1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Intensitas perubahan penggunaan lahan di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) saat ini cenderung meningkat karena aktivitas pembangunan dan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Peningkatan intensitas perubahan alih fungsi lahan membawa pengaruh negatif terhadap kondisi hidrologis DAS, diantaranya meningkatnya debit puncak, fluktuasi debit antar musim, koefisien aliran permukaan, serta banjir dan kekeringan. Masalah ini semakin bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dialih fungsikan menjadi lahan usaha lain. Persepsi publik dan kebijakan umum tentang perlindungan DAS menginginkan adanya suatu kondisi (hutan) di daerah hulu dan mengasosiasikan setiap kejadian banjir dengan hilangnya tutupan hutan di bagian hulu. Selain itu, merubah kawasan hutan menjadi bentuk-bentuk penggunaan lahan lainnya dianggap akan mengurangi kemampuan DAS dalam mempertahankan fungsi tersebut. Dampak lain terjadinya kehilangan hutan adalah dengan diberlakukannya rencana tata ruang yang diajukan oleh Kementerian, lembaga, gubernur dan bupati/walikota yang sarat usulan pelepasan kawasan hutan. Sementara itu kawasan berstatus hutan tetapi tidak lagi memiliki tegakan pohon juga cukup banyak, sehingga nantinya moratorium izin pembukaan kawasan gambut dan hutan primer tidak berguna. Hutan merupakan bentuk penggunaan lahan dengan berbagai pepohonan dan semak sehingga membentuk tajuk berlapis. Fungsi ekologis hutan sangat penting terutama untuk menjaga erosi serta mengatur tata air di daerah aliran sungai. Luas lahan hutan yang harus dipertahankan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) agar dapat menjamin kelestarian sumber air menjadi permasalahan yang cukup kompleks saat ini, mengingat berbagai kepentingan atas penggunaan lahan di DAS antar berbagai sektor serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dampak negatif alih guna lahan hutan menjadi penggunaan lahan lain telah banyak dibuktikan dan apabila kebutuhan lahan mendesak, maka konversi lahan hutan akan sangat sulit untuk dihindari. Menurut FWI/GFW (2001) laju kerusakan hutan dari tahun ketahun terus meningkat. Periode tahun 1985-1997, kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1.7 juta hektar tahun -1 dan dalam periode tahun 1997-2000 meningkat menjadi 3.8 juta hektar tahun -1 (Baplan Dephut 2003). Di Provinsi Aceh, kehilangan hutan yang terjadi sekarang ini sekitar 23 124.41 hektar tahun -1 dari total kawasan hutan seluas 3.3 juta hektar akibat penebangan liar dan alih fungsi hutan (Walhi Aceh 2012). Kerusakan lingkungan di Indonesia juga telah menjadi keprihatinan banyak pihak, ini disebabkan oleh timbulnya bencana alam yang dirasakan saat ini seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan yang semakin meningkat. Rusaknya wilayah hulu DAS sebagai daerah tangkapan air diduga merupakan salah satu penyebab utama terjadinya bencana alam tersebut. Kerusakan DAS dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi, konflik kepentingan dan kurangnya
2 keterpaduan antar sektor, antar wilayah hulu-tengah-hilir, terutama pada era otonomi daerah, dimana sumberdaya alam ditempatkan sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD). Data terbaru Kementerian Negara Lingkungan Hidup menjelaskan pengrusakan lingkungan di Indonesia terus menunjukkan dampaknya. Saat ini terdapat 60 DAS di seluruh Indonesia masuk kategori super prioritas (BPDAS Aceh 2009). Gambaran kerusakan DAS di Indonesia juga tercermin dari banyaknya jumlah DAS yang masuk dalam skala prioritas. Tahun 1984 terdapat 22 DAS super prioritas (surat keputusan bersama tiga menteri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, dan Menteri Pekerjaan Umum No: 19 Tahun 1984 - No: 059/Kpts-II/1984 - No: 124/Kpts/1984 tanggal 4 April 1984, diacu dalam Arsyad 2006). Tahun 1999 terdapat 62 DAS Prioritas I, 232 DAS Prioritas II dan 178 DAS Prioritas III (Ditjen RRL 1999). Tahun 2004 jumlah DAS prioritas I meningkat menjadi 65 DAS (Ditjen SDA 2004). Dalam upaya untuk menyelamatkan DAS di Indonesia, Departemen Kehutanan telah menetapkan 108 DAS sebagai prioritas utama untuk ditangani dalam kurun waktu 5 tahun mendatang (2010-2014), DAS Krueng Aceh merupakan satu dari 16 DAS yang berada di Sumatera yang masuk ke dalam kelompok DAS kritis di Indonesia dan menjadi prioritas utama dalam penanganannya (BPDAS Aceh 2009). Balai Pengelolaan DAS Aceh mengemukakan bahwa antara tahun 1999-2008 banyak terjadi pengurangan luasan hutan di Aceh. Kerusakan terparah terjadi di DAS Krueng Aceh, pada tahun 1999 luas tutupan hutan DAS tersebut masih sekitar 207 740 hektar sedangkan pada tahun 2008 luas tutupan lahan DAS tersebut hanya mencapai 172 370 hektar, padahal fungsi ekologis kawasan itu sangat mendesak dan strategis (Walhi Aceh 2009). Aksi pengrusakan hutan yang terjadi juga telah mengancam keberlangsungan 47 DAS dan sub-das yang ada di Aceh. Salah satu contoh adalah kawasan Seulawah (daerah hulu DAS Krueng Aceh) dimana 40 persen kawasan hutan Seulawah yang letaknya sangat dekat dengan ibu kota provinsi Aceh juga telah dirambah, terlebih di kawasan hutan yang terpaut jauh di pedalaman dan agak sukar dipantau oleh petugas. FFI (2009) juga mengemukakan bahwa sekitar 266 000 hektar hutan di Provinsi Aceh hingga tahun 2009 mengalami kerusakan yang cukup berat akibat pembalakan liar, sehingga propinsi Aceh disebut telah memecahkan rekor baru dalam hal pengrusakan hutan tercepat di dunia. Hingga kini pembalakan hutan masih terus berlangsung (termasuk di DAS Krueng Seulimum). Kondisi lingkungan hutan di Aceh juga diperparah dengan meningkatnya hot spot (titik api) dari 518 titik api menjadi 1 163 titik api pada tahun 2006. Kebakaran hutan dan lahan dari tahun 2001 sampai dengan 2006 telah menghanguskan areal seluas 403 524 ha dari 3 057 titik api (Walhi Aceh 2006). DAS Krueng Aceh mempunyai lima Sub DAS yaitu DAS Krueng Aceh Hilir, DAS Krueng Jreu, DAS Keumireu, DAS Krueng Inong dan DAS Krueng Seulimum. Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh yang berada pada tiga wilayah administrasi (Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie) merupakan sumber pemasok utama kebutuhan air bersih baik untuk sumber air minum, irigasi pertanian dan keperluan lain.
3 DAS Krueng Seulimum dengan luasan 25 444.35 hektar telah mengalami alih fungsi hutan yang sangat luas. Tahun 1977 luas hutan di DAS Krueng Seulimum masih sekitar 16 179.00 ha (70.86%), tahun 1987 menurun menjadi 11 129.10 ha (48.75%) dan tahun 2002 luas hutan tinggal 9 032.40 ha (39.56%) (Wahyuzar 2005). Sedangkan tahun 2011 luasan hutan di DAS Krueng Seulimum tinggal 7 000.01 Ha (27.51%) (Baplan Dephut 2011). Perubahan hutan yang terjadi di DAS Krueng Seulimum berdampak pada kontribusi air yang akan disumbangkan pada DAS Krueng Aceh. Debit air pada DAS Krueng Aceh dalam dua tahun terakhir ini juga semakin berkurang disamping itu airnya juga kurang jernih (BPDAS Aceh 2009). Walhi Aceh (2009) menambahkan bahwa debit air DAS Krueng Aceh menyusut lebih dari 40 persen dibandingkan pada tahun 2000, sehingga beberapa desa di kawasan hilir Banda Aceh sudah mulai kesulitan untuk mendapatkan air selama setahun terakhir. Dampak langsung yang dapat dilihat adalah pada musim kemarau masyarakat yang tinggal di sekitar sungai ini tidak bisa lagi menggunakan air sungai untuk keperluan mandi, karena debit airnya yang sudah sangat sedikit, berlumut dan dapat menimbulkan iritasi serta gatal-gatal pada kulit. Masalah ketersediaan air bagi penduduk setempat menjadi persoalan yang serius setiap tahun (BPDAS Aceh 2009). Kerusakan lain di DAS Krueng Seulimum juga dipicu oleh maraknya aktivitas penambangan galian C (pasir, batu dan kerikil). Kegiatan tersebut sampai saat ini masih terus berlangsung yang mengakibatkan tingginya kecepatan arus sungai dan tingkat erosi pada tebing sungai. Akibat pembalakan liar, konversi hutan menjadi lahan pertanian, dan usahatani yang dilakukan tanpa mempertimbangkan kemampuan lahan dan kesesuaian lahan serta penerapan agroteknologi telah menyebabkan kerusakan di DAS Krueng Seulimum. Hal ini terlihat dengan tingginya erosi\ dan rendahnya produktivitas lahan di bagian hulu yang ditunjukkan dengan rendahnya produksi kakao yaitu 271-450 kg ha -1 (Disbunhut Aceh 2008). Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan penghasilan devisa. Saat ini komoditi kakao di Propinsi Aceh tersebar hampir di seluruh Provinsi (APED 2007). Secara keseluruhan luas areal tanaman kakao di Propinsi Aceh adalah 70 873.00 ha, dimana 78% merupakan areal perkebunan rakyat (Disbunhut Aceh 2008). Dinas perkebunan dan kehutanan propinsi Aceh yang di dukung oleh dana dari ADB pada tahun 2007 telah mengembangkan lahan baru kakao di Aceh Besar seluas 500 ha (Program pembangunan perkebunan Aceh Besar), dan BRR melalui dinas terkait melakukan pengembangan lahan kakao seluas 100 ha. Ini semua sangat dibutuhkan upaya pengelolaan kakao yang berkelanjutan, mengingat produksi yang dihasilkan saat ini masih sangat rendah. Rendahnya produktivitas lahan di DAS Krueng Seulimum menyebabkan pendapatan petani di wilayah ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL). Menurut BPS Aceh (2009), tingkat kemiskinan di propinsi Aceh menduduki peringkat ke lima dari 33 provinsi di Indonesia yaitu sebesar 19.48%, hasil sensus BPS 2007 juga menunjukkan bahwa penduduk miskin di DAS Krueng Seulimum sebesar 26.3% keluarga petani. Kondisi ini menunjukkan bahwa di DAS Krueng Seulimum telah berlangsung proses saling memiskinkan
4 antara lahan dan petani. Menurut Sinukaban (2001) proses saling memiskinkan harus diputuskan dengan penerapan sistem pertanian konservasi (SPK) yang bertujuan memperkecil erosi dan meningkatkan produktivitas lahan sehingga nantinya akan meningkatkan pendapatan petani. Uraian di atas menunjukkan masih rendahnya pengetahuan petani, sehingga usahatani kakao yang dilakukan oleh petani di DAS Krueng Seulimum tidak berkelanjutan. Untuk itu perlu dilakukan berbagai upaya yaitu dengan memadukan teknik konservasi tanah dan air pada lahan pertanian berbasis kakao, sehingga petani di DAS Krueng Seulimum memiliki pengetahuan tentang usahatani pertanian yang berkelanjutan yaitu pendapatan yang layak bagi setiap petani, agroteknologi yang diterapkan tidak menimbulkan kerusakan sumberdaya lahan (erosi), dan dapat diterima (acceptable) serta dikembangkan (replicable) oleh petani dengan pengetahuan dan sumberdaya lokal yang dimiliki petani (Sinukaban 2005). Permasalahan Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah pokok yang harus diatasi di DAS Krueng Seulimum yaitu : 1. Telah terjadi kerusakan hutan akibat pembalakan liar (illegal logging) dan alih guna lahan sehingga terjadi aliran permukaan dan erosi yang tinggi dan mengakibatkan sedimentasi yang pada saat musim hujan mengakibatkan terjadinya banjir. 2. Usahatani kakao yang dilakukan saat ini kurang mempertimbangkan klas kemampuan dan kesesuaian lahan serta agroteknologi yang tepat sehingga memungkinkan terjadinya aliran permukaan dan erosi yang tinggi. 3. Pendapatan petani terutama yang berasal dari usahatani kakao masih rendah, karena produksi yang dihasilkan tanaman kakao yang belum dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL). 4. Belum dilakukan penataan (alokasi) penggunaan lahan yang optimal untuk usahatani kakao. Kerangka Pemikiran Daerah aliran sungai (DAS) terdiri atas unsur - unsur yang saling berinteraksi dan membentuk suatu sistem yang saling mempengaruhi dan sangat peka terhadap input-input yang terjadi didalamnya. Salah satu input yang mempengaruhi kondisi DAS adalah perubahan penggunaan lahan. Pasca terjadinya tsunami, penggunaan lahan di DAS Krueng Seulimum mengalami perubahan yang cukup pesat disamping perubahan lainnnya yaitu konversi hutan menjadi lahan usahatani kakao yang pengelolaannya masih secara konvensional sehingga menimbulkan erosi yang tinggi dan produksi yang diinginkan belum dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak bagi petani. Pengelolaan DAS yang baik dan lestari adalah penggunaan sumberdaya alam secara rasional agar mendapatkan produksi yang maksimum dalam waktu yang tidak terbatas dan mencegah terjadinya kerusakan lahan seminimal mungkin. Tujuan utama pengelolaan DAS adalah keberlanjutan (sustainable) dengan parameter yang dapat
5 diukur yaitu erosi harus lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransi (ETol), agroteknologi yang diterapkan harus dapat diterima (acceptable) dan dapat dikembangkan (replicable) serta pendapatan yang didapat harus di atas standar hidup layak. Untuk itu diperlukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan DAS secara cermat dan seksama dengan penerapan sistem pertanian konservasi. Sistem pertanian konservasi (SPK) adalah sistem pertanian yang dapat mengendalikan degradasi lahan (erosi ETol) dan meningkatkan pendapatan petani hingga dapat memenuhi standar kebutuhan hidup secara layak (KHL) dengan menggunakan agroteknologi yang memadai serta bersifat khas lokasi (site specific). Penerapan sistem pertanian konservasi merupakan langkah tepat untuk menjamin kelestarian usahatani lahan kering dalam suatu DAS. Untuk itu agar sumberdaya lahan dapat dilakukan secara lestari dan berkelanjutan maka optimalisasi pola usahatani perlu didesain dan dirancang dengan tepat agar usahatani berbasis kakao di DAS Krueng Seulimum dapat berkelanjutan. Tahap selanjutnya yang perlu dilakukan adalah melakukan penilaian kemampuan dan kesesuaian lahan pada tiap satuan lahan (SL) yang bertujuan untuk mengetahui produktivitas dari masing-masing satuan lahan bagi usahatani. Penggunaan lahan yang sesuai dan cocok dengan kemampuan lahan merupakan langkah awal menuju sistem budidaya tanaman yang baik. Bila kondisi tanahnya tidak sesuai untuk pertanian maka agroteknologi apapun yang digunakan tidak akan dapat mencegah erosi. Tingkat keberhasilan usahatani pada satu bidang lahan dengan penerapan agroteknologi dapat dilihat dari besarnya erosi yang terjadi, dimana erosi aktual yang terjadi harus lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransi (E < ETol), untuk itu agar agroteknologi yang diterapkan dapat diterima dan dikembangkan oleh petani maka agroteknologi tersebut harus disesuaikan dengan karakteristik biofisik (site specific), sehingga nantinya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (Sinukaban 2004). Selanjutnya upaya untuk memadukan kepentingan konservasi tanah dan air dengan kepentingan pendapatan petani dari usahatani berbasis kakao di DAS Krueng Seulimum maka perlu dilakukan optimalisasi pola usahatani yang dapat mengkompromikan berbagai aspek kepentingan (beberapa tujuan) tersebut. Metode optimalisasi yang dapat digunakan untuk mengakomodasi berbagai tujuan (kepentingan konservasi tanah dan air, dan kepentingan pendapatan petani) adalah dengan menggunakan model multiple goal programming (MGP) atau program tujuan ganda yang digunakan berdasarkan typical farm size. Metode ini dapat mengakomodasi berbagai tujuan atau kepentingan secara simultan (Nasendi dan Anwar 1985; Mulyono 1991). Fungsi tujuan dalam analisis optimalisasi dengan multiple goal programming adalah meminimumkan simpangan dari kendala tujuan yang ada (erosi dan pendapatan usahatani). Penentuan usahatani berbasis kakao yang berkelanjutan di DAS Krueng Seulimum dilakukan dengan perangkat pengambilan keputusan (decision tool) (kesesuaian lahan, agroteknologi, erosi < ETol dan pendapatan > KHL) pada skala DAS. Secara ringkas kerangka pemikiran penelitian telah diuraikan disajikan pada Gambar 1.
6 DAS Krueng Seulimum (25 444.35Ha) - Kerusakan lahan akibat alih guna lahan dan illegal logging - Belum dilakukan penilaian terhadap kemampuan dan kesesuaian lahan serta agroteknologi pada usahatani berbasis kakao - Belum dilakukan penataan (alokasi) penggunaan lahan yang optimal untuk usahatani kakao - Produksi kakao rendah Erosi dan AP Tinggi Pendapatan Rendah Usahatani Kakao tidak Berkelanjutan Pengukuran dan pendugaan Erosi Analisis Usahatani Tipe dan Alternatif Agroteknologi Usaha tani Kakao Analisis Pengambilan Keputusan (LINDO dan Decision Tool) Arahan Usahatani Berbasis Kakao Berkelanjutan di DAS Krueng Seulimum Gambar 1 Kerangka pemikiran perencanaan usahatani kakao berkelanjutan di DAS Krueng Seulimum. Tujuan Penelitian 1. Mengkaji karakteristik lahan dan agroteknologi yang diterapkan untuk tanaman kakao di DAS Krueng Seulimum 2. Menganalisis laju erosi dan aliran permukaan pada lahan usaha tani berbasis kakao di DAS Krueng Seulimum. 3. Menganalisis alokasi lahan optimal untuk usahatani berbasis kakao dan agroteknologi sehingga dapat menurunkan erosi dan meningkatkan pendapatan petani di DAS Krueng Seulimum. 4. Merumuskan perencanaan usahatani berbasis kakao berkelanjutan di DAS Krueng Seulimum.
7 Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi dan bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar dan Propinsi Aceh dalam mengambil kebijakan untuk pengembangan usahatani berbasis kakao yang berkelanjutan di DAS Krueng Seulimum. 2. Bagi petani di DAS Kreung Seulimum sebagai sumber informasi dalam usahatani berbasis kakao yang berkelanjutan. 3. Pengembangan ilmu pengetahuan dalam mendesain usahatani berbasis kakao yang berkelanjutan dengan menggunakan analisis program tujuan ganda. Kebaruan Penelitian (Novelty) Kebaruan dari penelitian ini adalah memberikan informasi: 1. Besarnya aliran permukaan dan erosi pada usahatani berbasis kakao di DAS Krueng Seulimum. 2. Tipe usahatani berbasis kakao yang berkelanjutan di DAS Krueng Seulimum. 3. Besarnya standar hidup layak keluarga petani berbasis kakao di DAS Krueng Seulimum