Kebangkitan Nasional: Keistimewaan Yogyakarta, Peluang atau Ancaman? Sri Mulyani* Sekilas Pandang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah juga Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, merupakan daerah otonom yang kedudukannya setara dengan provinsi di Indonesia. Penegasan bahwa Yogyakarta bukan provinsi tersirat dengan diterbitkannya surat edaran nomor 51/SE/IX/2012 tentang perubahan nomenklatur, khususnya penghapusan kata provinsi oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X pada 7 Oktober 2012. Pemberian keistimewaan bagi Yogyakarta merupakan wujud penghargaan komitmen dari kasultanan dan kadipaten Yogyakarta untuk turut menjadi bagian dari NKRI tahun 1945 silam. Akhir 2012 lalu, kekosongan kerangka institusional bagi keistimewaan Yogyakarta diperdayakan oleh oknum untuk mencuatkan keistimewaan Yogyakarta sebagai bentuk diskriminasi. Padahal, keistimewaan Yogyakarta sudah menjadi amanat dalam sejarah sejak bergabungnya kasultanan dan kadipaten Yogyakarta dalam NKRI. Namun, berkat kekukuhan beberapa kalangan dalam menjaga jas merah Soekarno, polemik mengenai keistimewaan Yogyakarta diakhiri dengan dikeluarkannya UU No.3 Tahun 2012. Undang-undang tersebut mempertegas UU No.3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa, yaitu mengenai keistimewaan bagi Yogyakarta dalam pengangkatan gubernur, tata ruang, pertanahan, kebudayaan, dan kelembagaan. Esensi Keistimewaan bagi Yogyakarta atas dasar sejarah masa lalu, tidak berarti keistimewaan sebagai balas budi atas sumbangan Yogyakarta bagi Indonesia pada masa lalu. Sultan sendiri telah mengajarkan pada masyarakat untuk memberi dari meminta dan narimo ing pandum. Keistimewaan bagi Yogyakarta memberikan arti spiritual yang besar bagi masyarakatnya, bukan materi. Lebih dari pada itu, keistimewaan yang diberikan atas kelima aspek urgensial bagi Yogyakarta akan menyimpan ancaman dibalik peluang. Keistimewaan memerlukan pengawalan yang objektif dan bijak. Sudah menjadi tradisi, pengangkatan gubernur DIY tidak melalui pemilu, berbeda dengan dengan daerah lain pada umumnya. Gubernur adalah juga sultan yang diangkat dari
keturunan generasi sebelumnya dengan ketentuan sesuai dalam undang-undang. Adanya unsur raja dan gubernur dalam roda pemerintahan menjadikan Yogyakarta monarki dan demokrasi sekaligus. Monarki merupakan tradisi luhur yang telah diterima secara sosio-psikologis oleh mayarakat, biasanya untuk hal yang vital dan sakral. Untuk keseharian, pemerintahan tetaplah demokratis. Selain dualisme corak pemerintahan, keunikan tersendiri bagi Yogyakarta yang tanahnya sebagian berada di bawah kepemilikan Keraton Sultan Ground dan Puro Paku Alaman Pakualaman Ground. Area pertanahan tersebut secara yuridis formal belum mempunyai sertifikat hak milik. Namun pertanahan tersebut berstatus magersari yakti masyarakat boleh menempati asalkan tetap mengakui bahwa tanah tersebut milik Keraton atau Pakualaman. Tanah magersari selain digunakan untuk kepentingan probadi kraton, sebagian besar digunakan untuk kepentingan masyarakat tidak hanya Yogakarta tetapi Indonesia. Para cendekiawan muda datang dari berbagai pulau untuk belajar di Yogyakarta (UGM-red) dimana berdiri di atas Sultanaat Ground tanpa perlu membayar. Kebudayaan dan Haluan Keistimewaan ditengah globalisasi, menjadikan challeges tersendiri bagi Yogyakarta untuk mendunia. Kebudayaan di yogyakarta adalah satu-satunya di dunia, yang sebenarnya telah mengakar kuat dari generasi ke generasi walaupun kenyataannya kini mulai memudar. Apa yang perlu dilakukan adalah melestarikan dan mengembangkan aset intangible sekaligus tagible tersebut. Kebudayaan adalah aspek yang memegang peranan penting diantara kelima aspek keistimewaan, maka kebudayaan seharusnya sebagai dasar dalam pengangkatan gubernur, penataan ruang, pengelolaan pertanahan dan penyusunan kelembagaan. Kebudayaan adalah simbol peradaban. Secara langsung maupun tidak, eksistensi dan kualitas kebudayaan menjadi determinator kualitas peradaban di Yogyakarta. Kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia, yakni berupa nilai-nilai, norma, adat istiadat, benda, seni dan tradisi luhur. Adat istiadat, norma dan nilai yang penuh filosofi di Yogyakarta akan memberikan corak pencitraan yang khas bagi wajah Yogyakarta di mata nasional maupun dunia. Pribadi yang andhap asor, nrimo ing pandum, dan mau berbagi dengan orang lain adalah ruh tersendiri bagi masyarakat Yogyakarta. Bukan hal yang wajar, ketika globalisasi dijadikan alasan untuk meninggalkan nilai-nilai adat tradisi karena tuntutan kompetensi yang tinggi. Daya saing
Yogyakarta dapat ditingkatkan tanpa perlu menghilangkan karakter ke-yogyakartaan, karakter kebangsawanan yang adhiluhung. Yogyakarta bukanlah Dayak, Batak atau pun Sasak. Justru karena berbeda itulah akan ada persaingan dan menang tanpa merendahkan (menang tanpo ngasorake) karena masing-masing bersaing dan menang dalam bidang yang berbeda. Selain itu berupa hal-hal abstrak, melimpahnya berbagai tradisi luhur, kesenian tradisional baik berwujud hiburan maupun kebendaan semakin memperkaya khasanah budaya. Keistimewaan tidak berarti substansial jika tidak berisi. Berbagai macam bentuk seni tradisi adalah kristalisasi dari nilai, norma dan adat istiadat Yogyakarta. Kebudayaan yang kasat mata tersebutlah menjadi sarana transfer antarmasyarakat, antargenerasi. Kebudayaan juga dapat memberikan penghidupan bagi para pelakunya, kebudayaan dapat dikomoditikan berbeda dengan komersialisasi. Tidak sedikit masyarakat yang hidup dan terbantu dari memproduksi berbagai bentuk kebudayaan, seperi gerabah, batik, geplak, tari-tarian, jasa guide objek wisata sejarah dan lainnya. Istimewa Mendunia Keistimewaan Yogyakarta lebih dari pada proses pengisisan jabatan gubernur, tetapi meliputi pertanahan, tata ruang, kelembagaan, dan yang paling esensial adalah budaya. Dengan budaya itulah yang membuat istimewa, simbol peradaban. Khasanah budaya Yogyakarta yang kaya akan nilai, norma dan adat istiadat menjadi ruh tersendiri dalam membentuk peradaban. Era globalisasi menuntut segala sesuatu untuk mendunia dan menjual, sehingga kompetensi dan keunikan menjadi perisai utama utuk survive. Akan menjadi terobosan tersendiri bila roadmap pembangunan Yogyakarta didesain dengan berbasiskan kebudayaan yang merupakat sumber aset dan kearifan lokal yang tidak akan habis meskipun bisa pudar. Apa yang harus dilakukan adalah melestarikan, menggali dan mengembangan kebudayaan Yogyakarta upaya untuk mengisi keistimewaan. Dari Yogyakarta untuk dunia. *) Mahasiswa Ilmu Ekonomi S1 Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM