BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah Negara hukum. Hal ini merupakan landasan. negara bersamaan kedudukannya didalam hukum (equality before the law).

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Anak Di Indonesia. hlm Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah

I. PENDAHULUAN. karena itu sering timbul adanya perubahan-perubahan yang dialami oleh bangsa

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

I. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang

BAB III PENUTUP. penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan

BAB I PENDAHULUAN. melanggarnya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan dengan proses yang sama dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

I. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki hak serta kewajiban yang harus dilindungi dari segala

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

I. PENDAHULUAN. kebijakan sosial baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

I. PENDAHULUAN. Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini telah dinyatakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat). yaitu Negara Indonesia

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan semata

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. terlihat pada ujud pidana yang termuat dalam pasal pasal KUHP yaitu

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum,

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

BAB I PENDAHULUAN. hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara hukum, menyebabkan kita akan dihadapkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pergaulan

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan dari segi kualitas dan kuantitas. Kualitas kejahatan pada

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

BAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP KASUS ASUSILA PADA ANAK. Sulasmin Hudji. Pembimbing I : Dr. Fence M. Wantu, SH.,MH

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

I.PENDAHULUAN. Kejahatan merupakan salah satu masalah kehidupan masyarakat

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

BAB I PENDAHULUAN. pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan 1. Masalah pertama

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Indonesia adalah Negara hukum. Hal ini merupakan landasan konstitusional bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Ini berarti hukum merupakan sarana pengayoman untuk menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berperan penting diberbagai bidang kehidupan, baik bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Hal penting dalam negara hukum adalah adanya penghargaan dan komitmen menjunjung tinggi hak asasi manusia serta jaminan semua warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum (equality before the law). 1 Selain itu, sebagai pedoman tertinggi hukum dalam penegakannya harus memberikan perlindungan atas rasa aman dari segala tindakan kriminal yang mungkin terjadi. Ini berarti negara berkewajiban untuk mengadakan pencegahan dan penanggulangan kejahatan, dan hal ini tidak terlepas dari peran hukum sebagai alat untuk melindungi masyarakat. Perlindungan hukum bagi masyarakat sangatlah penting, karena masyarakat baik kelompok maupun perorangan dapat menjadi korban 1 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban & Saksi, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm.1.

2 kejahatan. Pertumbuhan dan perkembangan kejahatan tidak terlepas dari korban. Korban tidak saja dipahami sebagai objek dari suatu kejahatan, akan tetapi juga sebagai subjek yang perlu mendapat perlindungan baik secara sosial maupun hukum. Pada dasarnya korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang di rugikan. 2 Dalam sistem peradilan pidana, korban menjadi sangat penting peranan dan partisipasinya dalam mengungkap tindak pidana yang terjadi. Keadaan masing-masing korban setelah terjadinya tindak pidana tentu berbeda, terutama bagi korban yang merupakan kelompok rentan yang mempunyai kekhususan yang menyebabkan ia menjadi lebih lemah dan lebih menderita dari korban yang lainnya. Kekhususan ini meliputi kekurangmampuan baik secara fisik maupun psikis yang menyebabkan ia menjadi tergantung pada bantuan orang lain baik keluarga, kerabat maupun petugas penegak hukum terkait. Ruang lingkup kelompok rentan ini terdiri dari anak, perempuan, lanjut usia dan penyandang disabilitas. Sehubungan dengan kondisi khususnya ini maka pemberian reparasi dan kompensasi yang segera dan memadai sangat diperlukan oleh mereka guna mendorong pemenuhan hak korban yang bertujuan untuk akselerasi pemulihan keadaannya. 2 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1993, hlm.63.

3 Salah satu kelompok rentan yang akan dibahas disini adalah penyandang disabilitas, dimana penyandang disabilitas seringkali menjadi korban kejahatan karena tingkat intelektualnya yang rendah, selain itu keterbatasan nalar mereka yang tentunya sulit untuk membedakan orang yang ingin melakukan kejahatan. Karena rendahnya kemampuan nalar ini juga menyebabkan para penyandang disabilitas tidak mempunyai kemampuan untuk melindungi diri. Keadaan inilah yang sering dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan, terutama tindak pidana pidana asusila yang dewasa ini ramai terjadi. Menurut Barda Nawawi Arief, tindak pidana asusila adalah tindak pidana yang berhubungan dengan masalah kesusilaan. 3 Masyarakat menilai asusila sebagai bentuk kejahatan, karena bertentangan dengan hukum dan norma-norma yang hidup dimasyarakat. Sedangkan pengertian dan batasbatas kesusilaan itu cukup luas dan dapat berbeda-beda menurut pandanngan dengan nila-nilai yang berlaku di masyarakat. Kasus tindak pidana asusila dari waktu ke waktu terus menunjukan peningkatan. Hal ini sangat memprihatinkan, karena selain sering terjadi pada anak-anak dan penyandang disabilitas, tindak pidana asusila juga kerap terjadi di lingkungan pendidikan. Seperti yang terjadi di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Sukoharjo, Korban adalah penyandang disabilitas dalam keadaan tunarungu yang berusia 22 tahun dengan kemasakan sosial setara dengan anak usia 9 tahun 2 bulan, sedangkan terdakwa adalah seorang guru 3 Sri Hartini, Perbuatan Pidana Kesusilaan Dalam RUU KUHP, Jurnal Civics, Volume 1, Nomor (Desember 2004).

4 tidak tetap yang seharusnya menjadi pendidik yang baik bagi anak-anak didiknya, dan pada kasus ini terdakwa terbukti dengan ancaman kekerasan memaksa korban untuk melakukan perbuatan cabul. Dalam hal ini adalah tugas negara untuk memberikan sanksi pidana demi terpenuhinya rasa keadilan yang sebesar-besarnya untuk melindungi dan memberikan hak bagi penyandang disabilitas sebagai korban tindak pidana asusila. Hukum pidana sebagai suatu sanksi istimewa, dapat membatasi kemerdekaan manusia (hukuman penjara atau hukuman kurungan) dan dapat pula menghabiskan hidup manusia (hukuman mati). Negara selaku penguasa dalam rangka melaksanakan penegakan hukum berhak menjatuhkan sanksi pidana. Kewenangan negara untuk memberikan sanksi pidana kemudian didelegasikan kepada para penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Instansi-instansi yang terkait dengan sistem peradilan pidana adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga permasyarakatan. 4 Pengadilan merupakan sistem pendukung yang mempunyai peran penting dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana, karena didalamnya ada hakim yang diberikan kewenangan oleh Undang- Undang untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara. Sebelum menjatuhkan putusan hakim wajib mempertimbangkan halhal yang bersifat yuridis dan non yuridis. Hal ini dikarenakan pertimbangan hakim merupakan bagian yang sangat penting dalam penjatuhan pidana, karena pertimbangan itulah yang menjadi roh dari seluruh materi isi 4 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Universitas Indonesia, 2007, hlm.85.

5 putusan, terlebih ketika hakim menjatuhkan pidana melebihi pidana maksimum yang telah diatur didalam undang-undang. KUHP mengenal pengaturan pidana maksimum, artinya dalam setiap delik ancaman pidana hanya diberi batas pidana maksimum saja tetapi tidak dikenal batas minimum pidana. Apabila sudah terdapat maksimum khusus dalam suatu pasal, hakim seharusnya tidak menjatuhkan hukuman yang bertentangan dengan ketentuan tersebut, walaupun ada maksimum umum. Hal ini dimaksudkan agar penjatuhan putusan oleh hakim memenuhi rasa keadilan, baik itu bagi korban maupun bagi terdakwa itu sendiri sehingga tidak keluar dari koridor hukum dimana tujuan hukum adalah keadilan, kepastian dan kemanfaatan yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Disamping penjatuhan pidana adalah sebuah konsekuensi atas tindak pidana yang telah dilakukan, menurut P.A.F Lamintang pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai dari penjatuhan pidana yaitu untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri, untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-kejahatan, dan untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain. 5 Sedangkan menurut M. Sholehuddin tujuan pemidanaan harus sesuai dengan politik hukum pidana dimana harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kesejahteraan, keseimbangan dan keselarasan hidup dengan 5 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1984, hlm.23.

6 memperhatikan kepentingan masyarakat, korban maupun terdakwa itu sendiri. 6 Dalam menjatuhkan pidana, hakim harus bebas, jujur dan tidak terpengaruh atau memihak kepada siapapun. 7 Hal ini dimaksudkan agar putusan yang dijatuhkan oleh hakim adalah adil dan tidak terlepas dari hasil pembuktian selama pemeriksaan dan hasil sidang pengadilan, walaupun undang-undang tidak mengatur secara khusus mengenai boleh atau tidaknya hakim menjatuhkan putusan melebihi pidana maksimum dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana pada Putusan Nomor 244 / Pid. / 2013 / PT.SMG dimana hakim menjatuhkan vonis 10 (sepuluh) tahun penjara karena terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana asusila sebagaimana termuat didalam Pasal 289 KUHP. Yang menjadi permasalahan disini adalah maksimum pidana dari ketentuan Pasal 289 KUHP adalah 9 (sembilan) tahun, tetapi hakim menjatukan vonis melebihi maksimum pidana yaitu 10 (sepuluh) tahun. Hakim memang memiliki kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, oleh karena itu hakim sebelum menjatuhkan putusan wajib mempertimbangkan hal-hal yang bersifat yuridis dan non yuridis, sehingga putusan yang dijatuhkan selain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku juga memenuhi rasa keadilan baik bagi korban maupun bagi terdakwa. 6 M.Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm.59. 7 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.80.

7 Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian mengenai bagaimana pengaturan pidana maksimum dalam tindak pidana asusila serta apa dasar - dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana melebihi pidana maksimum dalam perkara tindak pidana asusila terhadap penyandang disabilitas dengan judul PENJATUHAN PIDANA MAKSIMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA ASUSILA TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS ( Studi Putusan Nomor 244 / Pid. / 2013 / PT.SMG ). B. Identifikasi dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah a. Tindak asusila yang dilakukan oleh Oktober Budiawan melanggar Pasal 289 KUHP. b. Korban adalah penyandang disabilitas dalam keadaan tunarungu yang berusia 22 tahun dengan kemasakan sosial setara dengan anak usia 9 tahun 2 bulan. c. Hakim menjatuhkan pidana melebihi pidana maksimum dari ketentuan KUHP dalam perkara tindak pidana asusila terhadap penyandang disabilitas. 2. Rumusan Masalah a. Bagaimanakah pengaturan pidana maksimum dihubungkan dengan tindak pidana asusila berdasarkan KUHP? b. Apakah dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana melebihi pidana maksimum dari ketentuan KUHP dalam perkara

8 tindak pidana asusila terhadap penyandang disabilitas (Putusan Nomor 244 / Pid. / 2013 / PT.SMG)? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan diatas, maka tujuan dari penelitiaan ini adalah: a. Untuk mengetahui pengaturan pidana maksimum dihubungkan dengan tindak pidana asusila berdasarkan KUHP. b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana melebihi pidana maksimumdari ketentuan KUHP dalam perkara tindak pidana asusila terhadap penyandang disabilitas (Putusan Nomor 244 / Pid. / 2013 / PT.SMG). 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis 1) Menambah wawasan dan pengetahuan penulis mengenai penjatuhan putusan yang melebihi pidana maksismum dalam tindak pidana asusila terhadap penyandang disabilitas. 2) Sebagai dasar pemikiran dalam upaya pengembangan secara teoritis dalam bidang disiplin ilmu hukum khususnya hukum pidana mengenai tindak pidana asusila terhadap penyandang disabilitas.

9 b. Manfaat Praktis 1) Sebagai pedoman dan masukan bagi pemerintah dan aparat penegak hukum dalam melakukan optimalisasi penegakan hukum terhadap tindak pidana asusila terhadap penyandang disabilitas. 2) Sebagai syarat untuk meraih gelar Strata Satu (S1). Pada Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Di Universitas Bhayangkara Jakarta Raya. D. Kerangka Teoritis, Kerangka Konseptual dan Kerangka Pemikiran 1. Kerangka Teoritis Menganalisa atas rumusan masalah di atas, penulis menggunakan beberapa teori sebagai pisau analisa, yaitu teori penjatuhan pidana dan teori perlindungan hukum. a. Teori Penjatuhan Pidana 1) Teori Absolut atau pembalasan Menurut teori ini pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya pelaku harus diberi penderitaan. Menurut Johannes Andenaes tujuan dari teori ini adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan. 8 8 Muhammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005, hlm.39.

10 2) Teori Relatif atau tujuan Teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Menurut Leonard, teori ini bertujuan mencegah dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cederung melakukan kejahatan. 9 3) Teori Gabungan Teori gabungan mendasarkan pidana pada pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Menurut teori ini, tujuan pidana selalu membalas kesalahan penjahat tetapi disamping itu juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban dengan ketentuan beratnya pidana tidak boleh melampaui batas pembalasan yang adil. b. Teori Perlindungan Hukum Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam 9 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi), Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm.96.

11 sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia. 10 2. Kerangka Konseptual a. Pengertian Pidana Menurut Roslan Saleh, pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja dilimpahkan Negara kepada pembuat delik. 11 b. Pengertian Tindak Pidana Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana. 12 c. Pengertian Hakim Menurut Pasal 1 ayat (8) KUHAP, Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. d. Pengertian Kesusilaan Kesusilaan adalah tindakan yang berkenaan dengan moral yang terdapat pada setiap diri manusia. 13 10 Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2003, hlm.14. 11 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011, hlm. 81. 12 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: PT. Eresco, 1981, hlm.12. 13 Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hlm. 3.

12 e. Pengertian Penyandang Disabilitas Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. 3. Kerangka Pemikiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Putusan Nomor. 244 / Pid. / 2013 / PT.SMG Pengaturan pidana maksimum dihubungkan dengan tindak pidana asusila berdasarkan KUHP Dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana melebihi pidana maksimum dari ketentuan KUHP dalam perkara tindak pidana asusila terhadap penyandang disabilitas

13 E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Adapun analisis hasil penulisan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, mengolah data dan menganalisisnya kemudian dituangkan dengan cara menggunakan kalimat sehingga pembaca lebih mudah memahami penelitian. 2. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan berdasarkan perundang-undangan, dan data yang digunakan adalah data sekunder berupa bahan hukum. 3. Pendekatan Sebagai penelitian hukum dengan metode penelitian yuridis normatif, pendekatan penelitian yang dipergunakan adalah pendekatan perundang-undangan. Penelitian hukum dengan pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan cara memahami, mengungkap dan menafsirkan makna norma-norma hukum yang menjadi bahan hukum penelitian. Norma-norma hukum itu dipahami, diungkap dan ditafsirkan maknanya dengan penafsiran yang ada dalam ilmu hukum. 4. Bahan Hukum Penelitian hukum bertujuan untuk mengumpulkan bahan-bahan hukum dan dianalisis menggunakan hukum yang berlaku terhadap

14 suatu fakta hukum dan mencari serta menentukan penerapan hukum terhadap fakta hukum yang ada. Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder yang dimaksud penulis adalah sebagai berikut: a. Bahan hukum primer, antara lain: 1) Kitab Undang-Undang HukumPidana (KUHP) 2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas 4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 5) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen b. Bahan hukum sekunder berupa literature-literature yang berkaitan dengan tindak pidana asusila di buku, internet, pendapat ahli, artikel dan hasil-hasil penelitian. c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

15 F. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritis, kerangka konseptual, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam Bab ini menjelaskan tentang bahan-bahan pustaka terkait dengan tindak pidana asusila, yaitu pengertian dan ruang lingkup pidana dan pemidanaan, pengaturan pidana maksimum, ruang lingkup tindak pidana asusila dan pengertian penyandang disabilitas. BAB III HASIL PENELITIAN Dalam Bab ini berisikan studi kasus dan temuan hasil penelitian berdasarkan objek yang diteliti, yaitu pengaturan pidana maksimum dihubungkan dengan tindak pidana asusila berdasarkan KUHP dan dasar pertimbangan hakim menjatuhkan pidana melebihi pidana maksimum dari ketentuan KUHP dalam perkara tindak pidana asusila terhadap penyandang disabilitas. BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN Dalam Bab ini akan diuraikan mengenai pengaturan pidana maksimum dihubungkan dengan tindak pidana asusila berdasarkan KUHP dan dasar pertimbangan hakim menjatuhkan

16 pidana melebihi pidana maksimum dari ketentuan KUHP dalam perkara tindak pidana asusila terhadap penyandang disabilitas. BAB V PENUTUP Dalam Bab ini penulis menyampaikan pendapat berupa kesimpulan yang merupakan rangkuman dari pembahasan dan juga menyampaikan saran-saran dari permasalahan yang diteliti didalam skripsi ini.