BAB I PENDAHULUAN. dari segi mental juga harus diperhatikan agar tercipta sehat yang holistik.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. ringan dan gangguan jiwa berat. Salah satu gangguan jiwa berat yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesalahpahaman, dan penghukuman, bukan simpati atau perhatian.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam pendidikan, pekerjaan dan pergaulan (Keliat, 2006). Menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya

BAB I PENDAHULUAN. perannya dalam masyarakat dan berperilaku sesuai dengan norma dan aturan

BAB I PENDAHULUAN. membuat arti ketidakmampuan serta identitas secara individu maupun kelompok akan

BAB I PENDAHULUAN. sehat, maka mental (jiwa) dan sosial juga sehat, demikian pula sebaliknya,

BAB I PENDAHULUAN. yang utuh untuk kualitas hidup setiap orang dengan menyimak dari segi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial, hal ini dapat dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. faktor peningkatan permasalahan kesehatan fisik dan juga masalah kesehatan

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sehat, serta mampu menangani tantangan hidup. Secara medis, kesehatan jiwa

BAB 1 PENDAHULUAN. Tujuan Nasional Bangsa Indonesia yang tercantum dalam Undang-Undang. kebutuhan dasar manusia termasuk di bidang kesehatan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. serta perhatian dari seluruh masyarakat. Beban penyakit atau burden of disease

BAB I PENDAHULUAN. serta ketidakpastian situasi sosial politik membuat gangguan jiwa menjadi

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengendalian diri serta terbebas dari stress yang serius. Kesehatan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa adalah bagian dari kesehatan secara menyeluruh, bukan sekedar

BAB I PENDAHULUAN. signifikan dengan perubahan sosial yang cepat dan stres negatif yang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencapai. salah satunya adalah pembangunan dibidang kesehatan.

BAB 1 PENDAHULUAN. deskriminasi meningkatkan risiko terjadinya gangguan jiwa (Suliswati, 2005).

BAB 1 PENDAHULUAN. klinis bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan dan

BAB I PENDAHULUAN. penyimpangan dari fungsi psikologis seperti pembicaraan yang kacau, delusi,

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan penurunan semua fungsi kejiwaan terutama minat dan motivasi

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan nasional. Meskipun masih belum menjadi program prioritas utama

BAB I PENDAHULUAN. mendasar bagi manusia. World Health Organization (WHO) sejaterah seseorang secara fisik, mental maupun sosial.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia memiliki tiga komponen utama sehingga disebut. makhluk yang utuh dan berbeda dengan mahkluk lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. kurang baik ataupun sakit. Kesehatan adalah kunci utama keadaan

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana. tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain,

BAB I 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yaitu gangguan jiwa (Neurosa) dan sakit jiwa (Psikosa) (Yosep, hubungan interpersonal serta gangguan fungsi dan peran sosial.

B A B 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya

BAB I PENDAHULUAN. perpecahan antara pemikiran, emosi dan perilaku. Stuart, (2013) mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. perasaan dan tingkah laku seseorang sehingga menimbulkan penderitaan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang terbatas antara individu dengan lingkungannya (WHO, 2007). Berdasarkan data dari World Health Organisasi (WHO, 2015), sekitar

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab yang sering disampaikan adalah stres subjektif atau biopsikososial

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berfikir (cognitive),

BAB I PENDAHULUAN. Kasus gangguan jiwa berat mendapatkan perhatian besar di berbagai negara. Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan jiwa bukan hanya sekedar terbebas dari gangguan jiwa,

HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG GANGGUAN JIWA DENGAN DUKUNGAN KELUARGA YANG MEMPUNYAI ANGGOTA KELUARGA SKIZOFRENIA DI RSJD SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. keluarga, kelompok, organisasi, atau komunitas. American Nurses

BAB 1 PENDAHULUAN. sendiri. Kehidupan yang sulit dan komplek mengakibatkan bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak mampu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Filariasis merupakan penyakit zoonosis menular yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku dimana. individu tidak mampu mencapai tujuan, putus asa, gelisah,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. ketidaktahuan keluarga maupun masyarakat terhadap jenis gangguan jiwa

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. yang menyeluruh dalam menjalankan fungsi-fungsinya, karena keluarga

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa adalah salah satu masalah kesehatan yang masih. banyak ditemukan di setiap negara. Salah satunya adalah negara

PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain apa adanya dan

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan dinamisnya kehidupan masyarakat. Masalah ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. dan kestabilan emosional. Upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan. pekerjaan, & lingkungan masyarakat (Videbeck, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock

BAB I PENDAHULUAN. (WHO, 2005). Kesehatan terdiri dari kesehatan jasmani (fisik) dan

BAB 1 PENDAHULUAN. sisiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptif

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. siklus kehidupan dengan respon psikososial yang maladaptif yang disebabkan

RENCANA TESIS OLEH : NORMA RISNASARI

BAB 1 PENDAHULUAN. keluarga, kelompok, organisasi, atau komunitas. (Stuart, 2007).

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat serius dan memprihatinkan. Kementerian kesehatan RI dalam

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1

BAB I PENDAHULUAN. adanya tekanan fisik dan psikologis, baik secara internal maupun eksternal yang

BAB I PENDAHULUAN. tinggal di sana. Kehidupan perkotaan seperti di Jakarta menawarkan segala

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif,

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 18 pasal 1 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian urutan ke-3 di negara-negara maju setelah

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi,

BAB I PENDAHULUAN. akan mengalami kekambuhan. WHO (2001) menyatakan, paling tidak ada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan sematamata

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

Volume VI Nomor 4, November 2016 ISSN: PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. adanya dan mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain (Depkes RI,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta perbedaan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. berpikir, gangguan perilaku, gangguan emosi dan gangguan persepsi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Adapun peningkatan tajam terjadi pada kelompok penduduk lanjut

BAB I PENDAHULUAN. bermasyarakat. Secara umum timbulnya gangguan jiwa pada seseorang

BAB I PENDAHULUAN. genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural.

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan sehat atau sakit mental dapat dinilai dari keefektifan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. emosional serta hubungan interpersonal yang memuaskan (Videbeck, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Statistik (2013), angka harapan hidup perempuan Indonesia dalam rentang

BAB I PENDAHULUAN. perhatian dari keluarga. Townsend (2014), mengatakan skizofrenia yaitu terjadi

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi mental sejahtera yang memungkinkan dan memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri pada lingkungan, serta berintegrasi dan berinteraksi dengan baik, tepat, dan bahagia (Yusuf, et. al, 2015). Kesehatan tidak dilihat dari segi fisik saja tetapi dari segi mental juga harus diperhatikan agar tercipta sehat yang holistik. Seseorang yang terganggu dari segi mental dan tidak bisa menggunakan pikirannya secara normal maka bisa dikatakan mengalami gangguan jiwa (Purnama, dkk, 2016). Gangguan jiwa merupakan sekumpulan prilaku dan psikologis individu yang menyebabkan terjadinya keadaan tertekan, rasa tidak nyaman, penurunan fungsi tubuh dan kualitas hidup (Stuart, 2016). Gangguan jiwa biasa disebut penyakit mental yang ditandai terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku dan persepsi. Setiap orang berpotensi mengidap gangguan jiwa, gangguan ini tidak disebabkan oleh kelemahan pribadi, melainkan karena faktor eksternal. (Aizid, 2015). Gangguan jiwa sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang serius di dunia. Data statistik yang dikemukakan oleh World Health Organization (WHO) penderita gangguan jiwa dunia adalah 676 juta jiwa. Paling buruk, depresi bisa memimpin untuk bunuh diri, lebih dari 800.000 perkiraan kematian bunuh diri di seluruh dunia, dengan 86% terjadi pada usia dibawah 70 tahun. Bunuh diri merupakan penyebab kematian kedua didunia, orang 1

2 dewasa muda usia 15-29 tahun bunuh diri menyumbang 8,5% dari semua kematian, terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta orang terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia (WHO, 2016) Masalah gangguan jiwa masih menjadi beban penyakit atau burden of disease yang cukup besar di Indonesia. Penduduk di Indonesia tahun 2018 mencapai 265 juta jiwa, berdasarkan hasil Riskesdas (2013) penderita gangguan jiwa berat di Indonesia saat ini mencapai 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1000 penduduk, 14,3% diantaranya mengalami pasung. Gangguan mental emosional untuk 15 tahun mencapai 6% atau lebih dari 14 juta jiwa dari jumlah penduduk. Prevalensi penduduk Provinsi Sumatera barat yaitu 5.321.489 orang dan yang mengalami gangguan jiwa berat berada pada posisi ke 7 mecapai 1,9 per mil. Data Statistik Daerah Kota Padang (BPS, 2018) jumlah penduduk di kota Padang sebanyak 927,168 orang, kunjungan gangguan jiwa di seluruh rumah sakit kota Padang sebanyak 45,481 orang. Sedangkan kunjungan kasus gangguan jiwa dipukesmas kota padang sebesar 7.696 dengan jumlah kunjungan kasus baru sebesar 770 (L= 415, P= 355) dan kasus lama sebesar 6.926 (L=4090, P=2836). Data ini memberikan gambaran bahwa kasus gangguan jiwa berat masih tinggi dan perlu perhatian lebih (DKK Padang, 2017) Pemerintah dalam menanggulangi gangguan jiwa masih banyak mengalami hambatan. Menurut Subu, dkk (2016) dan Surahmiyati, dkk (2017) penyebab permasalahan pada kesehatan jiwa berasal dari tiga inti pokok. Pertama adalah pemahaman keluarga dan masyarakat yang kurang

3 mengenai gangguan jiwa, kedua adalah stigma dan persepsi negatif yang berbentuk penyimpangan penilaian suatu kelompok masyarakat mengenai gangguan jiwa dan terakhir tidak meratanya pelayanan kesehatan jiwa. Mestdagh dan Hansen (2013) menyatakan masyarakat yang memiliki stigma negatif terhadap klien gangguan jiwa cenderung menghindari dan tidak mau memberikan bantuan terhadap orang yang menderita gangguan jiwa. Penelitian yang dilakukan oleh Retno dkk, 2016 di Yogyakarta bahwa tingkat pendidikan yang rendah akan berpengaruh dengan terjadinya stigma terhadap ODGJ dengan persentase 93,3% sedangkan, hasil penelitian yang dilakukan oleh Teresha, 2015 pengetahuan kurang dan sikap negatif terhadap ODGJ dengan persentase (72,0%) dan (85,4%) yang menyebabkan stigma negatif meningkat (79,5%). Corrigan, et. al, (2010) mengatakan pendidikan dapat merubah sikap masyarakat tentang penyakit mental. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap antara lain : pengalaman pribadi, media massa, lembaga pendidikan, pengaruh orang lain yang dianggap penting, dan pengaruh kebudayaan. Pandangan sangat negatif tentang sakit jiwa sebagian besar menjadi otoriter dalam sikap mereka terhadap ODGJ. Meskipun memiliki pengetahuan tentang penyebab sakit jiwa, (44,2%) mereka berfikir penyakit jiwa juga disebabkan oleh kepemilikan setan, roh-roh yang menjadi konskuensi dari hukum ilahi (52,0%) meningkatkan stigma terhadap ODGJ dimasyarakat (Ukpong & Bs, 2010). Budaya dan kepercayaan merupakan faktor pertama yang menyebabkan timbulnya stigma, hal tersebut disebabkan kepercayaan yang menentukan sikap individu terhadap sesuatu. Penyebab dari stigma terdiri dari

4 kepercayaan (kultural dan religi), pengetahuan, informasi yang keliru, dan minimnya pengalaman berhubungan dengan ODGJ secara langsung (Kartika, Hizkia, & Vembriati, 2017). Stigma dapat muncul beragam tergantung pada karakteristik objek yang dianggap berbeda atau tak normal (Varamitha, Akbar, & Erlyani, 2014). Stigma merupakan label negatif yang melekat pada tubuh seseorang yang diberikan masyarakat dan dipengaruhi oleh lingkungan (Purnama et al., 2016). Menurut Girma dkk, (2013) Individu yang terkena stigma di masyarakat sulit untuk berinteraksi sosial bahkan dalam kasus terburuk dapat menyebabkan individu melakukan tindakan bunuh diri. Pada penelitian yang dilakukan Subu, dkk (2016) ODGJ mendapatkan stigma dan perilaku kekerasan, penganiayaan, pengekangan dilingkungan keluarga dan bukan orang asing. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Lestari dan Wardhani (2014) ODGJ sering mendapatkan diskriminasi yang lebih besar dari keluarga dan masyarakat disekitarnya. Mereka sering mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi, misalnya kekerasan, diasingkan, diisolasi atau dipasung. Penerimaan masyarakat yang kurang baik terhadap penderita gangguan jiwa sangat dilatarbelakangi oleh faktor-faktor yaitu kurangnya pemahaman dan pengetahuan tentang gangguan jiwa serta kepercayaan, budaya, adat istiadat, dan sikap masyarakat (Ramdhani & Patria, 2018). Pada faktor kepercayaan, budaya dan adat istiadat, dikalangan masyarakat ada yang percaya bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh roh jahat, guna-guna, sihir, atau kutukan atas dosa. Kepercayaan yang salah ini hanya akan merugikan penderita maupun keluarga (Aizid, 2015).

5 Penderita gangguan jiwa dan keluarga sering memegang kepercayaan yang sama seperti masyarakat, selain itu rasa malu yang ditanggung keluarga membuat keluarga tidak meminta bantuan dan masyarakat enggan mencari pertolongan untuk perawatan pada pasien dengan gangguan jiwa sehingga penderita tidak diperhatiakn lagi (Lestari dan Wardhani, 2014). Menurut Dananjaya (1986) dikutip dalam Zubirsalim (2014) keyakinan seperti ini di Indonesia bukan hanya sekedar keyakinan tetapi sudah menjadi perilaku dan pengalaman hidup. Maksudnya adalah bagaimanapun tingginya pendidikan seseorang tidak ada yang dapat melepaskan diri dari keyakinan rakyat ini. Penelitian oleh (Ukpong & Bs, 2010) di Nigeria menemukan bahwa stigma dan diskriminasi sulit dihilangkan, karena masyarakat berkeyakinan bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh sesuatu yang mistis. Hal ini didukung oleh Girman dan Tesfaye (2013) di Southwest Ethopia menemukan bahwa masyarakat pedesaan lebih mudah terpengaruh oleh stigma yang berkembang dimasyarakat dari pada masyarakat diperkotaan. Di Indonesia penelitian Zubirsalim (2014) di Yogyakarta menyatakan pemahaman masyarakat mengenai etiologi gangguan jiwa seringkali dikaitkan oleh kepercayaankepercayaan nilai tradisi budaya serta tidak terbuka dengan penjelasanpenjelasan yang lebih ilmiah sehingga berpengaruh pada niat keluarga dalam mencari pertolongan untuk anggota keluarga yang rentan menggalami gangguan jiwa. Dari sana bisa diketahui bahwa stigma dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kebudayaan setempat atau lingkungan. Menurut Lestari dan Wardhani, (2014) pada umumnya penderita gangguan jiwa berat dirawat dan diberi pengobatan dirumah sakit. Setelah

6 membaik dan dipulangkan dari rumah sakit, tidak ada penanganan khusus yang berkelanjutan bagi penderita. Pengobatan penderita gangguan jiwa merupakan sebuah journey of challenge atau perjalanan yang penuh tantangan yang harus berkelanjutan. Masyarakat merasa ketakutan dan berfikir bahwa orang yang pernah mengalami gangguan jiwa suka mengamuk dan mencelakai orang lain (Mestdagh, 2013). Dilihat dari faktor stressor lingkungan yang berlebihan, memperlihatkan bahwa semakin besarnya respon negatif masyarakat terhadap individu yang telah dinyatakan pulih setelah mengalami masa rawat di Rumah Sakit Jiwa. Stigma terbagi menjadi dua yaitu stigma intrapersonal (Self-stigma) dan stigma interpersonal (Public-stigma) (Rusch,et al.,2005 dalam Sewilam et al., 2015. Self-stigma terdiri dari stereotip, prasangka dan diskriminasi. Stereotip terjadi ketika seseorang mengelompokan sikap negatif tentang penyakit jiwa, yang menyebabkan reaksi emosional negatif dan harga diri rendah pada diri sendiri. Sedangkan public-stigma terdiri dari komponen yang sama mengarah pada evaluasi yang bersifat negatif yang dikeluarkan oleh sekelompok masyarakat yang dapat berpengaruh dalam proses penyembuhan. Stigma publik tersebut dapat menghambat perawatan, kepatuhan terhadap pengobatan yang diresepkan (Sirey et al., 2001), dan dapat menyebabkan penghentian pengobatan dini (Kreyenbuhl et al., 2011). Stigma juga menghambat pemulihan, dan dapat mengakibatkan kekambuhan (Rusch et al., 2009) dikutip dalam (Michaels, López, Rüsch, & Corrigan, 2012) Lingkungan masyarakat yang menyebabkan keluarga menolak keberadaan pasien gangguan jiwa merupakan salah satu penyebab

7 kekambuhan pada penderita gangguan jiwa karena tidak adanya hubungan yang harmonis dan dukungan sosial (Carey, Lura, & Highsmith, 2014). Abraham Maslow menyatakan jika individu tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk dimiliki dan dicintai maka individu tersebut akan sulit meningkatkan harga diri yang didalamnya ada kepercayaan diri (Ariananda, 2015). Agar kebutuhan dasar akan harga diri dan kepercayaan diri diperoleh individu yang mengalami gangguan jiwa maka harus bisa berinteraksi sosial, maka masyarakat harus menghilangkan stigma tersebut. Menghilangkan stigma negatif masyarakat terhadap ODGJ memang tidak mudah. Stigma yang diciptakan masyarakat secara tidak langsung menyebabkan keluarga atau masyarakat enggan untuk memberikan penanganan yang tepat terhadap keluarga atau tetangga mereka yang menggalami gangguan jiwa (Surahmiyati, Yoga, & Hasanbasri, 2017). Perlakuan ini disebabkan karena ketidaktahuan atau pengertian yang salah dari keluarga atau anggota masyarakat mengenai gangguan jiwa (Sulistyorini, 2013). Hal ini ditunjang juga dengan penelitian yang dilakukan Muhlisin (2015) yang mengatakan pasien yang kembali ke masyarakat setelah dinyatakan sembuh tidak mendapatkan dukungan dari rekan-rekan, keluarga dan lingkungan masyarakat, karena mereka beranggapan takut penyakitnya kambuh lagi. Kekambuhan juga peristiwa timbulnya kembali gejala-gejala gangguan psikis atau jiwa yang sebelumnya sudah memperoleh kemajuan dan 323 mengakibatkan pasien dirawat inap. Pada penderita gangguan jiwa kronis diperkirakan 50% akan mengalami kekambuhan pada tahun pertama, 70%

8 pada tahun yang kedua, dan 100% pada tahun kelima setelah pulang dari Rumah Sakit Jiwa karena perlakuan yang salah selama di rumah atau di masyarakat (Nasir, 2011). keluarga merasa terbebani dalam melakukan perawatan terhadap pasien gangguan jiwa, beban yang dirasakan keluarga baik berupa beban subjektif maupun beban objektif, bagi keluarga mempunyai anggota keluarga dengan gangguan jiwa merupakan sebuah aib sehingga membuat keluarga menjadi malu terhadap lingkungan tempat tingal dan merasa khawatir dengan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa (Simbolon, J, 2014). Bedasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pramana, (2017) diketahui bahwa pasien gangguan jiwa dan keluarga akan merasa kesulitan untuk tinggal di dalam lingkungan yang menolak kondisi pasien. Keluarga akan merasa tertekan dalam memberikan perawatan kepada anggota keluarganya karena harus menghadapi penolakan dari masyarakat. Penderita gangguan jiwa sulit untuk langsung sembuh dalam satu kali perawatan, namun membutuhkan proses yang panjang dalam penyembuhan. Karena itu, dibutuhkan pendamping terus menerus sampai pasien dapat bersosialisasi dengan orang lain secara normal. Ketika perawatan dirumahlah dukungan keluarga serta masyarakat disekitar lingkungan sangat berperan dan dibutuhkan dalam proses penyembuhan (Lestari & Wardhani, 2014) Pelayanan kesehatan jiwa saat ini yang tidak lagi hanya difokuskan pada upaya penyembuhan klien gangguan jiwa saja, tetapi juga pada upaya promosi kesehatan jiwa dan pencegahan dengan sasaran selain klien gangguan jiwa. Klien dengan penyakit kronis dan individu yang sehat juga

9 menjadi sasaran dalam upaya preventif (Stuart, 2016). Upaya ini tidak hanya dilakukan oleh tenaga kesehatan tetapi juga dengan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan memberikan pemahaman, menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap masalah kesehatan jiwa dikomunitas (Keliat et al, 2013). Menurut Lawrence Green dalam teori perubahan prilaku menyatakan bahwa pendidikan kesehatan mempunyai peranan penting dalam mengubah pandangan masyarakat sehingga menimbulkan prilaku positif masyarakat terhadap kesehatan terutama pada penderita gangguan jiwa (Noorkaslani, dkk, 2009). Data dari Dinas Kesehatan Kota Padang (2017) angka kunjungan gangguan jiwa di puskesmas Pemancungan menempati urutan pertama dilihat dari data jumlah kunjungan gangguan jiwa ke puskesmas tersebut, yakni sebanyak 1.009 orang. Sedangkan untuk urutan kedua ditempati oleh puskesmas Lubuk Buaya yaitu 760 orang, dan urutan ke tiga puskesmas Andalas dengan jumlah 624 orang. Puskesmas pemancungan memegang 5 kelurahan, dengan populasi penduduk 17.984 orang. Penderita gangguan jiwa berat sebanyak 141 orang. Gangguan Jiwa Berat 64 orang, sedangkan Gangguan Jiwa Ringan sebanyak 73 orang. Penderita gangguan jiwa terbanyak berada dikelurahan Pasa Gadang sebanyak 28 orang, dari awal tahun 2018 sampai saat ini bertambah menjadi 32 orang dengan populasi masyarakat 5.842 orang. Penelitian dilakukan di kelurahan pasa gadang pada masyarakat berumur 20-60 tahun dengan populasi 3295 orang. Berdasarkan hasil survey awal pada tanggal 1 Oktober 2018 kepada 7 orang masyarakat dikelurahan pasa gadang yang berumur rata-rata 35-55

10 tahun dengan tingkat pendidikan SMP dan SMA didapatkan 5 orang tidak mengetahui penyebab terjadinya gangguan jiwa. Pengaruh budaya masyarakat dilingkungannya biasa menyebut orang gangguan jiwa dengan sebutan orang gila atau orang stress, masyarakat mengatakan orang gila tidak dipercaya dilingkunganya, mereka beranggapan jika terjadi kekambuhan ODGJ suka membuat keributan, merusak, membahayakan keluarga serta masyarakat, saat ini masih ada penderita yang dirantai dan dikurung agar tidak mengganggu orang lain. 2 orang mengatakan orang gila banyak disebabkan karena keturunan. Mereka mengatakan ODGJ walaupun sudah pernah dirawat di RSJ tetap tidak bisa disembuhkan sehingga menjadi beban bagi keluarga, Dari jumlah penderita gangguan jiwa yang ada di puskesmas pemancungan terdapat tingginya angka kekambuhan. Hal ini kembali menunjukkan bahwa masalah gangguan jiwa masih menjadi masalah kesehatan dan sosial yang perlu dilakukan upaya penanggulangan secara komprehensif. Berdasarkan fenomena diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Faktor - Faktor Yang Berhubungan Dengan Stigma Masyarakat Terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah yang ditemukan adalah Apakah Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Stigma Masyarakat Terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa di Kelurahan Pasa Gadang Wilayah Kerja Pukesmas Pemancungan Padang Selatan Tahun 2018?.

11 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui faktor faktor yang berhubungan dengan stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa dikelurahan Pasa Gadang wilayah kerja Pukesmas Pemancungan Padang Selatan tahun 2018 2. Tujuan Khusus Mengetahui distribusi frekuensi tingkat pendidikan masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa dikelurahan Pasa Gadang wilayah kerja Pukesmas Pemancungan Padang Selatan tahun 2018 a) Diketahuinya distribusi frekuensi tingkat pendidikan masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa dikelurahan Pasa Gadang wilayah kerja Pukesmas Pemancungan Padang Selatan tahun 2018 b) Diketahuinya distribusi frekuensi pengetahuan masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa dikelurahan Pasa Gadang wilayah kerja Pukesmas Pemancungan Padang Selatan tahun 2018 c) Diketahuinya distribusi frekuensi sikap masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa dikelurahan Pasa Gadang wilayah kerja Pukesmas Pemancungan Padang Selatan tahun 2018 d) Diketahuinya distribusi frekuensi budaya masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa dikelurahan Pasa Gadang wilayah kerja Pukesmas Pemancungan Padang Selatan tahun 2018 e) Diketahuinya distribusi frekuensi stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa dikelurahan Pasa Gadang wilayah kerja Pukesmas Pemancungan Padang Selatan tahun 2018

12 f) Diketahuinya hubungan tingkat pendidikan masyarakat dengan stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa dikelurahan Pasa Gadang wilayah kerja Pukesmas Pemancungan Padang Selatan tahun 2018 g) Diketahuinya hubungan pengetahuan masyarakat dengan stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa dikelurahan Pasa Gadang wilayah kerja Pukesmas Pemancungan Padang Selatan tahun 2018 h) Diketahuinya hubungan sikap masyarakat dengan stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa dikelurahan Pasa Gadang wilayah kerja Pukesmas Pemancungan Padang Selatan tahun 2018 i) Diketahuinya hubungan budaya masyarakat dengan stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa dikelurahan Pasa Gadang wilayah kerja Pukesmas Pemancungan Padang Selatan tahun 2018 D. Manfaat Penelitian Penelitian diharapkan bermanfaat bagi semua pihak dalam pengembangan kualitas praktik keperawatan : 1. Manfaat untuk perkembangan ilmu Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi bagi pendidikan keperawatan khususnya keperawatan jiwa tentang stigma masyarakat terhadap pasien gangguan jiwa yang menyebabkan terjadinya kekambuhan yang dapat diatasi dengan memberikan tindakan keperawatan jiwa komunitas.

13 2. Manfaat bagi peneliti Sebagai pengembangan kemampuan peneliti dapat mengaplikasikan ilmu keperawatan jiwa yang telah didapat di bangku kuliah dan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi peneliti dalam hal penelitian ilmiah. 3. Manfaat bagi tempat penelitian Hasil penelitian ini dapat menambah informasi dan masukan pada pihak pemerintah dan lingkungan masyarakat tentang stigma yang muncul untuk penderita gangguan jiwa yang menyebabkan kekambuhan. Diharapkan selain pemerintah dan tenaga kesehatan memberikan pendidikan kesehatan mengenai OGDJ dukungan masyarakat serta keluarga mampu merawat pasien-pasien penderita gangguan jiwa dengan merubah stigma sehingga angka kekambuhan gangguan jiwa menjadi berkurang dan dapat berinteraksi dengan masyarakat secara produktif. 4. Manfaat bagi peneliti selanjutnya Hasil penelitian ini Diharapkan dapat menjadi sumber data awal bagi peneliti selanjutnya dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan kajian lebih lanjut dimasa yang akan datang khususnya bagi yang ingin meneliti tentang stigma masyarakat terhadap pasien gangguan jiwa dengan metode penelitian yang berbeda.