BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan nasional memiliki peranan yang sangat penting bagi warga negara. Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Oleh karena itu, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan seperti yang tercantum dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 tentang Sistem Pendidikan (Trianto, 2010). Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan karena pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Sejalan perkembangan dunia pendidikan yang semakin pesat menuntut lembaga pendidikan untuk lebih menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Banyak perhatian khusus diarahkan pada perkembangan dan kemajuan pendidikan guna meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan. Salah satu cara yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah dengan pembaharuan sistem pendidikan (Isjoni, 2010). Lembaga pendidikan senantiasa mengadakan peningkatan dan penyempurnaan terhadap mutu pendidikan. Salah satu upaya peningkatan dan penyempurnaan dalam pendidikan yaitu penggunaan strategi pengajar yang tepat dalam proses belajar mengajar. Sanjaya (2010) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Kegiatan pembelajaran tidak terlepas dari berbagai variabel pokok yang saling berkaitan yaitu kurikulum, guru/pendidik, pembelajaran, dan peserta didik. Dengan cara menerapkan strategi yang efektif dikelas dan lebih memberdayakan potensi siswa. Pembelajaran adalah sesuatu yang dilakukan 1
2 oleh siswa bukan dibuat untuk siswa. Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya pendidik untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar (Isjoni, 2010). Pemilihan model pembelajaran harus mampu mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir logis, kritis dan kreatif. Menurut Sanjaya (2010) strategi pembelajaran akan tegantung pada pendekatan yang digunakan, sedangkan bagaimana menjelaskan strategi itu dapat diterapkan sebagai model pembelajaran. Dalam upaya menjalankan metode pembelajaran guru dapat menentukan teknik yang dianggap relevan dengan metode, dan penggunaan teknik tersebut guru memiliki taktik yang berbeda antara guru satu dengan yang lainnya. Peranan seorang guru dalam pembelajaran sangat diperlukan khususnya dalam pendidikan formal. Guru hendaknya mengetahui sejauh mana siswa dapat memahami materi pelajaran yang disajikan dalam proses belajar mengajar dari hasil belajar siswa. Penilain hasil belajar siswa hakikatnya adalah perubahan tingkah laku, tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian luas mencakup bidang kognitif, afektif dan psikomotoris (Sudjana, 2011). Berdasarkan daftar nilai ulangan siswa kelas V SD Negeri Purworejo Temanggung tahun 2011/2012 menunjukkan nilai rata-rata pada mata pelajaran IPA, yakni 54. Menurut (Karsidi, 2007) sekolah harus menentukan kriteria ketuntasan minimal sebagai target pencapaian kompetensi (TPK) dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan rata-rata peserta didik serta kemampuan sumber daya pendukung dalam penyelenggaraan pembelajaran. Sekolah secara bertahap dan berkelanjutan selalu mengusahakan peningkatan kriteria ketuntasan belajar untuk mencapai kriteria ketuntasan ideal. Di SD Negeri Purworejo KKM yang ditentukan, yaitu 60. Dalam proses pembelajaran IPA guru terlalu berkonsentrasi pada latihan penyelesaian soal. Dalam kegiatan pembelajaran guru menjelaskan konsep secara informatif, memberiakn contoh soal, dan memberikan soal-soal latihan. Guru merupakan pusat kegiatan, sedangkan selama kegiatan
3 pembelajaran cenderung pasif. Siswa hanya mendengarkan, mencatat penjelasan dan mengerjakan soal. Dengan demikian pengalaman belajar yang telah mereka miliki tidak berkembang. Pembelajaran berkelompok sudah digunakan untuk menyampaikan konsep-konsep IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Beberapa tugas yang harus dikerjakan siswa secara kelompok seperti mengerjakan praktikum, tugas mengerjakan soal-soal latihan, tugas membaca, dan masih banyak lagi tugas lainnya. Tetapi kalau dicermati, kegiatan kelompok tersebut bukan pembelajaran kooperatif. Tujuan dari kerja kelompok hanya menyelesaikan tugas. Kegiatan belajar mengajar biasanya didominasi oleh siswa yang pandai, sementara siswa yang kemampuannya rendah kurang berperan dalam mengerjakan tugas kelompok, hal tersebut belum menunjukan adanya kerjasama antar siswa. Selain itu juga siswa tidak dilatihkan untuk bekerjasama, berkomunikasi, dan menghargai pendapat orang lain. Cara kerja kelompok tradisional seperti ini menyebabkan hasil belajar IPA yang diperoleh siswa berkemampuan rendah kurang maksimal dan adanya kesenjangan yang terlalu jauh antara hasil belajar siswa yang pandai dengan hasil belajar siswa yang kurang pandai. Apabila keadaan ini didiamkan akan menyebabkan siswa yang pandai mendapatkan hasil belajar tinggi dan siswa yang kurang pandai akan mendapatkan hasil belajar yang rendah. Kerjasama antar siswa yang tidak terjalin dapat mengakibatkan rasa individual yang tinggi yang dapat menyebabkan keegoisan individu, hasil belajar yang tidak merata, dan kurangnya keterampilan sosial siswa untuk mengemukakan pendapat dan ide yang dimilikinya. Berbeda dengan pembelajaran kelompok kooperatif yang menyatukan siswa dari berbagai macam ras, budaya, suku, kemampuan, dan kelas sosialnya, dapat membentuk suatu kerjasama dan interaksi antar siswa sehingga siswa merasa lebih bersahabat dan menghargai antar teman yang satu dengan yang lain. Menurut Isjoni (2010), pembelajaran kelompok kooperatif dapat meningkatkan cara belajar siswa menjadi lebih baik, sikap tolong-menolong dalam berperilaku sosial, dan memberikan kesempatan
4 kepada orang lain untuk menyampaikan gagasan dan pendapatnya dalam kelompok. Model pembelajaran yang digunakan guru dalam proses pembelajaran cenderung monoton, misalnya siswa terus-menerus diceramahi dan diberi latihan soal, sehingga membuat siswa bosan dan malas mempelajari IPA. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Suwarna (2005), dalam metode ceramah peranan guru sangat dominan. Komunikasi yang terjadi cenderung satu arah sehingga proses pembelajaran menjadi membosankan dan kurang menarik. Rendahnya keaktifan siswa dalam mempelajari konsep IPA berkorelasi dengan kurangnya guru menerapkan model pembelajaran yang variatif dan menarik sehingga dapat berpengaruh pada prestasi belajar siswa, di samping ketersediaan sarana dan prasarana yang mendukung proses pembelajaran. Penjelasan/informasi lisan atau tertulis tidak memberikan gambaran yang utuh terhadap isi penjelasan/informasi tersebut. Hal ini dapat membuat siswa kurang paham, salah paham, atau bahkan tidak paham dengan penjelasan/informasi dari gurunya. Apa bila hal ini dibiarkan dapat menyebabkan hasil belajar siswa sebatas pemahan saja bukan konsep cara menyelasaikan soal. Oleh karena itu, dalam pembelajaran diperlukan suatu kreativitas seorang guru dalam penyampaian materi pembelajaran agar siswa lebih aktif. Cara penyampaian materi pembelajaran yang dirancang oleh guru sangat berpengaruh terhadap pemahaman siswa dalam memaknai materi pembelajaran. Pemahaman siswa terhadap materi akan berpengaruh pada pola pikir siswa. Pola pikir siswa inilah yang akhirnya akan membentuk skema kognitif. Pada prinsipnya, proses belajar bertumpu pada struktur kognitif, yakni penataan fakta, konsep serta prinsip-prinsip sehingga membentuk satu kesatuan yang memiliki makna bagi subjek didik. Dengan demikian, struktur kognitif itu dapat mempengaruhi perkembangan afeksi ataupun penampilan seseorang (Sardiman, 2000). Menurut Wigfield (Santrock, 2007) meskipun perempuan sudah membuat kemajuan yang pesat dalam pencapaian status yang tinggi diberbagai bidang, mereka masih kurang memiliki perwakilan
5 dibidang teknologi, matematika, dan sains. Meskipun begitu, secara rata-rata anak perempuan adalah pelajar yang lebih baik, dan mereka secara signifikan lebih baik dari laki-laki dalam membaca. Dari uraian perbedaan laki-laki dan perempuan di atas peneliti ingin meneliti perbedaan hasil belajar siswa antara laki-laki dan perempuan sebagai dampak dari Two Stay Two Stray (TSTS) dalam mata pelajaran IPA kelas V SD. IPA adalah suatu cara dalam mencari tahu tentang pola dari alam yang dapat dimengerti dan yang dapat diselidiki atau ditemukan secara alami. Salah satu tujuan pembelajaran IPA adalah agar siswa dapat memahami konsep-konsep IPA dan ketrampilannya dengan kehidupan sehari-hari (Depdikbud, 1994). Apabila dalam proses belajar mengajar IPA guru tidak menggunakan alat peraga, maka sulit bagi siswa untuk menyerap konsepkonsep pelajaran yang disampaikan guru sehingga berdampak pada kurangnya tingkat keberhasilan siswa dalam belajar. Mengingat pentingnya pelajaran IPA untuk pendidikan, guru diharapkan mampu merencanakan pembelajaran sedemikian rupa sehingga akan tertarik dengan IPA. Sebagai upaya meningkatkan hasil belajar IPA, perlu dikembangkan suatu pembelajaran yang tepat, sehingga dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk bertukar pendapat, bekerjasama dengan teman, berinteraksi dengan guru, maupun mengingat kembali konsep yang dipelajari. Guru diharapkan mampu merencanakan pembelajaran yang efektif sehingga siswa akan tertarik dan lebih aktif dalam pembelajaran IPA. Pembelajaran efektif bercirikan: 1) memudahkan siswa belajar sesuatu yang bermanfaat seperti, fakta, keterampilan, nilai, konsep, dan bagaimana hidup serasi dengan sesama; 2) pengetahuan, nilai dan keterampilan diakui oleh mereka yang berkompeten menilai (Suprijono, 2011). Terdapat beberapa model pembelajaran untuk mata pelajaran IPA diantaranya model pembelajaran berbasis masalah, model pembelajaran fortofolio, model pembelajaran penemuan dan model pembelajaran kooperatif. Menurut Lie (2008), model pembelajaran kooperatif atau disebut juga dengan pembelajaran gotong-royong merupakan sistem pengajaran yang
6 memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama dengan sesama siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas yang terstruktur. Model pembelajaran tersebut melibatkan aktivitas siswa tanpa melibatkan status, melainkan peran siswa sebagi tutor sebaya dan mengandung unsur permainan. Aktifitas belajar dirancang sedemikian rupa sehingga menimbulkan tanggung jawab, kerjasama, persaingan sehat dan dapat memperoleh informasi tambahan dari kelompoknya. Menurut Lie (2008) pembelajaran dengan strategi kooperatif terbukti sangat efektif dalam meningkatkan hubungan antar siswa. Banyak model pembelajaran kooperatif antara lain berpikir berpasangan berempat, berkirim salam dan soal, kepala bernomor, kepala bernomor terstruktur, Two Stay Two Stray (TSTS), jigsaw, dan lain-lain. Salah satu pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) yang dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992), struktur Two Stay Two Stray (TSTS) yaitu dalam satu kelompok terdiri dari empat siswa yang nantinya dua siswa bertugas sebagai pemberi informasi bagi tamunya dan dua siswa lagi bertamu ke kelompok yang lain secara terpisah. Model pembelajaran ini berbeda dengan model kooperatif lainya, ciri Two Stay Two Stray (TSTS) adalah dua orang tetap dikelompoknya dan dua orang mencari informasi kekelompok lainya. Dengan demikian pembelajaran Two Stay Two Stray (TSTS) mampu meningkatkan hasil belajar siswa Sekolah Dasar kelas V terhadap materi sifat-sifat cahaya. Materi sifat-sifat cahaya merupakan materi IPA yang disampaikan pada kelas V SD Semester 2, yang cara penyampaiannya membutuhkan peran siswa secara aktif dalam proses belajar mengajar. Two Stay Two Stray (TSTS) belum pernah dilaksanakan di SD Negeri Purworejo Temanggung.Terkait dengan hal tersebut, peneliti akan mengukur efektifitas metode Two Stay Two Stray yang melibatkan siswa aktif, saling bergotong royong, tanggung jawab, kerjasama, persaingan sehat dan dapat memperoleh informasi tambahan dari kelompoknya dan kelompok lain dalam pembelajaran IPA kelas V SD dilihat dari hasil belajar siswa. Maka metode pembelajaran TSTS dianggap cocok untuk meningkatkan hasil belajar yang ditinjau dari gender siswa.
7 1.2 Identifikasi Masalah Dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut ini. 1. Dalam proses pembelajaran IPA guru terlalu berkonsentrasi pada latihan penyelesaian soal. Dalam kegiatan pembelajaran guru menjelaskan konsep secara informatif, memberikan contoh soal, dan memberikan soal-soal latihan. Guru merupakan pusat kegiatan, sedangkan selama kegiatan pembelajaran cenderung pasif. Siswa hanya mendengarkan, mencatat penjelasan dan mengerjakan soal. Dengan demikian pengalaman belajar yang telah mereka miliki tidak berkembang. 2. Tujuan dari kerja kelompok hanya menyelesaikan tugas. Kegiatan belajar mengajar biasanya didominasi oleh siswa yang pandai, sementara siswa yang kemampuannya rendah kurang berperan dalam mengerjakan tugas kelompok, hal tersebut belum menunjukan adanya kerjasama antar siswa. Oleh karena itu guru sebaiknya menciptakan metode pembelajaran yang dapat membuat aktif peserta didik dengan saling bekerja sama antar anggota kelompok. 3. Cara kerja kelompok tradisional menyebabkan hasil belajar IPA yang diperoleh siswa berkemampuan rendah kurang maksimal dan adanya kesenjangan yang terlalu jauh antara hasil belajar siswa yang pandai dengan hasil belajar siswa yang kurang pandai. Apabila keadaan ini didiamkan akan menyebabkan siswa yang pandai mendapatkan hasil belajar tinggi dan siswa yang kurang pandai akan mendapatkan hasil belajar yang rendah. Kerjasama antar siswa yang tidak terjalin dapat mengakibatkan rasa individual yang tinggi yang dapat menyebabkan keegoisan individu, hasil belajar yang tidak merata, dan kurangnya keterampilan sosial siswa untuk mengemukakan pendapat dan ide yang dimilikinya.
8 4. Model pembelajaran yang digunakan guru dalam proses pembelajaran cenderung monoton, misalnya siswa terus-menerus diceramahi dan diberi latihan soal, sehingga membuat siswa bosan dan malas mempelajari IPA. Komunikasi yang terjadi cenderung satu arah sehingga proses pembelajaran menjadi membosankan dan kurang menarik. Penjelasan/informasi lisan atau tertulis tidak memberikan gambaran yang utuh terhadap isi penjelasan/informasi tersebut. Hal ini dapat membuat siswa kurang paham, salah paham, atau bahkan tidak paham dengan penjelasan/informasi dari gurunya. Apa bila hal ini dibiarkan dapat menyebabkan hasil belajar siswa sebatas pemahan saja bukan konsep cara menyelasaikan soal. Oleh karena itu, dalam pembelajaran diperlukan suatu kreativitas seorang guru dalam penyampaian materi pembelajaran agar siswa lebih aktif. Faktor-faktor di atas sangat mempengaruhi hasil belajar siswa dalam mata pelajaran IPA. Jika keadaan ini dibiarkan maka jumlah siswa dengan hasil belajar rendah akan terus bertambah. Oleh karena itu, diperlukan solusi untuk mengemas dan menyajikan pembelajaran. Solusinya adalah pembelajaran dengan metode Two Stay Two Stray (TSTS) sehingga siswa tidak pasif, siswa akan menumbuhkan rasa kerjasama yang positif dan hasil belajar akan meningkat. 1.3 Pembatasan Masalah Berdasarkan pada masalah yang ada, maka perlu adanya pembatasan masalah agar pemahaman lebih terarah. Oleh karena itu, permasalahan dibatasi pada efektifitas pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) terhadap hasil belajar berdasarkan gender siswa kelas V SD pada pelajaran IPA pokok bahasan sifat-sifat cahaya gugus Among Siswa Temanggung semester 2 tahun 2011/2012. Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang diberi perlakuan dengan menggunakan metode Two Stay Two Stray (TSTS) dan pembelajaran
9 konvensional, dengan demikian metode pembelajaran merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar IPA. Begitu juga dengan gender siswa, peneliti ingin mengetahui perbedaan hasil belajar IPA ditinjau dari gender siswa, jika ada perbedaan hasil belajar antara siswa kelompok laki-laki dan siswa kelompok perempuan maka gender merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap hasil belajar IPA. Disamping itu, penelitian juga ingin mengetahui apakah ada kekonsistenan antara metode pembelajaran dan gender siswa dalam pembelajaran IPA terhadap hasil belajar IPA. 1.4 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah dan pembatasan masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah ada perbedaan hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan metode Two Stay Two Stray (TSTS) dari pada siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional? 2. Apakah ada perbedaan hasil belajar IPA antara kelompok siswa lakilaki dan kelompok siswa perempuan? 3. Apakah pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) efektif terhadap hasil belajar berdasarkan gender siswa kelas V SD pada pelajaran IPA pokok bahasan sifat-sifat cahaya gugus Among Siswa Temanggung semester 2 tahun 2011/2012? 1.5 Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang diutarakan di atas, maka tujuan penelitian ini secara umum yaitu untuk mendapatkan informasi atau gambaran tentang keefektifan pembelajaran Two Stay Two Stray (TSTS). Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui ada atau tidak ada perbedaan hasil belajar IPA antara kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan metode Two Stay Two Stray (TSTS) dari pada kelompok siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.
10 2. Mengetahui ada atau tidak ada perbedaan hasil belajar IPA antara kelompok siswa laki-laki dan kelompok siswa perempuan. 3. Mengetahui pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) efektif atau tidak efektif terhadap hasil belajar berdasarkan gender siswa kelas V SD pada pelajaran IPA pokok pokok bahasan sifat-sifat cahaya gugus Among Siswa Temanggung semester 2 tahun 2011/2012. 1.6 Manfaat Penelitian Dari penelitian yang telah dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1.6.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memperluas kajian pengetahuan tentang hasil belajar siswa berdasarkan gender dalam pembelajaran menggunakan metode Two Stay Two Stray (TSTS). 1.6.2 Manfaat Praktis 1. Bagi Sekolah, diharapkan dapat memberikan informasi, bahan kajian, evaluasi dan mengembangkan metode pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan hasil belajar siswa. 2. Bagi guru, diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam kegiatan evaluasi dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penggunaan metode pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa berdasarkan gender. 3. Bagi Siswa, diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa lakilaki maupun siswa perempuan dalam pelajaran IPA.