I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyaknya penderita penyakit degeneratif memicu munculnya produk pangan fungsional. Pangan fungsional merupakan pangan yang dapat memberikan efek kesehatan bagi tubuh dan dapat mengobati serta mengurangi resiko dari suatu penyakit (Akin dan Ozcan, 2017). Salah satu produk pangan fungsional yang dapat memperbaiki kondisi usus manusia adalah minuman sinbiotik. Minuman sinbiotik dapat menjaga kesehatan saluran pencernaan dan mengurangi resiko penyakit kanker kolon (Gibson dan Roberfroid, 1995). Minuman sinbiotik mengandung prebiotik dan probiotik yang baik untuk usus (Winarno et al., 2003). Prebiotik adalah makanan yang tidak dapat dicerna oleh tubuh, namun sangat bermanfaat bagi mikroflora usus. Prebiotik berasal dari komponen karbohidrat, umumnya berbentuk oligosakarida dan serat pangan (Reddy, 1999). Prebiotik merupakan subtansi makanan bagi bakteri dalam usus yang dapat memengaruhi aktivitas dan pertumbuhannya (Winarno et al., 2003). Roberfroid (2005) juga menyatakan bahwa prebiotik harus dapat memicu pertumbuhan bakteri baik untuk melakukan metabolisme dan dapat mengubah mikroflora usus menjadi komposisi yang baik untuk kesehatan. Sorgum merupakan kultivar lokal yang dapat dijadikan sebagai prebiotik. Suarni (2004) menyatakan bahwa biji sorgum memiliki kandungan antioksidan, Fe, serat, oligosakarida, dan β-glukan yang termasuk karbohidrat non-starch polysaccharides (NSP). Sorgum mengandung 8,8%-11,1% serat pangan (USDA, 1
2 2016). Serat pangan yang tidak dapat dicerna akan mengalami fermentasi dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan bakteri baik di usus besar (Winarno, 1997). Probiotik merupakan mikroorganisme yang memberikan pangaruh baik pada kesehatan manusia (Collins dan G.R. Gibson., 1999). Bakteri probiotik harus memiliki sifat anti mikroba dan dapat memperbaiki aktifitas metabolik (Sudarmo, 2003). Salah satu bakteri probiotik adalah Bifidobacterium bifidum (Kokkunen, 2008). Bifidobacterium terdapat dalam usus besar manusia dan hewan (Praja, 2011). Sifat dari bakteri ini diantaranya adalah dapat menghambat mikroorganisme patogen, anti mutagenik, anti karsinogen, mencegah diare, meningkatkan kekebalan tubuh, dan menurunkan kadar kolesterol (Lahtinen et al., 2006). Mutu produk sinbiotik harus tetap terjaga sampai ke tangan konsumen. Andarwulan dan Hariyadi (2004) menyatakan bahwa kriteria atau komponen mutu yang penting pada komoditas pangan adalah keamanan, kesehatan, flavor, tekstur, warna, umur simpan, kemudahan, kehalalan, dan harga. Perubahan mutu minuman sinbiotik ditandai dengan penurunan jumlah bakteri probiotik, penurunan ph, dan perubahan organoleptik. Jumlah bakteri probiotik yang harus ada dalam produk sinbiotik adalah 7 log CFU/mL (FAO, 2002). Penurunan mutu produk pangan sangat erat kaitannya dengan umur simpan. Umur simpan merupakan waktu yang diperlukan produk pangan dalam kondisi penyimpanan untuk mencapai degradasi mutu tertentu (Floros dan V. Gnanasekharan., 1993). Menurut Subramaniam (2000), umur simpan merupakan
3 keadaan produk pangan yang masih aman secara sensori, kimia, fisik, dan mikrobiologi ketika penyimpanan pada suhu tertentu. Pendugaan umur simpan dapat dilakukan dengan menggunakan metode konvensional dan Accelerated Shelf Life Testing (ASLT). Penggunaan metode konvensional memerlukan waktu yang lama karena dilakukan pada suhu penyimpanan umumnya yaitu 4 o C (Angelov et al., 2006). Hal tersebut menyebabkan reaksi yang terjadi berjalan secara lambat (Ramadhani, 2015). Berbeda halnya dengan metode ASLT dilakukan dengan cara menyimpan produk pangan pada suhu yang menyebabkan kondisi cepat rusak (ekstrim). Metode akselerasi ini dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat juga dengan akurasi yang baik (Arpah, 2001). Metode ASLT dapat dilakukan dengan dua pendekatan yakni pendekatan semi empiris dengan bantuan model Arrhenius dan pendekatan kadar air kritis dengan model Labuza. Penggunaan model didasarkan pada karakteristik dan penyebab kerusakan produk pangan yang akan diujikan. Kusnandar (2010) menyatakan bahwa model Arrhenius dapat digunakan untuk produk pangan yang peka terhadap perubahan suhu, sedangkan model Labuza digunakan untuk produk pangan yang mudah menyerap air selama penyimpanan. Pendugaan umur simpan minuman sinbiotik dapat dilakukan dengan model Arrhenius karena sifatnya yang mudah rusak akibat suhu penyimpanan. Perubahan suhu tersebut dapat menimbulkan reaksi kimia dan biologi penyebab kerusakan (Kusnandar, 2010). Penggunaan model Arrhenius juga didasarkan pada karakteristik produk yang sensitif terhadap perubahan suhu dan menyebabkan
4 terjadinya penurunan komponen biologis salah satunya mikrobiologi (Kusnandar, 2010). Menurut Asiah et al. (2018), kerusakan yang dapat menunjukkan perubahan umur simpan diantaranya adalah perubahan jumlah mikroorganisme, perubahan nilai ph, dan perubahan viskositas. Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai pendugaan umur simpan minuman sinbiotik menggunakan model Arrhenius pada berbagai suhu penyimpanan. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang, dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut: Berapakah umur simpan minuman sinbiotik B. bifidum berbahan sorgum (Sorghum bicolor L. moench) pada berbagai suhu penyimpanan yang diuji dengan model Arrhenius? 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui umur simpan produk minuman sinbiotik B. bifidum berbahan sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) yang disimpan pada berbagai suhu penyimpanan menggunakan model Arrhenius. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan umur simpan produk minuman sinbiotik B. bifidum berbahan sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) sesuai dengan suhu penyimpanan.
5 1.4 Kegunaan Hasil Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada industri pangan dan konsumen mengenai masa simpan minuman sinbiotik B. bifidum berbahan sorgum (Sorghum bicolor L. moench) pada berbagai suhu penyimpanan.