BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya pasti memiliki utang. Menurut kemampuan perusahaan dalam membayar utangnya, perusahaan terbagi menjadi dua yakni perusahaan yang solvensi yaitu perusahaan mampu membayar utang-utangnya, dan terdapat juga perusahaan yang insolvensi yaitu yang secara sederhana disebut sebagai perusahaan yang tidak mampu membayar utangutangnya. 5 Secara umum insolvensi diartikan sebagai keadaan suatu usaha dimana kondisi aktivanya lebih kecil daripada pasivanya, dengan kata lain bahwa utang perusahaan lebih besar daripada hartanya. 6 Perusahaan yang insolvensi memiliki dampak buruk terhadap pelaksanaan kegiatan usahanya sehingga kinerja perusahaan tersebut akan terus menurun dan akan sampai pada keadaan dimana perusahaan sebagai debitor berhenti membayar. 7 Pailit adalah keadaan dimana suatu perusahaan atau seseorang tidak dapat atau tidak sanggup untuk membayar utang-utang yang dimilikinya. Menurut Munir Fuady dalam bukunya, yang dimaksud 5 H.M.N. Purwosutjipto, 1988, Perwasitan, Kepailitan, dan Penundaan Pembayaran, Djambatan, Jakarta, hlm. 27. 6 Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, 2014, Laporan Penelitian: Penerapan Asas Solvabilitas dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan, Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, hlm. 41. 7 H.M.N. Purwosutjipto, Op.cit.. 1
dengan kepailitan adalah suatu sitaan umum yang dijatuhkan oleh pengadilan khusus, dengan permohonan khusus, atas seluruh aset debitur (badan hukum atau orang pribadi) yang mempunyai lebih dari 1 (satu) utang/kreditur di mana debitur dalam keadaan berhenti membayar utangutangnya, sehingga debitur membayar utang-utangnya tersebut. 8 Pengaturan mengenai kepailitan perusahaan diatur dalam Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Adanya pengaturan tentang kepailitan memiliki tujuan sebagai mekanisme pendistribusian aset perusahaan secara adil dan merata terhadap para kreditor berkaitan dengan keadaan ketidakmampuan debitor melaksanakan kewajiban pembayaran utang tersebut. 9 Pernyatan pailit dapat dijatuhkan kepada setiap orang maupun badan hukum, termasuk perusahaan asuransi jiwa yang memenuhi persyaratan pailit sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan. Salah satu perusahaan asuransi jiwa yang telah dinyatakan pailit ialah PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya. 10 PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya merupakan salah satu perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang telah lama 8 Munir Fuady, 2005, Pengantar Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 75. 9 Hukumpedia.com, Fungsi dan Tujuan Kepailitan, http://www.hukumpedia.com/bintangpartogi/fungsi-dan-tujuan-kepailitan, diakses pada tanggal 4 Maret 2017 pukul 18.00 WIB 10 Otoritas Jasa Keuangan, Pengumuman Pernyataan Pailit PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya, http://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/pengumuman/pages/pengumuman-pernyataan-pailit- PT-Asuransi-Jiwa-Bumi-Asih-Jaya.aspx#sthash.9rustS4K.dpuf, diakses pada tanggal 4 Maret 2017 pukul 20.00 WIB. 2
melakukan kegiatan usaha di bidang asuransi jiwa di Indonesia. Perusahaan ini didirikan sejak tahun 1967 oleh Karel Mompang Sinaga bersama dengan rekan-rekannya. 11 Namun seiring dengan meningkatnya persaingan ekonomi, PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya tidak dapat mengelola perusahaannya dengan baik dan tidak dapat memenuhi kriteria kesehatan keuangan perusahaan asuransi jiwa sebagaimana telah ditetapkan. Melihat keadaan tersebut, pada Oktober 2013 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya. Perusahaan tersebut dilarang melakukan kegiatan usaha di bidang asuransi jiwa dan diwajibkan menurunkan papan nama, serta menyelesaikan utang dan kewajiban. 12 Dalam rangka penyelesaian utangutangnya PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya dinyatakan pailit oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi dengan Putusan Nomor 408K/Pdt.Sus-Pailit/2015. 13 Pengaturan dan pelaksanaan permohonan penyataan pailit perusahaan asuransi jiwa memiliki perbedaan dengan permohonan pernyataan pailit perusahaan di sektor lain. Hal ini disebabkan karena apabila dilihat dari segi makro, bahwa dalam menjalankan perannya selaku lembaga keuangan non bank, perusahaan asuransi jiwa juga menjalankan fungsi utama bank dalam mengumpulkan dana jangka panjang masyarakat dan kemudian menyalurkannya kembali kepada 11 Rozald Priadi Hatoguan Sihombing, 2007, Analisa Pengambilan Keputusan Investasi di PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya dengan Pendekatan Good Corporate Governance dan SWOT, Tesis S-2 Magister Administrasi Bisnis, SBM ITB, Bandung, hlm. 1. 12 Otoritas Jasa Keuangan, Op.cit. 13 Mahkamah Agung RI, 2015, Putusan Nomor 408 K/Pdt.Sus-Pailit/2015, hal. 54. 3
masyarakat. Fungsi ini memiliki kaitan yang erat dengan kepercayaan masyarakat dalam menyalurkan dananya pada industri ini. Selain itu, perusahaan asuransi jiwa juga memiliki fungsi lain yang membedakannya dengan lembaga keuangan bank, yaitu dalam hal pemberian proteksi terhadap nilai ekonomi hidup masyarakat. 14 Pentingnya peran perusahaan asuransi jiwa dalam perekonomian dan kehidupan sosial menjadikan perusahaan asuransi jiwa sebagai salah satu industri jasa keuangan non bank yang perlu diawasi dan diatur secara khusus sebagaimana lembaga keuangan lainnya. Di Indonesia, kewenangan untuk melakukan pengaturan dan pengawasan pada industri asuransi jiwa dimiliki oleh lembaga independen yang khusus menangani sektor jasa keuangan, yaitu Otoritas Jasa Keuangan. Salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan industri asuransi jiwa oleh OJK ialah kewenangan OJK dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit perusahaan asuransi jiwa. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, yang menyatakan bahwa: Permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah berdasarkan Undang-Undang ini hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. 14 Radiks Purba, 1995, Memahami ASURANSI di Indonesia, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, hlm. 279. 4
Ketentuan mengenai permohonan pernyataan pailit perusahaan asuransi oleh OJK juga diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Perasuransian yang dinyatakan sebagai berikut: Kreditor menyampaikan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga. Namun ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Perasuransian tersebut tidak sesuai dengan fakta dalam kasus permohonan pernyataan pailit Perusahaan Asuransi Jiwa PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya. Dalam kasus tersebut tidak terdapat kreditor yang melakukan permohonan pernyataan pailit PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya kepada OJK, akan tetapi OJK atas kehendaknya sendiri melakukan permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan tersebut. PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya selaku debitor dalam perkara permohonan pernyataan pailit beranggapan bahwa permohonan pernyataan pailit asuransi jiwa hanya dapat dilakukan apabila terdapat kreditor dari perusahaan asuransi jiwa yang mengajukan permohonan pernyataan pailit terlebih dahulu kepada OJK dan kemudian OJK menentukan persetujuan permohonan tersebut agar dapat diajukan ke Pengadilan Niaga, sebagaimana mengacu pada bunyi Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Perasuransian. Pada pemeriksaan tingkat pertama perkara kepailitan ini, OJK beranggapan bahwa syarat permohonan pernyataan pailit telah terpenuhi dengan adanya kreditor lain yang merupakan para pemegang polis dan 5
terdapat pula utang yang telah jatuh tempo yang berupa klaim asuransi milik para pemegang polis yang belum terbayar oleh PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya. Namun, Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh OJK. Pertimbangan penolakan permohonan tersebut didasarkan pada tidak dapat dibuktikannya klaim asuransi pemegang polis sebagai utang yang dapat digunakan sebagai syarat permohonan pernyataan pailit. 15 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU maupun Undang-Undang Perasuransian tidak mengatur hal-hal yang menjadi dasar bahwa permohonan pernyataan pailit dapat dilakukan oleh OJK atas kehendaknya sendiri tanpa adanya permohonan pernyataan pailit dari kreditor perusahaan asuransi jiwa kepada OJK sebelumnya. Hal ini bertentangan dengan fakta dalam perkara kepailitan ini dan menimbulkan ketidakpastian hukum, bahwa permohonan pernyataan pailit yang dimohonkan oleh OJK terhadap PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya ternyata dikabulkan oleh Mahkamah Agung. 16 Perihal lain yang menjadi permasalahan dalam perkara kepailitan PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya ialah adanya ketidakpastian hukum terkait dalil OJK yang menyatakan bahwa klaim asuransi para pemegang polis PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya dapat dikategorikan sebagai utang dan dapat menjadi dasar pemenuhan syarat permohonan pernyataan pailit. 15 Ibid., hal. 102 103. 16 Mahkamah Agung RI, Op.cit. 6
Menurut PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya, klaim asuransi tidak dapat dikategorikan sebagai utang dan para pemegang polis bukan merupakan kreditor sebagaimana dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Hal ini didasarkan pada tidak adanya ketentuan perundangundangan yang menyatakan bahwa klaim manfaat asuransi yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih adalah utang. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji dan membahas mengenai permohonan pernyataan pailit perusahaan asuransi jiwa PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana telah diputus dalam Putusan Mahkamah Agung No 408 K/Pdt.Sus-Pailit/2015. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Apa dasar hukum yang menjadikan OJK tetap dapat melakukan permohonan pernyataan pailit terhadap PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya meskipun tidak terdapat permohonan pernyataan pailit dari kreditor sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perasuransian? b. Bagaimana klaim asuransi para pemegang polis yang telah jatuh tempo dan belum terbayar oleh PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya dapat dikategorikan sebagai utang dan dapat menjadi dasar 7
pemenuhan syarat permohonan pernyataan pailit sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepailitan? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui dan menganalisis permohonan pernyataan pailit PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya yang dimohonkan oleh OJK terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perasuransian maupun Undang-Undang Kepailitan dan PKPU b. Untuk mengetahui dan menganalisis dapat atau tidaknya klaim asuransi jiwa tertanggung yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih dikategorikan sebagai utang yang menjadi dasar pemenuhan syarat permohonan pailit. 2. Tujuan Subyektif Memperoleh data serta informasi yang berhubungan dengan objek yang akan diteliti dalam rangka penyusunan Penulisan Hukum sebagai syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai manfaat, baik secara akademis maupun secara praktis. Adapun manfaatnya adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan hukum di dalam bidang Hukum Dagang, khususnya 8
bagi mahasiswa agar kritis terhadap masalah hukum sekaligus dapat menemukan solusi hukum terkait dengan permohonan pernyataan pailit perusahaan asuransi jiwa oleh Otoritas Jasa Keuangan. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: a. Manfaat bagi Perusahaan Asuransi Jiwa Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai informasi dan/atau pedoman bagi kalangan perusahaan di bidang jasa usaha asuransi jiwa untuk dapat mencegah terjadinya kepailitan perusahaan yang mengakibatkan kerugian di kemudian hari. b. Manfaat bagi masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan referensi bagi rekan mahasiswa mengenai permohonan pernyataan pailit Perusahaan Asuransi Jiwa oleh Otoritas Jasa Keuangan serta syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan pailit perusahaan asuransi jiwa. c. Manfaat bagi Penulis Bagi penulis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat memberikan tambahan pengetahuan dalam memahami kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit perusahaan asuransi jiwa dan 9
ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai hal tersebut. E. Keaslian Penelitian Penulisan hukum ini adalah karya asli dari penulis dan sepengetahuan penulis, penulisan hukum tentang Kajian Hukum atas Permohonan Pernyataan Pailit PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya oleh Otoritas Jasa Keuangan belum ada yang membahas sebelumnya. Namun terdapat penulisan hukum yang berkaitan dengan PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya, yaitu : 1. Arthur Samosir, 2009, Kekuatan Hukum Polis Asuransi Jiwa Perorangan pada Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya Cabang Medan, Universitas Sumatera Utara Medan. Pada penulisan tersebut, penulis menitikberatkan pada kegunaan dan peranan polis asuransi terhadap pelaksanaan perjanjian asuransi antara tertanggung dan penanggung sebagai objek penelitian. Selain itu, terdapat beberapa penulisan hukum yang berkaitan dengan kepailitan perusahaan asuransi jiwa, yaitu: 1. Isnandar Syahputra Nasution, 2009, Kewenangan Pengajuan Permohonan Pailit Terhadap Perusahaan Asuransi, Universitas Diponegoro Semarang. Pada penulisan tersebut, penulis menitikberatkan pada kewenangan Menteri Keuangan dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi. 10
Pada Penulisan Hukum tersebut penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut: 1) Mengapa Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menentukan bahwa perusahaan asuransi itu hanya Menteri Keuangan saja yang berwenang mengajukannya? 2) Bagaimana pelaksanaan Pasal 2 Ayat 5 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bahwa permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan? 3) Bagaimana perlindungan hukum terhadap nasabah asuransi jika perusahaan asuransi tersebut dipailitkan? apakah nasabah asuransi termasuk kelompok kreditor perusahaan asuransi dalam pailit dan termasuk kreditor apa nasabah perusahaan asuransi tersebut (apa kreditior separatis, atau kreditor preferen, ataukah kreditor konkuren)? Hasil penelitian yang didapat penulis dalam penulisan hukum tersebut sebagai berikut: 1) Perusahaan Asuransi sesuai dengan fungsinya yang menghimpun dan mengelola dana dari masyarakat dalam 11
jumlah besar melalui pengambilalihan resiko yang belum dapat dipastikan maka perusahaan asuransi memegang peranan penting dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian Negara. Sehingga kepailitan pada sebuah perusahaan asuransi akan menimbulkan banyak dampak negatif dari segi perekonomian mengingat banyak kepentingan yang terkait dengan jenis usaha yang satu ini, tidak hanya para kreditornya tetapi juga masyarakat luas dan pihak investor terutama investor asing yang tentunya akan enggan menanamkan modalnya jika terdapat ketidak pastian hukum dalam pelaksanaan kegiatan perasuransian. Dengan demikian adanya kewenangan Menteri Keuangan tidak boleh diartikan memiliki kewenangan memutuskan pailit atau tidaknya suatu perusahaan asuransi melainkan hanya melakukan fungsi Pengawasan dan Pembinaan agar kepentingan pemegang polis tidak menjadi korban pihak lain yang akan mengajukan pailit; 2) Pelaksanaan Pasal 2 Ayat (5) sejak diundangkannya UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang artinya sejak tahun 2004 hingga sekarang belum pernah ada kendala apa pun, hal ini karena sampai saat ini belum ada kreditor perusahaan asuransi yang mengajukan permohonan pailit kepada 12
Menteri Keuangan, sehingga memang masing aman-aman saja; 3) Kreditor (nasabah asuransi) dari suatu perusahaan asuransi yang telah dinyatakan pailit masuk dalam kategori kreditor preferen. Dengan demikian jika suatu perusahaan asuransi telah dinyatakan pailit maka nasabah pemegang polis asuransi dari perusahaan asuransi tersebut berhak mengajukan tuntutan pemenuhan kewajiban pembayaran utang terhadap perusahaan asuransi yang bersangkutan melalui Pengadilan Negeri baik secara perdata maupun pidana. 2. Sungkowo Budi, 2013, Perlindungan Konsumen Jasa Asuransi terhadap Perusahaan Asuransi yang Dinyatakan Pailit Didasarkan Pada Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, Universitas Jember. Pada penulisan tersebut, penulis menitikberatkan pada perlindungan terhadap konsumen jasa asuransi yang telah dinyatakan pailit. Pada Penulisan Hukum tersebut penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimana pengawasan dan pembinaan Pemerintah dalam menumbuhkembangkan perasuransian di Indonesia? 13
2) Bagaimana tanggung jawab perusahaan asuransi terhadap konsumen jasa asuransi apabila dinyatakan pailit? 3) Apa konsekuensi hukum apabila perusahaan asuransi tidak mampu membayar klaim pihak konsumen jasa asuransi? Hasil penelitian yang didapat penulis dalam penulisan hukum tersebut sebagai berikut: 1) Pembinaan dan pengawasan pemerintah dalam menumbuhkembangkan perasuransian diindonesia, menteri keuangan diberikan kewenangan dan perangkat lainnya termasuk didalamnya kewenangan untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap perusahaan asuransi. Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengantisipasi perkembangan yang terjadi dalam industri perasuransian dan lebih meningkatkan upaya perlindungan terhadap pemegang polis. Setelah dikeluarkannya undang undang nomor 21 tahun 2011 pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan asuransi di Indonesia beralih pada otoritas jasa keuangan bukan lagi ditangan badan pengawas pasar modal dan lembaga keuangan. Otoritas jasa keuangan juga melindungi konsumen jasa keuangan dengan cara pencegahan dan 14
penerimaan laporan terhadap tidak tanduk pelaku usaha yang merugikan konsumen jasa keuangan. 2) Tanggung jawab perusahaan asuransi jiwa ACELIFE terhadap konsumen jasa asuransi yang perusahaannya telah dinyatakan pailit yaitu untuk memberi ganti rugi atas apa yang telah diberikan oleh konsumen jasa asuransi terhadap perusahaan asuransi yang berupa premi. Tanggung jawab tersebut dilakukan oleh perusahaan reasuransi yang telah diikuti oleh perusahaan asuransi jiwa ACELIFE guna untuk menutup semua ganti rugi atau klaim yang dialami atau diajukan oleh para nasabah perusahaan asuransi jiwa ACELIFE. Ganti rugi tersebut dibayarkan sesuai dengan isi polis yang telah disetujui oleh para pihak yaitu antara perusahaan asuransi jiwa ACELIFE dengan para nasabahnya. 3) Konsekuensi hukum bila perusahaan asuransi tersebut terkena pailit dan tidak mampu membayar klaim konsumen jasa asuransi adalah perusahaan asuransi tersebut akan kehilangan hak untuk menguasai harta bendanya, pembatalan segala perbuatan hukum debitur atau tertanggung atau konsumen jasa asuransi, dan konsekuensi hukum yang terakhir adalah pemberian hak retensi pada konsumen jasa asuransi yaitu berupa hak 15
untuk menyita aset-aset yang dimiliki perusahaan asuransi tersebut sampai perusahaan asuransi tersebut melalui kuratornya dapat menubusnya kembali. 3. Anak Agung Intan Permata Sari, 2015, Kepailitan PT Asuransi Jiwa Buana Putra yang Izin Usahanya Telah Dicabut : Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 229 K/PDT.SUS-PAILIT/2013, Universitas Udayana Denpasar. Pada penulisan tersebut, penulis menitikberatkan pada keterkaitan pengajuan permohonan pernyataan pailit perusahaan asuransi terhadap izin usaha yang telah dicabut. Pada Penulisan Hukum tersebut penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut: 1) Apakah perusahaan asuransi yang izin usahanya telah dicabut dapat dipailitkan? 2) Siapakah yang dapat mengajukan permohonan kepailitan terhadap perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahanya? Hasil penelitian yang didapat penulis dalam penulisan hukum tersebut sebagai berikut: 1) Perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahanya dapat dimohonkan palit dan apabila dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga maka harus diikuti dengan proses likuidasi yang berujung pada pembubaran perusahaan 16
mengingat perusahaan yang telah dicabut izin usahanya tidak dapat menjalankan usaha di bidang lain. 2) Tanpa mengurangi ketentuan Undang-Undang Kepailitan, ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian menyatakan bahwa perusahaan asuransi yang izin usahanya telah dicabut dapat dimohonkan pailit oleh Menteri Keuangan. Berdasarkan penelusuran dari skripsi dengan judul dan pokok permasalahan seperti yang dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul Kajian Hukum atas Permohonan Pernyataan Pailit PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya oleh Otoritas Jasa Keuangan (Studi Kasus Putusan Nomor 408 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 juncto Nomor belum ada yang membahasnya. Jika terdapat referensi yang terdapat dalam karya orang lain atau pihak lain, maka penulis akan menyebutkan sumbernya dengan jelas. 17