandingkan bergabung dengan teman normal lainnya karena takut menjadi bahan ejekan. Berbagai hasil penelitian di atas dapat membuktikan bahwa adanya permasalahan penyesuaian diri yang dihadapi oleh siswa berkebutuhan khusus di sekolah-sekolah inklusi. Menurut Schneider (1964), seseorang yang memiliki penyesuaian diri yang baik, akan mampu mengontrol emosi dan dapat memecahkan masalah ketika munculnya hambatan. Seseorang yang bersedia mengakui kegagalan yang dialaminya dan berusaha kembali mencapai tujuan yang ditetapkan sebelumnya akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Seseorang yang memiliki frustrasi personal yang minimal dapat membuatnya berpikir lebih jernih dalam menghadapi situasi yang menuntut penyelesaian. Schneider (1964) juga mengatakan bahwa seseorang dikatakan memiliki penyesuaian diri yang baik dapat berpikir dan mempertimbangkan masalah serta mengorganisasi pikiran, tingkah laku, dan perasaan untuk memecahkan konflik serta kondisi yang sulit. Seseorang akan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan apabila ia memiliki sikap realistis dan objektif

6 berupa pemikiran rasional, menilai situasi, masalah, dan keterbatasannya sesuai dengan apa yang terjadi sebenarnya. Pada SMP Negeri 23 Kota Padang ditemukan perilaku yang menunjukkan indikasi rendahnya penyesuaian diri siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi. Berdasarkan informasi yang didapat pada tanggal 22 November 2017 dari salah satu guru pembina inklusi di SMPN 23 Padang, siswa berkebutuhan khusus sering terlihat sendirian bahkan saat jam istirahat, atau terkadang hanya bermain dengan sesama mereka saja. Hal tersebut juga sesuai dengan pernyataan yang diberikan oleh siswa. Lima dari sepuluh orang siswa mengatakan bahwa mereka lebih banyak menghabiskan waktu istirahat sendirian. Tiga orang lainnya mengatakan bahwa mereka lebih sering mengunjungi ruang inklusi untuk bermain komputer dan bersantai bersama siswa berkebutuhan lain. Bahkan ada pula yang menghabiskan waktu istirahat bersama orangtua yang sering menemaninya disekolah. Hal ini disebabkan karena kebanyakan dari mereka dahulunya berasal dari SLB, sehingga ada kemungkinan masih belum terbiasa dengan sekolah inklusi, apalagi dengan ditempatkan pada satu kelas bahkan sebangku dengan siswa normal. Hal ini memperlihatkan adanya indikasi rendahnya sikap realistis dan objektif yang dimiliki siswa berkebutuhan khusus. Bukan hanya indikasi rendahnya sikap realistis dan objektif, siswa berkebutuhan khusus juga sering merasa cemas dan takut akan disisihkan oleh teman yang normal. Perasaan tersebut membuat mereka menjadi kurang percaya diri dengan keadaan fisik dan kemampuan akademiknya, sehingga lebih memilih untuk menyendiri dan tidak

7 mau bergabung dengan teman lainnya. Hal tersebut membuat mereka sulit menjalin hubungan yang baik dengan lingkungan di sekolah, baik itu dalam belajar maupun dalam bermain. Perilaku tersebut menunjukkan adanya indikasi ketidakmampuan siswa berkebutuhan khusus mengatasi situasi konflik yang dimilikinya. Selain itu, lima orang siswa berkebutuhan khusus juga mengatakan akan membalas perbuatan teman yang menertawai, mengejek, dan mengganggu mereka dengan berkata kasar atau memukul jika sudah tidak dapat menahan amarah. Siswa berkebutuhan khusus yang tidak dapat menahan amarah tersebut dapat menunjukkan indikasi rendahnya kontrol terhadap emosi yang berlebihan. Selain adanya indikasi rendahnya kontrol emosi, terdapat juga siswa berkebutuhan khusus yang keluar dari sekolah. Hal ini disebabkan karena mengalami kegagalan pada suatu mata pelajaran, sehingga ia tidak mau lagi datang ke sekolah. Siswa tersebut mengatakan bahwa ia takut dimarahi oleh guru apabila gagal lagi pada pelajaran tersebut. Ia juga merasa malu dengan teman sekelasnya yang normal saat belajar. Walaupun sudah dibujuk oleh orangtua dan guru, siswa tersebut tetap saja tidak mau lagi datang ke sekolah, sehingga hal ini membuat guru pembina inklusi berpendapat bahwa siswa tersebut sulit menyesuaikan diri dengan sekolah inklusi. Siswa yang tidak mau datang lagi ke sekolah tersebut mengalami kegagalan namun tidak mau berusaha mengatasi kegagalannya itu, sehingga perilaku tersebut memperlihatkan indikasi rendahnya mekanisme pertahanan diri.

8 Rendahnya sikap realistis dan objektif, ketidakmampuan mengatasi situasi konflik, rendahnya kontrol emosi, mekanisme pertahanan diri, dan ketidakmampuan mengatasi kegagalan yang dimiliki ini merupakan indikasi rendahnya penyesuaian diri (Schneider, 1964). Walaupun SMP Negeri 23 Kota Padang adalah salah satu sekolah inklusi terbesar, terakreditasi, dan menjadi sekolah inklusi percontohan bagi sekolah inklusi lainnya, tetap saja masih dijumpai permasalahan penyesuaian diri di sekolah ini. Menurut Schneider (1964) penyesuaian diri ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya ialah faktor lingkungan, yang meliputi lingkungan keluarga, masyarakat, dan lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah yang dimaksud salah satunya adalah lingkungan kelas. Penelitian Scruggs dan Mastropieri (dalam Hasan & Handayani, 2014) mengatakan penerimaan dan atmosfer kelas yang positif merupakan faktor keberhasilan dari sekolah inklusi. Penerimaan dan atmosfer kelas ini salah satunya dapat berasal dari keberadaan teman. Teman sebaya memiliki peranan penting dalam kehidupan anak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Santrock (2003) yang mengatakan bahwa seorang anak banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya di sekolah. Teman sebaya merupakan sumber status, persahabatan, dan rasa saling memiliki dan juga merupakan komunitas belajar bagi siswa. Teman sebaya juga dapat mendukung pendidikan inklusif, seperti meningkatkan penerimaan keragaman, komunikasi, keterampilan sosial, termasuk penyesuaian diri siswa berkebutuhan khusus (Bond & Castagnera, 2006).

9 Menurut Hasan dan Handayani (2014) peran teman sebaya dalam penyesuaian diri ini dapat berupa pemberian dukungan sosial. Dukungan sosial mengacu pada kelekatan, integrasi sosial, kesempatan membantu, pemberian penghargaan positif, ketergantungan, dan informasi serta bimbingan dari orang lain yang dapat membantu seseorang dalam adaptasi saat stres dan menghindarkannya dari kesepian (Weiss, dalam Cutrono & Russell, 1987). Sama halnya dengan Cohen, Underwood, dan Gottlieb (2000) yang mengatakan bahwa individu yang mendapatkan dukungan sosial dari teman sebayanya, akan mampu membantu mengatasi stres dan kecemasan yang dirasakan. Konu dan Rimpela (dalam Khatimah, 2015) pun percaya bahwa individu dengan dukungan teman sebaya yang tinggi akan mempunyai pikiran lebih positif terhadap situasi yang sulit dibandingkan dengan individu dengan dukungan teman sebaya yang rendah. Pentingnya dukungan sosial teman sebaya ini juga tertera pada penelitian Miller dan Miller (dalam Bond & Castagnare, 2006) yang menemukan bahwa teman sebaya yang memberikan dukungan atau motivasi untuk belajar kepada siswa dengan disabilitas merupakan salah satu bentuk intervensi dan pendidikan yang efektif. Sharma, Shandu, dan Zarabi (2015) mengatakan bahwa anak-anak dengan disabilitas yang mendapatkan dukungan dari teman sebayanya di kelas inklusi, cenderung akan memiliki persepsi diri yang lebih tinggi dan sedikit mengalami permasalahan perilaku daripada anak-anak yang di sekolah luar biasa. Namun siswa berkebutuhan khusus di SMPN 23 Padang masih ada yang tidak mendapatkan dukungan sosial dari teman sebaya mereka. Berdasarkan hasil

10 wawancara dan observasi pada tanggal 25 November 2017, terbukti bahwa siswa berkebutuhan khusus sering dibully oleh teman sebayanya yang normal. Bentuk bullying ini dapat berupa ejekan, candaan, dan olokan yang sering kali tidak sadar dilakukan oleh siswa normal dan sebenarnya hal ini dapat mempengaruhi keadaan mental siswa berkebutuhan khusus. Perilaku tersebut dapat menunjukkan indikasi kurangnya dukungan sosial yang diberikan oleh teman sebaya pada siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi. Carter, Cushing, Clark, dan Kennedy (2005) percaya dengan adanya dukungan sosial dari teman sebaya yang merupakan keterlibatan positif dapat membantu meningkatkan interaksi sosial dan menurunkan tingkat perilaku bermasalah bagi siswa berkebutuhan khusus dalam menyesuaikan diri. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Senicar dan Grum (2012) yang menunjukkan bahwa dukungan sosial yang diberikan teman sebaya dapat membantu siswa berkebutuhan khusus, seperti tuna netra, tuna rungu, dan tuna daksa menyesuaikan diri di sekolah umum. Hal ini disebabkan karena mereka merasa diperhatikan dan tidak terisolasi dari lingkungannya, terutama saat di sekolah. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Hasan dan Handayani (2014) serta Agmarina (2010) yang menunjukkan adanya permasalahan penyesuaian diri yang dirasakan oleh siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi, sehingga diperlukan dukungan sosial dari teman sebaya, terutama saat berada di sekolah. Berdasarkan penjelasan literatur dan berbagai penelitian, dijumpai berbagai fenomena bahwa siswa berkebutuhan khusus di SMP Negeri 23 Kota Padang

11 memiliki beberapa masalah penyesuaian diri di sekolah inklusi, sehingga mereka membutuhkan dukungan sosial dari lingkungan agar dapat mengembangkan kemampuan penyesuaian diri, salah satunya dari teman sebaya di sekolah. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai hubungan dukungan sosial teman sebaya dengan penyesuaian diri siswa berkebutuhan khusus yang ada di sekolah inklusi, yaitu di SMP Negeri 23 Padang. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan hal yang dipaparkan di atas, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: Apakah terdapat hubungan dukungan sosial teman sebaya dengan penyesuaian diri siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi SMP Negeri 23 Padang? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah melihat hubungan dukungan sosial teman sebaya dengan penyesuaian diri siswa berkebutuhan khusus yang ada di sekolah inklusi SMP Negeri 23 Padang. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu: 1.4.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memperluas pengetahuan dalam bidang psikologi yang berhubungan dengan dukungan sosial teman sebaya dan penyesuaian diri.

12 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, dukungan sosial teman sebaya dengan penyesuaian diri yang diteliti memiliki banyak manfaat bagi berbagai pihak. Penelitian ini dapat bermanfaat bagi sekolah yang menerapkan pendidikan inklusi, siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi, dan siswa reguler yang ada di sekolah inklusi. 1. Bagi Sekolah Inklusi Sekolah dapat mengetahui dan lebih memahami mengenai permasalahan penyesuaian diri yang dialami oleh siswa-siswi yang ada di sekolah inklusi. Sekolah juga dapat membuat sebuah program guna untuk meningkatkan penyesuaian diri siswa berkebutuhan khusus. Program tersebut sekolah dapat membantu siswa berkebutuhan khusus dalam menyesuaikan diri serta meningkatkan manfaat dan tujuan dari sekolah inklusi. 2. Bagi Siswa berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusi Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan wawasan mengenai dukungan sosial dan penyesuaian diri yang dirasakan oleh siswa berkebutuhan khusus. 3. Bagi Siswa Reguler di Sekolah Inklusi Berdasarkan penelitian ini, siswa reguler diharapkan dapat menjalin komunikasi, pertemanan, dan persahabatan dengan siswa berkebutuhan khusus yang ada di sekolah inklusi. Selain itu siswa reguler juga dapat hendaknya membuat lingkungan menjadi positif, hal ini bertujuan untuk memudahkan siswa

13 berkebutuhan khusus dalam melaksanakan tugas perkembangannya dengan keterbatasan yang mereka miliki, salah satunya adalah penyesuaian diri. 1.5 Sistematika Penulisan Bab I : Pendahuluan berisikan uraian singkat mengenai latar belakang, permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab II : Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis dan penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan dengan fokus penelitian. Adapun yang dibahas dalam bab ini adalah definisi, aspek, faktor-faktor yang mempengaruhi, dan tujuan. Kemudian pada bab ini juga menjelaskan bagaimana dinamika hubungan antara kedua variabel. Lalu diakhiri dengan pembuatan kerangka pemikiran. Bab III : Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian, identifikasi variabel penelitian, definisi konseptual dan operasional, populasi, sampel, teknik pengambilan sampel, metode pengumpulan data, lokasi penelitian, instrumen penelitian, dan metode analisa data. Bab IV : Bab ini berisi penjelasan tentang hubungan kedua variabel penelitian hasil penelitian, dan pembahasan. Bab V : Penutup berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan saran terkait dengan hasil penelitian.