PENDAHULUAN Latar Belakang Luas lahan pasang surut di Indonesia menurut data Dinas Kimpraswil, terdapat sekitar 39,4 juta ha yang tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Papua (Kimpraswil, 2006), yang terbagi berdasarkan macam dan tingkat kendala yang timbul dari faktor fisika - kimia yaitu lahan potensial, lahan sulfat masam, lahan gambut dan lahan salin. Di Indonesia luas tanah sulfat masam mencapai 2 juta ha yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua (Winarna et al., 2014). Tanah sulfat masam merupakan istilah yang diberikan untuk tanah-tanah dan sedimen-sedimen yang mengandung besi sulfida, yang dikenal dengan istilah pirit. Ketika tersingkap dan terkena udara karena drainase atau gangguan, pirit teroksidasi, dan menghasilkan asam sulfat, juga melepaskan besi, alumunium dan logam berat yang bersifat racun. Masalah tanah sulfat masam ini memiliki efek merusak tanaman (Rattanapichai et al., 2013). Pada pembukaan profil tanah kita juga akan menjumpai bercak kuning disebut jarosit. Jika dilihat lahan sulfat masam secara visual di lapangan maka akan terlihat air yang terdapat pada saluran atau genangan air berwarna karat kemerahan dan berminyak. Jika lahan ini mengering maka tanah akan menjadi sangat keras seperti batu padas yang sangat sulit ditembus oleh akar tanaman. PT. Mopoli Raya Kebun Paya Rambe II merupakan kebun kelapa sawit dengan jenis tanah sulfat masam yang berlokasi di Kecamatan Seruway Kabupaten Aceh Tamiang dengan luas areal tanaman sebesar 871,91 ha dengan jumlah tanaman yaitu 71.782. Produksi rata-rata lima tahun terakhir dari data kebun 2016 sebesar 9883 ton/ha merupakan produksi yang sangat rendah. Oleh
karena itu, dilakukan penelitian dalam beberapa tahapan untuk mengkaji dalam meningkatkan produktivitas lahan tersebut. Penelitian ini merupakan tahapan yang ke empat yang dilakukan oleh penulis masih pada tahap screening. Pengembangan lahan sulfat masam untuk lahan perkebunan menghadapi banyak kendala, antara lain kemasaman tanah yang tinggi dan ketersediaan hara seperti hara P yang rendah karena difiksasi oleh Al dan Fe. Dent (1986) menambahkan bahwa rendahnya produktivitas lahan sulfat masam selain disebabkan oleh tingginya kemasaman tanah yang menyebabkan meningkatnya kelarutan unsur beracun seperti Al, Fe, dan Mn, juga karena rendahnya kejenuhan basa. Kemasaman tanah yang tinggi memicu larutnya unsur beracun dan meningkatnya defisiensi hara sehingga tanah menjadi tidak produktif. Penataan lahan dan tata air yang sesuai dengan karakteristik lahannya, pemilihan komoditas dan varietas yang tepat, serta penerapan teknologi ameliorasi dan pemupukan yang tepat merupakan usaha komprehensif yang dapat dilakukan untuk menjamin keberhasilan pengelolaan lahan sulfat masam menjadi lahan pertanian produktif. Hasil penelitian menunjukkan jika lahan sulfat masam dikelola secara benar, hampir seluruh komoditas pangan, hortikultura, dan perkebunan cocok dikembangkan dan dapat menghasilkan dengan baik (Suastika et al., 2015). Pemberian bahan amelioran atau bahan pembenah tanah dan pupuk merupakan faktor penting untuk memperbaiki kondisi tanah dan meningkatkan produktivitas lahan. Ameliorasi lahan merupakan salah satu cara yang efektif untuk memperbaiki tingkat kesuburan lahan, terutama pada lahan-lahan yang baru dibuka. Pemberian bahan amelioran dapat berupa kapur oksida (CaO) atau
dolomit (CaMg(CO 3 ) 2 ). Pemberian kapur di lahan sulfat masam potensial diperlukan, karena ph tanah di lahan tersebut pada umumnya rendah (ph<4) (Saragih et al., 2001). Pemberian kapur lebih efektif jika kejenuhan (Al+H) > 10% dan ph tanah <5 (Wade et al., 1986). Hasil penelitian Indrayati et al. (2011) di Belandean, Kalimantan Selatan, yang bertipe luapan B, yaitu dengan penerapan tata air mikro sistem satu arah yang dikombinasikan dengan gulma purun tikus (Eleocharis dulcis) pada saluran pemasukan untuk perbaikan kualitas air, pemberian amelioran kompos jerami 2,5 t/ha + kaptan 1,0 t/ha, dengan pupuk dasar urea 100 kg/ha + SP-36 200 kg/ha + KCl 100 kg/ha, jumlah anakan padi dapat mencapai 22,83 buah dibandingkan dengan teknologi petani yang hanya mencapai 20,96 buah, serta hasil padi mencapai 5,73 t/ha GKG dibandingkan dengan teknologi petani yang hanya 4,99 t/ha GKG atau meningkat 12,9%. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi bahaya sulfat dari tanah sulfat masam dapat dilakukan dengan pemanfaatan Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS) pada tanah-tanah sulfat masam. Dalam hasil penelitiannya, Widyati (2011) melaporkan bahwa Bakteri Pereduksi Sulfat dengan media pembawa bahan organik kompos dengan berbagai dosis inokulum yang diinkubasi dalam waktu selama sepuluh hari mampu meningkat ph tanah, menurunkan kadar sulfat, mangan dan besi yang terdapat pada air asam tambang. Dari uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian kapur dolomit, pupuk dan isolat bakteri pereduksi sulfat pada tanah sulfat masam untuk meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit yang dilakukan di.
Tujuan Penelitian - Mempelajari pengaruh pemberian kapur dolomit terhadap pertumbuhan bibit - Mempelajari pengaruh pemberian pupuk terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit pada tanah sulfat masam di - Mempelajari pengaruh pemberian bakteri pereduksi sulfat terhadap pertumbuhan bibit - Mempelajari pengaruh interaksi kapur dolomit dengan pupuk terhadap pertumbuhan bibit - Mempelajari pengaruh interaksi kapur dolomit dengan bakteri pereduksi sulfat terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit pada tanah sulfat masam di - Mempelajari pengaruh interaksi pupuk dengan bakteri pereduksi sulfat terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit pada tanah sulfat masam di rumah kaca - Mempelajari pengaruh interaksi kapur dolomit, pupuk dan bakteri pereduksi sulfat terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit pada tanah sulfat masam di Hipotesis Penelitian - Pemberian kapur dolomit dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit pada tanah sulfat masam di - Pemberian pupuk dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit pada tanah sulfat masam di
- Pemberian bakteri pereduksi sulfat dapat meningkatkan pertumbuhan bibit - Interaksi kapur dolomit dengan pupuk dapat meningkatkan pertumbuhan bibit - Interaksi kapur dolomit dengan bakteri pereduksi sulfat dapat meningkatkan pertumbuhan bibit - Interaksi pupuk dengan bakteri pereduksi sulfat dapat meningkatkan pertumbuhan bibit - Interaksi kapur dolomit, pupuk dan bakteri pereduksi sulfat dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit pada tanah sulfat masam di Kegunaan Penelitian - Masyarakat dapat melihat pengaruh pemberian kapur dolomit, pupuk dan bakteri pereduksi sulfat terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit pada tanah sulfat masam di, serta - Sebagai salah satu syarat untuk dapat meraih gelar sarjana di Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian,.