KEBIASAAN MEROKOK DAN STATUS GIZI KURANG SEBAGAI FAKTOR RISIKO KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA KEMILING BANDARLAMPUNG.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti

BAB I PENDAHULUAN. Balita. Pneumonia menyebabkan empat juta kematian pada anak balita di dunia,

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB V PEMBAHASAN. balita yang menderita ISPA adalah kelompok umur bulan yaitu

HUBUNGAN STATUS GIZI DAN STATUS IMUNISASI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan pendekatan case control yaitu membandingkan antara

HUBUNGAN PERILAKU MEROKOK ORANG TUA DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS REMBANG KABUPATEN PURBALINGGA 2012

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA ISPA PADA BAYI (1-12 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAJABASA INDAH BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. sehingga menimbulkan gejala penyakit (Gunawan, 2010). ISPA merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. komplek dan heterogen yang disebabkan oleh berbagai etiologi dan dapat. berlangsung tidak lebih dari 14 hari (Depkes, 2008).

7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. (2)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN PNEUMONIA DENGAN KEKAMBUHAN PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS SEI JINGAH BANJARMASIN

Relation between Indoor Air Pollution with Acute Respiratory Infections in Children Aged Under 5 in Puskesmas Wirobrajan

Jurnal Ilmiah STIKES U Budiyah Vol.1, No.2, Maret 2012

HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN MEROKOK ANGGOTA KELUARGA DAN PENGGUNAAN ANTI NYAMUK BAKAR DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS KOLONGAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. saluran pernapasan sehingga menimbulkan tanda-tanda infeksi dalam. diklasifikasikan menjadi dua yaitu pneumonia dan non pneumonia.

BAB I PENDAHULUAN. (mordibity) dan angka kematian (mortality). ( Darmadi, 2008). Di negara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

Ernawati 1 dan Achmad Farich 2 ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan berbagai spektrum penyakit dari tanpa gejala atau infeksi ringan

Kata Kunci: Kejadian ISPA, Tingkat Pendidikan Ibu, ASI Eksklusif, Status Imunisasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BAYI. Nurlia Savitri

ANALISA DETERMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT TUBERKULOSIS (TBC) DI RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

The Effect of House Environment on Pneumonia Incidence in Tambakrejo Health Center in Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. yang paling banyak diderita oleh masyarakat. Sebagian besar dari infeksi

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan mutu dan daya saing sumber daya manusia Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, Indonesia menghadapi tantangan dalam meyelesaikan UKDW

Ratih Wahyu Susilo, Dwi Astuti, dan Noor Alis Setiyadi

BAB III METODE PENELITIAN

Kata Kunci: anak, ISPA, status gizi, merokok, ASI, kepadatan hunian

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang

BAB I PENDAHULUAN. disebut infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). ISPA merupakan

KARAKTERISTIK FAKTOR RESIKO ISPA PADA ANAK USIA BALITA DI PUSKESMAS PEMBANTU KRAKITAN, BAYAT, KLATEN. Suyami, Sunyoto 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Puskesmas Marisa Kec. Marisa merupakan salah satu dari 16 (enam belas)

Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang 2)

I. PENDAHULUAN. adalah perokok pasif. Bila tidak ditindaklanjuti, angka mortalitas dan morbiditas

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitan ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan

Jurnal Care Vol. 4, No.3, Tahun 2016

BAB III METODE PENELITIAN

Oleh : Yophi Nugraha, Inmy Rodiyatam ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. mencakup 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus di seluruh dunia. Lebih dari. dan Indonesia (Rudan, 2008). World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 ISPA

Eko Heryanto Dosen Program Studi S.1 Kesehatan Masyarakat STIKES Al-Ma arif Baturaja ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit, namun penyakit sering datang tiba-tiba sehingga tidak dapat dihindari.

BAB 1 : PENDAHULUAN. peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kualitas hidup yang lebih baik pada

BAB I PENDAHULUAN. disekelilingnya khususnya bagi mereka yang termasuk ke dalam kelompok rentan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Millenium Development Goal Indicators merupakan upaya

BAB I PENDAHULUAN I.I LATAR BELAKANG

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. waktu penelitian di laksanakan selama 1 bulan dari tanggal 10 Mei sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan salah satunya adalah penyakit infeksi. Masa balita juga merupakan masa kritis bagi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA.

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA

BAB I PENDAHULUAN. Sanitasi adalah usaha pengawasan terhadap faktor-faktor lingkungan fisik manusia

HUBUNGAN UMUR DAN JENIS KELAMIN TERHADAP KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI PUSKESMAS TEMBILAHAN HULU

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN GIZI KURANG PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PURWOKERTO SELATAN KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. di paru-paru yang sering terjadi pada masa bayi dan anak-anak (Bindler dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batasan anak balita adalah setiap anak yang berada pada kisaran umur

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN INFEKSI RESPIRATORIK AKUT (IRA) BAGIAN BAWAH PADA ANAK USIA 1-5 TAHUN DI RSUD SUKOHARJO

BAB III METODE PENELITIAN. Tempat penelitian ini dilakukan adalah RSUP Dr. Kariadi Semarang.

PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol. 5 No. 2 MEI 2016 ISSN

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme termasuk common cold, faringitis (radang

BAB III METODE PENELITIAN. Variable bebas

HUBUNGAN STATUS GIZI DAN KELEMBABAN UDARA DENGAN KEJADIAN TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2014

Castanea Cintya Dewi. Universitas Diponegoro. Universitas Diponegoro

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya, dan sebagainya) (Misnadiarly,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN PEMBERIAN IMUNISASI DPT DAN CAMPAK TERHADAP KEJADIAN PNEUMONIA PADA ANAK USIA 10 BULAN - 5 TAHUN DI PUSKESMAS SANGURARA KOTA PALU TAHUN 2015

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS),

BAB III METODE PENELITIAN. cross sectional. Dalam penelitian cross sectional peneliti melakukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Pemberantasan penyakit. berperanan penting dalam menurunkan angka kesakitan

BAB 1 PENDAHULUAN. terutama pada bagian perawatan anak (WHO, 2008). kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20%

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PHBS yang Buruk Meningkatkan Kejadian Diare. Bad Hygienic and Healthy Behavior Increasing Occurrence of Diarrhea

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas di masa yang akan datang.

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan WHO (World Health Organisation) pada tahun 2014,

BAB I PENDAHULUAN. (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Saat ini, ISPA merupakan masalah. rongga telinga tengah dan pleura. Anak-anak merupakan kelompok

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batuk pilek merupakan gangguan saluran pernafasan atas yang paling

HUBUNGAN ANTARA KRITERIA PEROKOK DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI WILAYAH KERJA KECAMATAN PRAMBANAN YOGYAKARTA

Transkripsi:

KEBIASAAN MEROKOK DAN STATUS GIZI KURANG SEBAGAI FAKTOR RISIKO KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA KEMILING BANDARLAMPUNG (skripsi) Oleh Bella Juliana Baladiah FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2019

ABSTRAK KEBIASAAN MEROKOK DAN STATUS GIZI KURANG SEBAGAI FAKTOR RISIKO KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA KEMILING BANDARLAMPUNG Oleh Bella Juliana Baladiah Latar Belakang: Di Bandar Lampung yaitu 13,1% orang menderita ISPA. Sebanyak 14,4% penderita ISPA pada usia 0 5 tahun. Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan ISPA yaitu diantaranya mikrobakteri, status nutrisi, imunisasi, keadaan lingkungan, dan kebiasaan merokok pada orang tua. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui besar resiko kebiasaan merokok di dalam rumah dan status gizi kurang terhadap kejadian ISPA pada anak umur 1-5 tahun di Puskesmas Kemiling. Metode: Penelitian ini menggunakan pendekatan case control. Subjek penelitian ini adalah 68 sampel kasus dan 68 sampel kontrol. Data diperoleh langsung dari subjek penelitian melalui data primer dan data sekunder. Analisis yang digunakan chi square untuk mendapatkan nilai P dan OR. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kebiasaan Merokok (p= 0,001 dan OR= 3,36 ; 95% CI= 1,66-6,80), Status gizi (p= 0,006 dan OR= 2,78 ; 95% CI= 1,38-5,57) merupakan Kejadian ISPA pada Balita diwilayah kerja Puskesmas Kemiling Bandarlampung. Simpulan: Kebiasaan Merokok, Status gizi merupakan faktor risiko Kejadian ISPA pada Balita diwilayah kerja Puskesmas Kemiling Bandarlampung Kata kunci : Kebiasaan Merokok, Status Gizi Kurang, ISPA

ABSTRACT SMOKING HEALTH AND UNDERNUTRITION IS AS A RISK FACTORS OF ACUTE RESPIRATORY INFECTION IN CHILDREN UNDER FIVE YEARS IN KEMILING WORKING AREA BANDARLAMPUNG By Bella Juliana Baladiah Background: In Bandar Lampung, 13.1% of people suffer from acute respiratory infection. As many as 14.4% of patients with acute respiratory infection at the age of 0-5 years. There are several risk factors that can cause acute respiratory infection, namely bacterial microbes, undernutrition status, immunization, environmental conditions, and smoking habits in the elderly. The purpose of this study was to study the major problems of home smoking and undernutrition status in the incidence of ARI in children aged 1-5 years at the Kemiling Health Center. Method: This study uses studying case control. The subjects of this study were 68 study samples and 68 control samples. Data is obtained directly from the research subject through primary data and secondary data. The analysis used chi square to get P and OR values. Results: The results of this study indicate that there is a relationship between smoking inhouse (Pvalue = 0.001; OR = 3.36), nutritional status (Pvalue = 0.006; OR = 2.78) with acute respiratoryinfection events in toddlers in the work area of Bandarlampung Kemiling Health Center. Conclusion: Smoking inhous, undernutrition status is a risk factor for ISPA events in toddlers in the work area of the Bandarlampung Kemiling Health Center Keywords: Smoking habits, undernutritional status, acute respiratory infection

KEBIASAAN MEROKOK DAN STATUS GIZI KURANG SEBAGAI FAKTOR RISIKO KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA KEMILING BANDARLAMPUNG Oleh Bella Juliana Baladiah Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA KEDOKTERAN Pada Fakultas Kedokteran Universitas Lampung FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2019

RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Kota Bandarlampung, pada tanggal 5 Juli 1996, sebagai anak tunggal dari pasangan Bapak Ir. Baldiah Effendi (Alm) dan Ibu Ernalia. S.E., M.M. Penulis mulai menempuh pendidikan Taman Kanak-kanak di TK IKI PTPN VII PUSAT pada tahun 2000 setelah dua tahun menempuh pendidikan Taman Kanak Kanak, penulis memasuki jenjang pendidikan dasar di SD Negeri 2 Rawa Laut selama 6 tahun. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 2 Bandarlampung selama tiga tahun dan pada tahun 2011 penulis meneruskan pendidikan menengah atas di SMAN 2 Bandarlampung. Setelah tiga tahun, penulis lulus dan meneruskan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung melalu jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).

Kupersembahkan Skripsi Ini Untuk Papi dan Mami Tersayang.

SANWANCANA Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat, rahmat, dan karunia-nya skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi dengan judul KEBIASAAN MEROKOK DAN STATUS GIZI KURANG SEBAGAI FAKTOR RISIKO KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA BANDARLAMPUNG ini disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan pendidikan dan memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Lampung. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat masukan, bantuan, dorongan, saran, bimbingan, dan kritik dari berbagai pihak. Maka dalam kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas Lampung. 2. Dr. dr. Muhartono, S.Ked., M.Kes., Sp.PA selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 3. Dr. Dyah Wulan S.R.W, S.KM., M.Kes selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya untuk meluangkan waktu, membimbing dan memberikan masukan, nasihat serta banyak ilmu selama proses pengerjaan skripsi ini.

4. Minerva Nadia Putri A.T, S.K.M., M.K.M selaku Pembimbing Kedua yang telah memberikan waktunya, masukan, bimbingan, nasihat serta motivasi kepada peneliti sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 5. Dr. dr. Khairun Nisa, S.Ked., M.Kes., AIFO selaku Pembahas atas kesediannya untuk meluangkan waktu, memberikan masukan serta motivasi kepada peneliti sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. 6. Dr. dr. T.A Larasati, S.Ked., M.Kes selaku Pembimbing Akademik, terima kasih atas motivasi dan doanya. 7. Seluruh staf pengajar dan karyawan FK Unila atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan yang menjadi landasan bagi masa depan dan cita-cita. 8. Teristimewa untuk kedua orang tuaku tercinta, Papi Ir. Baladiah Effendi (Alm) dan mami Ernalia, S.E., M.M terimakasih atas semua limpahan kasih sayang yang luar biasa, doa, segala pelajaran hidup yang telah diberikan serta menjadi motivasi saya dalam menyelesaikan skripsi ini, Semoga Allah SWT selalu memberikan perlindungan dan karunia-nya. 9. Seluruh keluarga besar yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas motivasi dan doa untuk menyelesaikan skripsi ini. 10. Kepala Puskesmas rawat inap Kemiling kota Bandarlampung beserta staff dan jajaran telah memberikan izin penelitian serta membantu dalam proses penelitian. 11. Kepala Ruang Rekam Medik yang telah mengizinkan melakukan penelitian di Puskesmas rawat inap Kemiling, Bandarlampung serta

membantu selama penelitian sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 12. Semua responden penelitian yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah membantu dan memberikan jawaban selama penelitian berlangsung sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 13. Sahabat terbaik Arninda Rahman, Chyntia Saputri, dan Dwi Jayanti T.L., Terima kasih telah banyak membantu, menemani, memberikan nasihat, semangat, dan canda tawa kepada penulis selama proses perkuliahan dan pengerjaan skripsi ini. 14. Sahabat SMA terbaik Ameliza Indah Mahesa, Alvita Raissa Marza, Nasa Dwi, Nurul Fajri, dan Sunita Agustina yang walaupun terpisahkan jarak tetap maenguatkan penulis di masa-masa sulit. 15. Teman-temanku senasib seperjuangan Nopri dan Rena terima kasih atas kebersamaan selama menjalani perjuangan panjang ini dengan tangis, canda, dan tawa. 16. Teman-teman kelompok Tutorial dan CSL selama diperkuliahan. Terima kasih telah mewarnai hari-hari masa perkuliahan. 17. Teman-teman seperjuangan angkatan 2014 CRAN14L yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas kebersamaan, keceriaan, kekompakkan dan kebahagiaan selama perkuliahan. Semoga kita bisa jadi dokter-dokter professional dan amanah. 18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dan menyumbangkan pemikirannya dalam pembuatan skripsi ini.

Akhir kata, semoga semua bantuan dan doa yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Bandar Lampung, Januari 2018 Penulis Bella Juliana Baladiah

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI...i DAFTAR GAMBAR...iv DAFTAR TABEL...v BAB I PENDAHULUAN...1 1.1 Latar Belakang...1 1.2 Rumusan masalah...4 1.3 Tujuan Penelitian...4 1.3.1 Tujuan Umum...4 1.3.2 Tujuan Khusus...4 1.4 Manfaat Penilitian...5 1.4.1 Bagi Peneliti...5 1.4.2 Bagi Masyarakat...5 1.4.3 Bagi Institusi...5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA...6 2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)...6 2.1.1 Pengertian ISPA...6 2.1.2 Gejala Klinis ISPA...7 2.1.3 Patogenesis ISPA...8 2.1.4 Faktor Resiko ISPA...9 2.1.5 Hubungan Asap Rokok dengan ISPA...14 2.1.6 Hubungan Status Gizi dengan ISPA...17 2.2 Kerangka Teori...20 2.3 Kerangka Konsep...21

2.4 Hipotesis...21 BAB III METODE PENELITIAN...22 3.1 Desain Penelitian...22 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian...22 3.2.1 Tempat...22 3.2.2 Waktu penelitian...22 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian...23 3.3.1 Populasi Penelitian...23 3.3.2 Sampel Penelitian...23 3.3.3 Teknik Sampling...25 3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi...26 3.4.1 Kriteria inklusi:...26 3.4.2 Kriteria eksklusi:...26 3.5 Variabel Penelitian...26 3.5.1 Variabel Bebas (Independent)...26 3.5.2 Variabel Terikat (Dependent)...26 3.6 Definisi Operasional...27 3.7 Cara Pengumpulan Data...27 3.7.1 Alat...27 3.7.2 Jenis Data...28 3.7.3 Cara Kerja...28 3.8 Analisa Data...30 3.9 Etika Penelitian...30 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...31 4.1 Hasil Penelitian...31 4.1.1 Karakteristik Responden...32 4.1.2 Analisis Univariat...33 4.1.3 Analisis Bivariat...36 4.2 Pembahasan...38 4.2.1 Univariat...38

4.2.2 Bivariat...40 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan...50 5.2 Saran...51 5.2.1 Bagi Tenaga Kesehatan...51 5.2.2 Bagi Masyarakat...51 5.2.3 Bagi Orang Tua...51 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Kerangka Teori... 20 2. Kerangka Konsep... 21

DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Jumlah Sampel dan proporsinya untuk kebiasaan merokok dan status gizi kurang sebagai factor risiko kejadian ISPA pada balita...24 2. Definisi Operasional...27 3. Distrubusi frekuensi karakteristik ibu Berdasarkan Usia, Pendidikan, dan Pekerjaan di wilayah kerja Kemiling Bandarlampung...32 4. Distrubusi frekuensi karakteristik Balita Berdasarkan Usia, dan Jenis Kelamin di Puskesmas Kemiling Bandarlampung...33 5. Distrubusi frekuensi Kebiasaan Merokok di Puskesmas Kemiling Bandarlampung...34 6. Distrubusi frekuensi Status Gizi Balita di Puskesmas Kemiling Bandarlampung...35 7. Kebiasaan Merokok di dalam Rumah sebagai faktor risiko Kejadian ISPA pada Balita diwilayah kerja Puskesmas Kemiling Bandar Lampung...36 8. Status Gizi sebagai faktor risiko Kejadian ISPA pada Balita diwilayah kerja Puskesmas Kemiling Bandarlampung...37

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Surat Izin Penelitian Lampiran 2. Persetujuan Etik Lampiran 3. Informed Consent Lampiran 4. Kuesioner Penelitian Lampiran 5. Hasil SPSS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering dijumpai dengan manifestasi ringan sampai berat. Infeksi yang mengenai jaringan paru-paru atau ISPA berat, dapat menjadi pneumonia (Depkes RI, 2009). Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) 2005, setiap anak diperkirakan mengalami 3 sampai 6 episode penyakit ISPA setiap tahunnya, berarti setiap seorang balita rata-rata mendapat serangan ISPA 3-6 kali per tahun. Di Indonesia, ISPA berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit (Sudarajad, 2010). ISPA merupakan penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat Provinsi Lampung (18,8%). ISPA paling banyak ditemukan di Bandar Lampung yaitu 13,1%. Sebanyak 14,4% penderita ISPA pada usia 0 5 tahun (Kemenkes RI, 2013). Terjadinya ISPA dipengaruhi atau ditimbulkan oleh tiga hal yaitu adanya mikrobakteri (terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia), keadaan daya tahan tubuh (status nutrisi, imunisasi) dan keadaan lingkungan (rumah yang kurang ventilasi, lembab, basah, dan kepadatan penghuni)

2 (Trisnawati & Juwarni, 2012). Berdasarkan peraturan Mentri Kesehatan tahun 2011, setiap rumah wajib memiliki ventilasi minimum 10% dari luas rumah untuk memenuhi persyaratan rumah sehat. Selain itu, faktor risiko yang secara umum dapat menyebabkan terjadinya ISPA adalah keadaan sosial ekonomi menurun, gizi buruk, pencemaran udara dan asap rokok (Trisnawati & Juwarni, 2012). Pada keluarga yang merokok, secara statistik balitanya mempunyai kemungkinan terkena ISPA 2 kali lipat dibandingkan dengan balita dari keluarga yang tidak merokok. Selain itu dari penelitian lain didapat bahwa episode ISPA meningkat 2 kali lipat akibat orang tua merokok (Hidayat, 2009) Asap rokok menyebabkan berbagai masalah kesehatan pada bayi dan anakanak, termasuk serangan lebih sering dan parah asma, infeksi pernapasan, infeksi telinga, dan sudden infant death syndrome (SIDS) (Centers for Disease Control and Prevention, 2014). Asap rokok yang dihisap, baik oleh perokok aktif maupun perokok pasif akan menyebabkan fungsi ciliary terganggu, volume lendir meningkat, humoral terhadap antigen diubah, serta kuantitatif dan kualitatif perubahan dalam komponen selular terjadi. Beberapa perubahan dalam mekanisme pertahanan tidak akan kembali normal sebelum terbebas dari paparan asap rokok. Sehingga selama penderita ISPA masih mendapatkan paparan asap rokok, proses pertahanan tubuh terhadap infeksi tetap akan terganggu dan akan memperlama waktu yang dibutuhkan untuk penyembuhannya (Marcy TW, 2007).

3 Menurut Yulia Efni pada tahun 2016 status gizi merupakan faktor risiko kejadian ISPA, balita yang status gizinya kurang 9,1 kali berisiko ISPA dibandingkan dengan balita yang status gizinya baik. Malnutrisi adalah faktor risiko yang paling penting untuk terjadinya kasus ISPA pada balita yang disebabkan oleh asupan yang kurang memadai. Malnutrisi akan menghambat pembentukan antibodi yang spesifik dan juga akan mengganggu pertahanan paru. Nutrisi pada anak menentukan kecenderungan terkena ISPA pada anak-anak. Nutrisi yang baik akan membentuk daya tahan tubuh yang baik pada anakanak terhadap lingkungan. Sebaliknya, anak-anak dengan gizi buruk tidak mengembangkan daya tahan tubuh yang kuat sehingga anak-anak ini cenderung memiliki penyakit, terutama infeksi (Elsanita W, 2015) Pada tahun 2016, di Bandar Lampung ini jumlah kasus pneumonia jika dilihat berdasarkan wilayah kerja puskesmas, cakupan penemuan kasus Pneumonia Balita dengan persentase tertinggi ada di Puskesmas Kemiling, Panjang, Gedong Air, Simpur dan Sukaraja. sementara terendah di Pinang Jaya, Smur Batu dan Palapa. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis ingin melakukan penelitian tentang kebiasaan merokok di dalam rumah dan status gizi kurang sebagai faktor risiko kejadian ISPA pada anak umur 1-5 tahun di Puskesmas Kemiling, Bandar Lampung.

4 1.2 Rumusan masalah Berdasarkan kajian latar belakang diatas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah Apakah kebiasaan merokok di dalam rumah dan status gizi kurang pada anak umur 1-5 tahun merupakan faktor risiko terhadap kejadian ISPA pada anak umur 1-5 tahun di Puskesmas Kemiling? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar resiko kebiasaan merokok di dalam rumah dan status gizi kurang terhadap kejadian ISPA pada anak umur 1-5 tahun di Puskesmas Kemiling. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Mengetahui persentase balita yang terpapar rokok di Puskesmas Kemiling tahun 2017. b. Mengetahui persentase balita dengan gizi kurang di Puskesmas Kemiling tahun 2017. c. Mengetahui besar risiko status gizi kurang terhadap kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Kemiling tahun 2017. d. Mengetahui besar risiko kebiasaan merokok terhadap kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Kemiling tahun 2017.

5 1.4 Manfaat Penilitian 1.4.1 Bagi Peneliti Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai data dasar bagi penelitian yang akan datang sehubungan dengan kejadian ISPA pada balita, khususnya penelitian yang berhubungan dengan kebiasaan merokok kepala keluarga dan status gizi pada balita. 1.4.2 Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi masyarakat terutama orang tua dari pasien ISPA tentang kejadian merokok dan status gizi yang merupakan faktor terjadinya ISPA pada balita. 1.4.3 Bagi Institusi Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi tenaga institusi untuk dapat memberikan edukasi kepada orang tua pasien usia 1-5 tahun yang terdiagnosis ISPA agar dapat mengurangi atau berhenti merokok agar mengurangi paparan asap rokok terhadap balita dan juga dapat memperbaiki status gizi pada balita agar tidak rentan terkena infeksi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut 2.1.1 Pengertian ISPA ISPA didefinisikan sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh agen infeksius yang ditularkan dari manusia ke manusia. Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari (World Health Organization, 2007). ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari. Yang dimaksud dengan saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung sampai gelembung paru, beserta organ-organ disekitarnya seperti : sinus, ruang telinga tengah, dan selaput paru. Istilah ISPA meliputi tiga unsur yaitu: Infeksi, Saluran Pernafasan dan Akut, dengan pengertian sebagai berikut (Depkes RI, 2004) : 1. Infeksi Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

7 2. Saluran Pernafasan Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan ( respiratory tract). 3. Akut Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. 2.1.2 Gejala Klinis ISPA Menurut Depkes RI (2010) tanda dan gejala infeksi saluran pernafasan akut dapat berupa batuk, sulit bernafas, sakit teggorokan, pilek, panas atau demam, dan sakit kepala. Klasifikasi Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) menurut Depkes RI (2009): 1. ISPA ringan adalah seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk, pilek dan sesak. 2. ISPA sedang apabila timbul gejala-gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari 39 derajat Celcius dan bila bernafas mengeluarkan suara

8 mengorok. 3. ISPA berat apabila kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun. 2.1.3 Patogenesis ISPA Penyakit ISPA disebabkan oleh virus dan bakteri yang disebarkan melalui saluran pernafasan yang kemudian dihirup dan masuk ke dalam tubuh, sehingga menyebabkan respon pertahanan bergerak yang kemudian masuk dan menempel pada saluran pernafasan yang menyebabkan reaksi imun menurun dan dapat menginfeksi saluran pernafasan yang mengakibatkan sekresi mucus meningkat dan mengakibatkan saluran nafas tersumbat dan mengakibatkan sesak nafas dan batuk produktif. Ketika saluran pernafasan telah terinfeksi oleh virus dan bakteri yang kemudian terjadi reaksi inflamasi yang ditandai dengan rubor dan dolor yang mengakibatkan aliran darah meningkat pada daerah inflamasi dengan tanda kemerahan pada faring mengakibatkan hipersensitifitas meningkat dan menyebabkan timbulnya nyeri. Tanda inflamasi berikutnya adalah kalor, yang mengakibatkan suhu tubuh meningkat dan menyebabkan hipertermi yang mengakibatkan peningkatan kebutuhan cairan yang kemudian mengalami dehidrasi. Tumor, adanya pembesaran pada tonsil yang mengakibatkan kesulitan dalam menelan yang menyebabkan intake nutrisi dan cairan inadekuat. Fungsiolesa, adanya kerusakan struktur lapisan dinding saluran

9 pernafasan sehingga meningkatkan kerja kelenjar mucus dan cairan mucus meningkat yang menyebabkan batuk. Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mucus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga menimbulkan sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Dampak infeksi sekunder bakteri pun bisa menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas, setelah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (Sylvia, 2005). 2.1.4 Faktor Resiko ISPA Menurut Nastiti (2008), Terdapat banyak faktor yang mendasari perjalanan penyakit ISPA pada anak. Hal ini berhubungan dengan host, agent penyakit dan environment. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kejadian ISPA antara lain : 1. Usia ISPA dapat ditemukan pada 50% anak berusia di bawah 5 tahun dan 30% anak berusia 5-12 tahun. 2. Pemberian air susu ibu (ASI) Air susu ibu memiliki nilai proteksi, terutama 1 bulan pertama. Lopez mendapatkan bahwa bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih

10 rentan dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI paling lama 1 bulan. 3. Pendidikan orang tua Tingkat pendidikan ini berhubungan erat dengan keadaan social ekonomi, dan jug berkaitan dengan pengetahuan orang tua. Kurangnya pengetahuan menyebabkan sebagian kasus ISPA tidak diketahui oleh orang tua dan tidak diobati. 4. Status sosial ekonomi Berpengaruh terhadap pendidikan dan factor-faktor lain seperti nutrisi, lingkungan, dan penerimaan layanan kesehatan. Anak yang berasal dari keluarga dengan status social ekonomi rendah mempunyai risiko lebih besar. 5. Penggunaan fasilitas kesehatan Angka kematian untuk anak pneumonianya yang tidak diobati sebesar 10-20%. Penggunaan fasilitas kesehatan di sebagian Negara berkembang masih rendah. 6. Ventilasi Rumah Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar dan pengeluaran udara kotor secara alamiah atau mekanis (Keman, 2004). Ventilasi disamping berfungsi sebagai lubang pertukaran udara juga dapat berfungsi sebagai lubang masuknya cahaya alami atau matahari ke dalam ruangan. Kurangnya udara segar yang masuk ke dalam ruangan dan kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan resiko kejadian ISPA. Adanya pemasangan ventilasi

11 rumah merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA (Nindya & Sulistyorini, 2005). Ventilasi merupakan determinan dari kejadian ISPA pada anak balita. Adapun besarnya risiko untuk terjadinya ISPA pada anak balita yang menempati rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat sebesar 2,789 kali lebih besar dari pada anak balita yang menempati rumah dengan ventilasi yang memenuhi syarat (Chandra, 2007). 7. Kepadatan Hunian Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya. Artinya, luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabkan kurangnya oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif bergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun (Yusuf, 2008).

12 8. Pencahayaan Untuk memperoleh cahaya yang cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela minimum 20% luas lantai. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri patogen di dalam rumah misanya, basil TB. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih 60 lux. Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya. Cahaya yang sama apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan kaca berwarna (Suryo, 2010). 9. Kebiasaan merokok Merokok diketahui mempunyai hubungan dalam meningkatkan resiko untuk terkena penyakit kanker paru-paru, jantung koroner dan bronkitis kronis. Dalam satu batang rokok yang dihisap akan dikeluarkan sekitar 4.000 bahan kimia berbahaya, di antaranya yang paling berbahaya adalah Nikotin, Tar, dan Carbon Monoksida (CO). Asap rokok merupakan zat iritan yang dapat menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan. Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia beracun dan bahan-bahan yang dapat menimbulkan kanker (karsinogen). Bahkan bahan berbahaya d an racun dalam rokok tidak hanya mengakibatkan gangguan kesehatan pada orang yang merokok, namun juga kepada orang-orang di sekitarnya yang

13 tidak merokok yang sebagian besar adalah bayi, anak-anak dan ibuibu yang terpaksa menjadi perokok pasif oleh karena ayah atau suami mereka merokok di rumah. Kebiasaan merokok di dalam rumah dapat meningkatkan resiko terjadinya ISPA sebanyak 2,2 kali (Suryo, 2010). 10. Berat badan lahir rendah (BBLR) Berat badan lahir memiliki peran penting terhadap kematian akibat ISPA. Di negara berkembang, kematian akibat pneumonia berhubungan dengan BBLR. Sebanyak 22% kematian pada pneumonia di perkirakan terjadi pada BBLR. Meta-analisis menunjukkan bahwa BBLR mempunyai RR kematian 6,4 pada bayi yang berusia di bawah 6 bulan, dan 2,9 pada bayi berusia 6-11 bulan. 11. Imunisasi Campak, pertusis dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan resiko terkena ISPA dan memperberat ISPA itu sendiri, tetapi sebetulnya hal ini dapat di cegah. Di india, anak yang baru sembuh dari campak, selama 6 bulan berikutnya dapat mengalami ISPA enam kali lebih sering dari pada anak yang tidak terkena campak. Campak, pertusis, dan difteri bersama-sama dapat menyebabkan 15-25% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan ISPA. Vaksin campak cukup efektif dan dapat mencegah kematian hingga 25% usaha global dalam meningkatkan cakupan imunisasi campak dan pertusis telah mengurangi angka kematian ISPA akibat kedua

14 penyakit ini. Vaksin pneomokokus dan H. Influenzae type B saat ini sudah di berikan pada anak anak dengan efektivitas yang cukup baik. 12. Status gizi Status gizi anak merupakan faktor resiko penting timbulnya pneumonia. Gizi buruk merupakan faktor predisposisi terjadinya ISPA pada anak. Hal ini di karenakan adanya gangguan respon imun. Vitamin A sangat berhubungan dengan beratnya infeksi. Grant melaporkan bahwa anak dengan defisiensi vitamin A yang ringan mengalami ISPA dua kali lebih banyak daripada anak yang tidak mengalami defisiensi vitamin A. Oleh karena itu, selain perbaikan gizi dan perbaikan ASI, harus di lakukan pula perbaikan terhadap defisiensi vitamin A untuk mencegah ISPA. 2.1.5 Hubungan Asap Rokok dengan ISPA Terjadinya Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dipengaruhi atau ditimbulkan oleh tiga hal yaitu adanya kuman (terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia), keadaan daya tahan tubuh (status nutrisi, imunisasi) dan keadaan lingkungan (r umah yang kurang ventilasi, lembab, basah, dan kepadatan penghuni) (Trisnawati & Juwarni, 2012). Berdasarkan peraturan No. 1077/MENKES/PER/V/2011, setiap rumah wajib memiliki ventilasi minimum 10% dari luas rumah untuk memenuhi persyaratan rumah sehat (Rahmayatul F, 2013).

15 Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bahan lainya yang dihasilkan dari tanamam Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. (Tendra H, 2003) Menurut data WHO, indonesia merupakan negara ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia setelah Cina dan India. Peningkatan konsumsi rokok berdampak pada makin tingginya beban penyakit akibat rokok dan bertambahnya angka kematian akibat rokok. (Kementerian Kesehatan RI, 2013) Menurut Alamsyah (2007) tipe perokok dapat diklasifikasikan menjadi 3 menurut jumlah rokok yang dihisap, antara lain: a. Perokok ringan menghisap 1-10 batang setiap hari b. Perokok sedang menghisap 11-20 batang setiap hari c. Perokok ringan menghisap lebih dari 20 batang setiap hari Analisis WHO, menunjukkan bahwa efek buruk asap rokok lebih besar bagi perokok pasif dibandingkan perokok aktif. Ketika perokok membakar sebatang rokok dan menghisapnya, asap yang dihisap oleh perokok tersebut asap utama ( mainstream), dan asap yang keluar dari ujung rokok (bagian yang terbakar) dinamak an sidestream smoke atau asap samping. Asap samping ini terbukti mengandung lebih banyak

16 hasil pembakaran tembakau dibandingkan asap utama. Asap ini mengandung karbon monoksida 5 kali lebih besar, tar dan nikotin 3 kali lipat, amonia 46 kali lipat, nikel 3 kali lipat, nitrosamin sebagai penyebab kanker kadarnya mencapai 50 kali lebih besar pada asap sampingan pada kadar asap utama (WHO,2008). Patogenesis efek merokok pada sistem kekebalan tubuh tidak dipahami dengan baik. Beberapa peneliti telah menunjukkan peran antigenik zat dalam merokok, sehingga menghasilkan perkembangan kompleks antibodi antigen. Kompleks ini mampu menyebabkan perubahan pulmoner dan perifer dalam respon sistem humoral dan cellmediated. Hersey et al dan Costabel et al mengemukakan bahwa kompleks antibodi antigen dapat menginduksi perubahan status kekebalan ludah dan cairan bronchoalveolar lokal dan predisposisi infeksi saluran pernafasan. Merokok, melalui efek nikotin, dapat merangsang pelepasan katekolamin dan kortikosteroid. Mediator ini dapat meningkatkan limfosit CD8 + dalam sistem yang dimediasi seluler dan menekan pertahanan induk terhadap infeksi. Penting untuk diketahui bahwa banyak kelainan imunologis pada perokok sembuh dalam waktu 6 minggu setelah penghentian merokok, mendukung gagasan bahwa penghentian merokok efektif dalam waktu yang relatif singkat dalam pencegahan infeksi (Lidia Arcavi, MD & Neal L. Benowitz, 2013).

17 Asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah yang satu atap dengan balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal yang serius serta akan menambah resiko kesakitan dari han toksik pada anakanak. Paparan yang terus-menerus akan menimbulkan gangguan pernafasan terutama memperberat timbulnya infeksi saluran pernafasan akut dan gangguan paru-paru pada saat dewasa. Semakin banyak rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar memberikan resiko terhadap kejadian ISPA, khususnya apabila merokok dilakukan oleh ibu bayi (Depkes RI, 2002). 2.1.6 Hubungan Status Gizi dengan ISPA Berdasarkan model yang telah dikaji UNICEF, bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan anak yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung, yakni penyebab langsung yang mempengaruhi status gizi individu yaitu faktor makanan dan penyakit infeksi dan keduanya saling mempengaruhi. Penyakit infeksi seperti diare dan ISPA (Infeksi Salurat Pernafasan Akut) mengakibatkan asupan zat gizi tidak dapat diserap tubuh dengan baik. Faktor penyebab tidak langsung adalah sanitasi dan penyediaan air bersih, kebiasaan cuci tangan dengan sabun, buang air besar di jamban, tidak merokok didalam ruangan. Selanjutnya ketersediaan pangan, pelayanan kesehatan dan pola asuh dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan keluarga (Depkes RI, 2011).

18 Zat gizi yang diperoleh dari asupan makanan memiliki efek kuat untuk reaksi kekebalan tubuh dan resistensi terhadap infeksi. Status gizi yang kurang, dapat menyebabkan ketahanan tubuh menurun dan virulensi patogen lebih kuat sehingga menyebabkan keseimbangan yang terganggu dan akan terjadi infeksi, sedangkan salah satu determinan utama dalam mempertahankan keseimbangan tersebut adalah status gizi (Rodriguez, 2011). Protein merupakan zat gizi yang sangat diperlukan bagi pembentukan enzim yang berperan dalan metabolisme tubuh, termasuk sitem imun. Antibodi globulin gamma yang biasanya disebut dengan imunoglobilin merupakan 20 % dari seluruh energi plasma. Semua immunoglobulin terdiri dari rantai polipeptida yang mengandung bermacam-macam asam amino-asam amino yang spesifik. Salah satu asam amino yang berperan dalam sistem imun adalah asam amino treonin yang memiliki kemampuan untuk mencegah masuknya virus dan bakteri terutama pada saluran nafas dan paru-paru. Yakni berupa sekresi lendir yang disebut glikoprotein dan immunoglobulin A. Pada penderita yang mengalami kekurangan asam amino treonin akan mengalami kemunduran sistem kekebalan tubuh. Kekurangan protein yang terjadi dapat menurunkan sistem imun yang pada akhirnya akan menyebabkan tubuh lebih mudah terpapar penyakit infeksi. Selain itu, kekurangan protein umumnya dapat juga berpengaruh terhadap metabolisme vitamin dan mineral yang berperan sebagai anti oksidan tidak dapat berperan secara maksimal, akibatnya baik flora normal maupun bakteri dari luar dapat dengan

19 mudah berkembang dan virulensi nya meningkat, sehingga menyebabkan timbulnya gejala penyakit, termasuk infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) (Andarini et al, 2005). Menentukan status gizi balita harus ada ukuran baku yang sering disebut reference. Pengukuran baku antropomentri yang sekarang digunakan di indonesia adalah WHO-NCHS. Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Variabel umur, BB dan TB ini disajikan dalam bentuk tiga indikator antropometri, yaitu : berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Berat badan yang rendah dapat disebabkan karena pendek (masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare atau penyakit infeksi lain (masalah gizi akut) (Depkes, 2013). Menurut Depkes RI (2005) Parameter BB/TB berdasarkan Z -Score diklasifikasikan menjadi : a. Gizi buruk (Sangat Kurus) : <-3 SD b. Gizi kurang (Kurus) : -3 SD sampai <-2 SD c. Gizi Baik (Normal) : -2 SD sampai + 2 SD d. Gizi lebih (Gemuk) : >+ 2 SD

20 2.2 Kerangka Teori Berdasarkan beberapa teori dari hasil-hasil terdahulu. Adapun kerangka teori dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Usia Jenis kelamin Status gizi Daya Tahan Tubuh Pemberian ASI Imunisasi BBLR Pendidikan orang tua ISPA Status sosial ekonomi Pengetahuan Penggunaan fasilitas kesehatan Ventilasi rumah Kebiasaan merokok keluarga Polusi Asap Dalam Ruangan Keterangan: variabel yang diteliti Gambar 2.1 Kerangka Teori Nastiti N, (2008).

21 2.3 Kerangka Konsep Kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Variabel Independen Variabel Dependen Kebiasaan merokok keluarga ISPA Status gizi Gambar 2.2 Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian menggambarkan bahwa status keluarga perokok dapat mempengaruhi penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada balita. 2.4 Hipotesis Bedasarkan kerangka konsep diatas maka didapatkan hipotesis sebagai berikut : 1. Balita yang terpapar asap rokok di dalam rumah berisiko lebih besar menderita ISPA dibandingkan dengan balita yang tidak terpapar asap rokok di dalam rumah di wilayah kerja Puskesmas Kemiling Bandarlampung; 2. Balita yang memiliki status gizi kurang berisiko lebih besar menderita ISPA dibandingkan dengan balita status gizi balita baik di wilayah kerja Puskesmas Kemiling Bandarlampung

BAB III METODE PENILITIAN 3.1 Desain Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah analaitik rancangan penelitian berupa case control dengan pendekatan retrospektif. Penelitian case control atau kasus kontrol merupakan suatu penelitian (survei) analitik yang menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan menggunakan pendekatan retrospektif. Pada studi kasus-kontrol, observasi atau pengukuran terhadap variabel bebas dan tergantung tidak dilakukan dalam satu waktu, melainkan variabel tergantug (efek) dilakukan pengukuran terlebih dahulu, baru meruntut kebelakang untuk mengukur variabel bebas (faktor risiko). Studi kasus-kontrol sering disebut studi retrospektif karena faktor risiko diukur dengan melihat kejadian masa lampau untuk mengetahui ada tidaknya faktor risiko yang dialami (Saryono,2010). 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian dilakukan di Puskesmas Kemiling 3.2.2 Waktu penelitian Waktu penelitian dimulai bulan Agustus sampai dengan November 2018.

23 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian Semua orang tua yang mempunyai anak usia 1-5 tahun dan berada di wilayah kerja Puskesmas Kemiling pada bulan Agustus sampai dengan November 2018 3.3.2 Sampel Penelitian Sampel dalam penelitian ini terdiri dari kasus yaitu balita yang mengalami ISPA dan kontrol yaitu balita yang tidak mengalami ISPA. Cara perhitungan besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Odds Ratio (OR) dengan rumus: = Zα 2PQ + Zβ + ( ) (1 ) + ( ) Catatan: Q 1 = (1 P 1 ); Q 2 = (1 P 2 ); P = ½ (P 1 + P 2 ); Q = ½ (Q 1 + Q 2 Keterangan: OR = Odds Ratio penelitian terdahulu (2,76). P 1 = proporsi paparan pada kelompok kasus (Suhandayani I, 2006). P 2 = proporsi paparan pada kelompok control (Suhandayani I, 2006). n 1, n 2 = perkiraan besar sampel. α = tingkat kemaknaan (0,05). zα = deviat baku normal untuk α (1,960). zβ = power penelitian (0,842) (Sudigdo Sastroasmoro dan Sofyan Ismael, 2002).

24 Tabel 1. Jumlah sampel dan proporsinya untuk kebiasaan merokok dan status gizi kurang sebagai faktor risiko kejadian ispa pada balita Variabel Independen Status merokok Variable Dependen P1 P2 Sampel Sumber ISPA 0.55 0.31 68 (Suhandayani I, 2006) Status gizi ISPA 0.306 0.694 25 (Widya, 2014) = Zα 2PQ + Zβ + ( ) P 2 = 0,31 OR = 2,76 P 1 = OR x P 2 (1- P 2 ) + ( OR x P 2 ) = 2,76 x 0,32 (1 0,31) + (2,76 x 0,31) = 0,86 1,55 = 0,55 Q 1 = 1 P 1 = 0,45 Q 2 = 1- P 2 = 0,69 P = (P 1 + P 2 ) = 0,43 Q = (Q 1 + Q 2 ) = 0,57 n 1 n 2 = (zα PQ + Zβ P 1 Q 1 + P 2 Q 2 ) (P 1 P 2 ) 2 n 1 n 2 = (1,96 2.0,43.0,57 + 0,842 0,55.0,45 + 0,31.0,69) (0,55 0,31) 2

25 = 3,77 0,06 = 62 Dengan taraf kepercayaan sebesar 95% ( zα = 1,960), power sebesar 80% ( zβ = 0,842) serta nilai OR dan proporsi paparan pada kelompok kontrol (P 2 ) dari penelitian terdahulu, maka besar sampel penelitian ini adalah 62 sampel. Dengan perbandingan 1:1, maka diperoleh: Sampel kasus: balita pengunjung Puskesmas Kemiling yang menderita ISPA bulan Agustus sampai dengan November 2018 yang berjumlah 62 balita. Jumlah sampel ditambah 10% untuk menghindari kesalahan analisis akibat adanya drop out. sehingga besar sampel minimal adalah 68. Sampel kontrol: balita pengunjung Puskesmas Kemiling yang tidak menderita ISPA bulan Agustus sampai dengan November 2018 yang berjumlah 68 balita. 3.3.3 Teknik Sampling Teknik Sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dengan kriteria yang dibuat oleh peneliti sendiri yang sebelumnya sudah diketahui karakteristik dari sampel tersebut, dimaksudkan untuk mempermudah dalam pengambilan sampel penelitian adapun kriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

26 3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria inklusi: 1) Anak dengan usia 1-5 tahun (balita) di wilayah kerja Kemiling 2) Balita dengan status gizi kurang 3) Balita yang mendapatkan ASI eksklusif 4) Balita dengan riwayat imunisasi lengkap 5) Pendidikan orang tua minimal SMP 3.4.2 Kriteria eksklusi: 1) Orang tua yang tidak bersedia menjadi responden 3.5 Variabel Penelitian 3.5.1 Variabel Bebas (Independent) Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu kebiasaan merokok orang tua dan status gizi pada balita. Untuk kebiasaan merokok orang tua, pengukurannya dengan menggunakan kuesioner yang diisi orang tua anak pasien ISPA dan anak non ISPA. Sedangkan untuk status gizi balita, pengukurannya dengan menggunakan indeks antropometri dan pengukuran dengan data catatan registrasi MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit) di Puskesmas Kemiling Bandar Lampung 3.5.2 Variabel Terikat (Dependent) Variabel terikat pada penelitian ini yaitu kejadian ISPA di Puskesmas Kemiling Bandar Lampung.

27 3.6 Definisi Operasional Tabel 2. Definisi Operasional No Variabel Definisi Operasional 1 ISPA ISPA adalah penyakit infeksi saluran pernapasan yang bersifat akut. 2 Kebiasaan merokok Kebiasaan merokok keluarga di dalam rumah. Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Catatan rekaman medik (sumber: Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Puskesmas Kemiling) Wawancara 0 = Tidak ISPA 1= ISPA Kuisioner Wawancara 0 = Tidak ada 1 = Ada Nominal Nominal 3 Status gizi balita Status gizi adalah diukur dengan satuan kg. Standar yang digunakan adalah standar Baku Antropometri menurut WHO- NCHS sumber Depkes RI 2004. Catatan rekaman medik (sumber: Puskesmas Kemiling) Observasi 0 = Gizi baik 1 = Gizi kurang Nominal 3.7 Cara Pengumpulan Data 3.7.1 Alat 1. Dokumentasi yaitu alat pengumpul data dengan dokumen untuk mencatat data yang dibutuhkan dalam penelitian. Data yang diambil diperoleh dengan alat dokumentasi dalam penelitian ini berupa daftar anak yang menderita ISPA usia 12 bulan 60 bulan (5 tahun) yang berobat ke Puskesmas Kemiling 2018. 2. Kuesioner yang diisi oleh orang tua anak pasien ISPA dan anak non ISPA. Kuesioner sebelumnya dilakukan uji validitas dengan metode

28 expert validity (uji validitas pakar) dan uji reabilitas dengan menggunakan metode re-test sehingga kuesioner dapat digunakan sebagai alat ukur yang valid dan reabel. 3. Catatan registrasi MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit ) di Puskesmas Kemiling Bandar Lampung 3.7.2 Jenis Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang dimana peneliti mengisi kuesioner berdasarkan hasil wawancara dengan orang tua anak pasien ISPA dan anak non ISPA. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah catatan medik pasien dan catatan registrasi MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit) di Puskesmas Kemiling Bandar Lampung. 3.7.3 Cara Kerja Pengumpulan data diambil dari jumlah seluruh pasien anak penderita ISPA yang berkunjung dan mendapat perawatan di Puskesmas Kemiling sebagai kelompok kasus dan anak yang tidak terdiagnosis ISPA sebagai kelompok kontrol. Pengumpulan data ini dilakukan dalam periode 2018 sebagaimana pada bagan berikut:.

29 a. Kelompok Kassus Rekam medik ISPA Informed Concent Mengisi kuesioner Kebiasaan Merokok Status Gizi b. Kelompok Kontrol Rekam medik TIDAK ISPA Informed Concent Mengisi kuesioner Kebiasaan Merokok Status Gizi

30 3.8 Analisa Data Data dikumpulkan dan dianalisis serta disajikan dalam tabel distribusi dan grafik kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan SPSS dan diinterpretasi: a. Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan dengan tujuan melihat gambaran distribusi frekuensi dan proporsi dari variabel independent dan variabel dependent. b. Analisis Bivariat Analisis Bivariat dilakukkan dengan tujuan untuk melihat kemaknaan dan besarnya hubungan variabel independent dan variabel dependent. Metode statistik yang digunakan untuk melihat kemaknaan dan besarnya hubungan antara variabel tadi maka dilakukan uji Chi Square (X2). Sedangkan untuk meihat kejelasan tentang dinamika hubungan antara faktor resiko dan faktor efek dilihat melalui nilai rasio odds (OR). Rasio Odds (OR) dalam hal ini adalah untuk menunjukan rasio antara banyaknya kasus yang terpapar dan kasus tidak terpapar. 3.9 Etika Penelitian Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan etik oleh Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dengan No: 3922/UN26.18/PP.05.02.00/2018.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil penelitian pada kelompok tidak ISPA lebih banyak responden tidak memiliki kebiasaan merokok di dalam rumah, sedangkan pada kelompok yang menderita ISPA terdapat lebih banyak responden dengan kebiasaan merokok di dalam rumah 2. Hasil penelian pada kelompok tidak ISPA lebih banyak balita memiliki status gizi baik, sedangkan pada kelompok ISPA terdapat lebih banyak balita memiliki status gizi kurang. 3. Kebiasaan Merokok di dalam Rumah merupakan faktor risiko Kejadian ISPA pada Balita diwilayah kerja Puskesmas Kemiling Bandarlampung (p value= 0,001;OR= 3,36) 4. Status gizi kurang merupakan faktor risiko Kejadian ISPA pada Balita diwilayah kerja Puskesmas Kemiling Bandarlampung (p value= 0,006; OR= 2,78)

51 5.2 Saran Berdasarkan pada kesimpulan yang telah diuraikan oleh penulis di atas, saran yang mungkin dapat dijadikan pertimbangan dan masukkan adalah sebagai berikut: 5.2.1 Bagi Tenaga Kesehatan 1. Dapat dijadikan materi bebas asap rokok keluarga pada konseling dan edukasi pelayanan ISPA oleh tenaga medis. 2. Diharapkan tenaga kesehatan dapat meningkatkan pelayanan, khususnya pemantauan status gizi anak dan upaya deteksi dini penyimpangan perkembangan anak secara rutin. 5.2.2 Bagi Masyarakat 1. Agar masyarakat lebih memperhatikan kembali tempat kebiasaan merokok dengan menggunakan ruang-ruang yang telah disediakan 2. Agar masyarakat lebih meningkatkan pengetahuan tentang status gizi sehingga cenderung akan memperhatikan status gizi yang ada pada keluarganya 5.2.3 Bagi Orang Tua 1. Orang tua yang memiliki kebiasaan merokok agar tidak merokok didalam rumah, agar tidak menjadi penyebab timbulnya ISPA. 2. Diharapkan orang tua dapat menambah wawasan tentang kebutuhan nutrisi anak dan perkembangan anak, sehingga orang tua dapat menerapkan pola asuh yang lebih baik, dapat memberikan stimulasi perkembangan anak secara optimal dan

52 menjamin tubuh kembang anak dapat berlangsung dengan selaras baik dari segi fisik, mental maupun psikososial. 3. Agar meningkatkan pemberian asupan makanan melalui pemanfaatan makanan lokal sehingga dapat mencukupi asupan makanan khususnya bagi balita.

DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S. 2010. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Alamsyah, R. 2007. Pengaruh kebiasaan merokok terhadap keparahan penyakit periodental remaja sma di kota medan. Tesis. Program studi pendidikan dokter gigi fakultas kedokteran gigi universitas sumatera utara. Andarini, S., Asmika., dan Noviana A., Hubungan antara status gizi dan tingkat konsumsi energi, protein, dengan frekuensi kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita diwilayah kerja puskesmas gondanglegi, kecematan gondang legi kabupaten Malang. Tesis. Program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran universitas gajah mada. Antonio, L. 2014. Passive smoking and children's health. Scientific research. (14) : 08-14. Budiman, C. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Centers for Disease Control and Prevention.2014.Health Effects of Secondhand Smoke - Smoking & Tobacco Use. Depkes RI. 2003. Analisis antropometri balita. Jakarta: Kementerian kesehatan republik indonesia. Depkes RI. 2009. Riset kesehatan dasar provinsi lampung. Depkes RI. 2013. Profil kesehatan indonesia. Jakarta: Kementerian kesehatan republik indonesia. Egbe, C. O. Petersen, I. & Meyer-weitz, A. 2016. Knowledge of the Negative Effects of Cigarette Smoking on Health and Well-Being among Southern Nigerian Youth. International Journal of Social Science and Humanity. Hersey P, Prendergast D, Edwards A. 1983. Effects of cigarette smoking on the immune system: fol- low-up studies in normal subjects after cessation of smoking. Med J Aust.

Hidayat, A. 2008. Ilmu kesehatan anak untuk pendidikan kebidanan. Yogyakarta: Salemba medika. Keman, S. 2004. Pengaruh Lingkungan Terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2013. InfoDATIN : Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Nastiti, N. 2010. Buku ajar respirologi anak. Edisi 1. Jakarta: Badan penerbit IDAI. Nindya, TS dan Sulistyorini, L. 2005. Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Anak Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Rahmayatul, F. 2013. Hubungan lingkungan dalam rumah terhadap ispa. Skripsi. Rodríguez., L.Cervantes., dan E. Ortiz, R.2011. Malnutrition and Gastrointestinal and Respiratory Infections in Children: A Public Health Problem. International Journal Of Environment Research And Public Health. Riskesdas. 2013. Riset kesehatan dasar. Salawati, T. & Amalia, R. 2010. Perilaku Merokok Di Kalangan Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Semarang. Prosiding Seminar Nasional UNIMUS. Suhandayani, I. 2006. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di puskesmas pati kabupaten pati. Skripsi. program studi kesehatan masyarakat fakultas universita negeri semarang. Suhardjo. 2003. Berbagai cara pendidikan gizi. Jakarta: Bumi aksara. Supariasa, B. 2012. Penilaian status gizi. Jakarta: EGC. Suryo, J. 2010. Herbal Penyembuh Gangguan Sistem Pernafasan. Yogyakarta : PT Bentang Pustaka. Sylvia, Price A. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis proses proses Penyakit ; Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. World Health Organization. 2007. Infection prevention and control of epidemicand pandemic-prone acute respiratory diseases in health care.

Trisnawati, Y. & Juwarni, 2012. Hubungan Perilaku Merokok Orang Tua dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Rembang Kabupaten Purbalingga. (Depkes 2002). hal.113. Yusuf, NA dan Sulistyorini, L. 2008. Hubungan sanitasi rumah secara fisik dengan kejadian ISPA pada anak Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan.