BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Abraham Maslow membentuk suatu teori mengenai kebutuhan dasar manusia yang dikenal dengan teori hierarki kebutuhan manusia. Teori ini terdiri dari lima tingkat dimana pada tingkatan paling dasar yang harus dipenuhi adalah kebutuhan fisiologis. Kebutuhan ini terdiri dari kebutuhan oksigen, makanan, air, dan suhu tubuh relatif konstan. Hal ini menjelaskan mengapa makanan begitu penting bagi kehidupan manusia (Maulana, 2009). Berdasarkan definisi dari WHO, makanan adalah semua substansi yang dibutuhkan oleh tubuh tidak termasuk air, obat-obatan, dan substansi-substansi lain yang digunakan untuk pengobatan (Chandra, 2006). Makanan menjadi begitu penting karena fungsi pokoknya bagi kehidupan manusia, yaitu : 1). Memelihara proses tubuh dalam pertumbuhan/perkembangan serta mengganti jaringan tubuh yang rusak. 2). Memperoleh energi guna melakukan aktivitas sehari-hari. 3). Mengatur metabolisme dan mengatur berbagai keseimbangan air, mineral dan cairan tubuh yang lain. 4). Berperan di dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit (Notoatmodjo, 2003 dalam Mulia, 2005). Menurut Mulia (2005), kualitas makanan harus diperhatikan agar makanan dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Kualitas tersebut mencakup ketersediaan zatzat (gizi) yang dibutuhkan dalam makanan dan pencegahan terjadinya kontaminasi makanan dengan zat-zat yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan.
Makanan merupakan suatu produk yang mudah membusuk. Proses pembusukan ini dipengaruhi oleh dua penyebab utama yaitu faktor kimia (enzim) dan faktor biologi (mikroorganisme). Gangguan pada enzim yang terdapat di dalam makanan dan kontaminasi oleh mikroorganisme dapat mengakibatkan kejadian keracunan makanan pada individu yang mengkonsumsi makanan tersebut (Koren, 2003). Demi mendapatkan makanan dengan bentuk dan aroma yang menarik, rasa enak, warna dan konsistensinya baik serta awet, maka sering pada proses pembuatannya dilakukan penambahan bahan tambahan makanan (BTM) yang disebut zat adiktif kimia (food additiva) (Widyaningsih, 2006). Bahan tambahan makanan adalah segala bahan atau campuran bahan di luar bahan makanan pokok yang ditambahkan selama produksi, penyimpanan atau pengemasan makanan. Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah untuk mengawetkan, mengemulsi, memperkuat rasa, memperkuat warna dan meningkatkan nilai gizi pada makanan (Koren, 2003). Menurut Widyaningsih (2006), pemakaian bahan tambahan makanan ini memberikan keuntungan besar bagi industri makanan sebab makanan jadi tidak cepat rusak atau busuk karena makanan menjadi lebih awet. Secara garis besar zat pengawet dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu : 1). GRAS (Generally Recognized as Safe) yang umumnya bersifat alami sehingga aman dikonsumsi. 2). ADI (Acceptable Daily Intake), yang selalu ditetapkan batas penggunaan hariannya untuk melindungi kesehatan konsumen. 3). Zat pengawet yang memang tidak layak dikonsumsi karena bukan untuk makanan.
Banyaknya penggunaan zat pengawet berbahaya saat ini menjadi masalah kesehatan yang cukup serius yang sering kita temui. Pada tahun 2006, Badan POM melakukan pengujian pada Jajanan Anak Sekolah di sekolah dasar di seluruh ibukota provinsi di Indonesia. Hasilnya terdapat 5,76 % mi yang mengandung formalin (434 sampel per parameter) dan 2,53 % bakso yang mengandung formalin (474 sampel per parameter) (Anonim, 2007 dalam Ginting, 2010). Hal serupa juga ditemukan oleh Dinas Kesehatan Ciamis pada tahun 2012. Mereka menemukan formalin pada udang laut sebanyak 0,1 mililiter, dan 0,25 mililiter pada mie. Selain itu mereka juga menemukan kandungan boraks pada bakso sebanyak 0,50 mililiter. Hasil pemeriksaan formalin yang dilakukan Ginting (2010) pada bakso yang dijual di Sekolah Dasar di Kota Medan menunjukkan bahwa dari dua puluh satu sampel yang dianalisis berasal dari dua puluh satu Sekolah Dasar yang tersebar di dua puluh satu kecamatan di kota Medan terdapat tujuh sampel positif mengandung formalin dengan kadar berkisar 20,71 mcg/g hingga 49,44 mcg/g. Sementara itu pemeriksaan yang dilakukan Panjaitan (2010) pada bakso yang dijual di Kota Medan menunjukkan bahwa dari sepuluh sampel yang dianalisis berasal dari sepuluh tempat yang berbeda di kota Medan terdapat delapan sampel yang mengandung boraks dengan kadar 0,08 % hingga 0,29 %. Formalin yang berada di dalam makanan dapat menyebabkan keracunan pada tubuh manusia, dengan gejala antara lain : sakit perut akut disertai muntah-muntah, mencret berdarah, depresi susunan syaraf dan gangguan peredaran darah. Injeksi formalin (suntikan) dengan dosis 100 gram dapat menyebabkan kematian dalam
waktu 3 jam. Penggunaan formalin dengan dosis tinggi dapat menyebabkan kanker karena zat ini bersifat karsinogenik (Anonim, 2008). Boraks merupakan antiseptik sehingga dapat dijadikan bahan pengawet namun penggunaan dalam makanan dapat menimbulkan efek buruk pada manusia. Bila mengkonsumsi boraks secara terus-menerus akan menimbulkan efek seperti pusing, badan malas, depresi, delirium, muntah, diare, kram, kejang, koma, kollaps dan sianosis (Khamid, 2006 dalam Panjaitan, 2010). Peningkatan penggunaan bahan pengawet berbahaya pada makanan membuat banyak pihak mulai mencari bahan altenatif pengganti bahan pengawet yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat yang mengkonsumsi makanan tersebut. Bahan alternatif ini hendaknya merupakan bahan yang aman, bersifat alami, mudah diperoleh, dan harganya terjangkau sehingga para produsen makanan tidak akan menggunakan bahan berbahaya lagi bagi kesehatan. Bahan alternatif ini disesuaikan dengan jenis makanannya. Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai bahan alternatif adalah Sodium Tri Poly Phosphate (STPP) maksimal sebanyak 0,3 % untuk bakso dan mi basah, gliserin atau gliserol maksimal 1 % untuk mi basah, Carboxy Methyl Cellolose (CMC) maksimal 0,5-1 % untuk mi basah, garam dapur maksimal 1 % untuk ikan asin dan perendam tahu. Cuka digunakan untuk perendam tahu maksimal sebanyak 0,3 % dan bumbu dapur (bawang putih, kunyit, lengkuas, dan ketumbar) untuk pengolahan ikan (Widyaningsih, 2006). Lengkuas merupakan tumbuhan rempah-rempah yang sangat populer di Indonesia dimana penggunaannya sudah menjadi resep turun temurun Nusantara. Lengkuas banyak digunakan sebagai penyedap masakan maupun sebagai obat
tradisional. Penggunaan bubuk lengkuas sebagai bahan bumbu utama pada masakan rendang yang berasal dari Padang membuat makanan ini memiliki daya tahan hingga tiga sampai empat hari (Udjiana, 2008). Di dalam lengkuas terdapat minyak atsiri yang bersifat antimikroba dan antifungi. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan minyak atsiri pada rimpang lengkuas mengandung senyawa eugenol, sineol, dan metil sinamat (Buchbaufr, 2003 dalam Luftana, 2009). Menurut Silvina (2006), senyawa eugenol dan diterpene pada ekstrak rimpang lengkuas terbukti bersifat antifungi terhadap Candida albicans. Minyak atsiri pada lengkuas dengan konsentrasi 100 ppm belum dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus, tapi mampu menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dengan diameter daerah hambatan 7 mm. Konsentrasi minyak atsiri pada 1000 ppm dapat menghambat pertumbuhan kedua bakteri yang diuji yaitu bakteri E. coli dan S. aureus dengan diameter daerah hambatan masing-masing 9 mm dan 7 mm (Parwata, 2008). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (1999) menunjukkan bahwa lengkuas merah yang muda memiliki aktivitas antimikroba yang tinggi dengan daya hambat rata-rata 38,3 %. Penelitian terhadap ikan kembung terbukti dapat memperpanjang masa simpan ikan tersebut pada suhu 4 o C dari 5 hari menjadi 7 hari dengan menggunakan bubuk lengkuas 2,5 % yang dikombinasikan dengan penambahan garam 5 %. Pamungkas (2010) melakukan percobaan pada pengawetan ikan kembung dengan melumuri ikan kembung tersebut dengan pati lengkuas yang berasal dari 200 gram lengkuas dan hasilnya ikan kembung tersebut dapat bertahan lebih dari ± 36 jam.
Ketika dilakukan pengujian pada perubahan rasa didapatkan bahwa ikan yang diawetkan memiliki rasa lengkuas agak getir pada bagian kulit namun saat diuji pada bagian daging, rasa ikan kembung tersebut justru lebih gurih daripada ikan kembung yang tidak dilumuri dengan pati lengkuas. Oleh karena lengkuas mengandung senyawa yang antimikroba, maka penulis melakukan penelitian mengenai pemanfaatan lengkuas (Alpinia galanga) dalam mengawetkan bakso. 1.2. Rumusan Masalah Bakso merupakan salah satu makanan favorit masyarakat Indonesia yang memiliki waktu simpan yang cukup singkat. Untuk mengatasi masalah tersebut, para produsen maupun pedagang bakso menggunakan bahan pengawet berbahaya yang memiliki dampak buruk bagi kesehatan masyarakat yang gemar makan bakso. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai bahan pengawet makanan yang berasal dari bahan alami. Lengkuas (Alpinia galanga) yang merupakan tumbuhan rempah-rempah yang cukup populer di Indonesia mengandung senyawa minyak atsiri yang terbukti bersifat antimikroba sehingga diduga dapat dijadikan bahan alternatif sebagai bahan pengawet yang aman bagi makanan. Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian mengenai kemampuan lengkuas (Alpinia galanga) dalam mengawetkan bakso. 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui kemampuan lengkuas (Alpinia galanga) dalam memperpanjang waktu simpan bakso.
1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui waktu simpan bakso yang direbus dengan 0 gr, 100 gr, 200 gr, 300 gr lengkuas terhadap 250 gr adonan bakso dalam 3 l air dengan melihat ciri fisik bakso yaitu tekstur, bau, warna dan rasa. 2. Untuk mengetahui penambahan lengkuas yang paling efektif pada proses perebusan bakso dalam memperpanjang waktu simpan bakso. 3. Untuk mengetahui proses perubahan fisik pada bakso yang direbus dengan 0 gr, 100 gr, 200 gr, 300 gr lengkuas terhadap 250 gr adonan bakso dalam 3 l air. 1.4. Manfaat Penelitian a. Sebagai bahan informasi bagi produsen dan pedagang makanan seperti bakso, bahwa lengkuas dapat dijadikan sebagai pengawet alami yang dapat dijadikan bahan alternatif pengganti formalin. b. Sebagai bahan informasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi civitas akademika.