1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
KAJIAN SISTEM TRACEABILITY DALAM PENANGANAN DAN PENGOLAHAN KOMODITAS PRODUK PERIKANAN INDONESIA UNTUK EKSPOR

ANALISIS DAN DESAIN SISTEM INFORMASI UNTUK PENERAPAN DOKUMENTASI PROGRAM TRACEABILITY PADA RANTAI DISTRIBUSI PRODUK TUNA LOIN BEKU

3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Tahapan Penelitian 3.2.1

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KADAR HISTAMIN PADA YELLOWFIN TUNA (Thunnus albacore) ABSTRAK

KAJIAN PENOLAKAN EKSPOR PRODUK PERIKANAN INDONESIA KE AMERIKA SERIKAT. Rinto*

MENGENAL LEBIH JAUH SKOMBROTOKSIN

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL P

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia berada pada posisi yang strategis antara dua benua dan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuna Deskripsi dan klasifikasi ikan tuna ( Thunnus sp.)

BIOKIMIA HISTAMIN. DINI SURILAYANI S.Pi., M.Sc

KAJIAN PENOLAKAN EKSPOR PRODUK PERIKANAN INDONESIA KE AMERIKA SERIKAT. (Studi Import refusal Report US FDA Tahun 2010) Oleh. Rinto

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, kegiatan perikanan tangkap khususnya perikanan tuna

KAJIAN RISIKO Salmonella PADA PRODUK TUNA LOIN DI AMBON BALAI BESAR RISET PENGOLAHAN PRODUK & BIOTEKNOLOGI KP BRSDM-KKP

BAB I PENDAHULUAN I-1

PERATURAN-PERATURAN DALAM KEMASAN PANGAN

Tuna loin segar Bagian 1: Spesifikasi

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Kandungan Gizi dan Vitamin pada Ikan Layur

Tuna loin segar Bagian 2: Persyaratan bahan baku

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lingkungan Industri Perusahaan Ekspor Pembekuan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. proses terjadinya perubahan suhu hingga mencapai 5 0 C. Berdasarkan penelitian

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting bagi masyarakat dunia. Diperkirakan konsumsi ikan secara global

1 BAB I. PENDAHULUAN

Good Agricultural Practices

Ikan segar - Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat adalah salah satu negara tujuan utama ekspor produk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SNI Standar Nasional Indonesia. Udang beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2015, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH P

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA

Filet kakap beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago state) terluas di

I. PENDAHULUAN. Salah satu dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu sumber protein yang mudah diperoleh dan harganya

Ikan tuna dalam kaleng Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

1 PENDAHULUAN. Kenaikan Rata-rata *) Produksi

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Deskripsi Ikan Tuna

I. PENDAHULUAN. keberadaannya sebagai bahan pangan dapat diterima oleh berbagai lapisan

PENDAHULUAN Latar Belakang

Tuna dalam kemasan kaleng

ASESMEN RISIKO HISTAMIN SELAMA PROSES PENGOLAHAN PADA INDUSTRI TUNA LOIN. Oleh: Dhias Wicaksono C

2 ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Meskipun sebenarnya telah diterapkan suatu program manajemen mutu terpadu berdasarkan prinsip hazard analysis crit

BAB III BAHAN DAN METODE

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 01/MEN/2007 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam perairan baik perairan darat maupun perairan laut dengan

ANALISIS TINGKAT KESEGARAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) SELAMA PENYIMPANAN DINGIN BERDASARKAN UJI HISTAMIN dan ph

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Tuna ( Thunnus sp )

Sosis ikan SNI 7755:2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik

RANCANG BANGUN SISTEM PENELUSURAN DAGING SAPI DI PT.X

III. METODOLOGI A. Kerangka Pemikiran

SNI Standar Nasional Indonesia. Ikan tuna dalam kaleng Bagian 1: Spesifikasi

KAJIAN KETERKAITAN SISTEM PELAKSANAAN PROGRAM HIGIENE DALAM MEREDUKSI RISIKO BAHAYA HISTAMIN PADA PROSES PRODUKSI TUNA LOIN BEKU

UJI KUALITATIF HISTAMIN MENGGUNAKAN KIT HISTAKIT PADA IKAN PATIN JAMBAL (Pangasius djambal) SELAMA PENYIMPANAN SUHU DINGIN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA

BAB I KETENTUAN UMUM. peraturan..

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan tuna (Thunnus sp.) Sumber :

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA A. KEAMANAN PANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

V GAMBARAN UMUM EKSPOR UDANG INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. disesuaikan dengan keadaan pasien berdasarkan keadaan klinis, status gizi,

MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PERIKANAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT

Ikan beku Bagian 1: Spesifikasi

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Faktor yang memegang peranan penting dalam produk agroindustri adalah

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB V ANALISIS Analisis SCOR (Supply Chain Operation Reference)

Berkarir di Bidang Pangan Tak Pernah Lekang Oleh: Nur Aeni (Alumni Program Studi S1 Teknologi Pangan UNIMUS)

Sarden dan makerel dalam kemasan kaleng

DAFTAR PUSTAKA. Amirin TM Pokok-Pokok Teori Sistem. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Market Brief Essential Oil Di Jerman. ITPC Hamburg 2016

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. yaitu sekitar 2/3 wilayah dari total wilayah Indonesia. Dengan luasnya

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kelautan dan perikanan adalah meningkatkan

Gambar 1 Ikan Tuna (Kardarron 2007).

Siomay ikan SNI 7756:2013

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT)

BAB 1 PENDAHULUAN. Es batu merupakan air yang dibekukan dan biasanya dijadikan komponen

I. PENDAHULUAN. Tahun. Sumber : [18 Februari 2009]

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2017 TENTANG PENARIKAN PANGAN DARI PEREDARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam beberapa tahun belakangan ini, media di Indonesia sangat gencar

HANS PUTRA KELANA F

LAPORAN PROGRAM PENERAPAN IPTEKS

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

Roadmap Pengawasan Kemasan Pangan. Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya 2015

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV PEMBAHASAN. Nama Produk Nama Spesies. Asal Ikan. Alur Proses. Kemasan Produk. Daya Tahan Produk. Penggunaan Produk Negara Tujuan Ekspor

III KERANGKA PEMIKIRAN

2016, No Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. permen soba alga laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Tabel 6.

SNI Standar Nasional Indonesia. Filet kakap beku Bagian 1: Spesifikasi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN MINAMATA CONVENTION ON MERCURY (KONVENSI MINAMATA MENGENAI MERKURI)

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai nilai sangat strategis. Dari beberapa jenis daging, hanya konsumsi

EVALUASI RISIKO BAHAYA KEAMANAN PANGAN (HACCP) TUNA KALENG DENGAN METODE STATISTICAL PROCESS CONTROL. Oleh: TIMOR MAHENDRA N C

Transkripsi:

1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu mutakhir tentang permasalahan baru keamanan pangan dunia (new global food safety), saat ini sudah mulai mengarah kepada hambatan-hambatan teknis dalam perdagangan bebas (technical barrier to trade -TBT) (Wallace et al. 2011). Perkembangan penerapan yang cepat akan konsep sanitary and phytosanytary (SPS), telah menuntut akan adanya jaminan keamanan pangan, keteramanan akan kandungan zat gizi tertentu serta kelayakan dan standardisasi pengujian akan produk pangan yang dikonsumsi. Selain itu, perdagangan pangan dunia (global food trading) juga mengarah kepada dinamika perubahan gaya hidup manusia dalam mengkonsumsi pangan dari belahan dunia lainnya (Caswell 2000; Veen 2005; Thow et al. 2010; Wallace et al. 2011). Perubahan ini memungkinkan transportasi bahan pangan dalam jumlah yang sangat besar ke bagian dunia manapun dan memungkinkan timbulnya penyebaran penyakit karena mengkonsumsi bahan pangan (foodborne disease). Produk perikanan tuna juga tidak terlepas dari permasalahan global bahaya keamanan pangan tersebut. Penolakan negara-negara importir terkait dengan masalah tingginya kadar histamin, mewarnai peningkatan ekspor komoditas ini. Selama kurun waktu tahun 2006 sampai dengan tahun 2007 memperlihatkan data, bahwa dari total 30 kasus penolakan tuna di Uni Eropa bagi Indonesia, 11 kasus diantaranya disebabkan oleh kandungan histamin yang melebihi standar ambang batas 10 mg/100 gram daging atau 100 ppm (EC 2007). Food and Drugs Administration Amerika Serikat juga telah melaporkan bahwa telah terjadi 13 kasus penolakan tuna asal Indonesia tahun 2007 dan 7 kasus penolakan tuna selama tahun 2008, akibat kadar histamin yang melebihi ambang batas (FDA 2009). Selanjutnya Emborg et al. (2005) menyampaikan bahwa histamin saat ini merupakan masalah besar di dunia, dimana lebih dari 50 % semua kasus keracunan di Amerika dan Inggris disebabkan oleh faktor ini. Histamine fish poisoning merupakan gejala keracunan yang disebabkan mengkonsumsi ikan yang mutunya sudah rusak (spoiled) atau terkontaminasi bakteri. Umumnya kadar histamin telah melebihi 50 mg/100 g (Lehane dan

2 Olley 2000). Secara teoritis, histamin merupakan hasil dekarboksilasi histidin bebas oleh enzim histidin dekarboksilase dengan suhu optimum berkisar 25 o C (Keer et al. 2002). Ikan berdaging gelap, seperti dari famili scombroidae, umumnya memiliki kandungan histidin bebas yang tinggi. Kajian Lehane dan Olley (2000) menunjukkan bahwa kandungan histidin bervariasi mulai dari 1 g/kg pada ikan herring sampai 15 g/kg pada tuna. Selama proses kemunduran mutu, histidin bebas akan diubah menjadi histamin oleh bakteri penghasil histamin. Kajian Tao et al. (2009) tentang kandungan histamin pada Thunnus obesus menunjukkan bahwa terdapat dua jenis bakteri penghasil histamin, yaitu jenis Morganella morgani dengan suhu optimum 25 o C dan Photobacterium phosphoreum dengan suhu optimum 20 o C, sedangkan Lehane dan Olley (2000) menyatakan bahwa bakteri yang diduga dapat menghasilkan histamin pada level toksik untuk suhu diatas 7-10 o C adalah family Enterobacteriaceae seperti Enterobacter spp., Morganella morganii, Proteus spp. dan Raoultella spp. Sebagaimana umumnya produk perikanan yang sangat mudah rusak (highly perishable), ikan tuna juga memerlukan teknik penanganan rantai dingin yang cepat dan penanggulangan timbulnya risiko bahaya histamin pada level toksik (Keer et al. 2002). Kajian Guizaini et al. (2005) pada yellowfin tuna menunjukkan bahwa ikan yang disimpan pada suhu 0 o C selama 17 hari, memiliki kadar histamin yang lebih rendah dari standar FDA (5 mg/100 g) dibandingkan dengan ikan yang disimpan pada 8 o C selama 4 hari dan 40 o C selama 1 hari. Hal ini menunjukkan akan pentingnya penanganan tuna secara baik untuk mencegah timbulnya histamin. Masalah kesalahan penanganan saat di atas kapal misalnya, akan memberikan gangguan yang sangat besar pada proses produksi hilir (perdagangan retail) atau hingga ketika ikan tersebut dikonsumsi. Salah satu konsep dan instrumentasi mutu dan keamanan pangan yang disarankan untuk mendukung dan penjamin mutu makanan adalah pemberian informasi lengkap mengenai posisi suatu produk dan jalur distribusi yang ditempuh, sehingga memudahkan upaya pelacakan produk. Konsep ini disebut traceability system (Raspor 2005). Kajian McMeekin (2006) menunjukkan bahwa perhatian utama traceability dilandaskan pada kebutuhan untuk menarik produk

3 pangan dari pasar (recall procedures), terutama terhadap produk yang diduga memiliki potensi bahaya terhadap kesehatan manusia. Thakur dan Donnelly (2010) juga menyampaikan hal yang sama, dimana traceability dianggap sebagai alat manajemen risiko bagi suatu organisasi bisnis pangan untuk menarik kembali suatu produk yang diidentifikasi tidak aman. Masalah penarikan produk akan keamanan pangan ini telah memaksa timbulnya regulasi mengenai traceability, khususnya di negara Amerika dan Uni Eropa, bahkan pada General Food Law Regulation Uni Eropa (EC No. 178, artikel 18) telah diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 2005. Regulasi-regulasi tersebut memperlihatkan elemen-elemen penting, termasuk aturan traceability dan penarikan produk berbahaya (recall procedures) yang terdapat di pasaran. ISO 22005 (2007) sebagai ketentuan standar yang dipakai secara luas di dunia, menyampaikan bahwa dalam suatu sistem traceability, organisasi minimal harus mampu mengidentifikasi siapa pemasoknya dan kepada siapa produk tersebut didistribusikan, dalam prinsip satu langkah ke depan (one step forward) dan satu langkah ke belakang (one step backward). ISO 22000 (2005) juga menyebutkan bahwa setiap organisasi atau industri harus membuat dan melaksanakan sistem traceability yang dapat mengidentifikasi unit produk dan kode batch produk yang menghubungkan rekaman bahan baku, proses dan distribusi. Namun, Folinas et al. (2006) menyampaikan bahwa dalam implementasinya belum ada metodologi mengenai traceability yang spesifik yang dapat diikuti oleh seluruh organisasi pangan. Suatu organisasi pangan bebas memilih mekanisme yang cocok untuk memastikan sistem traceability telah efisien untuk produk mereka. Folinas et al. (2006) selanjutnya menyampaikan bahwa secara teoritis, efisiensi dari suatu sistem traceability sangat tergantung dari kemampuan mengumpulkan informasi mengenai mutu dan keamanan dari suatu produk. Kajian Larsen (2003) memperlihatkan bahwa terdapat beberapa metode pengumpulan informasi untuk mendukung traceability, yaitu mulai dari media dokumen kertas hingga yang lebih kompleks berbasis teknologi informasi. Kajian Senneset et al. (2007) juga menunjukkan bahwa pengembangan sistem

4 traceability berbasis teknologi informasi di Food Standard Agency Inggris lebih efektif jika dibandingkan dengan sistem traceability berbasis dokumen kertas. Penerapanan traceability di industri perikanan, berdasarkan Larsen (2003) memperlihatkan praktek pendistribusian ikan pada industri perikanan seperti distribusi ikan segar sering mengalami pengemasan ulang (repacking) beberapa kali. Label baru diberikan setiap kali pengemasan ulang oleh pelaku atau organisasi yang berbeda. Hal ini menunjukkan kerumitan dalam penanganan informasi dalam rantai distribusi ikan tersebut. Guna mempermudah penanganan informasi, Larsen (2003) menyampaikan bahwa telah dibuat suatu ketentuan standar traceability, misalnya yang tercantum dalam tracefish (http://www.tracefish.org). Konsep implementasi standar ini menggunakan sistem elektronik untuk mencapai tahapan penelusuran dari rantai distribusi (chain traceability) yang ada. Selanjutnya Folinas et al. (2007) menyampaikan bahwa standar tracefish menggunakan basis bahasa XML (extensible markup language), untuk memfasilitasi pertukaran informasi yang berhubungan dengan sistem traceability secara elektronik (electronic exchange) antara berbagai pihak atau organisasi dalam suatu rantai distribusi. Tracefish sendiri mengembangkan dua standar traceability produk perikanan yaitu standar untuk distribusi ikan hasil budidaya (farmed fish distribution chain) dan ikan hasil tangkapan (captured fish distribution chain). Akan tetapi hingga saat ini belum ada sistem traceability yang dibangun secara efektif di perusahaan eksportir perikanan Indonesia. Indonesia menghajatkan diterapkannya sistem ketertelusuran (traceability) bagi para pelaku usaha perikanan pada setiap mata rantai nilai produk perikanan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.19/MEN/2010 Bab II pasal 3 huruf C (KKP 2010). Pada peraturan ini tidak tertera metode spesifik untuk pelaksanaan sistem traceability. Melihat permasalahan tersebut, maka kajian mengenai sistem informasi untuk mendukung penerapan traceability, terutama dokumentasi pada industri perikanan sangat penting untuk dilakukan. Kajian tersebut nantinya diharapkan dapat dikembangkan dalam aplikasi perangkat lunak sistem traceability yang dapat diterapkan dalam suatu organisasi perikanan, terutama perdagangan tuna Indonesia di dunia.

5 1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan analisis dalam pembuatan kerangka sistem informasi berbasis data elektronik untuk mendukung penerapan dokumentasi program traceability internal perusahaan pengolahan pada rantai distribusi ikan tuna loin beku (tuna supply chain).