BAB III METODE TAFSĪR MAUḌŪ Ī DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA. Tafsīr Mauḍū ī terdiri dari dua kata, yaitu kata tafsīr dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 1. Bahan penelitian berhadapan langsung dengan (nash) atau data angka dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Alquran yang secara harfiah berarti bacaan sempurna merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan / (Library Research) mencatat serta mengolah bahan penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN. Istilah profil dalam penelitian ini mengacu pada Longman Dictionary of

BAB III METODE PENELITIAN. perspektif Al-Qur an ini termasuk penelitian kepustakaan (library research).

BAB I PENDAHULUAN. sehingga dapat dirasakan rahmat dan berkah dari kehadiran al-qur an itu. 1

PESONA TAFSIR MAWḌU I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV KUALITAS MUFASIR DAN PENAFSIRAN TABARRUJ. DALAM SURAT al-ahzab AYAT 33

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut dan

Membahas Kitab Tafsir

Tafsir janggal adalah tafsir yang tidak sejalan dengan tafsir pada umumnya. 3 Kedua tafsir ini tidak diterima oleh umumnya ulama, hanya orang-orang

BAB V PENUTUP. 1. Metode yang dipergunakan dan yang dipilih dari penafsiran al-ṭabari dan al-

BAB I PENDAHULUAN. Tidak diragukan lagi bahwa al-qur`an merupakan kitab suci dan. pedoman bagi manusia dan orang-orang yang bertaqwa kapanpun dan

BAB I PENDAHULUAN. Sungguh, al-quran ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus... (Q.S. Al-Israa /17: 9) 2

BAB I PENDAHULUAN. Al-Qur an Al-karim ialah kitab Allah dan wahyu-nya yang diturunkan

BAB I PENDAHULUAN. ibadah yang setiap gerakannya mengandung do a.1 Shalat adalah kewajiban

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGGUNAAN AL-RA Y OLEH

BAB I PENDAHULUAN. Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya (Q.S. al-hijr/15: 9).

BAB IV ANALISIS TERHADAP TAFSIR TAFSIR FIDZILAL ALQURAN DAN TAFSIR AL-AZHAR TENTANG SAUDARA SEPERSUSUAN

BAB I LATAR BELAKANG PENDAHULUAN

BAB II GAMBARAN UMUM KISAH-KISAH DALAM AL-QUR AN. Quraish Shihab berpendapat bahwa al-qur an secara harfiyah berarti bacaan

BAB III METODOLOGI TAFSIR

BAB I PENDAHULUAN. Muhammad sebagai pedoman hidup bagi kaum muslimin. Al-Qur an sendiri

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Al-Qur an merupakan pedoman dan petunjuk dalam kehidupan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk yang unik dan sangat menarik di mata manusia

Minggu 1 DPQS TAFSIR AL-QURAN 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. membawa kemaslahatan bagi umat manusia (rahmat lil alamin), baik di dunia

UMMI> DALAM AL-QUR AN

BAB I PENDAHULUAN. dalam al-qur an dan al-sunah ke dalam diri manusia. Proses tersebut tidak

Kata Kunci: Ajjaj al-khatib, kitab Ushul al-hadis.

BAB I PENDAHULUAN. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata Pembelajaran

Beberapa Problem Tafsir

BAB I PENDAHULUAN. sebuah cahaya petunjuk bagi mereka yang beriman. Allah berfirman:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dunia dan akhirat. Agar tujuan itu dapat direalisasikan oleh manusia, maka

BAB 1 PENDAHULUAN. Qur an Melalui Pendekatan Historis-Metodologis, ( Semarang: RaSAIL, 2005), hlm

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu usaha yang bisa dilakukan oleh orang dewasa untuk memberi

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dalam Islam bersumber kepada Al-Qur an dan As-Sunnah.

BAB I PENDAHULUAN. Islam tersebut dinamakan orang mu min. Orang mu min adalah seseorang yang

BAB VI PENUTUP. Allah dalam juz amma dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Menurut pemikiran Hamka dan M. Quraish Shihab dalam kitabnya

BAB I PENDAHULUAN. hukum yang berlaku dalam Islam tidak boleh bertentangan dengan al-qur an. Di

BAB I PENDAHULUAN. sebagai upaya untuk menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat. 1

BAB I PENDAHULUAN. kebathilan. Untuk mengungkap petunjuk dan penjelasan dari al-qur a>n, telah

BAB I PENDAHULUAN. bahkan kata hikmah ini menjadi sebuah judul salah satu tabloid terbitan ibukota

BAB I PENDAHULUAN. Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Al-Qur'an Al-Azhim sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dasar pendidikan menurut Islam. Al-Qur an merupakan petunjuk bagi umat

BAB I PENDAHULUAN. melalui metode pengajaran dalam pendidikan islam di dalamnya memuat

BAB I PENDAHULUAN. 2014), hlm Imam Musbikin, Mutiara Al-Qur an, (Yogyakarta: Jaya Star Nine,

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya. Manusia membutuhkan rambu-rambu lalu lintas yang memberinya

BAB 5 PENUTUP. Kajian ini telah membincangkan mengenai topik-topik yang berkaitan dengan konsep

KALAM INSYA THALABI DALAM AL-QUR AN SURAT YUNUS (STUDI ANALISIS BALAGHAH) ARTIKEL. Oleh: DAHLIANI RETNO INDAH PURWANTI NIM: I1A213002

BAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia.

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

SUMBER AJARAN ISLAM. Erni Kurnianingsih ( ) Nanang Budi Nugroho ( ) Nia Kurniawati ( ) Tarmizi ( )

PENGGUNAAN KATA TANYA/ ISTIFHANIAH DALAM ALQUR AN (SUATU KAJIAN TAFSIR TEMATIK DALAM TAFSIR AL MISHBAH PADA SURAT AL BAQARAH, ALI IMRAN, AN NISA )

BAB I PENDAHULUAN. adalah jaminan pemeliharaan dari Allah atas keotentikannya.

BAB I PENDAHULUAN. Hayyie Al-Kattani, Gema Insani Press, Jakarta, cet III, 2001, h Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Al-Qur an, Terj.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. menurut Muhammad Abduh dan Muhammad Quthb serta implikasinya

BAB I PENDAHULUAN. merupakan ibadah.oleh karena itu, al-quran adalah kitab suci umat Islam, secara

ILMU QIRO AT DAN ILMU TAFSIR Oleh: Rahmat Hanna BAB I PENDAHULUAN. Al-Qur an sebagai kalam Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW

BAB I PENDAHULUAN. Aksara, 2005), hlm. 23. Penerbit Diponegoro, 2008), hlm Ahsin W., Bimbingan Praktis Menghafal Al-Qur an, (Jakarta: Bumi

BAB I PENDAHULUAN. Al-Quran adalah kalam atau firman Allah SWT, yang di turunkan kepada. Nabi Muhammad SAW dan membacanya merupakan suatu ibadah.

BAB I PENDAHULUAN. sulit diterima bahkan mustahil diamalkan (resistensi) 4. Dan yang lebih parah,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Atau lebih dari seperdua itu. dan bacalah Al Quran itu dengan perlahanlahan.

BAB V PENUTUP. 1. Model pengembangan indeks al-qur an ini adalah model Prosedural, sebuah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 2013), h Pustaka,2015), h Chairul Ahmad, Buku Pintar Sains dalam al-qur an(jakarta: Zaman,

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu-ilmu al-quran Melalui Pendekatan Historis-Metodologis, (Semarang: Rasail, 2005), hlm. 37.

Metode Analisa Tafsir dalam Rangka Membangun Teori Psikologi dari Integrasi Epistemologi

BAB I PENDAHULUAN. keotentikannya telah dijamin oleh Allah, dan al-qur an juga merupakan kitab

BAB I PENDAHULUAN. 1 Anwar Hafid Dkk, Konsep Dasar Ilmu Pendidikan, Alfabeta, Bandung, 2013, hlm

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari peristiwa komunikasi. Dalam berkomunikasi manusia memerlukan. paling utama adalah sebagai sarana komunikasi.

BAB IV OTOPSI FORENSIK SEBAGAI PENGUNGKAP KASUS PEMBUNUHAN DALAM SURAT AL-BAQARAH: 72-73

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Ayat-ayat kawniyyah dalam pandangan al-ra>zi> adalah ayat-ayat yang

2010), hlm. 57. Khayyal, Membangun keluarga Qur ani, (Jakarta : Amzah, 2005), hlm 3. 1 Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta,

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER MATA KULIAH INSTITUSIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Kurikulum pendidikan, misalnya, yang sebelumnya terbatas pada Al-Qur an dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman Rasulullah SAW, hadis belumlah dibukukan, beliau tidak sempat

BAB 1 PENDAHULUAN. Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dengan perantara

BAB I PENDAHULUAN. perilakunya terhadap Tuhan dan implikasinya dalam interaksi sosial. 1

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Sumber Ajaran Islam

BAB I PENDAHULUAN. Secara garis besar pendidikan Agama Islam yang diberikan di sekolah atau. keimanan dan ketaqwaan peserta didik kepada Allah Swt.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. mengatur hubungan manusia dan pencipta (hablu min allah) dan hubungan

BAB I PENDAHULUAN. beragama yaitu penghayatan kepada Tuhan, manusia menjadi memiliki

BAB I PENDAHULUAN. mempelajari, memahami dan mengamalkan isi kandungan Al-Qur an adalah. merupakan kewajiban bagi setiap umat muslim.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. Pada bagian terakhir ini penulis berusaha untuk menyimpulkan dari

Transkripsi:

BAB III METODE TAFSĪR MAUḌŪ Ī DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA A. Definisi Tafsīr Mauḍū ī dan Bentuk Kajiannya 1. Definisi Tafsīr Mauḍū ī Tafsīr Mauḍū ī terdiri dari dua kata, yaitu kata tafsīr dan kata mauḍū ī. Kata tafsīr menurut bahasa yaitu dari kata yang berarti (menjelaskan, menerangkan, menyingkap) (Quthān, 1995: 163). Kata mauḍū ī dinisbatkan kepada kata mauḍū, isim maf ûl dari fi il māḍi waḍa a yang memiliki makna beraneka ragam, yaitu yang diletakkan, yang diantar, yang ditaruh, yang dibuat-buat, yang dibicarakan/tema/topik. Makna yang terakhir ini (tema/topik) yang relevan dengan konteks pembahasan di sini. Secara harfiah tafsir maudhû i dapat diterjemahkan dengan tafsir tematik, yaitu tafsir berdasarkan tema atau topik tertentu (Hariyanto, 2014). Untuk itu, dalam bahasa Indonesia sering juga disebut dengan tafsir tematik. Pengertian tafsīr mauḍū ī secara terminologi banyak dikemukakan oleh para pakar tafsir yang pada prinsipnya bermuara pada makna yang sama. Salah satu definisi tafsīr mauḍū ī ialah yang dikemukakan Abdul Hayyi al-farmawi dalam kitabnya al- 37

Bidāyah fi al-tafsīr al-mauḍū i, Dirāsah Manhajiyyah Mauḍū īyyah, (Farmawi, 1977: 52). sebagai berikut: Mengumpulkaan ayat-ayat Al-Qur ān yang mempunyai tujuan yang satu, bersama-sama membahasa topik/ judul/ tema tertentu dengan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya. Kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan, penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungannya dengan ayat lain serta mengistimbat hukum. Definisi lain dari tafsīr mauḍū ī juga dikemukakan dalam kitab Mabāḥis fī at-tafsīr al-mauḍū ī, (Muslim, 1989: 16) : At-Tafsīr al-mauḍū ī ialah tafsir yang membahas tentang masalah-masalah al-qur ān al-karīm yang (memiliki) kesatuan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya yang bisa juga disebut dengan metode tauhidi (kesatuan) untuk kemudian melakukan penalaran (analisis) terhadap isi kandungannya menurut cara-cara tertentu dan berdasarkan syaratsyarat tertentu untuk menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan unsur-unsurnya serta menghubung-hubungkannya antara yang satu dengan yang lain dengan korelasi yang bersifat komprehensif. 38

2. Bentuk Kajian Tafsīr Mauḍū ī Tafsīr mauḍū ī mempunyai dua macam bentuk kajian yang sama-sama bertujuan menggali hukum-hukum yang terdapat di dalam al-qur ān, mengetahui korelasi diantara ayat-ayat dan untuk membantah tuduhan bahwa di dalam al-qur ān itu sering terjadi pengulangan, juga untuk menepis tuduhan lainnya yang dilontarkan oleh sebagian orientalis dan pemikir Barat. Kajian ini juga bertujuan memperlihatkan betapa besarnya perhatian al- Qur ān terhadap kemashlahatan umat manusia, seperti yang terlihat di dalam syari atnya yang bijaksana dan adil (Farmawi, 1996: 35). Kedua bentuk kajian tafsīr mauḍū ī yang dimaksud adalah: pertama, pembahasan mengenai satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus. Menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat. Kedua, menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu, ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan dibawah satu tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara mauḍū ī. Bentuk kajian tafsīr mauḍū ī yang kedua ini yang inilah yang lazim terbayang di benak kita ketika mendengar istilah tafsīr mauḍū ī (Farmawi, 1996: 36) 39

Pola tafsir mauḍū ī (tematik) menggunakan tiga pendekatan. Pertama, menekankan pentingnya memahami arti bahasa kata-kata Al-Qur an (lexical meaning of any Qur anic word). Kedua, menyelidiki serta menyeleksi semua ayat yang berhubungan dengan tema pokok yang dibahas. Ketiga, dalam rangka memahami kata, kalimat dan struktur bahasa al-qur ān harus ada kesadaran untuk mengakui adanya sebuah penafsiran harus dilakukan dengan pendekatan tekstual dan kontekstual sekaligus. Antara teks suatu ayat dengan konteks penerapannya dalam suatu lingkungan sosial merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Itulah sebabnya penerapan teks-teks al-qur ān pada setiap situasi dan kondisi, pengetahuan tentang aspek kesejarahan suatu ayat sangat penting untuk membantu memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan modern (Shihab, 2005: 16). B. Sejarah Perkembangan Tafsīr Mauḍū ī 1. Perkembangan Tafsīr Mauḍū ī dari Masa ke Masa Bila ditelusuri perkembangan tafsir al-qurān dimulai sejak awal pertumbuhannya di masa hidup Rasulullah SAW. Dapat dikatakan bahwa tafsīr mauḍū ī sudah terwujud, walau hanya sederhana. Upaya mempertemukan beberapa ayat yang semakna atau yang berkaitan dengan masalah tertentu sudah ada dengan 40

munculnya penafsiran ayat al-qurān dengan ayat al-qurān yang lain. Hal ini dapat dimaklumi, sebab al-qurān dalam kapasitasnya sebagai pedoman hidup bagi manusia dan memberi petunjuk tentang ajarannya diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang membutuhkan, sehingga kadang-kadang diturunkan ayat yang mujmal, muthlaq, dan umum, tetapi kadang-kadang diturunkan ayat yang terinci, tertentu, dan khusus (Hariyanto, 2014). Hal-hal yang diterangkan secara mujmal dalam suatu ayat, lalu dijelaskan secara terinci dalam ayat yang lain. Demikian pula petunjuk yang diberikan secara umum dalam suatu ayat, kadangkala dijelaskan secara khusus dalam ayat yang lain. Dengan demikian berarti bahwa ayat-ayat al-quran telah ditafsirkan dengan sumber dari al-qurān sendiri, sehingga dapat diketahui maksud firman Allah itu melalui penjelasan dari firman Allah itu juga dalam ayat yang lain. Karena Allah yang mempunyai firman itulah yang lebih mengetahui maksud yang dikehendakinya daripada yang lain (Żahabi, 1961: 37). Contoh tafsīr mauḍū ī pada masa Nabi Muhammad SAW. ialah beliau menafsirkan kata dalam QS al-an ām, 6: 82. 41

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. al-an ām (6): 82) Kata pada ayat diatas dimaknai dengan yang ada pada ayat. Dengan penafsiran Nabi tersebut berarti beliau telah menanamkan tafsīr mauḍū ī dan memberi isyarat bahwa lafal-lafal yang sukar diketahui maksudnya dalam suatu ayat perlu dicari penjelasannya pada lafal-lafal yang terdapat dalam ayat yang lain. Dalam konteks ini, Abdul Hayyi al-farmawi mengatakan bahwa semua ayat yang ditafsirkan dengan ayat al- Qurān adalah termasuk tafsīr mauḍū ī dan sekaligus merupakan permulaan pertumbuhan tafsīr mauḍū ī (Farmawi, 1977: 54). Kemudian sesudah itu tumbuh pula bibit-bibit tafsīr mauḍū ī dalam beberapa halaman kitab-kitab tafsir yang besar menafsirkan al-qur ān dengan al-qur ān, antara lain: al-bayān fi Aqsām al-qur ān oleh Ibn al-qayyim, Mufrādat al-qur ān oleh al- Rāghib, dan Ahkām al-qur ān oleh al-jashshās (Farmawi, 1977: 55), dan lain sebagainya. 42

Kitab-kitab tafsir tersebut belum dimaksudkan secara khusus sebagai tafsīr mauḍū ī yang berdiri sendiri, walau demikian setidak-tidaknya dapat dikatakan bahwa bentuk tafsīr mauḍū ī ini sudah bukan merupakan bentuk baru. Sebab yang merupakan hal yang baru adalah perhatian para mufassir terhadap metode penafsiran tematik yang dapat dibedakan dari metode penafsiran yang lain, bahkan dapat dipisahkan sebagai metode tematik yang berdiri sendiri. Kitab-kitab tafsir yang sudah banyak membahas masalahmasalah tertentu rupanya masih dianggap belum memadai untuk menjawab aneka ragam permasalahan dalam masyarakat. Di sini para mufassir mendapat inspirasi baru dan bermunculan karyakarya tafsir yang menetapkan satu topik tertentu, dengan jalan menghimpun beberapa ayat dari beberapa surat yang berbicara tentang topik tersebut, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan dari masalah tersebut menurut pandangan al-qur ān. Istilah metode tafsīr mauḍū ī sendiri diperkirakan baru lahir sekitar abad 14 H/19 M, tepatnya ketika ditetapkan sebagai mata kuliah pada jurusan tafsir fakultas ushuluddin di Jami ah Al- Azhar (Universitas Al-Azhar) yang diprakarsai oleh Abd Hayy Al- Farmawi, ketua jurusan tafsir hadis pada fakultas tersebut. Adapun di Indonesia, tafsīr mauḍū ī pemasyarakatannya diprakarsai oleh 43

M. Quraisy Shihab. Menurut Shihab, metode mauḍū ī walaupun benihnya telah dikenal sejak masa Rasulullah saw., namun ia baru berkembang jauh setelah masa beliau (Suma, 2013: 391-392). 2. Perhatian Mufassir (Penafsir) Terhadap Tafsīr Mauḍū ī Sebagaimana telah diketahui bahwa para mufassir di dalam menafsirkan al-qur ān lazim mengikuti runtutan ayat seperti yang terdapat di dalam musḥaf, kemudian mereka menafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat, dengan maksud untuk mengetahui makna-makna dan segala rahasia yang terkandung di dalam al- Qur ān. Masing-masing mufassir juga lazim dipengaruhi oleh bidang ilmu yang menjadi keahliannya. Inilah yang menyebabkan tafsir itu memiliki bermacam-macam corak dan warna, sesuai dengan perbedaan wawasan dan bidang kelimuan para mufassir tersebut serta adanya silang pendapat diantara mereka (Farmawi, 1996: 40). Di tengah-tengah suasana perkembangan tafsir yang demikian, para mufassir zaman dulu tidak mempunyai kepedulian untuk menafsirkan al-qur ān secara tematik karena dua sebab: Pertama, metode tafsīr mauḍū ī dianggap mengarah kepada kajian spesialis, yang bertujuan mengkaji satu tema bahasan setelah meneliti dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut. Sedangkan pada saat itu kajian tematik belum 44

menjadi tujuan kajian. Kedua, para mufassir zaman dulu belum merasakan penting dan perlunya untuk melakukan kajian terhadap topic-topik tertentu yang terdapat di dalam al-qur ān al-karīm menurut cara kerja metode mauḍū ī. Mereka semua hafal al- Qur ān, dan ilmu keislaman mereka sangat mendalam serta mencakup semua aspek. Oleh karenanya, mereka mempunyai kompetensi menghubungkan maksud suatu ayat yang berkaitan dengan topic masalah tertentu yang ia jelaskan melalui spesialisasi ilmunya (Farmawi, 1996: 41). Adapun faktor pendorong munculnya perhatian dan minat untuk melakukan pembahasan baru berdasar corak tafsīr mauḍū ī di zaman sekarang ini adalah diantaranya sebagai beikut: Pertama, al-qur ān sebagai wahyu yang turun kepada Nabi saw. mengandung berbagai macam-macam ilmu yang bernilai tinggi, sehingga banyak tokoh ilmuan dan para peneliti berupaya mencapai khazanah al-qur ān. Kedua, dewasa ini banyak orangorang yang dengan alas an ilmu, mempelajari masalah-masalah yang dikandung oleh al-qur an, dan studi mereka tidak jarang menghasilkan tuduhan mengenai kebatilan al-qur an. Tuduhan negatif ini dilontarkan oleh orang-orang yang tidak memiliki pengetahauan keislaman, atau oleh orang-orang yang tidak terbiasa dengan kajian mengenai tema-tema semacm ini, yang 45

dipelajari melalui pendekatan tematik ilmiah. Oleh karenanya, dianuurkan kepada para mufassir zaman sekarang memperbaharui arah tafsir menuju kepada kajian tafsir secara tematik atau tafsīr mauḍū ī (Farmawi, 1996: 43-44). C. Langkah-langkah dan Beberapa Contoh Kitab Tafsīr Mauḍū ī 1. Langkah-langkah Tafsīr Mauḍū ī Langkah-langkah atau cara kerja 1 metode tafsīr mauḍū ī dapat dirinci sebagai berikut (Muslim, 1989: 37-38). a. Memilih atau menetapkan masalah al-qur ān yang akan dikaji secara mauḍū ī atau tematik 2. b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah yang telah ditetapkan. c. Mengurutkan tertib turunnya ayat-ayat tersebut berdasarkan waktu atau masa penurunannya. d. Mempelajari penafsiran ayat-ayat yang telah dihimpun dengan penafsiran yang memadai dengan mengacu kepada kitab-kitab 1 Cara kerja tafsīr mauḍ ū ī pada masa awal kemunculannya belum begitu terlihat dan belum ditetapkan pada waktu itu. Kajian masa lalu itu dapat dikatakan baru merupakan usaha untuk melahirkan metode semacam ini dan mempermudah usaha menetapkan cara kerjanya. Untuk batasan dan definisi yang jelas dan rinci mengenai metode tafsīr mauḍ ū ī baru muncul belakangan oleh al-ustadz Dr. Ahmad al-sayyid al-kumy, ketua jurusan tafsir Universitas al-azhar, bersama bebrapa teman beliau dari para dosen dan murid-murid mereka di perguruan tinggi. 2 Untuk menetapkan masalah ini, para pembahas pemula dianjurkan melihat kitab Tafshil ayat al-qur an al-karim Terj. Muhammad Fuad al-baqi. Baik juga dilihat kitab al-mu jam al-mufahras li Al-Fadz al-qur an al-karim oleh Muhammad Fuad al-baqi. 46

tafsir yang ada dengan mengindahkan ilmu munasabah dan hadis. e. Menghimpun hasil penafsiran untuk mengistinbatkan (menentukan) unsur-unsur asasi daripadanya. f. Mufassir mengarahkan pembahasan kepada tafsir al-ijmālī (global) dalam memaparkan berbagai pemikiran dalam rangka membahas topik atau permasalahan yang ditafsirkan. g. Membahas unsur-unsur dan makna-makna ayat tersebut untuk mengaitkannya demikian rupa berdasarkan metode ilmiah yang benar-benar sistematis. h. Memaparkan kesimpulan tentang hakikat jawaban al-qur ān terhadap topik atau permasalahan yang dibahas. Berkenaan dengan model tafsīr mauḍū ī, M. Quraisy Shihab menyatakan bahwa dalam perkembangannya, metode mauḍū ī mengambil dua bentuk penyajian. Pertama, menyajikan kotak yang berisi pesan-pesan al-qur an yang terdapat pada ayatayat yang terangkum pada satu surat saja. Kedua, dari metode mauḍū ī mulai berkembang pada tahun enam puluhan. Disadari oleh para pakar bahwa menghimpun pesan-pesan al-qur ān yang terdapat dalam satu surat saja, belum menuntaskan persoalan (Suma, 2013: 392-393). 47

2. Beberapa Contoh Kitab Tafsīr Mauḍū ī Terdapat kitab-kitab klasik maupun modern yang menerapkan metode tafsīr mauḍū ī (Rohimin, 2007: 75-76) Di antara mufassir serta karyanya pada masa klasik adalah: a. Kitab at-tibyān fī Aqsām al-qur ān karya Ibnu al-qayyim b. Kitab Mufradat al-qur ān karya Abu Ubaidah c. Kitab An-Nāsikh wa al-mansūkh karya Abu Jafar an-nahas d. Kitab As-bāb an-nuzūl karya Abu Hasan al Wahidi e. Kitab Ahkāmul Qur ān karya Al-Jaṣṣās. Beberapa ahli tafsir era modern banyak pula menerapkan metode tafsīr mauḍū ī. di antaranya: a. Kitab al-futūḥāt al-rabbāniyah fī al- Tafsīr Mauḍū ī al-ayat al-qur āniyah dalam dua jilid, dengan memilih topik yang dibicarakan Al-Qur an dan Tahun 1977 karya Prof. Dr. alhusaini Abu Farhah (Dosen Tafsir di Universitas Al-Azhar) b. kitab al-bidāyah fi al-tafsīr al-mauḍū i, Dirāsah Manhajiyyah Mauḍū īyyah karya Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy (Guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar) Di Indonesia sendiri belum banyak karya tafsir yang menggunakan metode mauḍū i ini. Mungkin menjadi gebrakan yang baru ketika M. Quraish Shihab dan kakak kandungya Umar Shihab mencoba mengungkapkan berbagai persoalan umat yang 48

didekatkan melalui tema-tema Al-Qur ān. Kiranya pantas kalau mereka berdua dikatakan sebagai tokoh pertama di Indonesia yang memperkenalkan metode tafsīr mauḍū ī. D. Kelebihan dan Kekurangan Tafsīr Mauḍū ī Serta Keberadaannya di Tengah-tengah Metode Lain. Sebagai suatu metode penafsiran Al-Qur ān, maka metode mauḍū ī ini memiliki beberapa kelebihan yang juga tidak terlepas dari beberapa kekurangannya. 1. Kelebihan Metode Tafsīr Mauḍū ī: a. Metode ini akan jauh dari kesalahan-kesalahan karena ia menghimpun berbagai ayat yang berkaitan dengan satu topik bahasan sehingga ayat yang satu menafsirkan ayat yang lain. b. Dengan metode mauḍū ī seseorang mengkaji akan lebih jauh mampu untuk memberikan sesuatu pemikiran dan jawaban yang utuh dan sempurna tentang suatu pokok permasalahan (tema) yang dikaji. c. Kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan mudah untuk dipahami. Hal ini karena ia membawa pembaca kepada petunjuk Al-Qur ān yang mengemukakan berbagai pembahasan yang terperinci dalam satu disiplin ilmu. d. Dengan metode ini juga dapat membuktikan bahwa persoalanpersoalan yang disentuh Al-Qur ān bukan bersifat teoritis 49

semata-mata atau yang tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Namun ia dapat membawa kita kepada pendapat Al-Qur ān tentang berbagai problem hidup yang disertakan pula dengan jawaban-jawabannya. e. Ia dapat mempertegas fungsi Alquran sebagai kitab suci serta mampu membuktikan keistimewaan-keistimewaan Alquran. f. Metode ini memungkin seseorang untuk menolak adanya ayatayat yang bertentangan dalam Alquran. 2. Kekurangan Metode Tafsīr Mauḍū ī a. Masih memerlukan keterlibatan tafsir-tafsir klasik sekalipun tafsir metode mauḍū ī adalah tafsir yang mandiri. b. Sesuai dengan terminologinya bahwa tafsīr mauḍū ī ini hanya membahas satu topik atau tema dari sekian banyak tema dalam Al-Qur ān. c. Dalam menerapkan metode ini bukan hanya memerlukan waktu yang panjang tetapi juga ketekunan, ketelitian, keahlian serta kemampuan akademis. Jadi metode tafsīr mauḍū ī ini pada hakekatnya belum mengemukakan seluruh kandungan ayat Al-Qur ān yang ditafsirkannya, maka harus diingat pembahasan yang diuraikan atau ditemukan hanya menyangkut judul yang ditetapkan oleh mufassirnya, sehingga dengan demikian mufassir harus selalu 50

mengingat bahwa hal ini agar ia tidak dipengaruhi oleh kandungan atau isyarat-isyarat yang ditemukannya dalam ayat-ayat tersebut dalam pokok bahasannya (Fauzan, 2013). 3. Keberadaan Metode Tafsīr Mauḍū ī dengan Metode Tafsir Lainnya Sebagaimana telah diuraikan bahwa tafsīr mauḍū ī mempunyai metode dan cara kerja sendiri, berbeda dengan yang lain. Setelah menjelaskan metode ini dan mengetahui faktor-faktor yang membangkitkan perhatian para mufassir terhadap tafsīr mauḍū ī, kiranya dapat ditegaskan bahwa tidak seorangpun yang akan mengingkari urgensi dan manfaat metode ini serta otonominya sebagai metode yang berdiri sendiri (Farmawi, 1996: 47). Selain itu, prinsip metode tafsīr mauḍū ī selalu berupaya menafsirkan al-qur ān dengan al-qurān. Hal ini, merupakan cara atau metode tafsir yang paling baik, sebab sesuatu yang bersifat global di satu tempat sesungguhnya dijelaskan secara panjang lebar dan terinci di tempat lain. Oleh karena itulah, banyak mufassir di tahun-tahun terakhir ini yang menulis karya tafsir berdasarkan metode mauḍū ī. Begitu juga, dari hari ke hari kini semakin banyak pembahasan yang mendekati bidang sasaran kajian mauḍū ī tersebut (Farmawi, 1996: 48). 51

Corak kajian tafsīr mauḍū ī ini sesuai dengan semangat zaman modern yang menuntut agar kita berupaya melahirkan suatu hukum yang bersifat universal untuk masyarakat Islam. Suatu hukum yang bersumber dari al-qur ān dalam bentuk materi dan hukum-hukum praktis yang mudah difahami dan terapkan. Metode tafsīr mauḍū ī ini, memungkinkan seseorang untuk mengetahui inti masalah dan segala aspeknya, sehingga ia mampu mnegemukakan argument yang kuat, jelas dan memuaskan (Farmawi, 1996: 53-54). 52