1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pariwisata bukanlah fenomena baru di dunia. Menurut Spillane (1987:9), pariwisata sudah ada sejak dimulainya peradaban manusia dengan ditandai oleh pergerakan penduduk yang melakukan ziarah dan perjalanan agama. Dewasa ini permintaan akan perjalanan wisata semakin meningkat yang tentunya akan berimplikasi pada peningkatan pendapatan suatu negara. Kepariwisataan sebagai salah satu sektor pembangunan terbukti telah menduduki peran penting dalam sejarah pembangunan perekonomian di banyak negara yang memposisikan diri sebagai destinasi pariwisata dunia. Indonesia memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang cukup besar sebagai modal dasar pembangunan terutama dalam pengembangan kepariwisataan. Modal dasar tersebut, apabila dikelola dan direncanakan dengan baik dan terarah akan mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunjang pencapaian tujuan nasional. Kepariwisataan mempunyai tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran, melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, memajukan kebudayaan, mengangkat citra bangsa, memupuk rasa cinta tanah air, memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa dan mempererat persahabatan antar bangsa (Undang-Undang RI No.10 Tahun 2009). 1
2 Banyak pengamat mengatakan bahwa pariwisata telah menjadi gaya hidup baru bagi kelompok masyarakat luas. Ada beberapa fenomena menarik yang terjadi pada akhir-akhir ini, salah satunya yaitu terjadinya pergeseran preferensi wisatawan berdasarkan minat atas suatu produk wisata (Damanik, 2007). Pencarian obyek wisata yang unik dan beragam dengan kualitas yang tinggi mengakibatkan daerah-daerah baru, kawasan pedalaman, atau desa-desa tradisional tidak luput dari sasaran kunjungan wisatawan (Damanik, 2013:65). Kejenuhan terhadap wisata modern dan ingin kembali merasakan kehidupan di alam pedesaan serta berinteraksi dengan masyarakat dan aktifitas sosial budayanya menyebabkan berkembangnya pariwisata di pedesaan. Konsep pariwisata pedesaan berdasarkan pada ketersediaan fasilitas, kegiatan yang dilakukan ataupun berdasarkan pada budaya dan tradisi yang ada di desa tersebut. Berdasarkan fasilitas yang disediakan, pariwisata pedesaan dapat dilihat sebagai suatu pemukiman dengan fasilitas lingkungan yang sesuai dengan tuntutan wisatawan dalam menikmati, mengenal dan menghayati kekhasan desa dengan segala daya tariknya. Berdasarkan perspektif kehidupan masyarakatnya, pariwisata pedesaan merupakan suatu bentuk pariwisata dengan tujuan obyek dan daya tarik berupa kehidupan desa yang memiliki ciri-ciri khusus dalam masyarakat, alam dan budayanya (Hadiwijoyo, 2012:67). Dalam kerangka optimalisasi manfaat pembangunan kepariwisataan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dikenal strategi perencanaan pengembangan kepariwisataan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat dengan mengedepankan peran dan partisipasi masyarakat setempat sebagai
3 subyek pembangunan. Dalam khasanah keilmuan kepariwisataan, strategi tersebut dikenal dalam istilah Community Based Tourism (CBT). Konstruksi CBT ini pada prinsipnya merupakan salah satu gagasan yang penting dan kritis dalam perkembangan teori pembangunan kepariwisataan konvensional yang seringkali mendapatkan banyak kritik karena telah mengabaikan hak dan meminggirkan masyarakat lokal dari kegiatan kepariwisataan di suatu tempat tujuan wisata (Sunaryo, 2013:138). Tujuan pembangunan kepariwisataan melalui pemberdayaan masyarakat dapat terwujud apabila pembangunan pariwisata tersebut bukan hanya pembangunan yang bersifat ekonomik semata, tetapi pembangunan yang bersifat sosial dan budaya. Kekayaan budaya yang tinggi dan beraneka ragam menjadi potensi yang sangat perlu untuk dilestarikan melalui pembangunan kepariwisataan, karena pada dasarnya minat utama wisatawan datang ke suatu destinasi pariwisata adalah lebih disebabkan karena daya tarik wisata budaya dengan kekayaan seperti adat istiadat, peninggalan sejarah dan purbakala, kesenian, monumen, upacara-upacara dan peristiwa budaya lainnya (Hadiwijoyo, 2012). Berkaitan dengan hal tersebut maka diharapkan kepariwisataan akan memperkuat ketahanan sosial budaya masyarakat setempat dan lebih luas lagi bagi ketahanan sosial budaya bangsa dan negara. Ketahanan sosial budaya dapat diartikan sebagai kondisi dinamis sosial budaya suatu bangsa, yang berisi keuletan, ketangguhan dan kemampuan suatu bangsa untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, permasalahan, gangguan, ancaman serta hambatan
4 baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri secara langsung maupun tidak langsung hal-hal tersebut dapat membahayakan kelangsungan kehidupan sosial budaya bangsa dan negara (Sukaya, 2002: 132-133). Suatu masyarakat dapat dikatakan memiliki ketahanan sosial apabila ada sinkronisasi antara perilaku sosial dengan nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat tersebut. Dalam hal ini nilai-nilai sosial berfungsi sebagai landasan bagi masyarakat untuk berperilaku sosial sesuai dengan tugas dan peran sosialnya. Nilai-nilai sosial tersebut bertindak sebagai filter masuknya pengaruh dari luar masyarakat yang mengancam pemenuhan hak dan kebutuhan dasar mereka (Suradi, 2005:47). Suatu masyarakat dikatakan mempunyai ketahanan budaya apabila terdapat kemampuan mengembangkan kelestarian kebudayaan yang tidak hanya berfungsi sebagai identitas, namun menjadi norma penuntun sikap, perilaku, serta gaya hidup dari masyarakat daerah bersangkutan. Nilai-nilai tersebut mewujud dalam bentuk fisik seperti rumah adat, pakaian adat, upacara adat, maupun tari-tarian, dan yang berbentuk nonfisik seperti halnya falsafah-falsafah kehidupan (Lemhannas, 2009). Bali memiliki keragaman potensi wisata baik itu keindahan alam, adatistiadat dan keramahtamahan dari masyarakatnya, yang menjadikan Bali sebagai daerah tujuan wisata yang unik dan menarik. Arus kedatangan wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri sangat lancar, masyarakat lokal pun dapat merasakan manfaat ekonomi dari pengembangan parwisata tersebut. Beragamnya potensi budaya dan alam yang dimiliki dapat dijadikan sebagai modal untuk mengembangkan kepariwisataannya, maka Pemerintah Daerah melalui PERDA
5 Nomor 3 Tahun 1991 mencanangkan bahwa jenis kepariwisataan yang dikembangkan di Bali adalah pariwisata budaya yang dijiwai oleh Agama Hindu. Tingginya kemampuan Bali dalam mengapresiasikan potensi yang dimiliki sehingga dapat menampilkan beragam daya tarik wisata, menarik minat wisatawan untuk berkunjung ke Bali, disamping tersedianya sarana dan prasarana pendukung pariwisata yang memadai. Keberhasilan Bali dalam menarik wisatawan untuk berkunjung telah banyak memberi manfaat kepada masyarakat, melalui penciptaan lapangan kerja, mendorong ekspor hasil-hasil industri kerajinan serta sebagai sumber devisa daerah, bahkan dalam beberapa dasa warsa sektor pariwisata telah mampu menjadi generator penggerak (leading sector) perekonomian daerah Bali (Pitana, 1999:45). Keberhasilan tersebut memotivasi kabupaten-kabupaten dan kota yang ada di Bali untuk mengembangkan serta memanfaatkan potensi wisata yang dimiliki menjadi obyek dan daya tarik wisata, baik yang berasal dari alam, dan budaya masyarakatnya (Prayogi, 2011:65). Pemerintah Provinsi Bali pada tahun 2014 menganggarkan dana 30 miliar rupiah untuk pengembangan 100 desa wisata di Pulau Dewata dalam kurun waktu 4 tahun mendatang. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali Ida Bagus Kade Subhiksu menyampaikan setiap desa akan mendapat dana pengembangan Rp 300 juta. Pemberian dana dilakukan secara bertahap selama 4 tahun dengan alokasi Rp 7,5 miliar per tahun untuk 25 desa wisata. Program pengembangan 100 desa wisata berlangsung selama periode 2015-2018. Anggarannya secara bertahap Rp 7,5 miliar per tahun dari APBD untuk 25 desa selama 4 tahun. Dengan rincian sebanyak Rp 75 juta sampai Rp100 juta dari anggaran masing-masing desa akan
6 digunakan untuk pengembangan sumber daya manusia, sedangkan sisanya untuk pembangunan infrastruktur dan pengembangan potensi desa tersebut. Kesembilan kabupaten/kota di Bali sudah mengajukan hingga 180 desa yang berpotensi menjadi desa wisata. Pada 2014, pemerintah provinsi akan melakukan pendataan dan seleksi menjadi 100 desa terpilih. Implementasi desa wisata baru mulai dilakukan pada 2015.(http://bali.bisnis.com, diakses tanggal 15 Mei 2014). Salah satu kabupaten di Bali yang mencoba mengembangkan potensi wisata yang dimilikinya adalah Kabupaten Bangli. Kabupaten Bangli, disamping merupakan daerah agraris juga memiliki kepariwisataan yang cukup besar untuk dikembangkan, baik ditinjau dari segi keindahan alam maupun dari sisi seni budayanya yang telah mengakar di masyarakat berlandaskan filsafat agama Hindu. Berdasarkan catatan yang diperoleh dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangli (Statistik Kepariwisataan Kabupaten Bangli) di Kabupaten ini terdapat sekitar 35 Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW). Dari jumlah tersebut 5 ODTW yang sudah berkembang, 8 ODTW sedang dalam tahap pengembangan dan 22 ODTW yang belum dikembangkan. Salah satu desa yang memiliki potensi wisata adalah Desa Penglipuran. Sebagai salah satu objek wisata di Kabupaten Bangli, Desa Penglipuran memiliki berbagai potensi wisata yang dapat dijadikan sebagai daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung kesana. Daya tarik yang dimiliki Desa Penglipuran sebagai salah satu objek wisata budaya adalah arsitektur tradisional rumah penduduk, potensi hutan bambu, pola tata ruang desa,dan adat istiadat masyarakat lokal yang didukung oleh keadaan lingkungan alam yang masih alami. Maka
7 tidaklah mengherankan jika Desa Penglipuran merupakan salah satu objek yang paling diminati oleh wisatawan yang berkunjung ke Kabupaten Bangli (Prayogi, 2011:65). Pemerintah Provinsi Bali dan Kabupaten Bangli menetapkan Desa Penglipuran menjadi salah satu obyek wisata unggulan Pulau Dewata pada tahun 1993. Sejak menjadi obyek wisata unggulan, hampir setiap hari tercatat sekitar 100 wisatawan mengunjungi desa ini. Di dalam perkembangannya, pengembangan pariwisata di Desa Penglipuran telah memberikan banyak manfaat bagi masyarakat setempat. Hal ini berdampak positif sebagai salah satu sumber penghasilan bagi masyarakat serta pelestarian adat budaya Desa Penglipuran. Berlatar belakang pokok pikiran tersebut, penelitian ini bermaksud untuk menganalisis tentang Pemberdayaaan Masyarakat Melalui Pengembangan Desa Wisata dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Sosial Budaya Wilayah, di Desa Wisata Penglipuran, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Pemilihan topik tersebut, didasarkan atas pertimbangan bahwa desain dan implementasinya dapat memberikan gambaran tentang proses pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan desa wisata dan implikasinya terhadap ketahanan sosial budaya.
8 1.2 Permasalahan Penelitian Dari tinjauan latar belakang di atas terkait dengan pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata dan implikasinya terhadap ketahanan sosial budaya wilayah, maka persoalan yang muncul dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana berlangsungnya proses pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata di Desa Wisata Penglipuran Kecamatan Bangli? 2. Bagaimana implikasi pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata terhadap ketahanan sosial budaya wilayah di Desa Wisata Penglipuran Kecamatan Bangli? 1.3 Keaslian Penelitian Penelitian yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan desa wisata telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian mengenai pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan desa wisata. Sementara perbedaannya adalah pada lokasi penelitian dan implikasi pemberdayaan masyarakat tersebut terhadap ketahanan sosial budaya wilayah.
9 Tabel 1.1 : Penelitian Terdahulu Peneliti Judul Kesimpulan Tahun 1 2 3 4 A.Faidlal Rahman Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Desa Wisata Kembang Arum Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata yang dilakukan oleh pihak pengelola Desa Wisata Kembang Arum diterapkan dalam bidang atraksi dan akomodasi, dengan menyelenggarakan pertemuan, pendampingan, bantuan modal, pembangunan sarana dan prasarana, pembentukan organisasi desa wisata dan gotong royong. 2009 Antonius Asri Pemberdayaan Masyarakat Kampung Komodo dalam Pengembangan Ekowisata di Loh Liang Taman Nasional Komodo Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan tim kolaborasi PT. PNK dan PT. BTNK dalam sektor pariwisata berupa bantuan modal, penguatan kapasitas masyarakat melalui pelatihan ketrampilan, pembangunan sarana dan prasarana desa, pendidikan dan penyadaran konservasi, pengembangan budidaya ikan kerapu dan hortikultura. Dari hasil kajian ditemukan bahwa program pemberdayaan masyakarat tersebut sangat minim sehingga berdampak pada minimnya usaha-usaha masyarakat Kampung Komodo dalam sektor pariwisata sehingga berimplikasi pada minimnya kontribusi pengembangan ekowisata di Loh Liang bagi perbaikan kualitas ekonomi masyarakat Kampung Komodo 2010
10 Lanjutan Tabel 1.1 1 2 3 4 Supartini Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Potensi Desa Wisata Ketingan Tirtoadi Mlati Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemberdayaan masyarakat di desa Ketingan adalah dengan membentuk kelompok-kelompok kecil, kelompok simpan pinjam, kelompok bakul kecil, kelompok usaha bersama dan kelompok lainnya untuk meningkatkan dan mngembangkan kegiatan warga guna mencapai peningkatan kesejahteraan. Upaya penguatan kelembagaan dalam pemberdayaan masyarakat adalah melalui pengembangan potensi desa wisata yang dilakukan dengan pembentukanpaket wisata terpadu model manajemen kluster. 2011 Putu Agus Prayogi Dampak Perkembangan Pariwisata di Obyek Wisata Penglipuran Dampak positif terhadap kehidupan sosial budaya, adanya keinginan dari masyarakat untuk melestarikan potensi budaya yang mereka miliki, pelestarian terhadap bangunan tradisional secara kontinyu dan munculnya sentra-sentra kerajinan. Dampak negatif kehidupan sosial mengarah ke individualistis. Terjadinya komersialisasi budaya lokal. Terjadinya komodifikasi budaya untuk pemenuhan kebutuhan wisatawan, pendirian artshop di areal pekarangan rumah mempengaruhi nilai tata ruang tradisional, dan kecenderungan generasi muda yang mulai meninggalkan budaya-budaya leluhur mereka. 2011
11 Lanjutan Tabel 1.1 1 2 3 4 I Wayan Pantiyasa Pengembangan Desa Wisata dalam Konstruksi Pariwisata yang Berkeadilan dan Pemberdayaan Masyarakat yang berkelanjutan di Bali Untuk pengembangan desa wisata berkelanjutan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu : 1) tata kelola yang transparan, jujur, accountable; 2) aturan main yang adil dan dipahami oleh masyarakat serta tidak bertentangan dengan kaedah yang berlaku dimasyarakat; 3) pelayanan yang berkualitas kepada wisatawan; 4) kerja sama yang baik dengan para pengusaha travel agent; 5) sistem pemasaran yang professional; 6) adanya evaluasi dan pembenahan secara porporsional dan 7) adanya regulasi dari pemerintah yang mendorong pengembangan desa wisata. 2012 Made Heny Urmila Dewi, Chafid Fandeli, & M. Baiquni Pengembangan Desa Wisata Berbasis partisipasi Masyarakat Lokal di Desa Wisata Jatiluwih Kabupaten Tabanan, Bali Pengembangan desa wisata belum melibatkan masyarakat lokal secara menyeluruh. Peranan pemerintah masih dominan. Diperlukan kemauan politik pemerintah untuk mengurangi perannya dalam pengembangan desa wisata dengan membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi. 2013 Putu Ratih Pertiwi Development of Rural Tourism: Penglipuran Traditional Village as A Sustainable Rural Tourism Destination Untuk mencegah pesatnya pertumbuhan pariwisata massal di Bali yang akan menimbulkan ancaman besar pada lingkungan dan budaya lokal, diperlukan pengembangan desa wisata sebagai salah satu wisata alternatif. 2013
12 1.4 Tujuan Penelitian Melihat permasalahan di dalam penelitian yang dirinci dalam pertanyaan penelitian, maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Memahami berlangsungnya proses pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan Desa Wisata Penglipuran Kecamatan Bangli. 2. Mengidentifikasi implikasi pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan Desa Wisata Penglipuran Kecamatan Bangli terhadap ketahanan sosial budaya wilayah. 1.5 Manfaat Penelitian Penulis berharap bahwa penelitian ini akan bermanfaat bagi semua pihak, terutama : 1. Manfaat akademis, hasil penelitian diharapkan akan menambah wacana diskusi dan referensi mengenai pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata dan implikasinya terhadap ketahanan sosial budaya wilayah masyarakat setempat. 2. Manfaat praktis, hasil penelitian diharapkan dapat digunakan oleh pengambil kebijakan sebagai masukan dalam menerapkan strategi, langkah dan cara untuk pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata dan bahan pertimbangan bagi masyarakat Desa Penglipuran khususnya pengelola desa wisata dalam menentukan arah kebijakan pada tingkat perencanaan dan pengelolaan.