Gambar 6. Pertambahan bobot Mayaca fluviatilis pada ketiga perlakuan

dokumen-dokumen yang mirip
Bab V Hasil dan Pembahasan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

APLIKASI TUMBUHAN AIR Mayaca fluviatilis DENGAN SISTEM KANAL DALAM BIOREMEDIASI LIMBAH ORGANIK DARI WADUK CIRATA

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Deskriptif Fisika Kimia Air dan Sedimen

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan,

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Gurami ( Osphronemus gouramy ) adalah salah satu ikan air tawar bernilai

III. METODE PENELITIAN

Gambar 4. Kelangsungan Hidup Nilem tiap Perlakuan

Analisis Nitrit Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Bakteri

Gambar 3. Skema akuarium dengan sistem kanal (a) akuarium berkanal (b) akuarium tanpa sekat

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK

KARAKTERISTIK LIMBAH TERNAK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem resirkulasi merupakan sistem yang memanfaatkan kembali air yang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian

BAB VI PEMBAHASAN. Denpasar dengan kondisi awal lumpur berwarna hitam pekat dan sangat berbau. Air

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) saat ini telah berkembang tetapi

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan dalam sistem budidaya dapat dipengaruhi oleh kualitas air, salah

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

BAB VI PEMBAHASAN. 6.1 Ketaatan Terhadap Kewajiban Mengolahan Limbah Cair Rumah Sakit dengan IPAL

Karakteristik Limbah Ternak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Waduk didefinisikan sebagai perairan menggenang atau badan air yang memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

EFEKTIFITAS SISTEM AKUAPONIK DALAM MEREDUKSI KONSENTRASI AMONIA PADA SISTEM BUDIDAYA IKAN ABSTRAK

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup

I. PENDAHULUAN. Tanaman kubis (Brasica oleraceae L.) adalah salah satu tanaman sayuran yang

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut (DO; Dissolved Oxygen Sumber DO di perairan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa

stasiun 2 dengan stasiun 3 dengan stasiun 3 Stasiun 1 dengan Stasiun 1 Morishita Horn

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang mengkombinasikan pemeliharaan ikan dengan tanaman (Widyastuti, et.al.,2008).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi Dan Pembagian Limbah Secara Umum. kesehatan, kelangsungan hidup manusia atau makhluk hidup lainnya

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Analisa BOD dan COD ANALISA BOD DAN COD (BOD AND COD ANALYSIST) COD (Chemical Oxygen Demand) BOD (Biochemical Oxygen Demand)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Udang vannamei merupakan salah satu jenis udang yang potensial untuk

PEMANFAATAN TUMBUHAN IRIS AIR (Neomarica gracillis) SEBAGAI AGEN BIOREMEDIASI AIR LIMBAH RUMAH TANGGA ABSTRAK

II. TINJAUAN PUSTAKA. banyak disukai konsumen karena rasanya yang lezat dan gurih, sedangkan oleh para

2. TINJAUAN PUSTAKA. Chaetoceros sp. adalah salah satu spesies diatom. Diatom (filum

pertumbuhan tiga jenis tumbuhan air dalam (limbah cair) dengan kandungan klorin tinggi (0.66 ppm) sebagai medium tumbuhnya.

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

Bambang Pramono ( ) Dosen pembimbing : Katherin Indriawati, ST, MT

MANAJEMEN KUALITAS AIR

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan Bogor ABSTRAK

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan salah satu senyawa kimia yang terdapat di alam secara berlimpah-limpah. Namun,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan

KINERJA ALGA-BAKTERI UNTUK REDUKSI POLUTAN DALAM AIR BOEZEM MOROKREMBANGAN, SURABAYA

Transkripsi:

17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Pertambahan bobot basah Mayaca fluviatilis Mayaca fluviatilis adalah salah satu tumbuhan air yang mampu beradaptasi pada perairan yang mengandung bahan organik tinggi (Philipps 2010). Berdasarkan kemampuan adaptasi tersebut, M. fluviatilis mampu meningkatkan pertumbuhannya sebagai hasil penyerapan unsur hara yang terdapat dalam perairan. Pada penelitian ini, pertumbuhan M. fluviatilis dihitung berdasarkan perubahan bobot basah total selama pengamatan sebagaimana yang disajikan pada Gambar 6 dan Lampiran 3a. Bobot Mayaca fluviatilis (gram) 12,0 11,5 11,0 10,5 10,0 9,5 Perlakuan A 9,0 Perlakuan B 8,5 Perlakuan C 8,0 7,5 7,0 Gambar 6. Pertambahan bobot Mayaca fluviatilis pada ketiga perlakuan Berdasarkan Gambar 6, pertambahan bobot M. fluviatilis selama pengamatan cenderung fluktuatif. Pada tiga hari pertama, seluruh M. fluviatilis pada setiap perlakuan mengalami peningkatan dengan pertambahan bobot paling tinggi pada perlakuan C, sedangkan pada hari selanjutnya sampai hari terakhir pengamatan, terjadi fluktuasi penurunan dan pertambahan bobot yang bervariasi. Pada akhir pengamatan diperoleh bobot basah total paling tinggi pada perlakuan C sebesar 11,19 gram dengan doubling time selama 57 hari, disusul oleh perlakuan B dengan bobot basah total sebesar 10,47 gram dengan doubling time selama 83 hari, dan pertambahan bobot yang paling rendah adalah perlakuan A dengan bobot basah total di akhir pengamatan sebesar 10 gram dengan doubling time selama 119 hari.

18 4.1.2. Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam pengendalian kondisi perairan. Metabolisme biota akan meningkat jika terjadi kenaikan suhu hingga batas tertentu. Variasi suhu untuk masing-masing perlakuan cenderung sama setiap pengamatan. Hal ini dipengaruhi oleh pengaturan suhu yang terkontrol di tempat penelitian karena menggunakan air conditioner. Pengukuran parameter suhu dilakukan setiap tiga hari. Suhu yang tercatat berkisar antara 23-26 o C, seperti yang terlihat pada Gambar 7 dan Lampiran 4a. Suhu ( C) 27 26 25 24 23 22 21 20 19 18 17 16 15 Gambar 7. Nilai suhu pada ketiga perlakuan Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C Penurunan suhu terjadi dari pengamatan hari ke-0 sampai hari ke-9, dan setelah hari ke-9 sampai hari ke-21 suhu cenderung konstan. Nilai suhu rata-rata selama pengamatan dari perlakuan A, B, dan C masing-masing adalah 23,97 o C, 24,23 o C, dan 24,52 o C, sehingga masih berada pada kisaran suhu yang baik untuk pertumbuhan M. fluviatilis (20-30 o C) (DEEDI 2010). 4.1.3. ph Nilai ph menggambarkan konsentrasi ion hidrogen dalam suatu perairan. Nilai ph pada suatu lingkungan berkaitan erat dengan kandungan karbondioksida dalam lingkungan tersebut. Semakin tinggi nilai ph, semakin rendah kadar karbondioksida dalam air. M. fluviatilis tumbuh optimal pada kisaran ph 6.8-8.5. Pengukuran ph dilakukan tiga hari sekali (Gambar 8 dan Lampiran 4b).

19 ph 10,0 9,5 9,0 8,5 8,0 7,5 7,0 6,5 6,0 5,5 5,0 Gambar 8. Nilai ph pada ketiga perlakuan MF-150 MF-300 MF-700 Selama pengamatan nilai ph cenderung fluktuatif dengan kisaran rata-rata antara 7,5-8,1. Nilai ph terendah tercatat pada hari ke-9, sedangkan nilai tertinggi tercatat pada hari ke-15. Nilai ph rata-rata selama pengamatan dari perlakuan A, B, dan C masing-masing adalah 7,52, 7,67, dan 7,64. Berdasarkan variasi nilai ph yang masih berada pada kisaran 6,8-8,5, maka kriteria perairan masih termasuk ideal bagi pertumbuhan organisme akuatik termasuk tumbuhan air (Pescod 1973). 4.1.4. DO Dissolved oxygen (DO) adalah nilai dari kandungan oksigen terlarut di dalam air yang berasal dari hasil fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air serta difusi dari udara (Eaton et al. 2005). Hasil pengukuran COD disajikan pada Gambar 9. DO (mg/l) 9 8,5 8 7,5 7 6,5 6 5,5 5 4,5 4 Gambar 9. Nilai DO pada ketiga perlakuan Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C

20 Gambar 9 menunjukkan variasi nilai DO yang sangat signifikan antara tahap satu dan tahap dua. Pada tahap satu, nilai DO pada perlakuan A, B, dan C, masingmasing adalah 7,2 mg/l, 5,3 mg/l, dan 4,5 mg/l. Pada tahap dua ternyata nilai DO pada seluruh perlakuan cenderung naik dan berada konstan pada kisaran 8-8,57 mg/l. Berdasarkan nilai perubahan tersebut ternyata semakin tinggi kandungan bahan organik, semakin rendah nilai oksigen terlarut yang terukur (Lampiran 4c). 4.1.5. COD Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan parameter yang mampu dengan baik menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimia, baik bahan organik yang dapat didegradasi menjadi CO 2 dan H 2 O secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (nonbiodegradable) (Boyd 1992). Pengukuran COD dilakukan dengan tujuan untuk membandingkan pengaruh bioremediasi M. fluviatilis dari masing-masing perlakuan dengan kandungan bahan organik pada tingkat pencemaran yang berbeda. Hasil pengukuran COD disajikan pada Gambar 10 dan Lampiran 5a. COD (mg/l) 140 130 120 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Gambar 10. Nilai COD pada ketiga perlakuan Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C Pada Gambar 10 dapat dilihat adanya perbedaan perubahan nilai COD yang signifikan antara penelitian tahap pertama tanpa sistem kanal (hari ke-0) dengan penelitian tahap kedua yang telah menggunakan sistem kanal (hari ke-3 sampai hari ke-21). Dapat dilihat dengan jelas pada tahap awal sebelum penggunaan sistem

21 kanal, seluruh nilai COD dari setiap perlakuan mengalami penurunan menjadi sebesar 20 mg/l, yang berarti bahwa tingkat pencemaran seluruh perlakuan berada pada kriteria belum tercemar (Tabel 1). Pada tahap kedua setelah adanya sistem kanal dan pemberian M. fluviatilis, dapat dilihat bahwa ketiga perlakuan memiliki kecenderungan nilai COD yang sama, yakni mengalami kenaikan dan penurunan hingga pengamatan terakhir. Penurunan nilai COD paling tinggi untuk perlakuan A yang terjadi pada pengamatan hari ke-9, yaitu sebesar 8,5 mg/l. Selanjutnya, penurunan paling tinggi pada perlakuan B dan C, yaitu pada pengamatan hari ke-15 dengan nilai COD masingmasing sebesar 14,3 mg/l dan 15 mg/l. Kisaran nilai COD seluruh perlakuan mulai dari hari ke-0 sampai hari ke-21 adalah sebagai berikut. Perlakuan A memiliki kisaran 8,5-28,67 mg/l, perlakuan B 14,3-55 mg/l, dan perlakuan C 15-128,45 mg/l. Persentase perubahan nilai COD dari awal hingga akhir pengamatan secara berturut-turut untuk perlakuan A, B, dan C adalah sebesar 15,16%, 38,26%, dan 77,11%. 4.1.6. Nitrogen dari amonia total (Total ammonia nitrogen/tan) Penentuan nilai TAN (Total Amnonia Nitrogen) adalah suatu metode analisis yang digunakan untuk menentukan proporsi amonia dalam bentuk terionisasi dan tidak terionisasi yang bervariasi terhadap ph dan suhu (Floyd dan Watson 1996). Amonia merupakan salah satu senyawa dari hasil proses dekomposisi bahan organik di perairan. Senyawa ini dapat dimanfaatkan tumbuhan air setelah diubah menjadi nitrit dan nitrat oleh bakteri dalam proses nitrifikasi (Kordi dan Tancung 2005). Secara umum, selama 21 hari pengamatan, nilai amonia untuk semua perlakuan mengalami perubahan secara fluktuatif dengan kecenderungan terjadi penurunan. Berdasarkan grafik pada Gambar 11, dapat dilihat adanya penurunan dan kenaikan yang signifikan, masing-masing pada hari ke-6 dan hari ke-12. Pada mulanya nilai amonia mengalami penurunan dari hari ke-0 sampai hari ke-6, kemudian meningkat tajam dari hari ke-6 sampai hari ke-12. Pada hari ke-12, amonia seluruh perlakuan berada pada nilai yang paling tinggi dengan nilai 0,72 mg/l untuk perlakuan A; 1,14 mg/l untuk B; dan 2,34 mg/l untuk C. Persentase perubahan nilai amonia dari awal hingga akhir pengamatan secara berturut-turut untuk perlakuan A, B, dan

22 C adalah sebesar 82,17%, 77,98%, dan 94,45%. Hasil pengukuran TAN disajikan pada Gambar 11 dan Lampiran 6a. 4,00 3,50 3,00 TAN (mg/l) 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C 0,00 Gambar 11. Nilai total amonia nitrogen pada ketiga perlakuan 4.1.7. Nitrit Nitrit merupakan senyawa yang terbentuk dari hasil proses nitritasi atau oksidasi amonia (NH 3 ) menjadi nitrit (NO - 2 ) oleh bantuan bakteri Nitrosomonas. Goldman (1983) menyatakan bahwa nitrit dalam perairan akan segera berubah menjadi nitrat selama adanya konsentrasi oksigen yang cukup. Pada Gambar 11 dapat dilihat bahwa nilai nitrit selama pengamatan cenderung fluktuatif. Hasil pengukuran nitrit disajikan pada Gambar 12 dan Lampiran 7a. Nitrit (mg/l) 0,45 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 Gambar 12. Nilai nitrit pada ketiga perlakuan Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C

23 Pada perlakuan A, nilai nitrit cenderung menurun dari hari ke-0 sampai hari ke-18, namun terjadi peningkatan di hari ke-21 sebesar 0,1243 mg/l. Pada perlakuan B nilai nitrit mengalami fluktuasi dengan penurunan terjadi dari hari ke-0 sampai hari ke-6 dan di hari ke-9 sampai hari ke-15, sedangkan peningkatan terjadi di hari ke-9 dan dari hari ke-15 sampai hari ke-21, dengan nilai nitrit pada akhir pengamatan sebesar 0,1640 mg/l. Pada perlakuan C nilai nitrit juga mengalami fluktuasi dengan peningkatan terjadi dari hari ke-3 sampai hari ke-6 dan hari ke-9 sampai hari ke-15, sedangkan penurunan terjadi dari hari ke-0 sampai hari ke-3 dan dari hari ke-15 sampai hari ke-21 dengan nilai nitrit pada akhir pengamatan sebesar 0,2374 mg/l. Persentase perubahan nilai nitrit dari awal hingga akhir pengamatan secara berturut-turut untuk perlakuan A, B, dan C adalah sebesar 49,84%, 1,13%, dan 95,30%. 4.1.8. Nitrat Nitrat merupakan senyawa yang terbentuk dari hasil proses nitratasi atau proses oksidasi senyawa nitrit (NO - 2 ) menjadi nitrat (NO 3 ) oleh bantuan bakteri Nitrobacter. Goldman dan Horne (1983) menyatakan bahwa nitrit dalam perairan akan segera diubah ke dalam bentuk nitrat selama adanya konsentrasi oksigen yang cukup, dan dialam air nitrat bersifat lebih stabil dibandingkan nitrit. Hasil pengukuran nitrat disajikan pada Gambar 13 dan Lampiran 8a. Nitrat (mg/l) 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 Gambar 13. Nilai nitrat pada ketiga perlakuan Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C

24 Gambar 13 menunjukkan nilai nitrat yang cenderung fluktuatif dengan perubahan yang sangat tajam antara tahap satu dan tahap dua. Pada tahap satu, nilai nitrat pada perlakuan A, B, dan C, masing-masing adalah 0,2542 mg/l, 0,2408 mg/l, dan 0,1851 mg/l. Pada tahap dua nilai nitrat pada seluruh perlakuan meningkat pada hari ke-3 yang kemudian terus menurun sampai hari ke-12 untuk perlakuan A dan hari ke-15 untuk perlakuan B dan C. Pada hari selanjutnya nilai nitrat pada seluruh perlakuan cenderung mengalami peningkatan sampai hari ke-21, dengan nilai akhir nitrat perlakuan A, B, dan C masing-masing adalah 0,4236 mg/l, 0,5032 mg/l, dan 0,4956 mg/l. Selanjutnya, persentase perubahan setiap perlakuan adalah 66,65% untuk perlakuan A, 108,96 % untuk perlakuan B, dan 167,76% untuk perlakuan C. 4.1.9. Ortofosfat Ortofosfat dimanfaatkan secara langsung oleh bakteri, fitoplankton, dan tumbuhan air. Penyerapan fosfor oleh tumbuhan air lebih lambat daripada penyerapan oleh fitoplankton, namun tumbuhan air dapat menyerap dan menyimpan fosfor dalam jumlah yang lebih banyak (Boyd 1982). Penyerapan fosfor oleh tumbuhan air lebih lambat daripada penyerapan oleh fitoplankton, namun tumbuhan air dapat menyerap dan menyimpan fosfor dalam jumlah yang lebih banyak (Boyd 1982). Hasil pengukuran ortofosfat disajikan pada Gambar 14 dan Lampiran 9a. 0,14 0,12 Ortofosfat (mg/l) 0,10 0,08 0,06 0,04 0,02 Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C 0,00 Gambar 14. Nilai ortofosfat pada ketiga perlakuan

25 Gambar 14 menunjukkan variasi nilai ortofosfat untuk perlakuan A dan B sangat signifikan antara tahap satu dan tahap dua. Pada tahap satu, nilai ortofosfat pada perlakuan A dan B masing-masing adalah 0,0462 mg/l dan 0,0405 mg/l, yang kemudian meningkat dengan cepat pada hari ke-3, masing-masing dengan nilai 0,1155 mg/l dan 0,0941 mg/l. Pada hari selanjutnya, mulai dari hari ke-3 sampai hari ke-21, nilai ortofosfat cenderung menurun. Pada perlakuan C, mulai dari hari ke-0 sampai hari ke-21, nilai ortofosfat cenderung menurun dan tidak mengalami kenaikan. Persen perubahan nilai ortofosfat seluruh perlakuan selama pengamatan adalah 68,18% untuk perlakuan A; 82,94% perlakuan B; dan 88,79% perlakuan C. 4.2. Pembahasan Prinsip bioremediasi oleh tumbuhan air adalah terjadinya proses penyaringan dan penyerapan oleh akar dan batang tumbuhan air, serta proses pertukaran dan penyerapan ion terlarut yang dimanfaatkan untuk pertumbuhan dari tumbuhan air itu sendiri (Reed 2005 in Yusuf 2008). M. fluviatilis adalah salah satu agen bioremediasi limbah perairan dari jenis tumbuhan monokotil yang tumbuh di bawah permukaan air dan mampu beradaptasi pada perairan yang mengandung bahan organik tinggi (Philipps 2010). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa M. fluviatilis mampu beradaptasi dan tumbuh dengan baik di seluruh perlakuan. Hal ini didasarkan pada pertambahan bobot basah dari M. fluviatilis selama penelitian yang diduga memiliki hubungan dengan keberadaan bahan organik pada media penelitian. Semakin tinggi kandungan bahan organik, semakin besar pertambahan bobot basah M. fluviatilis, karena unsur hara hasil penguraian dari bahan organik tersebut semakin banyak dimanfaatkan oleh M. fluviatilis untuk pertumbuhannya. Hal ini didukung juga oleh Metcalf dan Eddy (2004) yang menyatakan bahwa unsur-unsur hara dari hasil dekomposisi bahan organik akan dimanfaatkan oleh organisme autotrof, seperti tanaman air maupun fitoplankton. Berdasarkan analisis statistik (p<0,05) untuk parameter pertambahan bobot basah M. fluviatilis (Lampiran 3b), diperoleh hasil bahwa pengaruh waktu pengamatan terhadap pertambahan bobot basah M. fluviatilis berbeda nyata, sedangkan pengaruh perlakuan terhadap pertambahan bobot basah M. fluviatilis tidak berbeda nyata. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa

26 pertambahan bobot M. fluviatis tidak terlalu dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan, akan tetapi sangat dipengaruhi oleh lamanya waktu proses perlakuan berlangsung. Perkembangbiakan tumbuhan air secara generatif mulai dari biji membutuhkan waktu selama 6 minggu untuk mampu tumbuh dan beradaptasi di dalam air. Demikian pula untuk perkembangbiakan secara vegetatif yang membutuhkan waktu sama untuk adaptasi dan tumbuh dengan baik di dalam air (Ludwig 1886 in DEEDI 2010). Kisaran suhu dan ph selama pengamatan masih termasuk pada kondisi lingkungan yang baik untuk mendukung pertumbuhan tumbuhan air termasuk M. fluviatilis. Hal ini sesuai dengan DEEDI (2010) yang menyatakan bahwa tumbuhan air dapat tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 20-30 o C; dan ph 6,8-8,5; suatu kondisi perairan yang masih termasuk ideal bagi pertumbuhan organisme akuatik termasuk tumbuhan air (Pescod 1973). Nilai DO atau oksigen terlarut masing-masing perlakuan memiliki perbedaan yang signifikan antara tahap satu dan tahap dua. Pada tahap satu, semakin tinggi kandungan bahan organik, semakin rendah nilai DO yang terukur, sedangkan pada tahap dua nilai DO pada seluruh perlakuan cenderung sama dan stabil. Hal tersebut terjadi karena sebelum diterapkannya sistem kanal dan aplikasi M. fluviatilis, kandungan oksigen terlarut yang tersedia di media sudah dimanfaatkan oleh mikroorganisme dekomposer untuk mendekomposisi bahan organik yang ada. Dengan pasokan oksigen dari lingkungan yang sangat sedikit dan kandungan bahan organik yang semakin banyak, nilai DO yang terukur semakin rendah. Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan, serta dibutuhkan juga untuk mengoksidasi bahanbahan organik dan anorganik dalam proses aerobik (Boyd 1982). Pada saat setelah diterapkannya sistem kanal dan aplikasi M. fluviatilis, kandungan oksigen terlarut di dalam air semakin tinggi dan mampu mencukupi kebutuhan dekomposisi bahan organik. Hal tersebut terjadi karena adanya proses resirkulasi yang meningkatkan difusi oksigen dari udara serta hasil fotosintesis oleh M. fluviatilis (Eaton et al. 2005). Hal tersebut didukung oleh Landau (1991) yang menyebutkan bahwa apabila kondisi badan air memiliki kandungan oksigen yang belum jenuh, maka masih

27 memungkinkan untuk terjadinya proses difusi secara terus menerus. Sebaliknya ketika kondisi badan air sudah melewati titik jenuh, oksigen bisa terlepas dengan sendirinya dari badan air. Berdasarkan hasil pengukuran COD pada Gambar 10 dapat dilihat adanya perbedaan perubahan nilai COD yang signifikan antara tahap satu dan tahap dua. Tingginya nilai COD pada tahap satu dikarenakan belum diterapkannya sistem kanal dan agen bioremediasi, sehingga kandungan oksigen terlarut di media lebih kecil dan beragam dibandingkan pada tahap dua yang sudah menerapkan sistem kanal dan agen bioremediasi M. fluviatilis. Pada tahap dua, seluruh nilai COD dari setiap perlakuan mengalami penurunan menjadi kisaran nilai COD sebesar 20 mg/l, yang berarti tingkat pencemaran seluruh perlakuan berada pada kriteria belum tercemar (Tabel 1). Hal tersebut terjadi karena pada saat setelah diterapkannya sistem kanal, kandungan oksigen terlarut di dalam air semakin tinggi dan mampu mencukupi kebutuhan mikroorganisme dekomposer untuk mengoksidasi bahan organik, sehingga proses dekomposisi tersebut berlangsung optimal dan mampu menurunkan nilai COD dengan signifikan. Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan parameter yang mampu dengan baik menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimia, baik bahan organik yang dapat didegradasi menjadi CO 2 dan H 2 O secara biologis maupun yang sukar didegradasi secara biologis (Boyd 1982). Selain itu, faktor utama dari penurunan tingkat pencemaran tersebut adalah adanya teknik bioremediasi dengan cara fitoremediasi yaitu teknik bioremediasi menggunakan tumbuhan dan algae, yang juga mampu menanggulangi pencemaran di lingkungan perairan (Perelo 2009). Berdasarkan analisis statistik (P<0,05) untuk parameter COD (Lampiran 5b dan 5c), diperoleh hasil bahwa pengaruh waktu pengamatan dan perlakuan terhadap perubahan nilai COD berbeda nyata. Pada uji lanjut BNT didapatkan perlakuan C (sedimen 700 gram) berbeda nyata dengan perlakuan A (sedimen 150 gram) dan perlakuan B (sedimen 300 gram). Kesimpulan yang diperoleh dari hasil uji statistik tersebut adalah bahwa perubahan nilai COD ternyata dipengaruhi oleh perlakuan tingkat pencemaran yang diberikan dan dipengaruhi juga oleh lamanya waktu proses perlakuan tersebut berlangsung.

28 Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, maka diperlukan informasi untuk mengetahui peranan yang paling besar antara sistem kanal dan aplikasi M. fluviatilis dalam penurunan bahan organik pada penelitian utama. Pencarian informasi itu dilakukan melalui penelitian lanjutan dengan membandingkan perlakuan bahan organik menggunakan sistem kanal dengan M. fluviatilis, dan sistem kanal tanpa M. fluviatilis selama 18 hari. Informasi yang diperoleh dari hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa sistem kanal memiliki pengaruh yang lebih besar untuk menurunkan kandungan bahan organik dan mengatasi pencemaran dibandingkan penyerapan nutrien oleh M. fluviatilis (Lampiran 10). Penggunaan sistem kanal pada proses bioremediasi seperti ini didukung juga oleh penelitian Nofdianto (2009) untuk meningkatkan kandungan oksigen terlarut pada teknik bioremediasi dalam penelitiannya yang menggunakan perifiton. Fungsi utama dari sistem kanal adalah untuk meningkatkan kandungan oksigen terlarut dan menjaganya agar stabil, sehingga memadai untuk proses oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Penentuan nilai TAN (Total Ammonia Nitrogen) adalah suatu metode analisis yang digunakan untuk menemukan proporsi amonia dalam bentuk terionisasi dan tidak terionisasi yang bervariasi terhadap ph dan suhu (Floyd dan Watson 1996). Hasil pengukuran menunjukkan terjadinya perubahan nilai TAN secara fluktuatif dengan kecenderungan menurun, walaupun pada hari ke-12 pada perlakuan tercemar berat mengalami peningkatan. Hal tersebut disebabkan oleh turunnya kandungan oksigen terlarut dan naiknya suhu serta ph pada hari yang sama. Toksisitas amonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut serta peningkatan ph dan suhu air (Colt dan Amstrong 1981 dalam Kordi dan Tancung 2005). Secara umum, penurunan nilai amonia yang terjadi diakibatkan oleh perubahan senyawa amonia menjadi nitrit dan nitrat melalui proses nitrifikasi (Kordi dan Tancung 2005). Berdasarkan analisis statistik (P<0,05) untuk parameter TAN (Lampiran 6b dan 6c), diperoleh hasil bahwa pengaruh waktu pengamatan dan perlakuan terhadap perubahan nilai TAN berbeda nyata. Pada uji lanjut BNT didapatkan perlakuan C (sedimen 700 gram) berbeda nyata dengan perlakuan A (sedimen 150 gram) dan perlakuan B (sedimen 300 gram). Kesimpulan yang diperoleh dari hasil uji statistik

29 tersebut adalah bahwa perubahan nilai TAN ternyata dipengaruhi oleh perlakuan tingkat pencemaran yang diberikan dan dipengaruhi juga oleh lamanya waktu proses perlakuan tersebut berlangsung. Salah satu faktor utama yang menyebabkan perubahan tersebut adalah adanya teknik bioremediasi menggunakan tumbuhan air yang mampu menanggulangi pencemaran di lingkungan perairan (Perelo 2009), karena terjadi proses penyaringan dan penyerapan oleh akar dan batang tumbuhan air, serta proses pertukaran dan penyerapan ion terlarut yang dimanfaatkan untuk pertumbuhan dari tumbuhan air tersebut (Reed 2005 dalam Yusuf 2008). Nitrit merupakan senyawa yang terbentuk dari hasil proses nitritasi atau proses oksidasi amonia (NH 3 ) menjadi nitrit (NO - 2 ). Pada tahap satu tanpa adanya sistem kanal dan tumbuhan air, nilai nitrit cenderung tinggi. Hal tersebut terjadi karena pada saat yang sama amonia pun berada pada nilai yang tinggi akibat adanya proses nitrifikasi. Selanjutnya, pada saat sistem kanal diterapkan, nilai nitrit mengalami penurunan yang signifikan, yang diduga akibat kandungan oksigen terlarut yang meningkat sehingga proses perubahan nitrit menjadi nitrat semakin tinggi juga. Goldman dan Horne (1983) menyatakan bahwa nitrit dalam perairan akan segera diubah ke dalam bentuk nitrat selama adanya konsentrasi oksigen yang cukup. Secara umum, berdasarkan hasil pengamatan untuk perlakuan A dan B pada Gambar 12, nilai nitrit cenderung mengalami penurunan di awal sampai pertengahan pengamatan. Namun setelah itu nilai nitrit mengalami peningkatan sampai pengamatan terakhir, sedangkan untuk perlakuan C, nilai nitrit cenderung naik di awal sampai pertengahan pengamatan. Setelah itu terus menurun sampai akhir pengamatan. Hal tersebut diduga karena aktivitas bakteri nitrifikasi di setiap perlakuan berbeda. Pada kondisi aerobik, bakteri Nitrosmonas (bakteri pembentuk nitrit) akan mengoksidasi amonia menjadi nitrit sehingga pada saat tersebut diduga akan terjadi kenaikan nilai nitrit. Selanjutnya, pada kondisi oksigen yang memadai, proses nitrifikasi akan berlanjut menjadi proses nitratasi, yaitu proses oksidasi nitrit menjadi nitrat oleh bakteri nitrobacter, sehingga pada saat itulah diduga akan terjadinya penurunan nilai nitrit (Badjoeri dan Widiyanto 2008). Berdasarkan analisis statistik (P<0,05) untuk parameter nitrit (Lampiran 7b), diperoleh hasil bahwa pengaruh waktu pengamatan dan perlakuan terhadap perubahan nilai nitrit tidak berbeda nyata. Salah satu faktor yang menyebabkan

30 tidak adanya pengaruh yang berbeda nyata tersebut diduga terjadi karena lebih tingginya aktivitas mikroorganisme dalam media penelitian dalam mendekomposisi bahan organik, dibandingkan dengan bioremediasi yang dilakukan oleh M. fluviatilis. Hal tersebut didukung oleh adanya pasokan oksigen terlarut yang relatif sama dan stabil selama pengamatan, sehingga semakin tinggi kandungan bahan organik, semakin tinggi pula proses nitrifikasi yang dilakukan oleh mikroorganisme (Thomson et al. 2003). Nitrat merupakan senyawa yang terbentuk dari hasil proses nitratasi atau proses oksidasi senyawa nitrit menjadi nitrat (NO 3 ) oleh bakteri Nitrobacter. Hasil pengukuran nitrat pada Gambar 13 menunjukkan variasi nilai nitrat yang cenderung fluktuatif dengan perubahan yang sangat signifikan antara tahap satu sebesar 0,2 mg/l dengan tahap dua sebesar 0,8 mg/l. Pada tahap satu atau hari ke-0, nilai nitrat untuk seluruh perlakuan berada pada nilai terendah. Hal tersebut diduga terjadi karena kandungan oksigen terlarut tidak memadai, sehingga proses nitratasi tidak terjadi secara optimal (Goldman dan Horne 1983). Selanjutnya, setelah diterapkannya sistem kanal, nitrat mengalami peningkatan. Hal tersebut diduga terjadi karena proses dekomposisi bahan organik yang meningkat akibat pasokan oksigen terlarut yang semakin tinggi. Pada tahap dua, dengan kondisi oksigen terlarut yang stabil, kenaikan maupun penurunan nilai nitrat tidak terlalu besar. Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa nilai nitrat dari hari ke-3 terus menurun sampai hari ke-12 untuk perlakuan A, dan hari ke-15 untuk perlakuan B dan C. Hal tersebut diduga terjadi karena nitrat yang ada di dalam air media dimanfaatkan langsung dan dibutuhkan lebih banyak oleh M. fluviatilis untuk mempertahankan daya adaptasinya dengan lingkungan yang baru, karena nitrat merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga (Kordi dan Tancung 2005). Setelah terjadi penurunan sampai hari ke-15, secara umum nilai nitrat mengalami peningkatan dan cenderung mulai konstan di saat pengamatan terakhir. Hal tersebut terjadi diduga karena daya adaptasi dari M. fluviatilis sudah mulai stabil sehingga nitrat yang tidak termanfaatkan atau berlebih akan mengalir kembali bersama air dan terakumulasi sehingga meningkatkan pencemaran (Hardiningtyas 2006). Selain itu, hal tersebut juga dipengaruhi oleh peningkatan nitrit pada saat yang sama, karena pada kondisi aerobik dengan kondisi oksigen yang

31 memadai, proses nitritasi akan berlanjut menjadi proses nitratasi yaitu proses oksidasi nitrit menjadi nitrat oleh bakteri nitratasi (Badjoeri dan Widiyanto 2008). Berdasarkan analisis statistik (P<0,05) untuk parameter nitrat (Lampiran 8b), diperoleh hasil bahwa pengaruh waktu pengamatan terhadap perubahan nilai nitrat berbeda nyata, sedangkanpengaruh perlakuan terhadap perubahan nilai nitrat tidak berbeda nyata. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa perubahan nilai nitrat tidak terlalu dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan, akan tetapi perubahan nitrat tersebut sangat dipengaruhi oleh lamanya waktu proses perlakuan berlangsung. Hal tersebut diduga terjadi karena produksi nitrat sangat bergantung pada proses nitrifikasi. Dari ketiga perlakuan yang dicobakan, tidak semua perlakuan mengalami proses nitrifikasi yang sama pada saat yang sama, sementara nitrat selalu dimanfaatkan langsung dan dibutuhkan oleh M. fluviatilis, karena nitrat merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga (Kordi dan Tancung 2005). Ortofosfat dimanfaatkan secara langsung oleh bakteri, fitoplankton, dan tumbuhan air. Hasil pengukuran ortofosfat pada Gambar 14 menunjukkan bahwa nilai ortofosfat untuk perlakuan B dan C mengalami kenaikan yang signifikan dari hari ke-0 sampai hari ke-3. Hal tersebut diduga terjadi karena kandungan oksigen terlarut kurang memadai akibat belum diterapkannya sistem kanal dan agen bioremediasi pada media yang menyebabkan proses dekomposisi bahan organik untuk pembentukan ortofosfat tidak optimal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nugroho et al. ( 2008). Pada tahap dua, setelah diterapkannya sistem kanal dan aplikasi M. fluviatilis, kandungan ortofosfat dari seluruh perlakuan cenderung mengalami penurunan sampai hari terakhir pengamatan. Hal tersebut terjadi karena ortofosfat dimanfaatkan oleh M. fluviatilis untuk pertumbuhannya, karena tumbuhan dapat menyerap dan menyimpan fosfor dalam jumlah yang lebih banyak (Boyd 1982). Berdasarkan analisis statistik (P<0,05) untuk parameter ortofosfat (Lampiran 9b), diperoleh hasil bahwa pengaruh waktu pengamatan terhadap perubahan nilai nitrat berbeda nyata, sedangkan pengaruh perlakuan terhadap perubahan nilai ortofosfat tidak berbeda nyata. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa perubahan nilai ortofosfat tidak terlalu dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan.

32 Akan tetapi perubahan tersebut sangat dipengaruhi oleh lamanya waktu proses perlakuan berlangsung. Hal tersebut diduga terjadi karena tidak ada perbedaan yang signifikan penurunan nilai ortofosfat di setiap perlakuan, sedangkan setiap harinya kandungan ortofosfat di seluruh perlakuan pengalami penurunan karena selalu dimanfaatkan oleh M. fluviatilis untuk pertumbuhannya (Carr dan Neary 2006). Pada dasarnya setiap perairan sudah memiliki mekanisme sendiri untuk melakukan proses pulih diri (self purification). Limbah yang masuk ke perairan akan dimanfaatkan oleh dekomposer sehingga dapat terurai menjadi unsur hara yang dapat dimanfaatkan oleh produsen primer seperti alga dan tumbuhan. Namun apabila beban limbah dan frekuensi limbah yang masuk melebihi kemampuan proses pulih diri, maka dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran perairan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, secara umum terlihat bahwa pengaruh sistem kanal terhadap bioremediasi limbah organik dari Waduk Cirata sangat besar. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya perbedaan nilai kualitas air pada saat perpindahan dari tahap satu (tanpa kanal dan M. fluviatilis) ke tahap dua (aplikasi kanal dan M. fluviatilis). Hasil analisis statistik (P<0,05) menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan terhadap perubahan COD dan TAN berbeda nyata. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa bioremediasi limbah organik menggunakan M. fluviatilis dengan sistem kanal mampu mengubah kualitas air yang tercemar, sehingga pengembangan teknik bioremediasi menggunakan tumbuhan air dan sistem kanal, perlu dilakukan sebagai alternatif metode yang baik dalam upaya penanggulangan masalah pencemaran perairan.