V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakter Desa Barengkok Penyusunan perencanaan lanskap suatu kawasan dibutuhkan pengetahuan karakter dari kawasan tersebut. Pengetahuan ini berguna untuk mengetahui perencanaan yang sesuai dan berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan identifikasi karakter perdesaan yang mencakup, karakter dari aspek fisik dan karakter dari aspek sosial, ekonomi dan budaya. 5.1.1 Aspek Fisik 5.1.1.1 Topografi dan Kemiringan Topografi Desa Barengkok secara umum termasuk datar, landai sampai berbukit dengan ketinggian 200 sampai 400 meter di atas permukaan laut (Gambar 6). Desa Barengkok mempunyai titik tertinggi pada Gunung Suling yang merupakan suatu bukit yang memiliki puncak mencapai 418 meter di atas permukaan laut. Gambar 7 merupakan potongan melintang dari barat-timur (AA ) dan potongan membujur dari utara-selatan (BB ) dan memperlihatkan Desa Barengkok mempunyai topografi berbukit, semakin ke barat daya menuju Gunung Suling memiliki kontur yang semakin tinggi. Berdasarkan peta topografi, maka dibuatlah peta kemiringan. Pada Tabel 11 dan Gambar 8 merupakan peta dan kelas kemiringan lereng. Kelas lereng curam dengan kemiringan >25 % sebesar 1,43 % dari total area, yang banyak terdapat pada Kampung Geledug, Dahu, Cibadak, dan Citeureup. Penentuan kelas-kelas kemiringan lereng dibagi menjadi 4 yaitu 0-8 %, 8-15 %, 15-25 %, dan > 25%. Tabel 11 Luas Kelas Lereng Desa Barengkok Kelas Lereng Luas (Ha) Persentasi Luas (%) 0-8 % (datar) 304,875 67,75 8-15% (landai) 115,065 25,57 15-25 % (agak curam) 23.58 5,24 >25 % (curam) 6,435 1,43 Total 450 100 Presentasi luas dari tertinggi sampai dengan terendah berdasarkan Tabel 11 adalah kelas lereng 0-8% yang merupakan kelas datar dengan presentasi luasan 67,75%
6 11 40
12 7 41
8 42
43 dari total area, kemudian diikuti dengan kelas lereng 8-15% yang merupakan kelas landai dengan presentasi luas 25,57%. Kelas Kemiringan selanjutnya adalah kelas lereng 15-25% yang merupakan kelas lereng agak curam dengan persentasi luasan 5,24%. Kelas lereng >25% yang merupakan kelas kemiringan agak curam merupakan kelas lereng terendah dengan persentasi luasan 1,43% dari total area. Pada peta kemiringan lahan yang terdapat pada Gambar 8, terlihat bahwa pemukiman umumnya terletak pada lokasi yang memiliki kemiringan relatif datar (0-8 %) dengan karakteristik pekarangan berada di sekitar pemukiman yang ditanami dengan pohon keras seperti pisang, manggis, jambu, rambutan, jengkol mangga, kelapa, nangka, durian, dan bambu. Namun, pada beberapa lahan terdapat pemukiman yang berada pada kemiringan landai (kelas 8-15 %) dan kemiringan agak curam (kelas 15-25 %). Pada kemiringan datar (kelas 0-8 %) juga dimanfaatkan untuk areal persawahan. Pada areal persawahan yang berada pada perbukitan, yaitu yang berada pada kemiringan landai (kelas 8-15 %) dan agak curam (kelas 15-25 %), umumnya menggunakan sistem sawah tegalan. Hampir semua lahan pada lahan yang mempunyai kemiringan landai (kelas 8-15 %) dan kemiringan agak curam (kelas 15-25 %) dimanfaatkan, meskipun tidak maksimal. Lahan ini dimanfaatkan untuk kebun campuran, pemukiman dan terkadang ditemui juga ladang kosong yang ditumbuhi oleh semak belukar serta pohon dengan pepohonan dengan kerapatan yang sangat rendah. Lahan-lahan yang memiliki kemiringan agak curam (kelas 15-25 %) dan kemiringan curam (kelas > 25 %) umumnya merupakan ladang kosong tidak terawat dan kebun campuran yang biasanya terisi tanaman manggis dan durian (Gambar 9). Tanaman manggis dan durian ini, merupakan tanaman yang sudah ada secara turun-temurun serta merupakan tanaman yang tumbuh sembarang tanpa pemeliharaan atau perawatan. Pada lapang terlihat juga beberapa pohon ditebang terutama pohon Durian. Berdasarkan kondisi tersebut maka dibutuhkan konsep yang diarahkan untuk memanfaatkan seluruh ruang yang ada, baik horizontal, maupun vertikal, secara produktif. Pemanfaatan ditujukan dalam arti ekonomi, ekologi, dan sosial. Berdasarkan hal tersebut, maka sesuai dengan konsep agroforestri, dimana menurut Vergara (1982) agroforestri merupakan suatu sistem tata guna lahan berkelanjutan
44 Gambar 9 Ladang kosong pada Desa Barengkok Sumber: Dokumen Pribadi, 2010 5.1.1.2 Iklim dan Curah hujan Berdasarkan data iklim dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dramaga, Bogor terhitung dari tahun 2007 dan tahun 2008 yang terletak pada 06.33 LS dan 106.45 BT pada elevasi 190 m, Desa Barengkok memiliki suhu rata-rata adalah 25,59 0 C yang terlihat pada Gambar 10. menunjukan suhu minimum terjadi pada Bulan Februari yaitu 24,75 0 C dan suhu maksimum terjadi pada Bulam September yaitu 25,95 0 C. Desa Barengkok juga mempunyai kelembaban rata-rata 83,75 %, dengan kelembaban tertinggi pada bulan Februari dan kelembaban terendah pada bulan September. BMKG Dramaga juga menunjukan rata-rata lama penyinaran pada Desa barengkok 65,44 % dengan lama penyinaran tertinggi 89,34 % terjadi pada bulan Juli, dan lama penyinaran terendah terjadi pada bulan Februari 30,68 %. Pada Gambar 11 juga menggambarkan Desa Barengkok mempunyai rata-rata kecapatan angin 2,43 km/jam dengan kecepatan angin terendah terjadi pada bulan Desember yaitu 1,51 km/jam dan kecepatan angin tertinggi terjadi 3,11 km/ jam pada bulan Januari. Sedangkan curah hujan Desa Barengkok yang ditakar di Perkebunan Cianten dengan ketinggian 947 mm menunjukan curah hujan rata-rata Desa Barengkok berkisar 486.51 mm, dengan curah hujan tertinggi berada pada bulan Oktober dengan curah hujan 824,15 mm. Sedangkan curah hujan terendah 234,5 mm pada bulan Juli.
45 Berdasarkan data iklim yang berasal dari BMKG Dramaga tersebut maka iklim yang terdapat di Desa Barengkok sesuai dengan syarat hidup komoditas manggis. Hal ini dikarenakan menurut Djaenudin, et al., 2003 manggis akan sesuai dengan temperatur 20-30 C. Gambar 10 Suhu Udara, Kelembaban Udara, dan Lama Penyinaran Tahun 2007/2008 Sumber: BMG Dramaga Bogor, 2009
46 Gambar 11 Kecepatan Angin dan Curah Hujan Tahun 2007/2008 Sumber: BMG Dramaga Bogor, 2009 5.1.1.3 Tanah Jenis tanah pada desa Barengkok berdasarkan Bappeda Kabupaten Bogor, 2009 (Gambar 12 dan Gambar 13) di dominasi oleh latosol coklat kekuningan dan beberapa terdapat latosol coklat dan podzolik merah. Tanah tersebut, terdapat di sekitar sungai Cisadane. Berdasarkan Klasifikasi tanah menurut PPT (1983), karakteristik Tanah latosol coklat kekuningan dan tanah latosol coklat tidak jauh berbeda. Secara umum karakterisitik tanah latosol adalah distribusi kadar liat tinggi (lebih atau sama dengan 60%), remah sampai gumpal, gembur, dan warna secara homogen pada penampang tanah dalam (lebih dari 150 cm) dengan batas horizon terselubung, kejenuhan basa (NH 4 OAc) kurang dari 30% sekurangkurangnya pada beberapa bagian dari horizon B didalam penampang 125 cm dari permukaan, tidak memperlihatkan gejala plintik didalam penampang 125 cm dari
47 permukaan, tidak mempunyai sifat-sifat vertik, dan ph berkisar antara 4,5 6,5. Sedangkan tanah podsolik merah menurut PPT (1983), memiliki karakteristik memiliki ph antara 3,5-5,5, mempunyai horizon B argilik, mempunyai kejenuhan basa kurang dari 30% (NH 4 OAc) sekurang-kurangnya pada beberapa bagian horizon B di dalam penampang 125 cm dari permukaan. 5.1.1.4 Hidrologi Gambar 12. Jenis Tanah pada Kabupaten Bogor Sumber: RTRW Kabupaten Bogor 2009 Berdasarkan suatu sistem hidrologi DAS yang berada di Jawa Barat (Gambar 16), maka Desa Barengkok termasuk dalam Sub DAS Cisadane. Kondisi ini mengakibatkan Desa Barengkok dilalui oleh 2 sungai yaitu Sungai Cianten dan Sungai Citeurep (Gambar 15). Sungai Citeurep merupakan anak Sungai Cianten sedangkan Sungai Cianten juga merupakan anak Sub DAS Cisadane. Oleh sebab itu maka Desa Barengkok merupakah daerah yang kaya dengan air.
1813 18 48