BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit ginjal dapat dijumpai di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, hampir 100,000 penduduk pada tahun 2001, menjalani renal replacement therapy untuk penyakit ginjal stadium akhir, pada tahun 2008 angka ini meningkat menjadi 485,000 pasien. Lebih dari 90% menjalani terapi hemodialisis. Di Korea, jumlah pusat dialisis terus meningkat, 62,1% pasien yang mendapat renal replacement therapy diterapi dengan hemodialisis. 1 Di Indonesia, sekitar 200 pasien per satu juta populasi mengalami penyakit ginjal kronik. Sebagian besar memerlukan renal replacement therapy untuk mempertahankan hidup. Hemodialisis adalah yang paling sering digunakan sebagai renal replacement therapy di Indonesia. 2 Pasien dengan penyakit kronik, seperti penyakit ginjal kronik memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap distres psikologi. Simtom psikologi tidak hanya memiliki dampak negatif terhadap kualitas hidup, tapi juga perjalanan dan prognosis dari penyakit tersebut, termasuk mortaliti, morbiditi dan pemanfaatan pelayanan. 3 Kejadian simtom psikiatri seperti ansietas, depresi dan penurunan kognitif sangat umum diantara pasien dengan penyakit ginjal kronik. Beberapa penelitian telah menunjukkan dampak dari simtom ini pada
kualitas hidup pasien yang mengalami hemodialisis. 4 Hemodialisis merupakan proses yang penuh stres dan diikuti berbagai masalah psikologi dan sosial yang justru bisa menyebabkan gangguan mental pasien. 5 Menurut World Health Organization (WHO) ansietas adalah penyebab utama disabilitas di Amerika Serikat. Namun data mengenai tingkat ansietas pada pasien yang menjalani terapi hemodialisis masih jarang. Satu penelitian di Turky menemukan bahwa terdapat 30% gangguan ansietas pada pasien yang menjalani terapi hemodialisis. 6 Penelitian yang dilakukan oleh Sagduyu dan kawan-kawan (2006), menemukan 41,2% pasien yang menjalani terapi hemodialisis memiliki simtom depresi dan 11,8% ansietas. 7 Walaupun telah banyak perkiraan mengenai prevalensi gangguan psikiatri pada pasien hemodialisis, perkiraan ini bisa salah yaitu terlalu rendah, karena pasien sering tidak mendatangi pelayanan kesehatan mental. Johnson dan Dwyer (2008) melaporkan bahwa lebih dari 70% pasien hemodialisis memiliki simtom ansietas atau depresi, dan tidak diterapi karena mereka tidak mengakui simtom yang mereka alami atau tidak merasa bahwa mereka membutuhkan pengobatan untuk kondisi kesehatan mental mereka. Dokter dan perawat yang menangani dialisis yang bukan psikiatris sering tidak mengenali simtom tersebut sehingga tetap tidak terdiagnosa. 8
Bayat dan kawan-kawan (2010) yang membandingkan simtom ansietas dan depresi diantara pasien dengan penyakit kronik yang berbeda, mendapatkan prevalensi lebih tinggi pada pasien yang menjalani kronik hemodialisis. 3 Depresi pada pasien hemodialisis berhubungan dengan peningkatan frekuensi kunjungan ke rumah sakit dan lebih sering ke bagian emergensi. 7 Penelitian yang dilakukan oleh Cukor dan kawan-kawan (2008), dari 70 orang subjek penelitian yang menjalani terapi hemodialisis, 45,7% dijumpai gangguan ansietas. 6 Ansietas membuat orang merasa tidak nyaman, takut, gugup dan khawatir, efek terhadap fisik dapat berupa nadi yang cepat, lesu, mudah marah dan keringat yang berlebih, hal ini sering terjadi pada pasien yang menjalani terapi hemodialisis. Pasien hemodialisis sering cemas tentang kematian, juga tentang proses hemodialisis itu sendiri, takut jarum suntik, takut melihat darah mereka di luar tubuh, perasaan sakit, cemas berada diantara pasien lainnya yang mungkin lebih parah, bertanya-tanya apakah pengobatan akan bekerja seperti yang diharapkan. Merasa cemas akan semua hal ini adalah normal, untuk waktu yang tertentu karena manusia adalah makhluk yang mudah beradaptasi. Tetapi apabila perasaan cemas menetap terus menerus, maka diperlukan penanganan akan hal tersebut. 9 Simtom depresi termasuk perasaan sedih, kehilangan selera makan, insomnia, sulit konsentrasi, kehilangan minat, kecenderungan untuk menjauh dari orang lain, ketidakinginan untuk terlibat dalam aktivitas
yang menyenangkan. Pasien sering menjadi putus asa dan kecewa karena harus menjalani hemodialisis. Seperti ansietas, perasaan depresi bisa berlangsung sebentar, tetapi bila menetap lebih dari beberapa minggu, maka hal tersebut perlu diantisipasi. 9 Sareen dan kawan-kawan (2006) menetapkan gangguan ansietas sebagai faktor resiko tersendiri terhadap perilaku bunuh diri dan menunjukkan hubungan antara komorbiditi dari gangguan ansietas dan komorbid kondisi fisik, kualitas hidup yang rendah, dan kecacatan. Hubungan antara terapi dialisis dengan tingkat ansietas yang dilaporkan pada 7 pasien yang menjalani hemodialisis pada tahun 1978 oleh Bodell dan kawan-kawan, melaporkan bahwa pasien lebih cemas pada hari hemodialisis, dan intensitas ansietas mereka meningkat pada saat sesi terapi dialisis berlangsung. 6 Patel dan kawan-kawan (2012), mendapatkan dari 150 orang pasien yang diteliti, 46,6% mempunyai simtom depresi dan 33,3% mempunyai simtom ansietas. 10 Pasien dialisis berada dalam situasi bergantung pada mesin, suatu prosedur dan sekelompok profesional kesehatan sebagai sandaran hidupnya. Tidak ada kondisi medis lain yang memiliki tingkat ketergantungan untuk terapi maintenance dari penyakit kronik yang lain. Dialisis sebagai satu prosedur penuh stres pada pasien, termasuk juga pembatasan yang ketat pada makanan dan minuman. 11
Pasien gagal ginjal telah dikenal paling sering menyangkal penyakit psikiatri. Mereka sering merasa bahwa mereka sudah kebanyakan dokter, masalah lain adalah ketidakpatuhan terhadap terapi dan regimen pengobatan. Seperti ketika membuat janji untuk konsultasi, tapi tidak menjumpai dokter dan juga bisa menjadi marah pada staf di unit dialisis. Pasien sering mengungkapkan kemarahannya karena merasa banyak orang hidup normal sementara mereka menderita dan menjalani prosedur medis yang berulang. Menyangkal kematian juga merupakan problem yang umum pada pasien ini. Profesional kesehatan mental sering dibutuhkan untuk konseling dan psikoterapi. 11 Data dari Instalasi Hemodialisa RSUP H Adam Malik Medan, setiap bulannya lebih dari 150 orang pasien yang menjalani terapi hemodialisis. Diperkirakan angka tersebut akan terus bertambah seiring dengan meningkatnya prevalensi penyakit ginjal kronik. Mengingat prevalensi yang tinggi dari permasalahan ini, sangatlah penting bagi klinisi untuk mampu secara cepat mengidentifikasi pasienpasien yang membutuhkan perhatian lebih terhadap simtom ansietas maupun depresi pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 5 dialisis. Maka peneliti tertarik melakukan penelitian untuk melihat gambaran simtom ansietas dan depresi pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 5 dialisis di RSUP H Adam Malik Medan.
1.2. Perumusan Masalah Dengan memperhatikan latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Berapa proporsi simtom ansietas dan depresi pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 5 dialisis berdasarkan karakteristik demografik (usia, jenis kelamin, suku, tempat tinggal, status perkawinan, pekerjaan dan tingkat pendidikan)? 2. Berapa proporsi simtom ansietas dan depresi pada pasien penyakit ginjal stadium stadium 5 dialisis berdasarkan lamanya menjalani terapi hemodialisis? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui proporsi simtom ansietas dan depresi pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 5 dialisis di ruang instalasi hemodialisa RSUP H Adam Malik Medan dengan menggunakan kuesioner Hospital Anxiety and depression Scale (HADS). 1.3.2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui proporsi simtom ansietas dan depresi pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 5 dialisis berdasarkan karakteristik demografik (usia, jenis kelamin, suku, tempat tinggal, status perkawinan, pekerjaan dan tingkat pendidikan)
b. Untuk mengetahui proporsi simtom ansietas dan depresi pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 5 dialisis berdasarkan lamanya menjalanani terapi hemodialisis. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai proporsi simtom ansietas dan depresi pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 5 dialisis, sehingga dapat memperoleh perawatan yang lebih baik bukan hanya bagi penyakitnya saja namun juga untuk simtom ansietas dan depresinya. Hasil studi ini juga dapat dilanjutkan untuk bahan studi lanjutan yang sejenis ataupun studi lainnya yang memakai studi ini sebagai bahan acuannya.