BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular berbahaya yang dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat dan sering menimbulkan wabah. [1] Penyakit ini ditemukan hampir diseluruh belahan dunia terutama di Negara tropis dan subtropis baik secara endemik maupun epidemik dengan outbreak yang berkaitan dengan datangnya musim penghujan. [2] Sekitar 2,5 milyar orang (2/5 penduduk dunia) mempunyai risiko untuk terkena infeksi virus DBD, kurang lebih 500.000 kasus setiap tahun dirawat di rumah sakit dengan ribuan orang diantaranya meninggal dunia. [3] Penyakit ini pertama kali ditemukan di Filipina pada tahun 1953 dan selanjutnya menyebar ke berbagai negara. [1] Di Indonesia, DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968. [4] Pada tahun 2009 jumlah penderita DBD di Indonesia mencapai 154.855 kasus, sekitar 1.384 orang diantaranya meninggal dunia. Sedangkan kasus DBD di Kota Semarang pada Tahun 2009 sebanyak 3.883 kasus, dengan korban meninggal 43 orang. Pada tahun 2010 jumlah penderita mengalami peningkatan yaitu mencapai 5.559 kasus dengan korban meninggal 46 orang. [5] Berbagai cara dan teknik untuk penanggulangan dan pemberantasan DBD telah dilakukan baik oleh masyarakat maupun pemerintah, namun hal ini belum berhasil. Bahkan jumlah kasus penyakit ini setiap tahun meningkat walaupun angka kematiannya menurun. Pengendalian yang paling populer saat ini adalah pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan insektisida sintetik karena dianggap lebih efektif dan hasilnya cepat terlihat bila dibandingkan dengan pengendalian biologis. [6] Namun penggunaan insektisida sintetik mempunyai dampak negatif antara lain menimbulkan resistensi serangga, resurjensi serangga, residu 1
terhadap lingkungan, terancamnya musuh alami dan organisme bukan sasaran. Di beberapa tempat, nyamuk Aedes aegypti sudah menunjukkan resistensi terhadap beberapa insektisida yang digunakan. Jirakanjanakit pada tahun 2007 melaporkan bahwa hampir semua populasi Aedes aegypti menunjukkan ketahanan terhadap insektisida pyrethroid, permethrin, dan deltamethrin yang umum digunakan di Thailand. Di Indonesia pengasapan dengan Malathion 4% dengan pelarut solar, yang dinilai masih efektif hanya mampu membunuh imago pada radius 100-200 meter yang hanya efektifitas satu sampai dua hari. [7] Penggunaan insektisida sintetik juga mengakibatkan keracunan akut maupun kronik pada manusia, dampak jangka panjang seperti kanker, gangguan urat syaraf, kebutaan, dan kematian. Setiap tahun, sekitar satu juta orang mengalami kasus keracunan insektisida dan yang meninggal sekitar 20.000 orang. Di Indonesia, jumlah kasus keracunan karena insektisida dilaporkan tidak kurang dari 2.705 kasus yang mengakibatkan 236 orang meninggal pada periode 1979-1986. [8] Namun pada saat ini belum ada keracunan atau kematian pada manusia akibat penggunaan insektisida aksidental piretroid yang digunakan untuk pengendalian vektor Aedes aegypti, tetapi beberapa piretroid seperti deltametrin, sipermetrion dan lamdasihalotrin dapat menyebabkan iritasi mata dan kulit jika tindakan pencegahan yang adekuat tidak dilakukan. [9] Sehubungan dengan dampak insektisida sintetik yang telah dikemukakan di atas, maka diperlukan suatu usaha mendapatkan insektisida alternatif untuk membunuh serangga dengan cepat dan mudah terurai serta sekecil mungkin atau sama sekali tidak mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan. Usaha mendapatkan insektisida alternatif yaitu menggunakan insektisida nabati, berupa insektisida yang dihasilkan oleh tanaman yang beracun terhadap serangga tetapi tidak mempunyai efek samping terhadap lingkungan dan tidak berbahaya bagi manusia. Penggunaan insektisida nabati meningkat dengan alasan bahwa senyawa kimia nabati mudah terurai oleh sinar matahari sehingga tidak 2
berbahaya, tidak merusak lingkungan dan tidak berpengaruh pada hewan non target. Penggunaan insektisida nabati seperti ekstrak bunga krisan (Chrysanthemum cinerariaefolium) untuk pengendalian vektor sudah dilakukan sejak beberapa tahun sebelum masehi. Eram Tunggul Pawenang pada tahun 1999 telah melakukan pengujian potensi ekstrak daun pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb) dalam membunuh larva nyamuk. Hasil uji coba 24 jam setelah perlakuan menunjukkan bahwa kematian 50% ada pada konsentrasi 2198,4655 ppm. Sedang kematian larva 48 jam setelah perlakuan menunjukkan kematian 50% ada pada konsentrasi 1669,1678 ppm. Selain itu penggunaan sari bawang merah (Alium cepa), konsentrasi 1% dapat memacu pertanaman pradewasa Aedes aegypti dan konsentrasi 5%, 10% menghambat pertumbuhan sedangkan konsentrasi 25% mematikan. [10] Tanaman Suren (Toona sureni) merupakan salah satu sumber insektisida nabati yang cukup potensial untuk mengendalikan hama. Perbedaan tanaman suren dengan tanaman yang lain yaitu memiliki karakter khusus seperti harum yang khas apabila bagian daun atau buah diremas dan pada saat batang dilukai atau ditebang. Bagian tanaman yang dapat dimanfaatkan selain kayunya sebagai bahan bangunan, furniture, veneer, panel kayu, juga kulit dan akarnya dimanfaatkan untuk bahan baku obat diarrhoea dan ekstrak daunnya dipakai sebagai antibiotik dan bioinsektisida, sedangkan kulit batang dan buahnya dapat disuling untuk menghasilkan minyak esensial (aromatik). [11,12] Berdasarkan penelitian sebelumnya suren memiliki sifat insektisida yang dapat mematikan hama dan mengandung zat ekstraktif dengan fungsi antifeedant (menghambat nafsu makan serangga) maupun zat surenin, surenon maupun surenolakton yang berperan sebagai repellent (penolak atau pengusir serangga). [13] Pada tahun 2009 uji bioaktivitas dalam formulasi semprot ekstrak daun suren dengan tingkat konsentrasi 0%, 3%, 5%, 10%, 15% dan 20% terhadap hama daun (Eurema spp dan Spodoptera litura F) menunjukkan tingkat kematian terbesar (98%) pada konsentrasi 20% dengan pelarut etyl asetat. [14] Pada tahun 2006 perlakuan larutan daun suren dalam semprot 3
terhadap ulat kantong menunjukkan hasil yang paling baik dengan tingkat kematian paling tinggi (100%), hal ini menunjukkan bahwa daun suren mempunyai sifat insektisida. [11] Umumnya insektisida yang terdapat dalam ekstrak tanaman suren bersifat racun saraf sehingga gejala kematian adalah mencuat kaku dan warna tubuh berubah menjadi hitam yang dimulai pada bagian kepala menuju keseluruh tubuh. [14] Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui daya bunuh ekstrak daun suren terhadap nyamuk Aedes aegypti dengan berbagai macam konsentrasi. Pemilihan nyamuk Aedes aegypti pada stadium dewasa didasarkan pada mudah dalam membiakkannya dan kesukaannya hidup pada air yang bersih sehingga ketahanan tubuhnya tidak sekuat nyamuk yang lain sehingga dengan tidak kuatnya ketahanan tubuhnya maka akan memudahkan pengamatan kematiannya dengan menggunakan bahan ekstrak yang lebih sedikit. Dari hasil uji pendahuluan yang telah dilakukan pada konsentrasi 20% dan 100% didapat hasil pada konsentrasi 20% ekstrak daun suren (Toona sureni) tidak dapat membunuh nyamuk Aedes aegypti sedangkan pada konsentrasi 100% didapatkan kematian nyamuk Aedes aegpty sebanyak 7 ekor dari 25 nyamuk yang diujikan. Sehingga dapat dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan konsentrasi 60%, 70%, 80%, 90% dan 100%. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah : Apakah ekstrak daun suren (Toona sureni) efektif dapat membunuh nyamuk Aedes aegypti? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya bunuh ekstrak daun suren (Toona sureni) terhadap nyamuk Aedes aegypti. 4
2. Tujuan Khusus a. Menghitung rerata jumlah nyamuk Aedes aegypti yang mati sesudah pemaparan ekstrak daun suren (Toona sureni) dalam berbagai konsentrasi. b. Mengetahui konsentrasi ekstrak daun suren (Toona sureni) yang paling efektif untuk membunuh nyamuk Aedes aegypti. c. Menganalisis pengaruh daya bunuh ekstrak daun suren (Toona sureni) terhadap nyamuk Aedes aegypti. d. Mengidentifikasi senyawa kimia yang terdapat pada daun suren (Toona sureni) D. Manfaat Penelitian 1. Praktis Hasil penelitian ini akan menjadi alternatif atau cara sederhana dan mudah untuk digunakan dalam pengendalian vektor terutama Aedes aegypti. 2. Teoritis Metodologis Hasil dari penelitian ini dapat menjadi bukti-bukti awal yang lebih mendalam dan intensif tentang pemanfaatan daun suren (Toona sureni) sebagai alat untuk mengendalikan nyamuk Aedes aegypti sebagai insektisida nabati. E. Ruang Lingkup Penelitian Materi penelitian ini terlingkup dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat bidang Epidemiologi khususnya Pengendalian Vektor. F. Keaslian Penelitian Perbedaan dari penelitian terdahulu yaitu peneliti menggunakan ekstrak daun suren untuk membunuh hama ulat kantong dalam formulasi cair di tanaman sengon. Selain itu ekstrak tanaman suren digunakan untuk membunuh hama daun (Eurema spp dan Spodoptera litura F) dalam berbagai konsentrasi formulasi semprot. Berbeda dengan penelitian ini adalah 5
penelitian ini menggunakan ekstrak daun suren (Toona sureni) dalam formulasi semprot dengan konsentrasi 100%, 90%, 80%, 70%, 60% untuk daya bunuh nyamuk Aedes aegypti atau sebagai insektisida nabati. Hasil penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1.1 Keaslian Penelitian No Peneliti Penelitian Metode Penelitian 1. Endah Suhaendah, Aditya Hani dan Benyamin Dendang (2006) 2. Wida Darwiati (2009) 3. Eram Tunggul Pawenag (1999) Uji Daun Suren Dan Beauveria Bassiana Terhadap Mortalitas Ulat Kantong Pada Tanaman Sengon Uji Efikasi Tanaman Suren (Toona sinensis merr) Sebagai Insektisida Nabati Dalam Pengendalian Hama Daun (eurema spp. dan spodoptera litura f.) Potensi daun pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb) dalam membunuh larva nyamuk Aedes aegypti Rancangan acak lengkap Eksperimen Eksperimen Bebas: daun suren dan cendawan B. bassiana Terikat: Mortalitas ulat kantong Bebas: tanaman suren Terikat: mortalitas hama daun (Eurema spp. dan S.litura) Bebas: daun pandan wangi Terikat: Kematian larva Aedes aegypti Hasil Penelitian Perlakuan larutan daun suren terhadap ulat kantong menunjukkan hasil yang paling baik dengan tingkat kematian paling tinggi (100%) Mortalitas pada hama Eurema spp. mencapai 98% sedangkan untuk hama S. litura mencapai 42% Kematian 50% ada pada konsentrasi 2198,4655 ppm setelah 24 jam perlakuan dan 1669,1678 ppm setelah 48 jam perlakuan 6