TINJAUAN PUSTAKA Lahan gambut merupakan lahan marginal untuk pertanian karena kesuburannya yang rendah, ph sangat asam dan keadaan drainase jelek. Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan berkisar antara 17-21 juta Ha. Data yang akurat mengenali luas lahan gambut sulit ditebakkarena terbatasnya survei dan pemetaan tanah gambut di daerah Indonesia Timur. Dengan luasan yang cukup besar yaitu berkisar 9-11% dari luas daratan di Indonesia, maka sulit dihindari pengembangan pertanian ke lahan marginal ini (Balai Penelitian Tanah, 2011) Yang dimaksud dengan lahan gambut adalah bentukan gambut beserta vegetasi yang terdapat diatasnya yang terbentuk di daerah yang topografinya rendah dan bercurah hujan tinggi atau di daerah yang suhunya sangat rendah. Tanah gambut adalah tanah-tanah yang terdapat pada deposit gambut. Ia mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi dan kedalaman gambut yang minimum. Istilah gambut mengacu pada tumbpukan bahan yang terbentuk dari serasah organik tanaman yang terurai pada kondisi jenuh air, dimana laju penambahan material organik lebih cepat daripada laju peruraiannya (Radjagukguk, 2001). Mukhlis dkk, (2011) Tanaman dan mikroorganisme juga menghasilkan CO 2 melalui proses respirasi. Selama periode pertumbuhan aktif akar tanaman dan organisme tanah menghasilkan CO 2 tanah dan terlarut sehingga ph tanah menjadi lebih asam. Kemasaman tanah gambut disebabkan oleh kandungan asam organik yang terdapat pada koloid gambut. Dekomposisi bahan organik pada kondisi anaerob menyebabkan terbentuknya senyawa fenolat dan karboksilat yang menyebabkan
tingginya kemasaman gambut. Selain itu terbentuknya senyawa fenolat dan karboksilat dapat meracuni tanaman (Sabiham, 1996). Lahan gambut mempunyai karakteristik (baik fisik maupun kimia) yang berbeda dengan tanah mineral, sehingga untuk menjamin keberlanjutan pengelolaan lahan, diperlukan penanganan yang bersifat spesifik. Sifat fisik lahan gambut yang penting untuk dipelajari sehubungan dengan penggunaan lahan gambut untuk pertanian adalah tingkat kematangan, kadar air, berat jenis (BD), subsiden (penurunan permukaan lahan gambut), dan sifat kering tak balik. Sifat kimia tanah gambut yang yang tergolong spesifik di antaranya adalah tingkat kemasaman tanah yang tinggi, miskin hara, KTK tinggi dengan kejenuhan basa rendah. Drainase selain ditujukan untuk membuang kelebihan air (termasuk asamasam organik), juga menyebabkan perubahan sifat-sifat tanah gambut sehingga menjadi lebih sesuai untuk pertumbuhan tanaman atau terjadi perubahan kelas kesesuaian lahan gambut yang secara aktual umumnya tergolong sesuai marginal. Namun demikian drainase harus dilakukan secara terkendali, salah satunya untuk melindungi cadangan karbon lahan gambut yang demikian besar. Agar pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian tidak berdampak buruk terhadap lingkungan, maka pemanfaatannya harus hati-hati melalui pengelolaan yang berwawasan lingkungan (Dariah dkk, 2010). Tingkat kesuburan gambut ditentukan oleh kandungan batuan mineral dan basa-basa, bahan substranum/dasar gambut dan ketebalan lapisan gambut. Gambut di Sumatera relatif lebih subur dibandingkan dengan gambut di Kalimantan. Berdasarkan lingkungan pembentukannya gambut dibedakan atas : (1) Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan yang hanya
dipengaruhi oleh air hujan, (2) Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di llingkungan yang mendapat pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen akan lebih kaya mineral dan lebih subur dibandingkan dengan gambut ombrogen (Agus dan Subiksa, 2008). Kadar N pada tanah gambut relatif tinggi, sedangkan kadar P beragam. Namun sebagian N dan P dalam bentuk organik sehingga memerlukan proses mineralisasi untuk dapat digunakan tanaman. Kadar N pada tanah gambut kayukayuan berkisar 0,3% - 4,0% dan untuk gambut Indonesia berkisar 1% - 2% dan hanya sekitar separuhnya saja yang dapatdiserap oleh tanaman. Tingkat keasaman gambut mempunyai kisaran sangat lebar. Umumnya tanah gambut tropik, terutama gambut ombrogen (oligotropik), mempunyai kisaran ph 3,0-4,5 kecuali yang mendapat penyusupan air laut atau payau. Kemasaman tanah gambut cenderung makin tinggi jika gambut makin tebal. Gambut dangkal mempunyai ph antara 4,0 5,1, sedangkan gambut dalam ph nya antara 3,1 3,9 dimana sumber keasaman yang berperan pada tanah gambut adalah pirit dan asam-asam organik (Noor,2011). Kapasitas Tukar Kation (KTK) merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah-tanah dengan kandungan bahan kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah-tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah-tanah berpasir (Hardjowigeno, 2003). Nilai KTK tanah sangat beragam dan bergantung pada sifat dan ciri tanah itu sendiri. Besar kecilnya KTK tanah dipengaruhi oleh : reaksi tanah, tekstur atau jumlah liat, jenis mineral liat, bahan organik dan, pengapuran serta pemupukan. Meskipun lahan gambut memiliki kapasitas tukar kation (KTK) yang sangat tinggi
(90-200 me 100g-1), namun kejenuhan basa (KB) sangat rendah, yang berakibat terhadap rendahnya ketersediaan hara terutama K, Ca, dan Mg (Dariah dkk, 2010). Pupuk kandang serta bahan amelioran yang kaya dengan kation polivalen menjadi amelioran yang sangat efektif untuk meningkatkan produktivitas lahan dan stabilitas gambut. Stabilitas gambut sangat terkait dengan adanya proses kompleksasi asam-asam organik sehingga lebih tahan terhadap degradasi sehingga emisi karbon berkurang. Kompleksasi asam-asam organic fenolat oleh kation polivalen mengurangi sifat meracun asam-asam tersebut sehingga perkembangan akar tanaman tidak terganggu. Pemupukan dengan pupuk makro dan mikro penting untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman. Ameliorasi dan pemupukan bersifat sinergis karena ameliorasi meningkatkan efektivitas pemupukan (Subiksa dkk, 2015). Debu Vulkanik Abu vulkan yang berukuran dari debu sampai pasir, banyak mengandung gelas vulkanik, sedikit feldspar, dan mineral kelam (mineral Fe dan Mg) serta sejumlah kuarsa. Di beberapa tempat ditemukan pula abu vulkanik yang tidak mengandung gelas api kaya akan fragmen batuan.kebanyakan abu vulkan bersifat andesitic terutama pada gunung-gunung api sekitar pasifik. Abu vulkan yang berasal dari gunung api di Indonesia umumnya bersifat andesitik sampai balastik (Hardjowigeno, 1993). Pasir vulkanik mengandung mineral yang dibutuhkan oleh tanah dan tanaman dengan komposisi total unsur tertinggi yaitu Ca, Na, K dan Mg, unsur makro lain berupa P dan S, sedangkan unsur mikro terdiri dari Fe, Mn, Zn, Cu (Anda dan Wahdini 2010). Mineral tersebut berpotensi sebagai penambah
cadangan mineral tanah, memperkaya susunan kimia dan memperbaiki sifat fisik tanah sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk memperbaiki tanah-tanah miskin hara atau tanah yang sudah mengalami pelapukan lanjut (Sediyarso dan Suping, 1987). Partikel debu vulkanik setelah jatuh ke tanah akan memadatkan tanah yang akan meningkatkan bulk density dari tanah tersebut. Dari penelitian Suriadikarta dkk, (2010) terjadi pemadatan tanah akibat penutupan tanah oleh debu vulkanik Gunung Merapi yang terlihat dari peningkatan BD, yaitu pada ketebalan 29 cm BD tanah menjadi 1,37-1,41 g/cm 3 dengan permeabilitas 0,92-5,69 cm/jam di daerah Kepuharjo. Pada daerah Belarente dan Paten dengan ketebalan 10 cm dan 5 cm masih berpengaruh terhadap kepadatan tanah dan cukup sulit untuk ditembus oleh air. Dampak negatif lainnya adalah terkandungnya logam-logam berat dalam debu vulkanik tersebut. Berdasarkan analisis di PPKS Sumatera Utara diketahui bahwa debu vulkanik Gunung Sinabung memiliki ph (H 2 O) 4,75 ; mengandung S (0,70%) ; P 2 O 5 -total (0,24%) ; MgO (0,03%) ; K 2 O (0,12%) ; C-organik (2,44%) ; Na (0,89%) ; N-total (0,07%) ; B (4,04 ppm) ; Fe (1,14%) ; SiO 2 (22,50%) ; Cd (98,98 ppm) ; Pb (46,46 ppm) ; Ec (46,3 mmho/cm 3 ) dan KTK (6,94 me/100 g). Hasil penelitian Andhika (2011) menunjukkan bahwa pemberian debu vulkanik pada tanah inseptisol berpengaruh nyata meningkatkan Cd-dd, Cu-dd dan Pb-dd tanah dibandingkan dengan tanpa pemberian debu vulkanik. Banyaknya hara yang disumbangkan oleh abu letusan tergantung dari tebalnya tutupan dan kandungan hara mineralnya. Secara umum sifat kimia abu letusan dapat dibedakan berdasarkan kandungan silika (SiO2%) yaitu abu bersifat
basis (45-55%), intermedier (55-62%) dan masam (>62%). Makin asam abu letusan makin sedikit cadangan unsur hara yang dilepaskan. Dari berbagai data alasisa total kandungan unsur dalam abu volkan, umumnya abu letusan di Indonesia termasuk bersifat intermedier dan peralihan dari basis ke intermedier. Dengan sifat tersebut maka cadangan kandungan hara dalam mineral abu letusan masih termasuk tinggi. Contoh perhitungan cadangan hara menggunakan data analisa letusan gunung Merapi di Yogyakarta pada November 2010 di tunjukkan pada tabel 1. Pada tabel tersebut disajikan total cadangan unsur Ca, Mg, K, Na, P dan S sebagai contoh. Tabel 1. Perhitungan cadangan unsur hara pada abu vulkan pada berbagai ketebalan Unsur Ketebalan Abu (cm) 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 4.0 5.0 ------------------------------------ t/ha --------------------------------------------- Ca 3.61 7.32 10.98 14.64 18.30 21.96 29.28 36.60 Mg 0.65 1.21 1.81 2.42 3.02 3.63 4.48 6.05 K 1.22 2.44 3.66 4.88 6.10 7.32 9.76 12.20 Na 2.43 4.85 7.28 9.71 12.14 14.56 19.42 24.27 P 0.12 0.24 0.36 0.48 0.60 0.72 0.95 1.19 S 0.06 0.12 0.18 0.24 0.29 0.35 0.47 0.59 Sumber: Badan Litbang Pertanian (Edisi 21-27 September 2011 No.3423 Tahun XLII) Budidaya Padi di Lahan Gambut Pemanfaatan lahan gambut dalam bidang pertanian terutama untuk budidaya padi sawah memiliki beberapa hambatan secara kimia. Karakteristik kimia tanah gambut di Indonesia cukup beragam. Sifat kimia tanah gambut Indonesia yang terutama antara lain sifatnya yang sangat masam dengan kisaran ph 3-5, basa-basa dapat ditukarkan yang rendah, serta unsur mikro (Cu, Zn dan Mo) yang sangat rendah dan diikat cukup kuat oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman (Agus dan Subiksa, 2008).
Budidaya padi sawah di lahan gambut beberapa hal yang harus dilakukan diantaranya varietas padi yang dianjurkan untuk ditanam di lahan rawa bisa dibedakan atas varietas unggul lokal dan varietas unggul introduksi karena varietas unggul lokal biasanya memiliki adaptasi yang relatif lebih baik sehingga sangat dianjurkan untuk lahan yang baru dibuka (Nijayati et al, 2005). Selanjutnya menurut Soewito et al. (1995), selama ini sumbangan varietas unggul terhadap peningkatan produksi padi nasional cukup besar. Disamping itu, varietas unggul pada umumnya berumur pendek (genjah) sehingga sangat penting artinya bagi petani dalam mengatur pola tanam. Varietas dendang memiliki toleransi sedang hingga peka terhadap keracunan Fe di Tamanbojo Lampung. Dibanding dengan varietas Batanghari, Punggur dan Indragiri, varietas Dendang memiliki produksi lebih tinggi (2,3 ton/ha) dan keempatnya dapat beradaptasi pada lahan gambut maupun sulfat masam potensial dan hasilnya cukup tinggi di lahan rawa pasang surut (Suhartini, 2004).