WORKING PAPER. Politik REDD+ di Media. Studi Kasus dari Indonesia. Tim Cronin Levania Santoso



dokumen-dokumen yang mirip
WORKING PAPER. Politik REDD+ di Media. Studi Kasus dari Indonesia. Tim Cronin Levania Santoso

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai "Para Peserta")

BAB I PENDAHULUAN. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

Menyelaraskan hutan dan kehutanan untuk pembangunan berkelanjutan. Center for International Forestry Research

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pidato kebijakan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhyono Bogor, 13 Juni 2012

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

MAKSUD DAN TUJUAN. Melakukan dialog mengenai kebijakan perubahan iklim secara internasional, khususnya terkait REDD+

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Belajar dari redd Studi komparatif global

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.5/Menhut-II/2012 TENTANG

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

TINJAUAN DAN PEMBARUAN KEBIJAKAN PENGAMANAN BANK DUNIA RENCANA KONSULTASI

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

DOKUMEN INFORMASI PROYEK (PID) TAHAP KONSEP. Proyek Persiapan Kesiapan Indonesia (Indonesia Readiness Preparation Project) Kawasan Regional EAP Sektor

Proyek GCS- Tenurial. Kepastian tenurial bagi masyarakat sekitar hutan. Studi komparasi global ( )

dan Mekanisme Pendanaan REDD+ Komunikasi Publik dengan Tokoh Agama 15 Juni 2011

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

Inisiatif Accountability Framework

Kebijakan Fiskal Sektor Kehutanan

Pandangan Indonesia mengenai NAMAs

Pendahuluan Daniel Murdiyarso

Deklarasi New York tentang Kehutanan Suatu Kerangka Kerja Penilaian dan Laporan Awal

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Peningkatan Kepedulian dan Pemahaman Masyarakat akan Dampak Perubahan Iklim. oleh: Erna Witoelar *)

PERTUMBUHAN LEBIH BAIK, IKLIM LEBIH BAIK

Governance Brief. Bagaimana masyarakat dapat dilibatkan dalam perencanaan tata ruang kabupaten? Penglaman dari Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

Percepatan Peningkatan Aksi-aksi Perubahan Iklim di Tingkat Global : Pandangan Kelompok Masyarakat Sipil

Manusia, Hutan, dan. Perubahan Iklim

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian ini memiliki tema utama yakni upaya yang dilakukan Australia

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan

Dewan Perubahan Iklim Menyongsong Kopenhagen Dewan Perubahan Iklim Menyongsong Kopenhagen

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

BAB V PENUTUP. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

Terjemahan Tanggapan Surat dari AusAID, diterima pada tanggal 24 April 2011

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat.

Laporan Ringkas. Mencegah Risiko Korupsi pada REDD+ di Indonesia. Ahmad Dermawan Elena Petkova Anna Sinaga Mumu Muhajir Yayan Indriatmoko

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. peradaban umat manusia di berbagai belahan dunia (Maryudi, 2015). Luas hutan

BAB 1 PENDAHULUAN. berupa keseimbangan tiga pilar keberlanjutan usaha, yaitu People (sosial), Planet

Kerangka Acuan Call for Proposals : Voice Indonesia

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEMBUAT HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta

ABSTRAK DUKUNGAN AUSTRALIA DALAM PENANGGULANGAN DEFORESTASI HUTAN DI INDONESIA TAHUN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

ATAS RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

REVITALISASI KEHUTANAN

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21

sumber pembangunan ekonomi dan sumber kehidupan masyarakat, tetapi juga sebagai pemelihara lingkungan global.

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia menjadi potensi besar sebagai paru-paru dunia,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INDUSTRI PENGGUNA HARUS MEMBERSIHKAN RANTAI PASOKAN MEREKA

PERUBAHAN IKLIM DAN BENCANA LINGKUNGAN DR. SUNARTO, MS FAKULTAS PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Pemetaan Pendanaan Publik untuk Perubahan Iklim di Indonesia

PRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator, Safeguards Indonesia) Mei 2012

2017, No Pemajuan Kebudayaan Nasional Indonesia secara menyeluruh dan terpadu; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam hur

TFD IMPF III Ringkasan Co-chairs. Pekanbaru 5 8 Maret 2007

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

SINTESA RPI 16 EKONOMI DAN KEBIJAKAN PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI. Koordinator DEDEN DJAENUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

FCPF CARBON FUND DAN STATUS NEGOSIASI TERKINI

BAB V KESIMPULAN. asing. Indonesia telah menjadikan Jepang sebagai bagian penting dalam proses

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Strategi CIFOR

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

Indonesia: Akses Energi Berkelanjutan di Indonesia Timur-Program Pembangunan Jaringan Listrik

Pertama-tama, perkenanlah saya menyampaikan permohonan maaf dari Menteri Luar Negeri yang berhalangan hadir pada pertemuan ini.

Royal Golden Eagle (RGE) Kerangka Kerja Keberlanjutan Industri Kehutanan, Serat Kayu, Pulp & Kertas

KITA, HUTAN DAN PERUBAHAN IKLIM

Pemerintah Indonesia GGGI Program Green Growth

PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF

ACTION PLAN IMPLEMENTASI PERJANJIAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN UNTUK PANGAN DAN PERTANIAN

Prosedur dan Daftar Periksa Kajian Sejawat Laporan Penilaian Nilai Konservasi Tinggi

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013

INDONESIA - AUSTRALIA FOREST CARBON PARTNERSHIP (IAFCP)

BAB I PENDAHULUAN. dunia tersebut. Upaya upaya pembangunan ini dilakukan dengan banyak hal,

Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar

-2- Mengingat : Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REP

BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA ( KEDEPAN)

PROGRAM COREMAP DINILAI TAK EFEKTIF MASYARAKAT NELAYAN TIDAK DILIBATKAN DALAM MENENTUKAN BENTUK PENGELOLAAN KONSERVASI PESISIR.

- 2 - sistem keuangan dan sukses bisnis dalam jangka panjang dengan tetap berkontribusi pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Tujuan pemba

PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN PENANAMAN MODAL

Transkripsi:

WORKING PAPER Politik REDD+ di Media Studi Kasus dari Indonesia Tim Cronin Levania Santoso

Working Paper 54 Politik REDD+ di Media Studi Kasus dari Indonesia Tim Cronin Levania Santoso

Working Paper 54 0 Center for International Forestry Research Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Foto sampul depan oleh CIFOR/Ramadian Bachtiar Cronin, T. dan Santoso, L. 0 Politik REDD+ di media: studi kasus dari Indonesia. Working Paper 54. CIFOR, Bogor, Indonesia Diterjemahkan dari: Cronin, T. and Santoso, L. 00 REDD+ politics in the media: a case study from Indonesia. Working Paper 49. CIFOR, Bogor, Indonesia. CIFOR Jl. CIFOR, Situ Gede Bogor Barat 65 Indonesia T +6 (5) 86-6 F +6 (5) 86-00 E cifor@cgiar.org www.cifor.cgiar.org Pandangan yang diungkapkan dalam buku ini berasal dari penulis dan bukan berarti merupakan pandangan dari CIFOR, lembaga asal penulis atau penyandang dana penerbitan buku ini.

Daftar Isi Ucapan Terima Kasih v. Pendahuluan Pengantar mengenai Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan Studi Perbandingan Global CIFOR tentang REDD+ dan Kriteria 3E 3 Indonesia: Cerita Sejauh Ini 3. Metodologi 5 Apa yang Dimaksud dengan Analisis Media dan Apa yang Dapat Disampaikannya Kepada Kita? 5 Kerangka Media 5 Pemilihan Surat Kabar dan Artikel 6 Proses Pengkodean 6 Wawancara dengan Para Pakar 7 3. Hasil 8 Tingkat dan : Menyibak Dedaunan 8 Peristiwa REDD: Dari Global ke Nasional dan Kembali Lagi 9 Kerangka REDD: Teknis Menjadi Politis Tingkat 3: Menggali Lebih Dalam 4 Pelaku REDD: Beragam Suara, Beberapa Bersuara Lebih Keras Dibandingkan Lainnya 4 Pandangan mengenai REDD: Menjaga Hutan dan Merambahnya Juga 6 REDD dan 3E: Bagi-hasil, Kendali Sumberdaya, dan Kekuatan 0 4. Kesimpulan 4 Referensi 6 Lampiran. Daftar Topik Utama dan Topik 7

Daftar Gambar. Frekuensi Tampilnya Istilah Perubahan Iklim, Hutan dan REDD 8. Frekuensi Ulasan tentang REDD Menurut Surat Kabar Harian Tiap Triwulan 9 3. Peristiwa Terkait dengan Kebijakan REDD yang Dimuat Dalam Media di Indonesia 0 4. Frekuensi Penulisan pada Tingkat Internasional, Nasional dan Daerah Per Tahun 5. Frekuensi Topik atau Tema Utama Tulisan Berdasarkan Buku Kode 6. Frekuensi Tipe Penulisan Per Tahun 3 7. Jumlah Pendukung dan Penentang Berdasarkan Tipe Pemangku Kepentingan 5 8. Jumlah Pembela dan Penentang di Kalangan Pejabat Pemerintah Pusat Menurut Asal Lembaga 5 9. Frekuensi Penilaian Masa Depan Pembela dan Penentang Per Tahun 6 0. Frekuensi Penilaian Masa Depan Pembela dan Penentang Berdasarkan Tipe Pemangku Kepentingan 7. Frekuensi Pandangan Prioritas Pembela dan Penentang Per Tahun 0. Frekuensi Pandangan Prioritas Pembela dan Penentang Berdasarkan Tipe Pemangku Kepentingan

Ucapan Terima Kasih Kami menyampaikan terima kasih atas dukungan yang diperoleh dari Norwegian Agency for Development Cooperation, Australian Agency for International Development, UK Department for International Development, European Commission, Department for International Development Cooperation of Finland, David and Lucile Packard Foundation, Program on Forests, US Agency for International Development dan US Department of Agriculture s Forest Service. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Maria Brockhaus, Monica Di Gregorio, Cecilia Luttrell, Elena Petkova dan Daju Resosudarmo atas kesabaran dalam membimbing dan masukan yang berharga; Adianto Simamora, Ariseno Ridhwan, Brigitta Isworo, Clara Rondonuwu, Endro Yuwono, Harry Surjadi, Johar Arif, Rebecca Henschke dan Sunanda Creagh atas pandangan luas mereka tentang laporan REDD+ di Indonesia; Haryanto, Trinanti Sulamit, Dhini Gilang, Ramadhani Achdiawan, Ronnie Babigumira dan Rosita Go atas bantuan mereka yang tak ternilai dalam pengkodean dan analisis data; Imogen Badgery-Parker atas penyuntingan naskah yang sangat bagus, Wiyanto Suroso untuk penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia dan Divisi Komunikasi CIFOR yang membuat naskah ini menjadi hidup.

. Pendahuluan Aturan bagi-hasil; pengembangan sistem penghitungan karbon nasional; apakah kelapa sawit maupun hutan tanaman semestinya memenuhi syarat untuk menerima kredit REDD+; bagaimana REDD+ mampu menyelaraskan atau tidak dengan kebijakan lain pemerintah tentang hutan; MRV; ancaman korupsi yang menghadang dengan banyaknya aliran uang REDD+; kemungkinan para carbon cowboys menyalahgunakan sistem sehingga merugikan masyarakat rimba; bagaimana REDD+ mampu bersaing dengan kelapa sawit sebagai investasi. Ini adalah jawaban dari Sunanda Creagh (00), koresponden Reuters di Jakarta, ketika ditanya tentang wacana pokok yang membentuk REDD+ pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan serta peningkatan persediaan karbon hutan di negara berkembang di Indonesia. Jawaban Creagh menunjukkan bahwa apa yang dimulai sebagai konsep yang terlihat langsung sebagai pembayaran terhadap negara berkembang dan kaya hutan untuk melestarikan hutan telah berkembang menjadi ladang ranjau politik. Kebijakan publik tidak selalu digerakkan oleh upaya untuk mencari solusi berdasarkan ilmu pengetahuan ataupun hasil proses yang runtut dan logis sebagaimana biasa. Tetapi, proses kebijakan publik lebih digerakkan oleh jaringan yang terdesentralisasi dari para pelaku di banyak tingkatan; melekat pada pasar, jenjang jabatan, koalisi, jaringan, dan negara; serta dipengaruhi oleh banyak kepentingan, strategi, dan keyakinan (Peskett dan Brockhaus 009, hlm. 6). Tidak terkecuali bagi REDD+. REDD+ telah menjadi bagian penting perbincangan dalam proses kebijakan perubahan iklim global dan nasional. Indonesia merupakan negara terbesar ketiga pelepas karbon, dengan lebih dari 80% emisi nasional berasal dari perubahan tata guna lahan terutama deforestasi. Ini membuat kebijakan REDD+ di Indonesia tidak hanya penting secara nasional, tetapi juga global. Sampai saat ini, analisis kebijakan perubahan iklim terpusat pada persoalan global, dengan sedikit perhatian pada perbincangan tingkat nasional, khususnya di negara yang sedang berkembang. Lebih lanjut, analisis tingkat nasional cenderung mengacu pada rekomendasi kebijakan umum tentang apa yang seharusnya dilakukan, padahal semestinya lebih mempertimbangkan persoalan yang diangkat dalam pembicaraan tersebut. Makalah ini menggunakan analisis media untuk meneliti bagaimana perbincangan tentang kebijakan sekitar REDD+ disajikan kepada masyarakat Indonesia. Dengan menelaah muatan laporan media nasional sejak konsep REDD+ pertama kali diajukan pada tahun 005, dan menambahkan kedalaman dan perspektif terhadap pengkodean data yang dilakukan melalui wawancara dengan para jurnalis yang meliput REDD+, kajian ini telah mampu merekam gambaran tentang pelaku, kerangka, proses, dan perbincangan tentang kebijakan yang menggerakkan REDD+ di Indonesia. Kajian ini didasarkan pada hipotesis bahwa mendapatkan pemahaman tentang keragaman kerangka yang digunakan oleh pelaku untuk menentukan dan mempengaruhi perbincangan tentang kebijakan REDD+ dan cara perbincangan ini digambarkan di media akan membantu mengidentifikasi pilihan kebijakan untuk memudahkan mekanisme REDD+ yang efektif, efisien, dan berkesetaraan. Liputan media tentang REDD+ di Indonesia menunjukkan bahwa masalah tersebut telah mendapatkan perhatian masyarakat luas dari berbagai kalangan. Akan tetapi, berbagai pendapat terlihat mengerucut dan beberapa suara terdengar lebih keras dibandingkan yang lain. Bahkan, saat seluruh kalangan masyarakat telah terlibat untuk mendorong proses perbincangan kebijakan, pada saat yang sama, hal ini juga telah memperbesar harapan untuk memperoleh uang dan menimbulkan perselisihan bagi pihak pengendali sumberdaya. Akibatnya, kebutuhan untuk menyeimbangkan kepentingan yang bertentangan dan bersaing sepertinya akan berdampak besar untuk menciptakan strategi REDD+ yang efektif, efisien, dan berkesetaraan.

Working Paper 54 Tentang REDD: Pengantar mengenai Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan Emisi karbon dari perubahan tata guna lahan terutama deforestasi dan degradasi hutan tropis diperkirakan mencapai 5-0% dari seluruh emisi karbon global (IPCC 007), lebih besar dari sektor transportasi global. Peran penting hutan dalam mitigasi perubahan iklim dan kebutuhan akan penetapan secepatnya mekanisme REDD+ secara resmi disahkan dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UN Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) dalam Kesepakatan Kopenhagen, Desember 009 (FCCC/ CP/009/L.7). Gagasan dasarnya ialah agar negara berkembang dan kaya hutan memperoleh imbalan karena melestarikan hutan mereka. Ini melibatkan penetapan nilai karbon hutan yang akan memungkinkan konservasi hutan bersaing secara finansial dengan pemicu utama deforestasi, antara lain konversi pertanian, penebangan hutan, dan pembangunan prasarana. Selain untuk penyimpanan karbon, REDD+ juga dapat memberikan manfaat tambahan yang penting, misalnya pelestarian keanekaragaman hayati, pengurangan kemiskinan, dan perbaikan tata kelola hutan. Walaupun prinsip REDD+ terlihat lugas, penentuan bagaimana praktik implementasinya ternyata jauh lebih rumit. Misalnya, REDD+ hanya akan berjalan jika dirancang dan diterapkan sebagaimana mestinya; jika cukup leluasa untuk menjamin dukungan multilateral yang mengikat, namun cukup spesifik juga untuk diterapkan pada berbagai kondisi nasional; jika biaya transaksi cukup rendah sehingga memungkinkan konservasi hutan mampu bersaing dengan pilihan penggunaan lahan lainnya, namun cukup lengkap untuk menjamin dukungan bagi masyarakat setempat dan masyarakat adat sebagai pemangku hutan yang paling berhak (Kanninen dkk. 007; Angelson 008).Perkembangan perbincangan REDD+ menunjukkan perluasan ruang lingkup secara bertahap: dari RED, atau pencegahan deforestasi sebagaimana yang dirujuk pada waktu itu, saat Konferensi Para Pihak UNFCCC ke- (COP ), di Montreal, Kanada; hingga REDD+, yang mencakup pencegahan degradasi hutan, yang disahkan pada COP 3 di Bali, Indonesia; hingga REDD+, yang mencakup konservasi hutan, pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dan penghutanan kembali/penghutanan yang pertama kali diusulkan pada awal 009. Sebagian pihak bahkan telah mengusulkan REDD++, yang memasukkan simpanan karbon dari kegiatan pertanian. Walaupun model yang disahkan dalam Kesepakatan Kopenhagen diterima menjadi REDD+, karena ruang lingkup kajian ini bersifat sementara, makalah ini menggunakan istilah REDD dalam bab hasil dan metodologi, kecuali apabila merupakan kutipan langsung. Setelah adanya peluang untuk memasukkan pencegahan deforestasi dalam kesepakatan iklim global pada masa mendatang yang diangkat pertama kali dalam COP pada tahun 005, pembahasan resmi di tingkat internasional mulamula mengkhususkan pada persoalan teknis dan metodologi. Akan tetapi, karena banyaknya pelaku utama yang muncul dalam perbincangan global REDD+ merasa peduli dengan tujuan di luar mitigasi perubahan iklim, wacana tentang hal ini kemudian berkembang menjadi tawar-menawar politik (Peskett dan Brockhaus 009, hlm. 7). Sebagaimana telah diidentifikasi oleh Creagh, persoalan seperti hak atas lahan, hak adat, mekanisme pendanaan, korupsi dan tingkat acuan emisi sekarang menjadi topik dalam banyak perbincangan di kalangan pemerintah, perusahaan, dan pemangku kepentingan masyarakat. Kepedulian terhadap REDD+ di antara negara berkembang mencakup kemungkinan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan hilangnya kedaulatan nasional; sedangkan kepedulian negara maju mencakup isu kebocoran, keberlanjutan, nilai tambah, dan akibat ekonomi apabila memasukkan REDD+ ke dalam mekanisme seperti pasar karbon internasional. Di tingkat nasional, tantangan umumnya meliputi: memastikan komitmen pejabat tinggi pemerintah; mencapai koordinasi yang kuat di dalam pemerintahan dan di antara pihak pemerintah dan non-pemerintah; merancang mekanisme untuk memastikan partisipasi dan bagi-hasil; dan menetapkan sistem pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) (Peskett dan Brockhaus 009, hlm. 5). Faktanya, lebih dari 40 negara melangkah maju melalui beragam model REDD+.

Politik REDD+ di Media: Studi Kasus dari Indonesia 3 Studi Perbandingan Global CIFOR tentang REDD+ dan Kriteria 3E Meskipun terdapat risiko dan ketidakpastian terkait REDD+, diakui secara luas bahwa risiko dan ketidakpastian jauh lebih besar apabila tidak ada tindakan untuk mengatasi deforestasi (Stern 006). Mendesaknya perubahan iklim berarti tidak cukupnya waktu untuk menyempurnakan rancangan kebijakan REDD+ sebelum pelaksanaan. Oleh karena itu, CIFOR sedang melakukan studi perbandingan global tahunan mengenai REDD+ di berbagai negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Studi ini akan memberikan analisis berbasis ilmu pengetahuan tentang proses, strategi, dan pelaksanaan kebijakan untuk para pembuat kebijakan, praktisi, penyandang dana, dan juru runding. Tujuannya ialah untuk membantu penetapan keputusan berlandaskan informasi yang akan membantu tercapainya program REDD+ yang efektif, efisien, dan berkesetaraan. Ini dikenal dengan kriteria 3E (effective, efficient and equitable). Efektivitas berarti jumlah emisi berkurang dengan tindakan REDD+. Apakah seluruh sasaran iklim tercapai? Efisiensi berarti biaya terendah untuk pengurangan emisi. Apakah sasaran tersebut dapat dicapai dengan biaya seminimal mungkin? Kesetaraan berarti distribusi biaya dan manfaat REDD+. Apakah pembagian manfaat dan biaya dialokasikan secara merata? (Angelsen 009, hlm. 5) Studi ini terdiri dari 3 komponen penelitian: ) proses dan kebijakan nasional REDD+; ) demonstrasi proyek REDD+; dan 3) pemantauan dan tingkat acuan REDD+. Komponen pertama, yang mencakup makalah ini, menganalisis bagaimana proses nasional dalam merumuskan dan menerapkan kebijakan REDD+ mencerminkan beragam kepentingan di semua tingkatan. Ini didasarkan pada anggapan bahwa hasil 3E dari strategi nasional REDD+ tergantung pada struktur tata kelola setiap negara, yaitu pelaku, mekanisme, proses kebijakan, konteks kelembagaan, dan keadaan ekonomi makronya. Dari hal ini maka dibuatlah hipotesis bahwa luaran 3E atas strategi nasional REDD+ setiap negara dapat ditingkatkan dengan memahami hubungan antara pelaku, struktur, proses, dan kebijakan, serta dengan merancang pilihan-pilihan mekanisme REDD+ yang tepat setelah memperoleh pemahaman ini. Indonesia: Cerita Sejauh Ini Indonesia memiliki 86-93 juta ha tutupan hutan (hampir 50% dari luas lahan); hanya Brazil dan Republik Demokratik Kongo yang memiliki hutan tropis lebih luas. Hutan di Indonesia merupakan salah satu dari ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di muka bumi. Hutan tersebut merupakan habitat bagi 7% burung, 6% reptil dan amfibi, % mamalia, dan 0% tumbuhan di dunia (Bank Dunia 007). Lebih kurang separuh lahan gambut tropis di dunia berada di Indonesia seluas lebih kurang juta hektar. Ini setara dengan sekitar 83% luas lahan gambut di Asia Tenggara (FAO 006). Meskipun perhitungan berbeda-beda, tingkat deforestasi di Indonesia diperkirakan sekitar,8 juta ha per tahun, atau sekitar % dari luas seluruh tutupan hutan (Bank Dunia 007). Antara tahun 990 dan 005, Indonesia kehilangan sekitar 8 juta ha hutan atau 4% dari luas seluruh tutupan hutan (FAO 006). Menurut data Kementerian Kehutanan, pembalakan liar telah mencapai 75% konsumsi kayu tahunan di Indonesia (00), walaupun angka ini telah anjlok di tahun-tahun terakhir. Emisi karbon dioksida tahunan Indonesia diperkirakan sedikitnya lebih dari 3 milyar ton, yang 85% diantaranya berasal dari kehutanan dan perubahan penggunaan lahan (PEACE 007). Penggerak deforestasi di Indonesia pada umumnya mencakup perluasan lahan pertanian dan bioenergi, pembalakan, dan pembangunan infrastruktur. Menurut Buckland (005), perkebunan kelapa sawit merupakan penyebab utama frekmentasi hutan dan hilangnya habitat hutan. Menurut Moeliono (009, hlm. 78), selama hampir satu dasawarsa perluasan proses desentralisasi kehutanan di Indonesia, tata kelola hutan tidak kunjung membaik dan perjuangan untuk mengendalikan sumberdaya hutan masih belum kunjung tuntas. Sementara Kementerian Kehutanan mengalami keragaman pengalaman dengan program-program kehutanan masyarakat dan reformasi hak guna hutan, sebagian besar prakarsa tersebut menitikberatkan pada penggunaan

4 Working Paper 54 dan akses ke sumberdaya hutan, bukan penetapan keputusan ataupun kepemilikan. Akibatnya, sebagian kabupaten yang kaya hutan semakin bersemangat memburu REDD+, mengadakan perjanjian dengan LSM internasional, perantara swasta, dan bank investasi multinasional untuk bergabung memasuki pasar karbon sukarela. Sebagian lainnya terus mengubah lahan hutan untuk penggunaan lain dengan tujuan pembangunan. Salah satu langkah paling awal dalam proses REDD+ di Indonesia ialah pembentukan Aliansi Hutan- Iklim Indonesia (Indonesian Forest Climate Alliance/ IFCA) pada bulan Desember 007, tepat menjelang COP 3 di Bali. Sejak saat itu, pemerintah pusat telah disibukkan dengan prakarsa-prakarsa multilateral yang menggerakkan REDD+ di tingkat global, misalnya Forest Carbon Partnership Facility dan program UN-REDD, dan membentuk lembaga nasional seperti Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), di bawah Kantor Presiden, dan Komisi REDD+, di bawah Kementerian Kehutanan. Beberapa peraturan penting telah diterbitkan untuk memudahkan jalan bagi penerapan REDD+. Akan tetapi, ketika sejumlah proyek rintisan telah dikenal, pemerintah tidak mampu menghargai banyak proyek yang diprakarsai oleh pemerintah daerah, LSM, dan sektor swasta (Murdiyarso 009, hlm. 3).

. Metodologi Apa yang Dimaksud dengan Analisis Media dan Apa yang Dapat Disampaikannya Kepada Kita? Politik budaya mengenai perubahan iklim merupakan ajang yang dinamis dan diperebutkan oleh banyak pihak (Boykoff 008, hlm. 565), dan ada banyak persaingan antara ilmuwan, industri, penentu kebijakan, dan LSM. Masing-masing pihak dengan giat berupaya membentuk sudut pandang tertentu tentang persoalan tersebut untuk diterapkan (Anderson 009, hlm. 66). Media massa merupakan sekumpulan pihak non-pemerintah yang berpengaruh dan beragam (Boykoff 008, hlm. 550) yang berfungsi sebagai etalase dan penggerak wacana tidak resmi maupun resmi, yang mewujudkan pengungkapan kepribadian budaya dan politik. Di satu sisi, laporan media mencerminkan tanggapan masyarakat yang ada tentang suatu persoalan. Di sisi lain, laporan media akan mempengaruhi tanggapan masyarakat tentang suatu persoalan. Oleh karena itu, dengan mengkaji bagaimana media menggambarkan proses kebijakan dan bagaimana berbagai pihak mewakili kepentingan mereka untuk menguatkan koalisi politik dan mempengaruhi pendapat umum, kita dapat mengenali beberapa tantangan utama dalam ranah kebijakan. Sejak media mulai melaporkan perubahan iklim pada akhir tahun 980-an, berbagai kajian telah mengulas bagaimana liputan ini mencerminkan dan mempengaruhi kebijakan mengenai perubahan iklim. Seiring waktu, analisis ini telah semakin canggih, yang memakai banyak alat bantu analisis wacana yang beragam, terfokus, dan kritis. Sebagai contoh, Boykoff telah mengidentifikasi bagaimana tabloid-tabloid di Inggris menyajikan nada ketakutan, nestapa, dan malapetaka untuk membantu mempercepat penerimaan secara statis kondisi ketidakadilan yang ada dan bukannya dorongan untuk mengatasi persoalan yang terkait dengan perubahan iklim, perbedaan sosial ekonomi, dan perbedaan kerentanan (008, hlm. 563); dan bagaimana liputan media AS tentang perubahan iklim telah mengacaukan norma jurnalistik yang telah melembaga tentang pelaporan berimbang (007). Carvalho (007) menunjukkan bagaimana penggambaran media tentang ilmu perubahan iklim terkekang kuat oleh pandangan ideologi. Tynkkynen (00) menemukan bahwa wacana perubahan iklim di Rusia digerakkan oleh pandangan kebangsaan tentang Rusia sebagai sebuah Kekuatan Besar dan bukannya keharusan politik, ekonomi, sosial atau lingkungan. Meskipun demikian, beberapa studi telah dilakukan di negara-negara berkembang, walaupun negaranegara tersebut sepertinya mengalami penderitaan sebagai akibat terburuk dari perubahan iklim. Disamping itu, sedikit atau tidak ada analisis berbasis media yang dilakukan secara khusus tentang REDD+ mengingat pentingnya hal ini bagi pembicaraan tentang perubahan iklim global. Menurut Anderson (009), hanya sebuah terbitan penelitian (dari Panos Institut) yang memasukkan pandangan para jurnalis dan pekerja profesional media di negara berkembang. Kerangka Media Penentuan kerangka merupakan bagian penting dari komunikasi, yang digunakan untuk menciptakan suasana dan membuat perpaduan yang dinamis terhadap masalah, peristiwa, dan kejadian. Menurut Bennet (dikutip dalam Boykoff 008, hlm. 555), kerangka media ialah tema pengaturan yang luas untuk memilih, menekankan, dan menautkan unsurunsur sebuah cerita seperti adegan, karakter, tindakan mereka, dan dokumentasi pendukungnya. Kerangka Metodologi analisis ini diadaptasi oleh Monica Di Gregorio (Development Studies Institute, London School of Economics) dari Code book for the analysis of media frames in REDD articles (Buku kode untuk analisis kerangka media dalam artikel mengenai REDD) oleh Stephan Price (University of Kent) dan Clare Saunders (University of Southampton), ditulis pada tahun 009 dan diterapkan dalam program penelitian kebijakan perubahan iklim, COMPON, yang dipimpin oleh Jeffrey Broadbent (University of Minnesota). Materi dan panduan proyek CIFOR dengan metodologi yang telah disesuaikan diharapkan siap pada awal tahun 0 pada ForestsClimateChange.org.

6 Working Paper 54 ialah lensa konseptual yang membawa aspek-aspek kenyataan tertentu menjadi lebih terpusat sambil mengalihkan aspek lain sebagai latar belakang. Kerangka utama suatu artikel berita kemungkinan besar diambil dari tajuk utama, subjudul, dan/ atau beberapa alinea pertama. Dalam artikel yang lebih panjang, alinea-alinea berikutnya mungkin mengkaji cerita dari sudut pandang yang berbeda, yang umumnya mengembalikan ke tema semula dalam kesimpulan; dalam hal demikian, artikel berita dikatakan memiliki kerangka atau mungkin lebih. Mengidentifikasi kerangka utama dan sekunder memungkinkan kita tidak sekadar mengetahui berbagai cara yang mungkin digunakan oleh wartawan atau editor untuk memahami persoalan tertentu, tetapi juga menilai pentingnya membandingkan pemahaman yang berbeda ini. Kerangka utama kemungkinan besar mengutip sumber untuk membela kerangka tersebut dan, demi memperoleh berita yang berimbang, mungkin juga memasukkan pandangan yang berbeda dari yang semula diajukan, yang di sini disebut sebagai pihak yang berseberangan. Pihak yang berseberangan umumnya kurang ditonjolkan, kurang diberi ruang dan suara langsung dibandingkan dengan pembela. Sekali lagi, mengenali pembela dan pihak yang berseberangan memungkinkan kita tidak hanya dapat mengetahui pihak utama yang membentuk wacana tentang persoalan tertentu, tetapi juga menilai pentingnya membandingkan apa yang digambarkan oleh wartawan dan editor atas para pihak ini (Di Gregorio 009, hlm. ). Pemilihan Surat Kabar dan Artikel Kami memilih 3 surat kabar nasional di Indonesia Kompas, Media Indonesia, dan Republika yang dianggap mampu menggambarkan sebaran letak geografis, sosial, dan politik tentang REDD+ di Indonesia. Oplah harian Kompas lebih kurang 500.000 (hingga 600.000 pada hari Minggu), dan diperkirakan bahwa setiap eksemplar dibaca oleh 5 orang. Hal ini menjadikannya surat kabar yang paling banyak dibaca di Indonesia. Kompas didistribusikan secara nasional dan dicetak di Jakarta, Jawa Tengah, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara. Kompas juga menjangkau keanekaragaman agama dan etnis. Kompas secara umum dianggap sebagai usaha independen, tanpa afiliasi politik tertentu, walaupun wartawan Brigitta Isworo menggambarkan banyak diantara pembacanya sebagai pembuat kebijakan. Oplah harian Media Indonesia lebih kurang 300.000 terbesar ketiga di Indonesia yang setiap eksemplar diperkirakan dibaca oleh 3 hingga 4 orang. Sasaran pembacanya dianggap sebagai kelas menengah ke atas. Media Indonesia Group, dimiliki oleh seorang pengusaha terkemuka, Surya Paloh. Paloh memiliki hubungan erat dengan partai politik Golkar dan gagal meraih jabatan ketua partai ini pada tahun 009. Sejak saat itu, dia mendirikan Partai Nasional Demokrat. Oplah harian Republika lebih kurang 00.000, dengan setiap eksemplar diperkirakan dibaca oleh 5 orang. Surat kabar ini didistribusikan secara nasional, tetapi sebagian besar terpusat di Jawa dan dalam jumlah lebih kecil di Sumatera. Sasaran pembaca Republika ialah masyarakat Muslim, termasuk para pemimpin Islam; menurut wartawan Johar Arif, sebagian besar pembacanya (hingga 60%) perempuan. Republika sebelumnya memiliki ikatan dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), tetapi sekarang ini dimiliki oleh pengusaha muda, Erick Thohir. Jumlah artikel surat kabar untuk analisis wacana dikumpulkan melalui pertanyaan Boole elektronis menggunakan kata kunci REDD, penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi dan pencegahan deforestasi. Ketiga surat kabar tersebut diterbitkan di Indonesia sehingga kata kuncinya diterjemahkan dan dinaturalisasikan. Pencarian mencakup seluruh laporan berita, cerita fitur, editorial, dan surat pembaca sejak Desember 005, ketika konsep REDD pertama kali diusulkan secara resmi dalam COP. Proses Pengkodean Pelaksanaan pengkodean mencakup pengumpulan data pada 3 tahap. Pengkodean tingkat hanya mengambil variabel deksriptif, termasuk tanggal dan penulis, panjang artikel, hari diterbitkan, dan terdapat di bagian apa dalam surat kabar tersebut. Walaupun kebanyakan

Politik REDD+ di Media: Studi Kasus dari Indonesia 7 digunakan untuk tujuan identifikasi, pengkodean tingkat dapat menunjukkan pergeseran prioritas yang diberikan pada liputan mengenai REDD di media tersebut. Pengkodean tingkat juga menunjukkan apakah artikel tersebut hanya menyebutkan REDD secara sekilas; jika demikian, maka data lebih lanjut tidak dikumpulkan. Pengkodean tingkat menghimpun berbagai variabel tentang kerangka utama dan, bila memungkinkan, kerangka sekunder. Ini mencakup: cara artikel tersebut membentuk kerangka perbincangan mengenai REDD, misalnya diagnostik (penentuan masalah), prognostik (pemerkiraan), simtomatik (penyajian gejala), motivasional (pemberian semangat); skala politik kerangka perbincangan tersebut (misalnya internasional, nasional, daerah); dan pokok bahasan khusus yang berhubungan dengan kerangka perbincangan (misalnya politik, ekonomi, ekologi). Pengkodean tingkat 3 mengidentifikasi kerangka utama dan sekunder secara lebih terperinci. Hal ini mencakup identifikasi tokoh pembela dan pihak yang berseberangan dalam kerangka tersebut, kedudukan ideologis tertentu dan penilaian mereka tentang hasil REDD pada masa mendatang. Ini memungkinkan identifikasi yang lebih terperinci tentang wacana terkait REDD di Indonesia dan berbagai koalisi yang membela pendekatan REDD tertentu. Pengkodean tingkat 3 juga mencakup daftar peristiwa protes, peristiwa kebijakan, dan pelaku inti. Untuk tujuan pengkodean, peristiwa protes diberi batasan sebagai sebuah tindakan kolektif masyarakat mengenai persoalan dan kepedulian yang tegas terhadap lingkungan [dalam hal ini, REDD] dinyatakan sebagai ukuran terpenting, yang diatur oleh pegiat non-pemerintah dengan tujuan tegas sebagai kritik atau ketidaksetujuan, yang sekaligus tuntutan sosial dan/atau politik (Fillieule dan Jimenez 006, hlm. 73). Peristiwa kebijakan diberi batasan sebagai sebuah titik keputusan kritis yang bersifat sementara dalam rangkaian penetapan keputusan bersama yang harus terjadi agar pilihan kebijakan akhirnya dipilih (Laumann dan Knoke 987, hlm. 5). Pelaku inti diberi batasan sebagai sebuah organisasi dan/atau perorangan yang menyatakan dirinya dan yang dianggap oleh pihak lain sebagai bagian dari ranah kebijakan REDD nasional (Laumann dan Knoke 987, hlm. 5). Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), LSM di Jakarta, melakukan pekerjaan pengkodean tersebut. Artikel-artikel diberi kode dalam bahasa Indonesia, dan variabel untaian (string) diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Sebelum memulai pengkodean, diadakan pelatihan dengan orang pengkode dari LSPP. Selama pelatihan, metodologi dibahas secara terperinci dan beberapa artikel contoh diberi kode. Beberapa hasil yang berlainan dikaji dalam kelompok untuk memastikan pemahaman umum tentang variabel yang memungkinkan memiliki lebih satu makna. Selama proses pengkodean, uji keandalan antar pengkode dilakukan, yang melibatkan pemberian nilai atas 0 sampel acak untuk menetapkan tingkat konsistensi. Dengan memperhitungkan akurasi, diperoleh tingkat keandalan antar pengkode sebesar 85%. Wawancara dengan Para Pakar Untuk melengkapi proses pengkodean, wawancara singkat dilakukan dengan wartawan tertentu yang telah meliput REDD di Indonesia. Pihak yang diwawancarai adalah wartawan yang sering menulis dari masing-masing 3 surat kabar yang dikode; wartawan dari The Jakarta Post, surat kabar berbahasa Inggris yang paling banyak dibaca di Indonesia; koresponden asing dari Reuters; pendiri Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (Society for Indonesian Environmental Journalist/SIEJ); produser Green News Metro TV; dan produser Asia Calling, siaran program urusan terkini radio hingga 0 negara lintas wilayah. Pertanyaan dirancang untuk menambah kedalaman dan wawasan pada data yang dikode, untuk memunculkan pandangan pribadi wartawan tentang evolusi REDD di Indonesia dan untuk memvalidasi dan menjelaskan tren-tren tertentu. Pertanyaan meliputi banyak persoalan sekitar liputan media tentang REDD di Indonesia, termasuk hubungannya dengan kebijakan iklim dan penelitian iklim. Pertanyaan-pertanyaan itu dikelompokkan menjadi 3: pelaku, topik, dan posisi kebijakan; kronologi peristiwa kebijakan utama; dan sumbersumber informasi.

3. Hasil Tingkat dan : Menyibak Dedaunan Kajian ini mencakup 3 tingkat analisis pengkodean. Tingkat dan menunjukkan bahwa REDD ataupun perubahan iklim tidak banyak dilaporkan di Indonesia sebelum 007, tetapi mendapatkan perhatian besar media ketika Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Para Pihak ke-3 (COP 3) UNFCCC pada Desember 007. Ketika sebagian besar artikel berada di tingkat internasional, pada tahun 008, terlihat adanya pergeseran skala ke tingkat nasional karena perhatian publik bergeser dari pertemuan internasional bersejarah tersebut ke peristiwa-peristiwa dalam negeri. Lebih dari separuh artikel berita tentang REDD memusatkan pada persoalan politik dan penentuan kebijakan, jarang yang kepedulian utamanya pada ilmu pengetahuan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang akses media untuk memperoleh penjelasan yang jelas dan mutakhir tentang informasi ilmiah dan teknis, serta kemampuan media untuk menyaring laporan yang rumit dan seringkali subjektif, menjadi komentar yang objektif dan faktual tentang persoalan tersebut. Sejak Desember 005 hingga Desember 009, seluruhnya ada 3.437 artikel di Kompas, Media Indonesia, dan Republika yang menyebutkan perubahan iklim. Secara keseluruhan, 637 menyebutkan perubahan iklim dan hutan, dan 90 menyebutkan REDD. Gambar mengilustrasikan liputan berita luar biasa besar tentang perubahan iklim di Indonesia selama tahun 007. Menurut data yang dikode, dan ditegaskan dengan jawaban wawancara, hal ini hampir bisa diacu secara eksklusif dengan Indonesia yang menjadi tuan rumah COP 3. Menurut Clara Rondonuwu, wartawan Media Indonesia, kisah tentang iklim dan lingkungan, yang biasa dipasang di tengah halaman dan mendapat sedikit perhatian, tiba-tiba menjadi judul berita selama kegiatan di Bali. Kenyataannya, REDD tidak diliput sama sekali dalam pers Indonesia sampai tahun 007, meskipun konsep tersebut pertama kali diangkat pada COP di Montreal, tahun sebelumnya. Meskipun perubahan iklim sendiri jarang dilaporkan di Indonesia sebelum tahun 007; Kompas, surat kabar yang paling banyak dibaca di Indonesia, tidak menyebutkan perubahan iklim sama sekali selama tahun 005-006. Dari 39 tulisan yang menyebutkan perubahan iklim pada tahun 005, 37 di antaranya muncul di Republika. 500 000 Jumlah artikel 500 000 500 0 005 006 007 008 009 REDD 0 0 08 6 56 Perubahan iklim dan hutan 4 5 35 46 Perubahan iklim 39 0 489 737 06 Gambar. Frekuensi Tampilnya Istilah Perubahan Iklim, Hutan dan REDD

Politik REDD+ di Media: Studi Kasus dari Indonesia 9 00 90 80 70 Frekuensi 60 50 40 30 0 0 0 April- Juni 007 Juli- Sept 007 Okt- Des 007 Jan- Maret 008 April- Juni 008 Juli- Sept 008 Okt- Des 008 Jan- Maret 009 April- Juni 009 Juli- Sept 009 Okt- Des 009 Republika 0 4 0 Media Indonesia 5 37 0 3 4 7 Kompas 3 3 33 4 6 6 4 0 6 6 Gambar. Frekuensi Ulasan tentang REDD Menurut Surat Kabar Harian Tiap Triwulan Jumlah tulisan tentang REDD secara proporsi dari seluruh tulisan yang menyebutkan perubahan iklim, turun dari 7% pada tahun 007 menjadi 5% pada tahun 009. Ini mungkin menunjukkan bahwa REDD menjadi kurang penting dalam perbincangan tentang perubahan iklim di Indonesia, atau bahwa REDD menjadi lebih sulit diliput oleh media. Penyebutan REDD pertama kali di Indonesia muncul di Kompas pada bulan April 007, dalam sebuah tulisan berjudul Australia akan membantu mengatasi deforestasi di Indonesia. Menteri Lingkungan Hidup Australia pada waktu itu, Malcolm Turnbull, yang dikutip ketika mengatakan: hutan Indonesia adalah paru-paru dunia dan, oleh karenanya, menjadi kepentingan masyarakat internasional, bukan hanya persoalan Indonesia. Seperti yang diilustrasikan pada Gambar, separuh dari seluruh liputan tentang REDD muncul selama Oktober-Desember 007 (94 artikel), yang bertepatan dengan COP 3 di Bali. Selanjutnya 8% (34) muncul selama triwulan Oktober- Desember 009, yang bertepatan dengan COP 5 di Kopenhagen (7-9 Desember). Oleh karena itu, lebih dari dua kali lipat liputan terjadi selama 6 bulan ini dibandingkan 7 bulan lain sejak REDD pertama kali disebutkan atau 43 bulan jika kita menghitung COP di Montreal. Meskipun UNFCCC mengadakan Konferensi Para Pihak pada tahun 008 (COP 4, di Poznań, Polandia), REDD mendapatkan perhatian media yang jauh lebih sedikit dibandingkan ketika di Bali dan Kopenhagen. Walaupun Kompas memunculkan separuh dari keseluruhan liputan, liputan sebelum dan selama COP 3 di Bali rata-rata lebih tersebar merata di 3 surat kabar. Kenyataannya, selama periode ini, Media Indonesia sebenarnya menuliskan lebih banyak artikel tentang REDD (37) dibandingkan Kompas (33). Hal ini sangat kontras dengan penyebaran liputan sebelum dan selama COP 5 di Kopenhagen, ketika Kompas menuliskan artikel tentang topik tersebut lebih dari 3 kali lipat (6 artikel) dibandingkan gabungan Media Indonesia (7) dan Republika (). Peristiwa REDD: Dari Global ke Nasional dan Kembali Lagi Beberapa peristiwa kebijakan internasional dan domestik penting, yang telah diliput media, berpengaruh pada evolusi REDD di Indonesia

0 Working Paper 54 (Gambar 3). Peristiwa-peristiwa ini mencakup Konferensi Para Pihak UNFCCC, pembentukan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), pembentukan kerja sama bilateral antara Indonesia dan Australia dan sejumlah peraturan yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kebijakan REDD. Peraturan ini meliputi tindakan yang terkait dengan: pengelolaan dan pemanfaatan hutan (PP No. 6/007); rehabilitasi lahan gambut (Inpres No. /007) dan pemanfaatan lahan gambut untuk kelapa sawit (Permentan No. 4/009); prosedur REDD (Permenhut No. 30/009); dan pelonggaran batasan tentang hutan lindung dan hutan produksi yang ditebang untuk pertambangan, energi, dan prasarana telekomunikasi (PP No. /008). Seperti yang kita bahas di bawah ini, peraturan ini tidak selalu saling melengkapi. Ketika urutan waktu tentang kebijakan ini dilihat dalam kaitannya dengan Gambar, tampaknya hanya COP 3 di Bali pada tahun 007 dan COP 5 di Kopenhagen pada tahun 009 yang memiliki dampak penting dalam hal jumlah liputan media tentang REDD. COP 3 diselenggarakan di Indonesia, sehingga pasti banyak media domestik yang hadir. Hasil COP 3 ialah Bali Action Plan, proses negosiasi iklim tahun yang puncaknya pada COP 5 di Kopenhagen. Seperti yang dinyatakan oleh Clara Rondonuwu dari Media Indonesia: REDD seperti bentuk perjuangan diplomatik bagi Indonesia dalam forum besar tentang perubahan iklim. Menurut Ariseno Ridhwan, produser Metro TV, antara COP 3 dan COP 5 persoalan REDD menurun. Hal ini ada secara tidak disadari walaupun tidak besar, bahkan tidak selama Poznań (COP 4). Akan tetapi, tidak hanya jumlah liputan media yang menurun tajam pada tahun 008, tetapi juga pergeseran fokus liputan dari peristiwa kebijakan internasional ke peristiwa dalam negeri. Selama jangka waktu 3 tahun, kebanyakan kerangka media ada pada tingkat internasional (53%), hanya sepertiga di tingkat nasional (38%). Akan tetapi, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4, pergeseran besar dari fokus tingkat internasional (7%) ke nasional (67%) terjadi pada tahun 008. Ini berkaitan dengan peristiwa kebijakan utama yang diidentifikasi pada Gambar 3, yang menampilkan peluncuran proyek demonstrasi REDD, pembentukan DNPI, dan sejumlah peraturan pemerintah nasional. Meskipun ada perubahan skala dalam fokus pelaporan, terdapat tingkat konsistensi wacana yang terus berkisar sekitar persoalan seperti hak tanah, mekanisme pendanaan, perhitungan karbon, dan biaya peluang. Ketika wacana tersebut benarbenar bergeser skalanya, maka terjadi pergeseran Desember Peluncuran Sarana Kemitraan Karbon Hutan Bank Dunia 4 September Pertemuan Forest di New York 3-4 Desember COP 3 di Bali - Desember COP 4 di Poznań 7-8 Desember COP 5 di Copenhagen 8 Sept 9 Okt Pembicaraan UNFCC tentang Iklim di Bangkok 007 008 009 PP No. 6/007 Inpres No. /007 November Pembentukan Aliansi Hutan-Iklim Indonesia PP No. /008 4 Juli Pembentukan Dewan Perubahan Iklim Nasional Permenhut No. 30/009 Permentan No.4/009 0 Februari Kerjasama Bilateral Australia- Indonesia tentang Kemitraan Hutan-Iklim Kalimantan Gambar 3. Peristiwa Terkait dengan Kebijakan REDD yang Dimuat dalam Media di Indonesia

Politik REDD+ di Media: Studi Kasus dari Indonesia 00% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 0% 0% 0% 6 6 48 77 Gambar 4. Frekuensi Penulisan pada Tingkat Internasional, Nasional dan Daerah Per Tahun pemahaman atau konteks persoalan besar ini. Sebagai contoh, di tingkat internasional dan nasional, kembali ada wacana distribusi biaya dan manfaat REDD, yang berkisar tentang masalah biaya peluang penerapan REDD akan dimunculkan oleh suatu kelompok pelaku sedangkan manfaat REDD akan cocok apabila dilakukan oleh kelompok yang lebih kuat. Di tingkat internasional, masalahnya adalah bahwa negara-negara berkembang seperti Indonesia akan dipaksa untuk menurunkan pertumbuhan ekonomi mereka melalui prakarsa-prakarsa seperti REDD, untuk menebus dosa negara maju yang menjadi sumber polusi, yang teguh dengan cara mereka untuk mencapai kemakmuran. Di tingkat nasional dan daerah, perhatiannya adalah bahwa masyarakat lokal dan masyarakat adat akan menanggung biaya REDD, sedangkan para elit dan kapitalis dan perantara karbon yang oportunis akan menikmati manfaatnya. Sebagai contoh, Hadi S. Pasaribu, dari Kementerian Kehutanan, membuat kerangka argumen sekitar tanggung jawab negara-negara industri untuk menyediakan insentif yang cukup bagi Indonesia untuk melestarikan hutan-hutan tropisnya: Pasti ada kompensasi untuk ini, ketika hutan Indonesia membantu dunia menyerap emisi karbon ( Negara maju tolak danai REDD, Republika, 0 8 8 38 007 008 009 Internasional Nasional Daerah Desember 007). Akan tetapi, ketika pandangan tersebut diturunkan ke tingkat nasional, Federasi Masyarakat Adat Internasional untuk Perubahan Iklim (International Federation of Indigenous Peoples for Climate Change) membuat kerangka argumen serupa dengan cara berbeda, yang mengklaim bahwa REDD akan melanggar hak atas lahan, batasbatas wilayah, dan sumberdaya masyarakat adat [dengan memberikan] kendali yang lebih besar atas hutan kepada negara dan pedagang karbon (RI siap jadi proyek contoh REDD, Media Indonesia, 5 Desember 007). Kerangka REDD: Teknis Menjadi Politis Dari 90 artikel, lebih dari tiga perempat (77%) artikel berita hanya memiliki satu kerangka, yang berarti artikel-artikel itu jarang mengkaji REDD berdasarkan lebih dari satu sudut pandang. Oleh karena itu, kami mengkaji total 33 kerangka, yang sebagian besar dikaji dari sudut pandang politik. Dari kerangka tersebut, 59% fokus pada politik dan penentuan kebijakan, dimana sekitar separuhnya secara khusus ada dalam organisasi internasional dan pembicaraan politik (lihat Lampiran untuk melihat daftar lengkap topik dan topik ganda). Persoalan ekologi (termasuk deforestasi) dan ekonomi serta pasar (terutama yang terkait dengan persoalan pendanaan) masing-masing terdiri dari 5% kerangka. Tata kelola, masyarakat madani, ilmu pengetahuan, dan budaya jarang menjadi fokus utama. Angka statistik ini kurang lebih sama selama 3 tahun liputan REDD. Brigitta Isworo menjelaskan bahwa Kompas berawal dari ketertarikan para pembacanya ketika membuat keputusan mengenai tajuk rencana, yang mendasarkan hanya pada ilmu pengetahuan sebagai latar belakang tulisan: Siapakah mereka? Apa yang mereka perlukan?... Kami menyampaikan kepada masyarakat tentang kebijakan pemerintah terhadap REDD, karena kebijakan ini akan mempengaruhi kehidupan mereka. Oleh karena itu, kami akan mengkritisi kebijakankebijakan ini bila diperlukan. Pendekatan ini terlihat jelas pada ketiga surat kabar tersebut. Sebagai contoh misalnya, Republika menurunkan tulisan selama COP 3 yang pada

Working Paper 54 Politik dan 37 Ekologi Ekonomi dan 35 36 Masyarakat Madani 0 Sains Berkenaan dengan Tata Kelola 7 6 Lainnya Budaya 0 5 50 75 00 5 50 Gambar 5. Frekuensi Topik atau Tema Utama Tulisan Berdasarkan Buku Kode intinya tentang hal teknis terkait masuknya kata tata guna lahan dalam teks negosiasi. Akan tetapi, judul ( Skema REDD terganjal sikap AS, 3 Desember 007) dan tulisan itu membahas persoalan dari sudut politik, dengan mengutip pejabat Kementerian Kehutanan yang menyatakan: Ini membuka peluang bagi negara-negara maju untuk mendikte bagaimana negara-negara berkembang menggunakan lahan mereka. Walaupun Isworo menyatakan bahwa dia memilih menggunakan ilmu pengetahuan sebagai latar belakang tulisan, dia juga menyatakan bahwa akses ke penjelasan yang jelas, akurat, dan mutakhir tentang persoalan ilmiah dan teknis REDD sulit didapatkan: sebagai orang awam, ketika kami meminta perincian lebih jelas tentang metode penghitungan atau hal lain yang berkaitan dengan REDD, sampai sekarang kami tidak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan... penjelasannya masih kabur. Kekhawatirannya dibenarkan oleh wartawan lainnya. Clara Rondonuwu, dari Media Indonesia, menjelaskan tentang ketidakmampuan akademisi untuk menjelaskan makna REDD sebenarnya kepada wartawan dan menyatakan bahwa datanya masih sulit didapat ; Rebecca Henschke, dari Asia Calling, setuju bahwa ilmu pengetahuan adalah wilayah yang masih gelap dan menantang. Fokus pada politik dan penetapan keputusan juga mencerminkan cara yang, disamping berkontribusi lebih pada rasionalitas dibandingkan politik, ilmu pengetahuan telah dieksploitasi untuk tujuan politik. Ini dikarenakan sebagian ketidakjelasan ilmiah sekitar persoalan lingkungan dan tingkat ketidakpastian ini membuat para pelaku politik harus secara selektif menerapkan keahlian ilmiah pada kepentingan politik mereka. Contohnya adalah hubungan yang didokumentasikan antara lembaga pemikir yang meragukan iklim, industri berbasis karbon, dan kebijakan iklim di Amerika Serikat (Boykoff 007, Carvalho 007). Jadi, tergantung pada kemampuan perorangan untuk menerjemahkan dan menyaring informasi ilmiah yang diterima, cara wartawan meliput masalah tertentu mungkin hampir merefleksikan kecaman pendekatan subjektif dan terdorong secara politis dari seorang pembela tertentu terhadap masalah ini dengan pendekatan objektif dan berimbang dari wartawan itu sendiri. Seperti yang diilustrasikan pada Gambar 6, lebih dari separuh kerangka media mengambil pendekatan prognostik (56%), yang berarti mereka menekankan pada jalan keluar atas persoalan atau masalah; bukan semata-mata menggambarkan masalah tersebut. Dalam banyak hal, persoalan atau masalahnya adalah emisi karbon dari deforestasi atau degradasi hutan walau mungkin juga merujuk ke persoalan teknis atau politik yang terkait dengan rancangan atau penerapan REDD. Johar Arif, wartawan Republika, menggambarkan pendekatan prognostik pada peliputan REDD: Kami mencoba mendidik masyarakat bahwa hutan berperan penting dalam mengatasi pemanasan global. Bahwa memelihara hutan