I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketimpangan yang besar dalam distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan merupakan dua masalah besar di banyak Negara Sedang Berkembang (NSB), tidak terkecuali Indonesia. Pada awal pemerintahan Orde Baru para pembuat kebijakan dan perencana pembangunan ekonomi di Indonesia percaya bahwa proses pembangunan ekonomi yang pada awalnya hanya terpusat di Jawa dan hanya di sektor-sektor tertentu saja, yaitu sektor yang mempunyai Nilai Tambah (NTB) yang tinggi, pada akhirnya akan menghasilkan apa yang dimaksud dengan trickle down effects. Hasil pembangunan melalui pencapaian pertumbuhan yang tinggi di sektor-sektor tersebut, akan menetes ke sektor-sektor dan wilayah lain di Indonesia (Tambunan, 2009). Proses trikle down effects terjadi ketika manfaat pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati oleh semua kelompok penduduk, termasuk penduduk miskin melalui penciptaan lapangan pekerjaan sehingga memperoleh kesempatan untuk memperbaiki kesejahteraannya. Namun demikian, sejarah menunjukkan bahwa sejak Pelita I tahun 1969 dilaksanakan, efek menetes ke bawah dari proses pembangunan atau trickle down effects tersebut kecil dan proses mengalir ke bawah sangat lambat. Nilai rata-rata laju pertumbuhan ekonomi per tahun mencapai di atas 7 persen sampai krisis tahun 1997, tetapi dengan tingkat ketimpangan yang semakin besar dan bahkan jumlah penduduk miskin yang meningkat setelah krisis (Tambunan, 2009). Gambar 1. menunjukkan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi hingga tahun 1997, sebelum keadaan perekonomian yang memburuk akibat krisis sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi sampai -13,13 persen. Selanjutnya, perekonomian Indonesia kembali membaik dan tumbuh rata-rata sebesar 4,71 persen selama periode 2000-2008.
2 Gambar 1. Perkembangan Pertumbuhan PDB Riil Atas Dasar Harga Konstan 2000 Pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama masa Orde Baru telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin. Selama tahun 1976 sampai tahun 1996 tingkat kemiskinan mengalami penurunan yang cukup signifikan, yaitu dari 40 persen menjadi 17 persen. Akan tetapi krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan Juli tahun 1997, menyebabkan jumlah penduduk miskin kembali mengalami peningkatan. Hal ini mengindikasikan bahwa pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan suatu faktor yang penting bagi penurunan kemiskinan, meskipun bukan satu-satunya penentu (Tambunan, 2009).
3 Perkembangan persentase penduduk miskin di Indonesia hingga tahun 2009 terlihat pada Tabel 1. berikut. Tabel 1. Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia dan Persentasenya Tahun 1976-2010 Tahun Jumlah Penduduk Miskin (juta) Persentase Penduduk Miskin (%) Tahun Jumlah Penduduk Miskin (juta) Persentase Penduduk Miskin (%) 1976 54,20 40,1 2000 38,70 19,14 1978 47,20 33,30 2001 37,90 18,41 1980 42,30 28,60 2002 38,40 18,20 1981 40,60 26,90 2003 37,30 17,42 1984 35,00 21,60 2004 36,10 16,66 1987 30,00 17,40 2005 35,10 15,97 1990 27,20 15,10 2006 39,30 17,75 1993 25,90 13,70 2007 37,17 16,58 1996 34,01 17,47 2008 34,96 15,42 1998 49,50 24,23 2009 32,53 14,15 1999 47,97 23,43 2010 31,02 13,33 Sumber: BPS, STATISTIK INDONESIA Peningkatan persentase penduduk miskin yang cukup tajam terjadi pada tahun 1999 karena krisis ekonomi, yaitu sebesar 26 persen. Banyaknya PHK yang terjadi dan menurunnya daya beli masyarakat, menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk miskin. Persentase ini masih berada di atas 17 persen hingga tahun 2003, dan secara perlahan mengalami penurunan hingga sebesar 15,97 persen pada tahun 2005. Pada tahun 2006 persentase jumlah penduduk miskin kembali mengalami peningkatan sebesar 17,75 persen, dan penyebab utama peningkatan ini karena peningkatan harga beras sebesar 33 persen (sebagai dampak larangan impor beras) dan kenaikan harga BBM (World Bank, 2006). Walaupun sempat mendapat goncangan eksternal dengan adanya krisis global tahun 2008, persentase penduduk miskin terus mengalami penurunan hingga pada tahun 2009 mencapai 14,15 persen dan sebesar 13,33 persen pada tahun 2010. Pencapaian tingkat kemiskinan sebesar 14,15 persen di tahun 2009 ini masih berada di bawah target kemiskinan dalam RPJM 2005-2009, yaitu sebesar 8,2 persen. Selain itu, tingkat kemiskinan tersebut juga masih jauh dari target Deklarasi Milenium PBB yang ditandatangani pada KTT Milenium PBB tahun 2000. Salah satu tujuan dari Deklarasi Milenium PBB (The Millenium Development Goals) tersebut yaitu mengurangi separuh dari proporsi penduduk
4 dunia yang berpenghasilan kurang dari satu dolar per hari, yang berarti mengurangi separuh dari jumlah penduduk miskin di dunia pada tahun 2015. Tingkat kemiskinan sebesar 13,33 persen tahun 2010, berarti harus dikurangi menjadi sekitar 7 persen pada tahun 2015. Pengentasan kemiskinan yang cepat, berkaitan erat dengan strategi pro poor growth, yaitu strategi pencapaian pertumbuhan ekonomi yang mendorong peningkatan pendapatan dari masyarakat miskin (Grimm, et al., 2007). Pro poor growth dengan titik berat pada masyarakat miskin, akan memperbaiki kesejahteraan masyarakat miskin dan distribusi pendapatan akan lebih merata (aspek ekuitas atau equity aspects). Aspek ekuitas dari pro-poor growth ini akan memperkuat dampak pertumbuhan terhadap pengentasan kemiskinan (Kakwani dan Pernia, 2000). Berkurangnya ketimpangan pendapatan atau aspek ekuitas secara langsung akan mengurangi kemiskinan, hal ini kemudian akan memberikan dampak meningkatkan kemampuan pertumbuhan ekonomi terhadap pengentasan kemiskinan dan meningkatkan pertumbuhan yang selanjutnya mempercepat pengentasan kemiskinan (Grimm, et al., 2007). Ketimpangan pendapatan secara nasional berdasarkan ukuran indeks gini menunjukkan adanya kecenderungan untuk meningkat hingga tahun 2009 atau distribusi pendapatan yang semakin tidak merata (Gambar 2). Pencapaian pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan penurunan indeks gini, berarti peningkatan pendapatan yang telah dicapai tidak dibarengi dengan pemerataan pendapatan diantara kelompok masyarakat secara baik. Tingkat kemiskinan pada tahun 2009 ternyata masih jauh dari target RPJM tahun 2005-2009 maupun dari The Millenium Development Goals, dan bahkan adanya kecenderungan nilai indeks gini untuk meningkat, menunjukkan kemiskinan maupun ketimpangan pendapatan masih merupakan masalah pembangunan di Indonesia.
5 Gambar 2. Perkembangan Nilai Indeks gini Tahun 2002-2009 Sejak Pelita III, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dan ketimpangan pendapatan. Komitmen pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan juga tercantum dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) tahun 2005-2009 yang disusun berdasarkan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK). Keseriusan pemerintah terhadap penanganan permasalahan ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di Indonesia melalui pembangunan yang Pro Growth, Pro Job dan Pro Poor, diwujudkan melalui berbagai program pengentasan kemiskinan. Persentase jumlah penduduk miskin secara nasional menurun hingga mencapai 14,15 persen tahun 2009 dan 13,33 persen tahun 2010, yang sebelumnya sempat mengalami peningkatan tajam hingga sebesar 26 persen tahun 1999 karena krisis ekonomi. Gambar 3. Pertumbuhan ekonomi dan persentase penduduk miskin tahun 2002-2009
6 Gambar 3. menunjukkan komitmen pemerintah terhadap masalah kemiskinan, dengan penurunan persentase penduduk miskin sejak tahun 2006 hingga mencapai 13,33 persen pada tahun 2010. Tetapi apabila diperhatikan di tingkat provinsi, persentase penduduk miskin di provinsi-provinsi yang ada di daerah Sumatera, Jawa dan Bali secara rata-rata lebih kecil dibandingkan dengan angka persentase penduduk miskin di daerah lainnya (Tabel 2.). Tabel 2. Persentase Penduduk Miskin di Indonesia menurut Provinsi Tahun 2008 dan 2009 serta Selisihnya Provinsi Poverty Rate Provinsi Poverty Rate 2008 2009 Selisih 2008 2009 Selisih NAD 23.6 21.8-1.78 NTB 23.1 22.78-0.35 Sumut 12.1 11.51-0.61 NTT 25.7 23.31-2.36 Sumbar 10.4 9.54-0.84 Kalbar 10.8 9.3-1.49 R i a u 10.2 9.48-0.74 Kalteng 8.4 7.02-1.38 J a m b i 9.2 8.77-0.44 Kalsel 6.2 5.12-1.09 Sumsel 17.4 16.28-1.11 Kaltim 8.6 7.73-0.84 Bengkulu 19.2 18.59-0.57 Sulut 9.7 9.79 0.08 Lampung 20.9 20.22-0.67 Sulteng 20.6 18.98-1.65 Babel 7.9 7.46-0.49 Sulsel 13.4 12.31-1.11 Kepri 8.8 8.27-0.51 Sultra 19.5 18.93-0.57 DKI Jakarta 3.9 3.62-0.24 Gorontalo 20.2 25.01 4.80 Jabar 12.6 11.96-0.61 Sulbar 16.7 15.29-1.37 Jateng 19.1 17.72-1.33 Maluku 29.4 28.23-1.19 DIY 18.1 17.23-0.83 Malut 11.1 10.36-0.73 Jatim 18.2 16.68-1.52 Pabar 33.5 35.71 2.21 Banten 8.3 7.64-0.62 Papua 35.3 37.53 2.24 B a l i 5.7 5.13-0.60 Secara umum terjadi penurunan persentase penduduk miskin pada tahun 2009 dibandingkan tahun 2008, baik secara nasional maupun di tingkat provinsi. Akan tetapi untuk beberapa Provinsi yang berada di bagian timur Indonesia, pada tahun 2009 justru mengalami peningkatan persentase penduduk miskin, yaitu Sulawesi Utara, Gorontalo, Papua dan Papua Barat (Tabel 2.). Hal ini menunjukkan walaupun secara nasional terjadi penurunan persentase penduduk miskin, akan tetapi di tingkat provinsi tidak semuanya mengalami hal yang sama. Selain persentase penduduk miskin yang sangat beragam antar provinsi, penurunan persentase yang terjadi secara nasional tidak terjadi di semua provinsi. Sehingga, apakah pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai pemerintah dengan triple track strategy yang dikenal pro growth, pro job dan pro poor tersebut
7 memberikan manfaat terhadap rakyat miskin merupakan hal yang menarik untuk diteliti khususnya di tingkat provinsi. 1.2. Perumusan Masalah Pembangunan ekonomi yang menempatkan manusia sebagai pusat perhatian dan proses pembangunan, selayaknya memberikan manfaat bagi semua pihak, termasuk diantaranya kaum miskin atau yang disebut dengan pro-poor growth (Departemen Sosial RI, 2005). Komitmen pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan terlihat dari berbagai program pengentasan kemiskinan dalam RPJM 2005-2009 dan tersusun dalam SNPK. Bahkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, penekanan pada percepatan pembangunan wilayah (Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua) dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta mengurangi ketimpangan (Bappenas, 2010). Pemerintah memperhatikan kesejahteraan masyarakat tidak hanya di tingkat nasional saja, akan tetapi hingga ke tingkat yang lebih rendah yaitu kepulauan. Siregar dan Wahyuniarti (2007) dalam penelitiannya tentang Faktor-faktor yang Memengaruhi Pengurangan Kemiskinan menyatakan bahwa Program- Program Pengurangan Kemiskinan sebaiknya lebih fokus pada wilayah pertanian di perdesaan Pulau Jawa dan Sumatera. Hal ini disebabkan persentase penduduk miskin selama tahun 2000 sampai 2009 lebih dari 75 persennya berada di pulau Jawa dan Sumatera. Selain itu, Wicaksana (2007) dalam penelitiannya yang menganalisis ketimpangan kemiskinan antar Provinsi di Indonesia selama tahun 2000 sampai 2004 dengan menggunakan Indeks Entropi Theil, menyimpulkan bahwa ketimpangan kemiskinan antar pulau tertinggi terjadi di Pulau Jawa. Hal ini disebabkan konsentrasi jumlah penduduk miskin terbanyak di Pulau Jawa. Berdasarkan kedua hasil penelitian tersebut terlihat walaupun pembangunan di Pulau Jawa dan Sumatera relatif lebih cepat daripada lainnya, akan tetapi hingga RPJM tahun 2005-2009 berakhir, masalah kemiskinan dan ketimpangan masih merupakan permasalahan utama yang dihadapi dalam pembangunan, terutama di tingkat provinsi. Suparno (2010) dalam penelitiannya tentang Studi Pro poor growth Policy di Indonesia selama periode 2002-2008 menyimpulkan bahwa peningkatan
8 ketidakmerataan terjadi di seluruh sektor dan status daerah selama periode 2002-2005, kemudian mengalami perbaikan selama periode 2005-2008 kecuali sektor pertanian di perkotaan dan perdesaan. Tingkat kemiskinan di perdesaan lebih tinggi dibanding perkotaan, dan mayoritas penduduk miskin bekerja di sektor pertanian. Pada periode 2002-2005, pertumbuhan ekonomi berdasarkan sektor dan status daerah (perdesaan dan perkotaan) belum bersifat pro poor growth. Periode 2005-2008, pertumbuhan ekonomi di perkotaan sudah pro poor growth sedangkan di perdesaan belum bersifat pro poor growth. Hal ini mengindikasikan masih terjadi bias perkotaan dalam pembangunan. Berdasarkan sektor menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor pertanian belum mengalami pro poor growth, sedangkan di sektor industri sudah pro poor growth. Walaupun dalam RPJM 2005-2009, pro poor growth telah menjadi agenda penting dalam pengentasan kemiskinan. Kajian pro poor growth yang dilakukan oleh Suparno (2010), menghitung manfaat pertumbuhan bagi penduduk miskin di tingkat nasional. Sedangkan manfaat pertumbuhan bagi penduduk miskin di tingkat provinsi bisa sangat beragam dan berbeda dengan yang terjadi secara nasional. Sehingga manfaat pencapaian pertumbuhan ekonomi terhadap penduduk miskin di tingkat provinsi melalui kajian pro poor growth merupakan hal yang menarik untuk diteliti, terutama selama periode RPJM tahun 2005-2009 dengan program pembangunan yang pro growth, pro job dan pro poor. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pro poor growth diantaranya yaitu peningkatan produktifitas di sektor pertanian, berkurangnya ketimpangan antar daerah, peningkatan kepemilikan aset dasar bagi rakyat miskin, berkurangnya ketimpangan gender, berkurangnya ketimpangan bagi kaum minoritas, komitmen politik untuk kebijakan pro-poor, dan suatu Negara yang kuat (Klasen, 2007). Selain kajian pro poor growth di tingkat provinsi di Indonesia, juga akan diteliti faktor-faktor yang memengaruhi pro poor growth. Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang ingin dibahas didalam penelitian ini dapat dituliskan sebagai berikut: 1. Bagaimana dinamika pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan, dan kemiskinan di tingkat provinsi di Indonesia?
9 2. Bagaimana efek pertumbuhan dan efek distribusi terhadap perubahan kemiskinan di tingkat provinsi di Indonesia? 3. Bagaimana derajat pro poor growth pertumbuhan ekonomi di tingkat provinsi di Indonesia? 4. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap Pro poor growth di tingkat provinsi di Indonesia? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Menganalisa dinamika pertumbuhan ekonomi, distibusi pendapatan dan kemiskinan di tingkat provinsi di Indonesia. 2. Menganalisa efek pertumbuhan dan efek distribusi terhadap perubahan kemiskinan di tingkat provinsi di Indonesia. 3. Menganalisa derajat Pro poor growth di tingkat provinsi di Indonesia. 4. Menganalisa faktor-faktor yang memengaruhi Pro poor growth di tingkat provinsi di Indonesia. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Ukuran derajat pro poor growth di tingkat provinsi di Indonesia digunakan untuk mengetahui seberapa besar pertumbuhan ekonomi dirasakan oleh penduduk miskin. Berdasarkan ukuran ini dapat diketahui apakah pertumbuhan ekonomi memberikan manfaat bagi penduduk miskin. 2. Faktor-faktor yang memengaruhi pro poor growth dapat digunakan untuk mengetahui faktor apa saja yang dapat mempengaruhi pro poor growth di tingkat provinsi di Indonesia. Sekaligus sebagai salah satu pertimbangan bagi pemerintah dalam pengentasan kemiskinan, sehingga bisa diambil kebijakan yang lebih tepat berdasarkan wilayah dalam pengentasan kemiskinan.
10 1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini meliputi empat hal. Pertama, memberikan gambaran umum tentang dinamika pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan dan kemiskinan di tingkat provinsi di Indonesia. Kedua, mendekomposisi perubahan kemiskinan terhadap efek pertumbuhan dan efek distribusi untuk mengetahui apakah perubahan kemiskinan yang ada lebih dipengaruhi oleh pertumbuhan atau distribusi pendapatan. Ketiga, menghitung derajat pro poor growth di tingkat provinsi di Indonesia. Keempat, memberikan gambaran tentang faktor-faktor yang memengaruhi pro poor growth di tingkat provinsi di Indonesia. Penelitian ini mencakup seluruh provinsi di Indonesia selama periode RPJM 2005-2009. Data yang tidak tersedia tahun 2005 dan 2006 di provinsi baru (Papua Barat dan Sulawesi Barat), didekati dengan data yang tersedia di provinsi induk. Selain itu analisis di tingkat provinsi dilakukan tanpa memisahkan status desa dan kota, serta tidak memisahkan secara sektoral. Dekomposisi kemiskinan dan penghitungan derajat pro poor growth dihitung untuk empat periode, yaitu 2005-2006, 2006-2007, 2007-2008 dan 2008-2009. Hal ini dilakukan untuk mengetahui derajat pro poor growth selama pelaksanaan RPJM 2005-2009 yang mengagendakan pembangunan yang pro growth, pro job dan pro poor, sebagai komitmen pemerintah dalam pengentasan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan pendapatan.