Bab 10 Teori dan Praktek Penataan Ruang Sumbangan Pikiran Tiga Praktisi tentang Tata Ruang Indonesia



dokumen-dokumen yang mirip
Bab 4 Kelembagaan Lembaga Tata Ruang Pertama di Indonesia

Bab 4 Kelembagaan Kelembagaan Penataan Ruang di Kementerian Lingkungan Hidup

Bab 10 Teori dan Praktek Penataan Ruang Tata Ruang sebagai Ilmu Interdisiplin : Implikasi dan Perkembangannya

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB VI LANGKAH KE DEPAN

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman kumuh di kota yang padat penduduk atau dikenal dengan istilah urban

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB IV DUKUNGAN POLITIK DAN KEBIJAKAN

BADAN PERTANAHAN NASIONAL KABUPATEN SLEMAN Tugas Akhir 126 Arsitektur Undip BAB I PENDAHULUAN

LAMPIRAN A. Sejarah Program Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di Indonesia ( )

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 63/PRT/1993 TENTANG GARIS SEMPADAN SUNGAI, DAERAH MANFAAT SUNGAI, DAERAH PENGUASAAN SUNGAI DAN BEKAS SUNGAI

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KEMENTERIAN KESEHATAN

Asrama Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1997 TENTANG KETRANSMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup negara tersebut.

I. PENDAHULUAN. Pemberlakuan otonomi daerah memberikan kewenangan secara luas kepada

APLIKASI PENATAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG KOTA SESUAI KEBIJAKAN PEMERINTAH. Budiman Arif 1

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

REPUBLIK INDONESIA MENTERI PEKERJAAN UMUM KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 61/KPTS/1981 TENTANG

A. Pengertian Pusat Pertumbuhan Pusat pertumbuhan dapat diartikan sebagai suatu wilayah atau kawasan yang pertumbuhannya sangat pesat sehingga dapat

HOTEL WISATA DI KAWASAN MARITIM KOTA BAU-BAU (DI SEKITAR PANTAI LAKEBA)

UU 15/1997, KETRANSMIGRASIAN. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 15 TAHUN 1997 (15/1997) Tanggal: 9 MEI 1997 (JAKARTA)

BAB 1 : PENDAHULUAN. mencapai 50 derajat celcius yang menewaskan orang akibat dehidrasi. (3) Badai

Volume XIII No.1 Maret 2012 ISSN : EVALUASI OPERASI DAN PEMELIHARAAN W A D U K C E N G K L I K

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang mempunyai prioritas penting saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan organisasi/perusahaan dalam menjawab tantangan bisnis di masa

BAB I PENDAHULUAN. karena kekalahannya dalam Perang Dunia II. Jendral Douglas MacArthur yang

SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN PADA RAPAT KERJA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN Yogyakarta, Mei 2004

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH TAHUN

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

Perluasan Lapangan Kerja

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat menghambat pembangunan dan perkembangan ekonomi nasional.

PENATAAN PEMUKIMAN NELAYAN TAMBAK LOROK SEMARANG

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. karena didalamnya menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak. juga merupakan modal utama pembangunan karena semua kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1 Peta wilayah Indonesia Sumber:

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

STRATEGI PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN PROVINSI BANTEN

PENDAHULUAN. memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan.

TERMINAL PENUMPANG LOMBOK INTERNATIONAL AIRPORT Penekanan Konsep Desain Renzo Piano

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai Negara,

BAB I PENDAHULUAN Gambaran Umum BPLH Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. sebagai akibat akumulasi beberapa faktor yaitu: hujan, kondisi sungai, kondisi

BAB I PENDAHULUAN. Jaringan jalan sebagai bagian dari sektor transportasi memiliki peran untuk

Kebutuhan Terhadap Pedoman Pejalan Kaki

Analisis Isu-Isu Strategis

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan beribu

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Jakarta adalah kota yang setiap harinya sarat akan penduduk, baik yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Skripsi Program Studi Teknik Arsitektur

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sektor yang memiliki peranan yang cukup besar dalam. pembangunan perekonomian nasional adalah sektor pariwisata.

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada kegiatan industri yang rumit sekalipun. Di bidang pertanian air atau yang

BAB 1. PENDAHULUAN. jumlah penduduk Indonesia menetap diperkotaan. Jumlah Desa di Indonesia. lebih 375 buah ( Rahardjo Adisasmita, 2006:1 ).

QANUN KABUPATEN PIDIE NOMOR 4 TAHUN 2013 T E N T A N G

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkup sosio-kultural yang lebih sempit, salah satu manfaat

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembangunan sektor pertanian telah memberi kontribusi yang besar

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pelayanan mendasar bagi masyarakat kota. Sejalan dengan fungsi ini,

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1987 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAH DI BIDANG PEKERJAAN UMUM KEPADA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. pemakaian energi karena sumbernya telah menipis. Krisis lingkungan sangat mempengaruhi disiplin arsitektur di setiap

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 1985 TENTANG PENETAPAN RENCANA UMUM TATA RUANG KAWASAN PUNCAK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

MENTERI PERTANIAN, MENTERI DALAM NEGERI, MENTERI PEKERJAAN UMUM,

tahun ke tahun. Demand bidang perdagangan dan perekonomian kota Sragen dalam kurun waktu mencapai peningkatan 60%. Namun perkembangan yang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

KARAKTERISTIK SOSIAL-EKONOMI NELAYAN PADA KAWASAN WISATA PANTAI SEBAGAI DASAR PERENCANAAN PENGEMBANGAN KAWASAN

Gigih Juangdita

EVALUASI PENERAPAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BOYOLALI

L E G E N D A TELUK BANGKA J A M B I SUMATRA SELATAN B E N G K U L U S A M U D E R A H I N D I A L A M P U N G. Ibukota Propinsi.

Bismillahi rahmani rahiim,

BAB I PENDAHULUAN. semuannya dirumuskan oleh Pemerintah. perencana tentang keberadaan pendidikan.

PEMERINTAH KABUPATEN KENDAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DESA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.1.1 Latar Belakang proyek

BAB I PENDAHULUAN. bersejarah, flora, fauna dan masih banyak kekayaan alam yang lainnya. Namun semakin

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB III LAPORAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN TA Latar Belakang PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN SUNGAI GAJAH WONG DI YOGYAKARTA

2.1. TUJUAN PENATAAN RUANG WILAYAH KOTA BANDA ACEH

BAB I PENDAHULUAN. Feri Susanty Spesial, Tahun 2007, 6). Populasi dan permintaan penduduk terhadap hunian yang semakin

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEBUTUHAN PENGEMBANGAN FASILITAS PELABUHAN KOLAKA UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN KOLAKA

BAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat dilihat dari demografi, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia,

MEDAN TRADITIONAL HANDICRAFT CENTER (ARSITEKTUR METAFORA)

SILABUS. Mata Kuliah Permukiman

Transkripsi:

10.5 SUMBANGAN PIKIRAN TIGA PRAKTISI TENTANG TATA RUANG INDONESIA Oleh Hendropranoto Suselo MENGAPA KETIGA PRAKTISI? Mungkin ada yang bertanya mengapa perlu dituliskan mengenai sumbangan pikiran ketiga praktisi dalam tulisan ini, dan siapakah ketiga praktisi tersebut. Praktisi yang dimaksud adalah Sutami, Poernomosidi Hajisarosa, dan Radinal Moochtar yang kebetulan ketiganya pernah menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum di Indonesia. Penulisan tentang ketiga praktisi tersebut bukanlah untuk meniadakan penghargaan terhadap sumbangan pikiran banyak praktisi atau pemikir lainnya tentang tata ruang Indonesia. Namun, pengemukaan sumbangan pikiran ketiga praktisi didasari oleh latar belakang pemikiran bahwa ketiga pemikir tersebut telah mengembangkan konsep pemikirannya dan pernah menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum, dengan asumsi bahwa jalan pikirannya mempengaruhi pelbagai pengambilan keputusan tentang tata ruang di Indonesia. Pengambilan keputusan ini terutama mempengaruhi pola pembangunan prasarana dan sarana pekerjaan umum di wilayah tanah air kita. Pengemukaan sumbangan pikiran ketiga pemikir itu juga dimudahkan karena dua di antaranya (yaitu Sutami dan Poernomosidi Hajisarosa) banyak menulis tentang apa yang dipikirkannya sehingga mudah ditelusuri alur pikiran yang menjadi buah orisinil hasil renungan kedua pemikir tersebut. Walaupun tidak dapat ditemukan tulisan Radinal Moochtar, akan tetapi berdasarkan kedekatan hubungan penulis dengannya dapat diketahui karya yang telah dihasilkannya. X.5-1

Penulis beruntung masih aktip menjalankan tugas di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum pada saat pemikiran tersebut dicetuskan, sehingga dapat dikatakan berperan sebagai saksi sejarah mengenai makna dan dampak dari pemikiran kedua praktisi yang diuraikan dalam tulisan ini. Sayang sekali bahwa tulisan tulisan kedua praktisi kini sudah sulit diperoleh karena publikasinya amat terbatas, juga dari Badan Penerbit Pekerjaan Umum yang pernah menerbitkan tulisannya. ESENSI PEMIKIRAN KETIGA PRAKTISI TENTANG TATA RUANG INDONESIA Apa sebenarnya esensi pemikiran ketiga praktisi tentang tata ruang di Indonesia? Sutami adalah seorang insinyur sipil yang saat menjabat Menteri Pekerjaan Umum harus mencari penyelesaian atas begitu banyak persoalan pembangunan prasarana dan sarana fisik nasional. Sutami terkenal rajin berkunjung ke segenap pelosok tanah air dan paham betul persoalan yang dihadapi rakyat di pelbagai tempat yang berbeda beda keadaan lingkungan fisik dan sosialnya. Penguasaan persoalan rakyat di pelbagai tempat di tanah air merupakan salah satu latar belakang lahirnya pemikiran yang bermakna tentang tata ruang Indonesia. Dari pengalamannya jelas bahwa Sutami sadar faktor tempat atau lokasi sebagai faktor yang demikian pentingnya dalam pemecahan persoalan pembangunan prasarana dan sarana pekerjaan umum. Dimensi tempat dan lokalitas merupakan faktor yang menjadi ciri utama tata ruang. Sutami (lihat dalam tulisan Sutami, Beberapa Pemikiran untuk Pembangunan Nasional; dan Hendropranoto Suselo dalam tulisan Sutami, Sosok Manusia Pembangunan dalam Majalah Prisma Edisi Khusus 20 Tahun Pertama, 1991 (1) sangat sadar bahwa suatu wilayah atau tempat selalu mempunyai dua system, pertama adalah sistem ekologi atau sistem yang menentukan keadaan lingkungan fisik dalam tatanan kehidupan masyarakat di suatu wilayah, dan kedua adalah sistem sosial atau manusia dan keadaan sosial budaya setempat yang berinteraksi dengan system ekologi wilayah yang bersangkutan. Sebagai seorang insinyur sipil Sutami mengibaratkan suatu wilayah sama dengan sebuah bangunan, yaitu seperti semua bangunan memiliki superstructure dan infrastructure demikian juga suatu wilayah. Sutami lebih menekankan perlunya memperhatikan X.5-2

substructure yang dalam sebuah bangunan adalah pondasi dari bangunan yang menentukan kekuatan dan kestabilan dari bangunan tersebut. Dalam hal suatu wilayah substructure nya ada dua, yaitu sumber daya alam dan sumber daya manusia. Apabila kurang diperhatikan aspek substructure tersebut, maka kekuatan bangunan tersebut menjadi goyah dan bahkan seluruh bangunan dapat ambruk dan musnah karena ketidakkuatan substructure nya. Sutami mengamati bahwa banyak persoalan dalam pembangunan prasarana dan sarana wilayah bersumber pada pengabaian elemen substruktur dari suatu wilayah. Teori Sutami sudah dikembangkannya pada pertengahan tahun 1970an bersamaan dengan Konferensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Lingkungan Hidup di Stockholm yang pertama kali menyadarkan manusia di bumi ini untuk memperhatikan masalah lingkungan hidupnya. Meskipun hampir bersamaan, tetapi pemikiran Sutami sama sekali tidak dipengaruhi oleh gerakan PBB tersebut dan berlangsung sama sekali terpisah karena pemikirannya berkembang dalam konteks persoalan pembangunan di Indonesia. Jelas, Sutami telah memberikan sumbangan pemikiran yang orisinil dan mengingatkan betapa pentingnya untuk memperhatikan masalah lingkungan hidup dalam upaya pembangunan. Teori Sutami berkembang jauh sebelum Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) Emil Salim menggunakan tata ruang sebagai instrumen yang strategis dan penting dalam menangani persoalan lingkungan hidup di Indonesia. Emil Salim misalnya mempromosikan pengendalian kawasan Bopunjur (Bogor Puncak dan Cianjur) dengan meletakan landasan perencanaan tata ruang bagi kawasan tersebut sebagai alat pengendaliannya. Sutami adalah seorang praktisi, dan menerapkan teorinya dalam apa yang dinamakan sebagai Operasi Penyelamatan Pulau Jawa seperti diuraikannya dalam tulisannya di atas. Dengan teorinya, Sutami mengatasi persoalan banjir dan bencana alam lainnya yang melanda tanah air kita dengan pengamatannya mengenai kondisi lingkungan hidup di P.Jawa yang sudah sangat menurun akibat kenaikan jumlah penduduk yang sudah melampaui daya dukung lingkungannya. Cara mengatasi persoalan lingkungan hidup dilakukan dengan cara yang sama dengan penanganan suatu penyakit. X.5-3

Pertama, perlu diketahui dulu penyakit dan sebab-sebabnya (the desease and causes), kemudian gejala-gejalanya (symptoms) dan komplikasinya (complications). Dan akhirnya, diterapkan langkah untuk mengurangi penderitaan (lessening the impact) dan usaha untuk penyembuhannya (theraphy). Menurut Sutami penyakit yang menahun dan kronis adalah ketidakseimbangan antara jumlah petani penggarap dan luas tanah garapannya. Penyakit ini menyerang daerah tertentu dan menyebabkan kurangnya pangan dan pendapatan petani, sedangkan dalam bentuknya yang parah mengakibatkan rusaknya tata air yang menyebabkan banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau di P.Jawa. Gejalanya secara terbatas adalah daerah tertentu yang terancam bahaya kurang pangan, dan dalam bentuknya yang parah mengakibatkan pendangkalan dan rusaknya sungai-sungai. Komplikasinya antara lain disebabkan karena meletusnya gunung berapi, iklim yang berubah-ubah, adanya keinginan untuk terus menerus menanam padi, rendahnya disiplin petani penggarap dan lemahnya sistim informasi. Upaya untuk mengurangi penderitaan misalnya dilakukan melalui usaha intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas para petani. Namun, penyembuhannya harus dilakukan melalui usaha melaksanakan transmigrasi secara besar-besaran keluar Jawa. Ditunjuknya bahwa setiap tahun jumlah penduduk yang ditransmigrasikan agar lebih besar dari bertambahnya penduduk. Cara Sutami menerapkan konsepnya dalam mengatasi pelbagai persoalan di tanah air seperti bencana alam, misalnya banjir jelasjelas bukanlah semata-mata dengan pendekatan teknis atau engineering saja, tetapi digunakannya pendekatan pengembangan wilayah dan tata ruang. Sutami bukanlah hanya praktisi tetapi juga mengembangkan konsepsinya secara akademis. Oleh karena itu Sutami menuliskan konsepnya dalam bentuk Ilmu Wilayah yang mengantarkannya untuk mendapatkan gelar Doktor kehormatan dalam pengembangan wilayah dari Universitas Gajah Mada. Dalam mengembangkan ilmunya, Sutami banyak dipengaruhi oleh rekan staf yang banyak membantunya seperti Lego Nirwhono yang pada masa itu menjabat sebagai Kepala Biro Perencanaan Departemen Pekerjaan Umum, Soefaat yang bertugas sebagai Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) X.5-4

Departemen Pekerjaan Umum, dan Soenaryono Danudjo yang bertugas sebagai Kepala Biro Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Departemen Pekerjaan Umum. Lego Nirwhono misalnya memperkenalkan konsep yang dikemukakan oleh seorang ahli administrasi pembangunan Saul Katz dalam bukunya A System Approach to Development Administration (2), yang dikutip Sutami dalam Pidato Pengukuhannya sebagai gurubesar di Universitas Gajah Mada yang berjudul Ilmu Wilayah dalam Kaitannya dengan Analisa Kebijaksanaan dan Perencanaan Pembangunan di Indonesia (3). Keinginannya untuk mengukuhkan dan mengembangkan lebih lanjut pemikirannya diwujudkan dengan mendirikan suatu Pusat Penelitian Perencanaan Pembangunan Regional (yang kemudian diubah menjadi Nasional ) Universitas Gajah Mada, dengan bantuan staf inti lain yang membantunya. Teori Sutami sempat diterjemahkan dalam bentuk kurikulum dan sylabus (4) bagi pendidikan Ilmu Wilayah yang dikembangkan di Universitas Gajah Mada. Dalam upayanya Sutami telah mengembangkan pendidikan dan latihan di bidang tata ruang yang mempunyai selera berbeda dengan pendidikan planologi di Institut Teknologi Bandung. Di Universitas Gajah Mada pendidikan yang diawali oleh Ilmu Wilayah Sutami selanjutnya menjadi tempat pendidikan latihan yang lebih praktis sifatnya bagi para staf perencana yang dibutuhkan oleh Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) yang dalam kurun waktu itu dibentuk baik di tingkat Propinsi dan juga di daerah tingkat II Kabupaten dan Kotamadya, dibandingkan dengan pendidikan akademis yang lebih tinggi tingkatannya di ITB. Selanjutnya, berbeda dengan Sutami, Poernomisidi adalah seorang Doktor dalam Metalurgi lulusan Jerman yang selain banyak berperan sebagai staf Sutami juga mengembangkan pemikiran mengenai pengembangan wilayah dan tata ruang yang berlainan dengan Sutami. Poernomosidi selain cukup berperan dalam proyek persawahan pasang surut, proyek bangunan Conefo, dan proyek besar lainnya, juga berpengaruh besar dengan pernah membawa sebagian dari tugas penyelenggaraan transmigrasi, khususnya pengembangan lahan untuk kebutuhan transmigrasi ke Departemen Pekerjaan Umum. X.5-5

Dalam hal ini Poernomosidi menjadi bagian yang amat penting dalam pelaksanaan konsep Sutami mengenai Operasi Penyelamatan Pulau Jawa seperti digambarkan diatas. Kedekatan Poernomosidi dengan Sutami dapat antara lain digambarkan dari cara Sutami menggunakan kasus penyakitnya sebagai cara Sutami menjelaskan pemikirannya tentang pengembangan wilayah di Indonesia (5). Tugas transmigrasi ini kemudian ditarik kembali dan dikeluarkan lagi dari Departemen Pekerjaan Umum, dalam periode Kabinet sesudah Sutami dan Poernomisidi berhenti sebagai Menteri. Selain bakat kepemimpinannya Poernomosidi juga cerdas dalam mengembangkan pemikiran, khususnya mengenai masalah pengembangan wilayah. Berbeda dengan Sutami yang menggali banyak pemikirannya dari pengalamannya di lapangan, Poernomisidi adalah pemikir yang sangat konseptual dan merupakan salah satu tokoh yang memperkenalkan penggunaan pendekatan sistem dalam memecahkan pelbagai persoalan pembangunan termasuk dalam pengembangan wilayah. Pendekatan system dalam berpikir guna memecahkan persoalan pembangunan nasional dan wilayah, serta pembangunan prasarana dan sarana pekerjaan umum yang dikembangkannya, kemudian dikenal sebagai disiplin berpikir nya Poernomosidi. (6). Dengan menggunakan "disiplin berpikirnya" Poernomisidi mengembangkan pemikirannya mengenai pengembangan wilayah seperti dituangkannya dalam bukunya Konsepsi Dasar Pengembangan Wilayah di Indonesia (7). Poernomosidi sering mengatakan bahwa konsep pemikirannya mengenai pengembangan wilayah adalah khas untuk Indonesia. Dikenalinya dua kebutuhan pokok manusia yaitu berupa barang dan jasa, dan teorinya disusun berdasarkan pengamatannya tentang struktur pergerakan barang dan jasa tersebut dalam suatu wilayah yang membentuk suatu susunan hirarki. Teorinya dikembangkan dengan menggunakan prinsip prisnip dasar teori lokasi. Pemikiran Poernomisidi menentang teori klasik dari Walter Kristaller tentang Central Place Theory yang cenderung mengamati lokasi aglomerasi kegiatan dari segi pelayanan ke dalam, dengan mengetengahkan Teori Lokasi Ujung atau Edge Place Theory terutama sehubungan dengan jangkauan pelayanan yang jauh maupun orientasinya keluar. Dengan dasar ini Poernomisidi melakukan pengamatan terhadap pola perdagangan antar daerah yang disebutnya sebagai Orientasi Geografis X.5-6

Pemasaran yang pada masing-masing daerah di Indonesia mengarah pada perairan dalam Indonesia, yaitu mengarah ke Laut Jawa. Pemikiran Poernomisidi juga sering menggunakan istilah pintu-pintu gerbang pemasaran, atau aliran barang dan jasa yang keluar-masuk suatu wilayah. Melalui pengamatan orientasi kedalam dan keluar ini kemudian dikenali dua fungsi pelayanan dalam suatu wilayah, yaitu fungsi primer untuk pelayanan yang menjangkau keluar dan fungsi sekunder untuk pelayanan yang berorientasi kedalam. Konsep pengembangan wilayah Poernomisidi seperti diakuinya sendiri lebih memperhatikan fungsi fungsi primer dari pelayanan suatu wilayah, karena menuirut pendapatnya fungsi sekunder pada dasarnya tidak berpengaruh dalam pembentukan struktur suatu pengembangan wilayah. Dengan menggunakan dasar fungsi primer ini kemudian dikenalinya apa yang olehnya disebut sebagai Satuan Wilayah Pengembangan atau SWP-SWP. Satuan Wilayah Pengembangan ini mempunyai struktur dan juga hirarki, dan pusat-pusat dari setiap SWP kemudian memiliki suatu hirarki dalam bentuk Orde Kesatu, Kedua, Ketiga dan sebagainya. Pemikiran yang dikembangkan oleh Poernomisidi didasari atas pengamatannya untuk dapat mewujudkan keseimbangan antar daerah dalam hal tingkat pertumbuhannya dalam suatu wilayah nasional termasuk dalam bagian-bagian wilayahnya. Konsepnya dilandasi pula dengan tujuan untuk memperkokoh kesatuan ekonomi nasional dan memelihara efisiensi pertumbuhan nasional. Peornomisidi mengembangkan pemikirannya saat menjabat sebagai Deputy Pembangunan Regional di Bappenas. Meskipun tidak mempunyai latar belakang pendidikan dalam perancangan atau planning gagasan yang dikembangkan Poernomosidi pantas mendapatkan acungan jempol karena diperkenalkannya pada saat Indonesia baru memasuki tahap awal memikirkan mengenai pengembangan wilayah atau regional development planning di Indonesia. Dalam hal ini, Poernomosidi merupakan perintis dalam pemikiran mengenai konsepsi pengembangan wilayah yang penting dalam sejarah tata ruang. Tentunya Poernomisidi tidak berhenti dalam konsepsi tetapi pemikirannya kemudian dicoba dilaksanakannya dengan cukup berhasil dalam menentukan pola X.5-7

jaringan jalan nasional, saat Poernomisidi menjabat sebagai Direktur Jenderal Bina Marga dan kemudian sebagai Menteri Pekerjaan Umum. Selanjutnya praktisi ketiga yaitu Radinal mempunyai latar belakang sebagai arsitek, dan dari pengalaman serta minatnya kemudian banyak sekali keterlibatannya dalam penataan ruang. Radinal pada awal karir setelah kembali dari pendidikannya di luar negeri menjabat sebagai Direktur Perencanaan Kota dan Daerah di Bawah Departemen Cipta Karya dan Konstruksi yang kemudian menjadi Direktorat Jenderal Cipta Karya di bawah naungan Departemen Pekerjaan Umum. Selain di Departemen Pekerjaan Umum, Radinal juga berkarier sebagai Kepala Biro Fisik dan Tata Ruang di Bappenas di bawah Deputy Bidang Regional dan Daerah yang waktu itu dijabat oleh Poernomosidi. Dalam konteks karyanya di Bappenas. Radinal bersama Poernomosidi memprakarsai penyelenggaraan studi pengembangan regional yang pertama dilakukan di Sumatera Barat dan kemudian berkembang menjadi kegiatan yang menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia. Dari pekerjaan ini Radinal bersama Poernomosidi menjadi perintis pertama dari perencanaan pengembangan wilayah ( regional development planning ) di Indonesia dalam praktek yang nyata. Dalam kedudukannya di Direktorat Perencanaan Kota dan Daerah, Radinal merintis program bantuan teknis yang pertama dalam penataan ruang dengan membentuk apa yang kemudian dikenal dengan nama unit perencanaan daerah di semua Propinsi. Unit perencanaan daerah yang semula bersifat embrio lembaga kemudian menjadi suatu proyek atau bagian program dan bertahan selama lima Repelita. Unit perencanaan daerah yang dibentuk oleh Departemen Pekerjaan Umum ini menjadi motor penggerak bagi berfungsinya Bappeda-Bappeda yang kemudian bersamaan dengan dimulainya Repelita dibentuk di tiap-tiap Propinsi, dan kemudian di tiap Kotamadya dan Kabupaten. Unit perencanaan daerah juga menjadi tangan-tangan Departemen Pekerjaan Umum yang pada Repelita pertama membantu daerah-daerah dalam menyusun Rencana Umum Tata Ruang (Outline Plan) dari tiap-tiap Kotamadya dan Kabupaten serta Propinsi. Radinal kemudian menyadari bahwa bantuan teknis penyusunan Rencana Umum Tata Ruang tidak akan banyak manfaatnya kalau pemerintah daerah tidak dibantu dengan menyusunkan program pembangunan untuk mewujudkannya. X.5-8

Dengan kesadaran ini, Radinal mulai memprakarsai dilakukannya Studi Pengembangan Kota dimulai untuk kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Ujungpandang, Semarang, Surakarta, Yogyakarta dan kemudian diikuti juga oleh kota-kota sedang dan kecil lainnya. Studi Pengembangan Kota ini yang selanjutnya menjadi embrio bagi proyek-proyek pengembangan perkotaan (Urban Develompment Projects atau UDP-UDP) yang mendapatkan dukungan dari pelbagai lembaga internasional seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia,USAID, Pemerintah Belanda, Pemerintah Jepang, Pemerintah Kanada, dan lainnya. Konsep pemikiran Radinal pada umumnya bersifat praktis dan langsung dipergunakan untuk melaksanakan pembangunan. Dalam karier selanjutnya sebagai Direktur Jenderal Cipta Karya Radinal mengembangkan pelbagai konsep penanganan program pembangunan perkotaan seperti untuk air bersih IKK (Ibukota Kecamatan), pembangunan dengan standardisasi dan prefabrikasi, pembangunan dengan standar kebutuhan dasar dan secara massal, pengembangan sistem moduler, pengembangan upaya perintisan untuk perbaikan kampung, dan upaya-upaya penghematan biaya yang sangat mewarnai program Direktorat Jenderal Cipta Karya selama beberapa Repelita. Selanjutnya, dalam kedudukannya sebagai Menteri Pekerjaan Umum Radinal melakukan pelbagai langkah pengembangan kelembagaan yang signifikan dari segi penataan ruang, yaitu : (1) pembentukan Pustra (Pusat Strategis) pengkajian kebijakan pembangunan prasarana dan sarana pekerjaan umum yang dilatarbelakangi pemikiran pengembangan wilayah dan penataan ruang, (2) perubahan struktur organisasi Departemen Pekerjaan Umum dari struktur sektoral menjadi struktur wilayah (yang membagi Indonesia dalam wilayah Indonesia Barat, Tengah dan Timur), (3) penegasan bahwa perencanaan tata daerah tidak diberikan penonjolan dalam tugas Departemen Pekerjaan Umum (karena tugasnya melampaui kewenangan Departemen Pekerjaan Umum), sehingga nama Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah diubah menjadi Direktorat Pembinaan Tata Perkotaan Perdesaan. Khusus mengenai hal yang ketiga Radinal beranggapan berbeda dengan Poernomosidi yang menghendaki dan bercita-cita Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah berfungsi sebagai dapur tata ruang nasional. Hal ini tercermin juga dari pembangunan gedung Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah, di Jl. Raden Patah yang X.5-9

semula direncanakan keseluruhan gedung hanya menampung kegiatan Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah. Dengan perkembangan yang terjadi belakangan gedung tersebut tidak diperuntukkan hanya untuk kegiatan Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah tetapi menjadi gedung Direktorat Jenderal Cipta Karya. DAMPAK PRAKTEK KETIGA PEMIKIRAN Seperti disinggung pada awal tulisan relevansi dari tulisan ini adalah karena ketiga praktisi menduduki peran penting sebagai Menteri Pekerjaan Umum, dan karenanya pemikiran-pemikirannya pasti mempunyai dampak terhadap pengambilan keputusan mengenai kebijakan publik yang penting dalam bidang tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Berbeda dengan Poernomosidi, sayangnya Sutami tidak menjabat cukup lama setelah mengembangkan pemikirannya untuk dapat menerapkan semua yang dipikirkannya. Oleh karena menderita sakit, Sutami baru sempat menuliskan gagasannya di tempat tidur selama masa sakitnya, dan belum sempat membina suatu kelompok staf yang memenuhi sebagai critical mass untuk menterjemahkan pemikirannya dalam operasi penyelenggaraan tugas sehari-hari di Departemennya. Namun, pendekatan substruktur Sutami merupakan konsep yang amat bernilai untuk diperhatikan oleh para pejabat publik sekarang dan di masa yang akan datang mengenai begitu pentingnya segi manajemen sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk dapat menjaga mutu lingkungan hidup yang baik di suatu wilayah, dan dalam mengatasi pelbagai persoalan kritis dalam pengembangan wilayah seperti persoalan banjir, bencana alam dan lainnya. Sutami tidak hanya memberikan perhatian pada faktor fisik dan sumber daya alam, tetapi secara seimbang menekankan begitu pentingnya faktor sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Kalau membaca keseluruhan tulisannya akan mudah terasa betapa besar perhatian Sutami, bahkan menurut penulis sangat emosional, akan perlunya mengolah manusia Indonesia dalam suatu nation and character building yang merupakan keharusan untuk dilaksanakan. Sangat disayangkan, Sutami tidak sempat mendisseminasikan sendiri konsepsi pemikirannya, demikian pula X.5-10

hidupnya terlalu singkat untuk dapat membangkitkan cukup banyak pengikut yang dapat mempromosikan dan mengembangkan lebih lanjut pemikirannya. Buku tulisannya merupakan satu-satunya tinggalan Sutami yang apabila lebih banyak putera bangsa yang akan membacanya, pasti akan mengenali betapa masih relevannya cara pendekatan dan pemikiran Sutami dalam mengatasi pelbagai persoalan atau penyakit yang diderita tanah air kita yang merupakan bahaya laten yang dapat menyerang kita sewaktu-waktu. Poernomisidi mempunyai lebih banyak waktu dan kesempatan untuk mendisseminasikan dan melestarikan pemikirannya, dan sempat membangun suatu korps pemikir seperti Ruslan Diwiryo, Suryatin, Soenaryo Soemadji, Risman Maris yang selain memahami pola pikirnya juga cukup fanatik (dalam arti positip) untuk menerapkan pemikiran Poernomosidi dalam pengambilan keputusan di bidang tugas yang riil, yaitu khususnya dalam menentukan pola jaringan jalan nasional. Disiplin berpikir Poernomosidi cukup tertanam kuat diantara cukup banyak pengikutnya. Harus diakui bahwa Poernomosidi lebih berhasil ketika kembali ke lingkungan kerjanya sendiri di Departemen Pekerjaan Umum daripada ketika pada awal membangun pemikirannya di Bappenas. Faktor yang berpengaruh atas keterbatasan penerimaan konsep pemikirannya di Bappenas adalah dominasi para ahli ekonomi dibawah pimpinan Widjojo Nitisastro, termasuk Emil Salim yang memang sangat kuat pada awal-awal pelaksanaan Repelita dan pada saat para pemikir ekonomi sektoral masih mendikte pembangunan nasional kita. Baru akhir-akhir ini sayap pembangunan regional dan daerah di Bappenas mendapatkan porsi yang lebih seimbang dalam pengambilan keputusan alokasi sumber pendanaan dibandungkan dengan para penganut pembangunan sektoral, dalam memutuskan misalnya dalam sektor pembangunan perkotaan, yang terjadi pada saat tumbuh dan berkembangkan proyek-proyek pengembangan perkotaan (urban development projects atau UDP) yang mendapatkan pembiayaan dari pinjaman badan multilateral internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Keberhasilan Poernomosidi dalam mengaplikasikan pemikirannya berada dalam bidang yang terbatas yaitu dalam bidang pembangunan jalan yang menjadi tugas Direktorat Jenderal Bina Marga yang dipimpinnya. Pemikiran Poernomisidi mempunyai keterbatasan, kalau tidak dibilang kelemahan, karena fokus perhatian X.5-11

dalam konsepnya adalah dalam pergerakan barang dan jasa. Dalam konsepsinya pergerakan manusia kurang mendapatkan bobot dalam penilaian dalam pembentukan struktur dalam suatu pengembangan wilayah. Demikian pula pemikirannya kurang menyentuh pada fungsi fungsi sekunder dalam suatu wilayah yang menurut anggapannya kurang berpengaruh pada pembentukan struktur pengembangan wilayah. Oleh karena itu pemikirannya mengalami keterbatasan apabila diterapkan dalam konteks suatu wilayah perkotaan dimana misalnya pergerakan manusia dari tempat huniannya ke pusat-pusat pekerjaan (journey from home to work) menurut pendapat penulis merupakan faktor yang menentukan dalam pembentukan struktur wilayah perkotaan. Dalam konteks ini peranan fungsi sekunder pelayanan dalam kota sulit untuk diabaikan dalam pertimbangan. Pasti dewasa ini dan masih dalam waktu yang akan dating masih dapat ditemukan jejak dari pemikiran yang berasal dari Poernomisidi. Sementara itu, Radinal tidak melempakan gagasan-gagasan yang sangat menarik perhatian dan juga tidak menuliskan gagasannya dalam suatu tulisan. Tetapi pengaruh dari apa yang menjadi konsep pemikirannya meletakkan tapak yang jelas dalam sejarah penataan ruang, di satu pihak keyakinannya betapa pentingnya penataan ruang dalam menata kehidupan dan melaksanakan pembangunan, tetapi di lain pihak kesadaran dan pengamatannya yang jernih bahwa penataan ruang yang berhenti dalam perencanaan tidak akan memberikan manfaat yang banyak bagi masyarakat. Radinal menterjemahkan pendekatan penataan ruang dalam bahasa yang sederhana yaitu kebersamaan dalam memimpin Departemen Pekerjaan Umum. Radinal tidak membuat orang berpikir tetapi orang dapat memahami dari tindakannya betapa kaya pemikirannya mengenai bagaimana menata ruang dalam kenyataan operasional pembangunan, sesuatu hal yang sampai sekarang pun masih banyak dicari oleh para pengambil keputusan penataan ruang. Radinal juga membangun sambil berpikir dan cepat dalam mengkoreksi langkah yang kurang tepat sebelumnya. Radinal akan terus dikenang karena pernah menciptakan unit perencanaan daerah, studi pengembangan kota, program air bersih IKK, program perintisan prasarana dan sarana, program moduler prefabrikasi dengan dasar standardisasi untuk pembangunan massal, lembaga Pustra, dan X.5-12

merintis struktur kewilayahan dalam organisasi Departemen Pekerjaan Umum. PENUTUP Ketiga praktisi besar dalam sejarah tata ruang telah menyumbangkan hasil-hasil pemikiran yang amat besar manfaatnya bagi pembangunan tanah air dan bangsa Indonesia. Sutami memberikan nuansa pada dimensi lingkungan hidup yang bertumpu pada unsur substruktur dalam suatu wilayah yang pasti masih relevan untuk mengatasi pelbagai persoalan pembangunan nasional, terutama persoalan yang bersifat kronis, kritikal dan mengakibatkan krisis nasional. Poernomisidi besar sumbangannya dalam mengintroduksikan pemakaian pendekatan system melalui disiplin berpikir yang tepat dalam menganalisa struktur pengembangan wilayah melalui konsep struktur dan hirarki satuan wilayah pengembangan dan orde-orde dari pusat-pusat pengembangan wilayah dalam pengambilan keputusan jaringan prasarana dan sarana ekonomi nasional. Peran dan sumbangan Radinal menonjol dalam menciptakan pola bantuan teknis, program pembangunan perkotaan dan bentuk kelembagaan yang dilandasi kuat oleh pemikiran penataan ruang yang kesemuanya merupakan modal bagi penyelenggaraan desentralisasi ketika Indonesia memasuki era reformasi pembangunan. Ketiga pemikir besar di atas mempunyai ciri satu yang menonjol, yaitu berhasil mengetengahkan konsep pemikiran tata ruang dan pengembangan wilayah yang khas untuk dan digali dari situasi dan kondisi tanah air kita Indonesia, bukan dikembangkan dari teori di buku atau pun berasal dari literatur luar. Meskipun seperti halnya dengan konsep pemikiran lainnya masing-masing mempunyai keterbatasan dalam aplikasi dan penerimaannya, tetapi pemikiran yang telah dikembangkan ketiga praktisi besar, Sutami dan Poernomisidi dan Radinal seyogyanya menjadi bacaan dan pengetahuan wajib yang seharusnya memberikan inspirasi bagi pemecahan pelbagai persoalan tata ruang, pembangunan prasarana dan sarana, dan pembangunan nasional dalam artinya yang luas. X.5-13

Konsep Poernomosidi menjadi tetap relevan, karena berkaitan dengan konsep Sutami yang dalam era sesudah reformasi menjiwai diperlukannya Penataan Ruang Wilayah Pulau (yang perlu ditetapkan dalam bentuk RPP atau R Inpres) dalam kerangka penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, untuk mencapai tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan kesatuan wilayah nasional sebagai bagian dari Wawasan Nusantara. X.5-14

DAFTAR PUSTAKA 1) Sutami, Ilmu Wilayah, Beberapa Pemikiran untuk Pembangunan Nasional, tidak diterbitkan, 1980, dan Hendropranoto Suselo, Sutami Sosok Manusia Pembangunan Indonesia, PRISMA Edisi Khusus 20 Tahun Prisma, 1991 2) Saul M.Katz, A Syatem Approach to Development Administration, American Society for Public Administration, July 1966 3) Sutami, Ilmu Wilayah dalam Kaitannya dengan Analisa Kebijaksanaan dan Perencanaan Pembangunan di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam ilmu Wilayah Universitas Gajah Mada, 1976. 4) Sutami, Kurikulum dan Silabus Ilmu Wilayah, Memeograph, 1976 5) Sutami, Direktur Jenderal Saya Kena Penyakit Thrombo Phlebitis dengan Lymph Adenitis pada Kaki Kirinya, Departemen PUTL, 1976 6) Dr.Ir.Poernomosidi Hadjisarosa, Disiplin Berpikir Menuju Pengenalan Masalah Pengembangan Wilayah, Badan Penerbit Departemen Pekerjaan Umum, 1978. 7) Dr.Ir.Poernomosidi Hadjisarosa, Konsepsi dasar Pengembangan Wilayah di Indonesia, Badan Penerbit Departemen Pekerjaan Umum 1982.. X.5-15