BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang bersifat multifaktoral dan salah satu penyebabnya adalah gangguan otak. Skizofrenia menduduki peringkat ke-empat disamping depresi unipolar, alkoholik, dan gangguan bipolar. Penderita skizofrenia diperkirakan sepenuhnya akan mengalami serangan ulang 95% penderita mengalami kronik dan gejala-gejala sepanjang hidupnya. (Stuard & Sundden, 1998). Seseorang yang mengalami gangguan jiwa berat (psikosis) kepribadiannya akan terganggu dan selanjutnya akan menyebabkan kurang mampu menyesuaikan diri dengan wajar, serta tidak sanggup memahami problemnya. Seringkali orang yang mengalami gangguan jiwa berat, tidak merasa bahwa dirinya sakit tetapi sebaliknya ia menggangap dirinya normal saja bahkan lebih baik, lebih unggul dan lebih penting dari orang lain. (Zakiyah Darajat. 1983) Gangguan jiwa berat dapat terjadi pada setiap orang, yang salah satunya disebabkan oleh karena adanya gangguan-gangguan yang telah berlarut-larut, sehingga mencapai puncaknya tanpa suatu penyelesaian yang wajar atau disebabkan hilangnya keseimbangan mental secara menyeluruh akibat suasana lingkungan yang sangat menekan, keteganggan batin dan sebagainya. (Zakiyah Darajat. 1983). Hasil penelitian Direktorat Kesehatan Jiwa di Indonesia pada tahun 1989 penderita psikotik yang terbanyak adalah dengan diagnosa skizofrenia (70 %). Hal ini dipengaruhi oleh etiologi penyakit skizofrenia, diantaranya adalah faktor
keturunan, yang telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia, dan terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitanskizofrenia bagi saudara tiri : 0,9-1,8 %, bagi saudara kandung : 7-15 %, bagi anak dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia : 40-68 %, bagi anak kembar dua telur (heterozigot) : 2-15 %,bagi kembar satu telur (monozigot): 61-86 % (Maramis, 1998) Angka kejadian skizofrenia di seluruh dunia pada tahun 2000 diperkirakan antara 0,2-0,8% setahun. Di Indonesia pada tahun 2005 penderita gangguan jiwa skizofrenia diperkirakan 2,5 juta orang atau 2,5 % dari total penduduk, dan sekitar 80 % penderita tersebut tidak terdeteksi dan diobati. Padahal apabila penanganannya sejak awal, sepertiga penderita dapat sembuh dengan total, dan apabila tidak diobati dua pertiga akan mengalami kekambuhan, serta 25-30 % resisten seumur hidup (Nova Aries Tanjung. 1998). Proporsi penyakit skizofrenia pada tahun 1997 di Rumah Sakit Jiwa seluruh Indonesia yang terjadi pada usia 15-45 tahun sebesar 0,5-1 %. Sekitar 15 % penderita masuk dan dirawat di rumah sakit jiwa merupakan penderita skizofrenia, serta sebagian besar penderita skizofrenia akan tinggal dirumah sakit untuk waktu yang lama (Depkes RI. 1998). Angka kejadian Skizofrenia di Jawa Tengah pada tahun 2004 mencapai 5,5 % dari total penduduk. Angka kejadian skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah dr Amino Gondohutomo Semarang pada tahun 2003 sebanyak 8652 penderita dengan Incidence Rate 70,66 % sedangkan dari total penderita skizofrenia yang mengalami kekambuhan sebanyak 30,25 %. Kejadian penyakit skizofrenia ini meningkat pada
tahun 2004 sebanyak 9.865 penderita dengan Incidence Rate 74,20 % sedangkan dari total penderita skizofrenia yang mengalami kekambuhan sebanyak 34,24% (P2NM RSJD Dr Amino Gondohutomo, 2005). Perjalanan penyakit skizofrenia secara bertahap akan menuju pada penyakit kronis, tetapi sekali-kali bisa timbul serangan, dan jarang bisa terjadi pemulihan secara sempurna dengan spontan, serta bila tidak diobati biasanya berakhir dengan personalitas yang rusak. cacat. Banyak kesulitan yang ditimbulkan oleh penyakit, baik bagi kehidupan pribadi maupun keluarga, maka penyakit skizofrenia dianggap sebagai beban oleh keluarga (Maramis, 1998). Hasil penelitian menunjukkan 3,1-3,8% salah satu penyebab kekambuhan gangguan jiwa adalah keluarga yang tidak tahu cara menangani perilaku penderita di rumah (Budiana Keliat, 1995). Penderita skizofrenia ditandai dengan adanya ketidakmampuan dalam melakukan fungsi dasar secara mandiri, misalnya kebersihan diri penampilan, dan sosialisasi, hubungan interpersonal digambarkan sebagai individu yang apatis, menarik diri, terisolasi dari teman, keluarga dan masyarakat mengalami isolasi sosial. Penderita skizofrenia menganggap dirinya tidak mampu mengatasi kekurangan, tidak ingin melakukan sesuatu untuk menghindari kegagalan dan tidak berani mencapai sukses (Maramis, 1998). Sebuah keluarga yang salah satu keluarga mengalami penyakit skizofrenia, atau yang oleh masyarakat awam dikenal dengan istilah gila, maka keluarga tersebut secara drastis dapat menjadi terasing dari lingkungannya, diremehkan dan menjadi bahan pergunjingan dimasyarakat yang pada akhirnya sikap masyarakat terhadap keluarga tersebut akan berdampak pada status sosial ekonomi keluarga
tersebut, sehingga terkadang penderita skizofrenia dikucilkan oleh keluarganya sendiri, karena dianggap sebagai pembawa malapetaka (Saseno, 2001). Keluarga merupakan sistem pendukung yang utama yang merasakan pada setiap keadaan, baik pada waktu sehat maupun sakit dari penderita umumnya keluarga meminta bantuan tenaga kesehatan jika mereka tidak sanggup lagi merawat. Oleh karena itu, keluarga perlu dilibatkan dalam penatalaksanaan penderita skizofrenia agar dapat menggantikan peran tenaga kesehatan, pada saat penderita di rumah. Penatalaksanaan penderita skizofrenia bukan hanya memulihkan keadaan penderita, tetapi juga mencegah kekambuhan. Dukungan keluarga merupakan faktor yang berpengaruh dalam terjadinya kekambuhan pada penderita skizofrenia (Saseno, 2001). Keberhasilan perawatan di rumah sakit akan sia-sia jika tidak didukung oleh peran keluarga, sehingga menyebabkan penderita kambuh kembali. Peran serta keluarga sejak awal asuhan di rumah sakit akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat di rumah sehingga kemungkinan kambuh dapat dicegah. (Budiana Keliat, 1995) Asuhan keperawatan yang berfokus pada keluarga bukan hanya memulihkan keadaan pasien tetapi bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan dalam keluarga tersebut (Budiana Keliat, 1995). Faktor yang mempengaruhi perilaku keluarga adalah pengetahuan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior). Perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng, dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo,1997) B. PERUMUSAN MASALAH Apakah ada hubungan antara pengetahuan dan dukungan keluarga dengan waktu kambuh penderita skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah dr.amino Gondohutomo Semarang. C. TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara pengetahuan dan dukungan keluarga dengan frekuensi kambuh penderita skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr.Amino Gondohutomo Semarang 2. Tujuan Khusus a. Mendiskripsikan pengetahuan keluarga tentang penyakit skizofrenia. b. Mendiskripsikan dukungan keluarga pada penderita skizofrenia. c. Mendiskripsikan frekuensi kambuh penderita skizofrenia. d. Menganalisis hubungan pengetahuan keluarga dengan frekuensi kambuh penderita skizofrenia. e. Menganalisis hubungan dukungan keluarga dengan frekuensi kambuh penderita skizofrenia. D. MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi Instansi Memberikan masukan bagi intansi Rumah Sakit Jiwa Daerah untuk menentukan tindakan yang tepat dalam meningkatkan pengetahuan dan dukungan keluarga untuk mengurangi frekuensi kambuh penderita skizofrenia. 2. Bagi Keluarga Memberikan informasi kepada keluarga tentang cara merawat penderita skizofrenia di rumah.