BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum tentang Polrestabes Semarang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV PERSIAPAN DAN PELAKSANAAN PENELITIAN

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

V. KESIMPULAN DAN SARAN. terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, adalah : dengan prosedur penyidikan dan ketentuan perundang-undangan yang

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyidik Polri diberi kewenangan yang bersifat personal, berdasarkan

Oleh Lily I. Rilantono (Ketua Umum YKAI)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

TENTANG PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

BAB III SINKRONISASI PERATURAN TENTANG DIVERSI TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DI INDONESIA PADA TINGKAT PENYIDIKAN

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

RUMAH DUTA REVOLUSI MENTAL KOTA SEMARANG. Diversi : Alternatif Proses Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu

PEDOMAN STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) INISIATIF. Tentang SISTEM PENGUNGKAPAN KASUS SAT RESKRIM DENGAN TEAM ELITE SAT SABHARA POLRES LOMBOK TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. cara yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Polri merupakan salah satu institusi pemerintah yang bertanggung

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dari Sabang hingga ke Merauke. Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

STANDARD OPERASIONAL PROSEDUR TENTANG TIPIRING

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Al Adl, Volume VII Nomor 14, Juli-Desember 2015 ISSN UPAYA DIVERSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ANAK INDONESIA

OLEH ANAK BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

PENGGUNAAN KEWENANGAN DISKRESI DALAM PENYELESAIAN KASUS TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI KASUS DI POLRESTABES SEMARANG) SKRIPSI

BAB III SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK. sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi tiap-tiap warga negaranya.

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN PERMAINAN JUDI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG PENANGANAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyaknya tawuran antar pelajar yang terjadi di kota kota besar di

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penegak hukum, tetapi lebih memberikan rasa aman kepada masyarakat.

BUPATI CILACAP PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 38 TAHUN 2014 TENTANG SEKRETARIAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

BAB III PENUTUP. dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Polresta Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. kongkrit. Adanya peradilan tersebut akan terjadi proses-proses hukum

BAB I PENDAHULUAN. proses evolusi kapasitas selaku insan manusia, tidak semestinya tumbuh sendiri

Institute for Criminal Justice Reform

KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA (KPAI) OLEH : PUTU ELVINA Komisioner KPAI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan bagian yang tak terpisahkan dari

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN REGISTER PERKARA ANAK DAN ANAK KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Struktur Organisasi Unit PPA (Penyidik Perempuan dan Anak) Reskrim

IV. GAMBARAN UMUM. A. Gambaran Umum Polresta Bandar Lampung. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) meru pakan merupakan alat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal dengan Restorative Justice,

SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG

STANDART OPERASIONAL PROSEDUR ( SOP ) Tentang

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN. keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG

PENGARUSUTAMAAN HAM DALAM PELAYANAN PUBLIK DI POLRES METRO JAKARTA UTARA

STANDART OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) SATUAN SABHARA

LAPORAN POLISI Tentang KEJAHATAN / PELANGGARAN YANG DIKETEMUKAN No. Pol. : LP / 06A / II / 2017 / Polrestabes Semarang

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM,

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG TEKNIS PENANGANAN KONFLIK SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan

TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

PEMENUHAN KEBUTUHAN HAK PENDIDIKAN FORMAL BAGI ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN KOTA LAYAK ANAK DI SURAKARTA

BUPATI POLEWALI MANDAR

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

TATA CARA PELAKSANAAN DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN

BAB III ORGANISASI POLDA JAWA TENGAH

PELAKSANAAN DIVERSI TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DI TINGKAT PENYIDIKAN MENURUT UU NO 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM C. KOMPETENSI KHUSUS

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BAB I PENDAHULUAN. segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA KABUPATEN KENDAL

2011, No Menetapkan : Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168); 2. Undang-Undang No

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran N

Transkripsi:

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum tentang Polrestabes Semarang Polrestabes Semarang berdiri setelah Kepolisian Daerah Jawa Tengah melikuidasi lima Kepolisian Wilayah (Polwil) dan satu kepolisian wilayah kota besar (polwiltabe) yang ada di bawah naungannya berdasarkan SuratKeputusan (SK) Kapolri No. Pol: Kep 15/XII/2009 tanggal 31 Desember 2009 SK Kapolri tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan Surat Perintah Kapolda Jawa Tengah No Sprin/190-193/I/2010 yang ditujukan kepada Kapolwil, Kapolwiltabes dan Kapolres agar segera melakukan likuidasi paling lambat 28 Februari 2010. Pada tanggal 25 Juni 2010 status Polrestabes Semarang semakin kukuh setelah keluar SK Kapolri No.395/VI/2010. Polwiltabes Semarang membawahi tujuh Polres (Kepolisian Resort) antara lain: Polresta Semarang Barat, Polresta Semarang Selatan, Polresta Semarang Timur, Polresta Semarang, Polresta Salatiga, Polres Demak, Polres Kendal. Konsekuensi lain, Polwiltabes semula bersifat operasional (pelaksana) saat itu bersifat koordinator (pemantau dan pengawas kepolisian yang berada di bawahnya). Polwiltabes Semarang merenovasi bangunan lama menjadi bangunan baru karena dinilai bangunan lama tidak memadai untuk polwiltabes yang memiliki tugas sangat komplek mengurusi seluruh wilayah Kota Semarang ditambah lagi Kota Demak, Salatiga, dan Kendal. Kini Polrestabes 60

membawahi 14 Polsek dan 1 Polsek kawasan Pelabuhan dan sekarang Polwiltabes resmi berubah nama menjadi Polrestabes 48. Kini Polrestabes Semarang berkedudukan di Jl. DR. Sutomo IV No. 19, Kelurahan Barusari, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang, Jawa Tengah 50244. Gambar 3.1. Tampak Depan Gedung Polrestabes Semarang Sumber: seputarsemarang.com Polrestabes Semarang juga memiliki Visi dan Misi sebagai berikut: 1. Visi: Terwujudnya pelayanan prima kepada masyarakat dalam upaya penegakan hukum dan terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat di wilayah hukum Polrestabes Semarang guna meningkatkan kepercayaan masyarakat. 2. Misi: 48 http://www.restabes-smg.jateng.polri.go.id/main/profile/sejarah.html, diaksespadaharisabtupada tanggal 24 Maret 2018 pukul 7:06 WIB 61

a. Meningkatkan Sumber Daya manusia resort Kota Besar Semarang untuk tampil sebagai sosok pelayanan prima dalam penegakan hukum sesuai perkembangan dan tantangan yang di hadapi; b. Melaksanakan pelayanan secara optimal sehingga dapat menimbulkan kepercayaan bagi masyarakat dalam upaya meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dan mewujudkan kemitraan; c. Memelihara soliditas institusi Polrestabes Semarang dari berbagai pengaruh yang merugikan organisasi; d. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tetap berpedoman kepada norma budaya masyarakat dan sekitarnya; e. Melaksanakan penegakan hukum secara konsisten berkesinambungan, profesional, dan transparan dengan mengedepankan dan menjunjung tinggi HAM serta bekerjasama dengan unsure penegak hukum lainya untuk memelihara kamtibmas; f. Menciptakan kondisi keamanan yang kondusif dengan peran serta masyarakat dan instansi terkait secara aktif dalam pengamanan hasil pemilu dan kebijakan pemerintah; g. Melakukan pengendalian dan pengawasan secara berjenjang untuk mengurangi adanya penyimpangan; 62

h. Mengelola secara professional, transparan, akuntabel, dan modern seluruh sumberdaya Polri untuk mendukung operasional tugas polisi 49. Selain Visi dan Misi, Polrestabes Semarang juga mempunyai tugas pokok yang menganut dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu: 1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2. Menegakkan hukum; 3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Adapun Struktur Organisasi Kepolisian Resort Kota Besar Semarang sebagai berikut: Gambar 3.2. Struktur Organisasi Polrestabes Semarang 50 Sumber: http://www.restabes-smg.jateng.polri.go.id/main/profile/struktur.html 49 http://www.restabes-smg.jateng.polri.go.id/main/profile/visi.html, diakses pada hari Sabtu pada tanggal 24 Maret 2018 pukul 07:17 WIB 50 Diakses pada hari Sabtu, tanggal 24 Maret 2018 pada pukul 07:21 WIB. 63

Dalam penelitian ini, di Polrestabes Semarang, Penulis memusatkan penelitian pada Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA). Unit Pelayanan Perempuan dan Anak merupakan unit yang bertugas memberikan pelayanan, dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban Kejahatan dan penegakan hukum terhadap pelakunya. B. Pertimbangan Pihak Kepolisian untuk Mengikutsertakan Tokoh Masyarakat dalam Proses Diversi yang Diterapkan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum Pidana Kepolisian merupakan aparat penegak hukum yang sangat penting dalam memberikan perlindungan, keamanan, pelayanan terhadap masyarakat, dan menegakkan hukum di Indonesia. Pada dasarnya aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan fungsinya harus melihat kepentingan masyarakat termasuk anak-anak dengan cara mengikutsertakan Tokoh Masyarakat demi terciptanya keadilan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum pidana. Berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak, berikut jumlah tindak pidana yang terdata di Unit PPA Satreskrim Polrestabes Semarang 51 : 51 Sumber: UNIT PPA SAT RESKRIM Polrestabes Semarang Tahun 2014-2017 64

No 1 2 3 Jenis Tindak Pidana Kekerasan Fisik Terhadap Anak Persetubuhan terhadap Anak Pencabulan terhadap Anak Tabel 3.1. Jumlah Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anak Pasal yang Tahun Dipersangkakan 2014 2015 2016 2017 80 UUPA 5 (3 selesai) 1 (P.21) 1 (Lidik) 81 UUPA 1 (selesai) 4 Pengeroyokan 170 KUHP 1 (P.21) 2 (1 selesai) 3 (2 selesai) (1 SP3) 1 (P.21) 3 (P.21) 82 UUPA 1 (lidik) 1 (P.21) 5 Pencurian 362/362 KUHP 2 (diversi) 3 Membawa Lari 6 332 KUHP 2 (selesai) Anak 1 (lidik) 7 Pemerasan 369 KUHP 1 (diversi) 1 (selesai) 1 (selesai) Sumber: Unit PPA Polrestabes Semarang Tahun 2018 Berdasarkan tabel di atas, ada beberapa kasus yang diselesaikan dengan cara diversi, yaitu pemerasan di tahun 2014, pencurian di tahun 2015, dan kekerasan fisik terhadap anak di tahun 2017. Agar dapat dilakukan proses 1 (diversi) 2 (selesai) 1 (selesai) diversi maka harus memenuhi beberapa syarat, yaitu diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana 52. Proses diversi sendiri pun dilakukan dengan cara musyawarah yang melibatkan anak tersangka/korban, keluarga tersangka/korban, tokoh masyarakat, saksi, bapas, dan polisi. Kepolisian selaku Unit PPA dalam menangani perkara tentang anak mendasarkan diri pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang 52 Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 65

Sistem Peradilan Pidana Anak, karena ketika Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 ini diundangkan dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum pidana yang telah disesuaikan dengan isi Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Setiap anak berhak kelangsungan hidup, tumbuh serta berhak atas perlindungan dan diskriminasi. Dalam menangani perkara anak yang berhadapan dengan hukum pidana Unit PPA harus mempertimbangkan untuk mengikutsertakan tokoh masyarakat. Di dalam proses diversi tokoh masyarakat sangat penting, karena dengan mengikutsertakan tokoh masyarakat dapat memenuhi hak-hak anak dan memberikan keterangan guna menyelesaikan perkara anak yang berhadapan dengan hukum pidana. Seperti telah dikemukakan di muka, peran tokoh masyarakat untuk dilibatkan dalam proses peradilan pidana anak disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 yang berbunyi: Kesepakatan Diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat 53. Faktor yang paling mempengaruhi pertimbangan pihak kepolisian untuk mengikutsertakan tokoh masyarakat dalam proses diversi yang diterapkan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum pidana adalah faktor 53 Lihat isi Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 11 tahun 2012 66

keberhasilan penegakan hukum, karena tokoh masyarakat memiliki posisi yang tinggi dalam struktur kemasyarakatan dan memiliki peranan sebagai golongan panutan dalam masyarakat. Walaupun peran tokoh masyarakat sangat diharapkan dalam keberhasilan proses diversi dalam penyelesaian perkara pidana, namun dalam realita, keterlibatan mereka hampir tidak ada. Berikut hasil wawancara antara penulis dengan Brigpol Unit PPA Polres Semarang, yaitu: Mengenai pertimbangan kepolisian untuk mengikutsertakan Tokoh Masyarakat dalam proses diversi untuk perkara anak sebenarnya dilakukan agar proses diversi bsa berlangsung dengan lebih cepat dan berhasil dengan baik. Namun dalam realita, pelibatan tokoh masyarakat ini sangat jarang sekali bisa dikatakan tidak ada, cuma terkadang polisi menawarkan apakah dari pihak tersangka dan pihak korban mau melibatkan pihak lain atau tidak, termasuk pihak tokoh masyarakat. Jika dari pihak tersangka maupun pihak korban mau, siapa saja dipersilahkan, contohnya seperti RT, RW, tokoh agama, tetangga, atau guru bila anak itu masih bersekolah. Namun jika ada yang mau, maka harus disertai surat kesepakatan dari pihak tersangka dan korban 54. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peran ikut serta tokoh masyarakat dalam proses diversi untuk anak yang berkonflik dengan hukum sangat kurang bahkan dapat dikatakan tidak ada. Padahal tokoh masyarakat memiliki pengaruh besar terhadap ketertiban dan keamanan serta kedamaian yang ada dalam masyarakat. Sudah seharusnya tokoh masyarakat bisa memberikan bantuan penyelesaian terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum pidana. Bantuan tersebut dapat berupa pemberian pengayoman kepada anak tersebut agar tidak merasa tertekan dan memberikan keterangan 54 Hasil wawancara dengan Brigpol Septri Kartikawati, pada hari senin, tanggal 19 Maret 2018. 67

yang selengkapnya dan tokoh masyarakat dapat pula berperan sebagai mediator dalam suatu perkara. Lebih lanjut lagi, penulis mewawancarai Brigpol Unit PPA Polres Semarang yang menangani perkara anak-anak mengenai pihak keluarga dalam mengikutsertakan tokoh masyarakat dalam proses diversi yang diterapkan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum pidana, yaitu: Banyak kasus anak yang diproses secara diversi melibatkan pihak keluarga karena pihak keluarga adalah pihak yang memberikan persetujuan. Tetapi pihak keluarga tersangka maupun pihak korban tidak menghendaki adanya ikut serta tokoh masyarakat. Jadi anakanak tersebut hanya didampingi oleh orang tuanya. Umumnya tokoh masyarakat tidak dilibatkan oleh pihak keluarga adalah karena rasa malu dan ketidakpercayaan bahwa tokoh ini mampu menjaga kerahasiaan perkara 55. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dukungan pihak keluarga dalam melibatkan peran tokoh masyarakat dalam kasus anak yang berhadapan dengan hukum pidana juga kurang. Hal ini dapat dilihat dari pihak keluarga tersangka maupun korban yang tidak menghendaki adanya peran pihak lain. Kurangnya hal tersebut dapat dikarenakan pihak keluarga tidak percaya akan tokoh masyarakat dalam menjaga kerahasiaan mengenai tindak pidana yang telah dilakukan oleh anak dan adanya rasa malu karena jika seorang anak terlibat kasus pidana, maka dianggap sebagai suatu aib. Kita mengerti bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial sesuai dengan prinsip-prinsip Konvensi hak-hak anak. Berkaitan dengan hal itu Balai Pemasyarakatan memiliki kekuatan untuk menentukan keputusan yang 55 Hasil wawancara dengan Brigpol Septri Kartikawati, pada hari senin, tanggal 19 Maret 2018 68

terbaik bagi anak, baik dalam penelitian kemasyarakatan maupun dalam pembimbingan. Selain itu Bapas juga bertugas untuk membantu memperlancar tugas polisi dan membimbing anak yang berkonflik dengan hukum. Oleh karena itu, penulis juga melakukan wawancara dengan Balai Pemasyarakatan di Semarang terkait pertimbangan pihak Bapas mengikutsertakan Tokoh Masyarakat dalam proses diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum pidana, sebagai berikut: Bapas memandang perlu adanya ikut serta tokoh masyarakat, terutama dari kedua belah pihak tokoh masyarakat yang dekat dengan tersangka dan korban. Karena dengan adanya tokoh masyarakat solusi masalah lebih mudah ditemukan. Kita juga harus mengetahui siapa yang bertindak sebagai fasilitator atau mediator, bila kedua belah pihak tersebut tidak menghadirkan tokoh masyarakat maka Bapas hanya bisa menyampaikan saja sesuai dengan ketentuan yang ada bahwa pihak keluarga dapat mengikutsertakan pihak lain atau mungkin tokoh masyarakat yang disegani. Pilihan tetap ada pada para pihak 56. Terkait pertimbangan pihak Bapas untuk mengikutsertakan tokoh masyarakat dalam proses diversi terhadap anak dapat dikatakan sudah sesuai dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 dengan mengikutsertakan tokoh masyarakat dalam proses diversi, namun menurut fakta yang terjadi hal tersebut belum sesuai karena tokoh masyarakat sendiri umumnya tidak dapat dihadirkan. Balai Pemasyarakatan di Semarang juga memberikan penjelasan mengenai siapa saja yang sekiranya dapat dilibatkan sebagai tokoh masyarakat, yaitu: 56 Hasil wawancara dengan Didik Risdiyanto, Pembimbing Kemasyarakatan dan Registrasi BKA Balai Pemasyarakatan Kelas I Kota Semarang, pada hari selasa, tanggal 20 Maret 2018. 69

Rata-rata yang sering terlibat dalam proses diversi terhadap anak adalah aparat pemerintah. Seharusnya tokoh masyarakat seperti tokoh agama atau ustad di lingkungan anak tersebut dapat diikutsertakan, karena ia disegani oleh lingkungannya, sehingga dapat dihadirkan untuk membantu penyelesaian perkara. Demikian pula apabila anaknya masih sekolah, maka dihadirkan guru atau kepala sekolahnya terkait untuk pengawasan anak tersebut saat di sekolah 57. Saat hendak melibatkan tokoh masyarakat, biasanya pihak Bapas juga melihat apakah tokoh masyarakat memiliki waktu atau tidak untuk hadir dalam mencarikan solusi, karena umumnya tokoh masyarakat adalah orang yang cukup sibuk, sehingga hal ini dianggap akan menyita waktu mereka. Berikut hasil wawancara mengani hal ini: Perlu pula dipahami bahwa keterlibatan tersebut juga sangat tergantung dari tingkat kepedulian tokoh masyarakat itu. Selain itu, ada kemungkinan tokoh masyarakat ini juga enggan atau pekewuh dengan pihak keluarga karena dapat dianggap mencampuri masalah keluarga orang. Berbeda dengan Guru, biasanya mereka tidak keberatan karena mereka mengenai anak secara personal di kelas 58. Tokoh Masyarakat dibagi menjadi 2, yaitu: 1. Tokoh Masyarakat Formal adalah Tokoh masyarakat yang ditokohkan karena jabatannya atau kedudukannya: a. Gubernur b. Bupati c. Kepala Desa/ Lurah d. Ketua RT/RW e. Camat, dan lain-lain 57 Hasil wawancara dengan Didik Risdiyanto, Pembimbing Kemasyarakatan dan Registrasi BKA Balai Pemasyarakatan Kelas I Kota Semarang, pada hari Selasa, tanggal 20 Maret 2018. 58 Hasil wawancara dengan Didik Risdiyanto, Pembimbing Kemasyarakatan dan Registrasi BKA Balai Pemasyarakatan Kelas I Kota Semarang, pada hari Selasa, tanggal 20 Maret 2018. 70

2. Tokoh Masyarakat Informal adalah masyarakat yang ditokohkan di lingkungan, karena kemampuan, pengaruh, dan posisinya yang diakui oleh masyarakatnya yaitu: a. Tokoh agama b. Tokoh guru c. Tokoh perempuan, dan lain-lain. Dengan demikian, dari apa yang diungkapkan di atas, dalam praktik penyelesaian perkara pidana, utamanya dengan proses diversi, keterlibatan tokoh masyarakat yang selama ini diharapkan dapat membantu tidak dapat diterapkan karena beberapa hal yakni keengganan pihak keluarga, dimana keterlibatan tokoh masyarakat justru dapat mempermalukan keluarga dan kurangnya rasa kepercayaan bahwa tokoh masyarakat nantinya tidak dapat menjaga kerahasiaan anak yang terlibat kasus pidana. C. Peran Tokoh Masyarakat dalam Proses Diversi yang Diterapkan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum Pidana Perlindungan dan keadilan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum pidana membutuhkan peran tokoh masyarakat, karena tokoh masyarakat menduduki posisi penting dan dianggap mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat termasuk anak-anak. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 93 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan bahwa adanya peran serta masyarakat dalam perlindungan anak, yaitu: 71

1. Menyampaikan laporan terjadinya Pelanggaran hak Anak kepada pihak yang berwenang; 2. Mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan Anak; 3. Melakukan penelitian dan pendidikan mengenai Anak; 4. Berpartisipasi dalam penyelesaian perkara Anak melalui Diversi dan pendekatan Keadilan Restoratif; 5. Berkontribusi dalam rehabilitasi dan reintegrasi sosial anak, anak korban dan/atau anak saksi melalui organisasi kemasyarakatan; 6. Melakukan pemantauan terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam penanganan perkara anak; atau 7. Melakukan sosialisasi mengenai hak anak serta peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan anak. Berikut hasil wawancara penulis dengan Balai Pemasyarakatan di Semarang mengenai peran tokoh masyarakat, sebagai berikut: Tokoh masyarakat sangat berperan bagi anak yang berperkara, karena berdasarkan intensitas waktu tokoh masyarakat lebih banyak tinggal di lingkungan tempat si anak walaupun tidak setiap saat. Dengan demikian, mereka dianggap lebih memahami anak ini seperti apa. Pengaruh tokoh masyarakat tidak hanya pada anak saja tetapi juga orang tua dari pihak tersangka dan korban 59. Dari hasil wawancara dengan Bapas di Semarang, peran tokoh masyarakat untuk mendampingi anak-anak yang berperkara sudah tepat dan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yang menetapkan 59 Hasil wawancara dengan Didik Risdiyanto, Pembimbing Kemasyarakatan dan Registrasi BKA Balai Pemasyarakatan Kelas I Kota Semarang, pada hari Selasa, tanggal 20 Maret 2018. 72

adanya peran tokoh masyarakat untuk membantu menyelesaikan perkara. Namun demikian, ternyata dalam realita, peran ini belum dapat dilaksanakan dengan baik dikarenakan adanya beberapa hal sebagaimana telah disebutkan di atas yaitu ketakutan pihak keluarga bahwa tokoh masyarakat dapat menjaga kerahasiaan mengenai tindak pidana yang telah dilakukan oleh anak dan adanya rasa malu yang akan timbul dalam keluarga karena jika seorang anak terlibat kasus pidana, maka oleh keluarga, hal tersebut masih dianggap sebagai suatu aib atau sesuatu yang harus dijaga kerahasiaannya. Menurut hemat Penulis, pelibatan tokoh masyarakat sebagai tokoh yang disegani dalam masyarakat memang dibutuhkan, namun hal ini tentu saja harus dikembalikan kepada kemauan pihak keluarga. Dengan berpedoman bahwa penyelesaian perkara tindak pidana anak harus mengutamakan asas the best interest of the child atau asas kepentingan terbaik anak, jika hal tersebut justru dianggap akan merugikan anak, maka prinsip kepentingan terbaik anaklah yang harus digunakan. D. Hambatan-hambatan yang Timbul Sehubungan dengan Keterlibatan Tokoh Masyarakat dalam Proses Diversi yang Diterapkan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum Pidana Hambatan-hambatan dalam proses penegakan hukum sering terjadi dan dapat disebabkan karena hambatan internal dan eksternal. Demikian pula hambatan dalam pelaksanaan diversi pasti sering terjadi. Oleh karena itu, penulis mewawancarai Brigpol Unit PPA Polres terkait hambatan-hambatan 73

yang timbul dalam keterlibatan tokoh masyarakat pada proses diversi terhadap perkara anak. Adapun hambatan internal yang dihadapi dalam melibatkan Tokoh Masyarakat menurut Brigpol Unit PPA Polres tidak ada, karena mereka biasanya sebelum proses diversi berlangsung, mereka memberitahukan dan meminta informasi pada pihak keluarga pihak mana yang akan dilibatkan dalam proses diversi. Hal ini berdasarkan hasil wawancara sebagai berikut: Dari pihak Polres sendiri tidak ada hambatan apa-apa. Biasanya kami memberitahukan segala informasi yang terkait proses diversi, termasuk menanyakan pihak mana saja yang akan dilibatkan dalam proses diversi tersebut, termasuk jika ada pihak lain seperti Guru misalnya yang akan dilibatkan dalam proses tersebut. Namun jika keluarga tidak menghendaki, maka pihak Polres tidak dapat memaksa. Jadi hal ini akan berpulang pada keputusan pihak keluarga, baik keluarga tersangka maupun korban 60. Dengan demikian, ada satu hambatan eksternal yakni dari pihak keluarga. Adapun hambatan eksternal yang dihadapi dalam melibatkan Tokoh Masyarakat dari segi tokoh masyarakat itu sendiri menurut Brigpol Unit PPA Polres adalah sebagai berikut: Hambatan dalam proses diversi yang mungkin terjadi adalah tidak bersedianya tokoh masyarakat untuk ikut serta dalam perkara anak. Jika ada yang bersediapun, kemungkinan hambatan itu lebih ke waktu saat mengumpulkan tokoh masyarakat tersebut, karena kebanyakan tokoh masyarakat terikat dalam urusan pekerjaan 61. Adapun menurut pihak Bapas, hambatan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 60 Hasil wawancara dengan Brigpol Septri Kartikawati pada hari Senin, tanggal 19 Maret 2018 61 Hasil wawancara dengan Brigpol Septri Kartikawati pada hari Senin, tanggal 19 Maret 2018 74

Hambatan bisa terjadi karena faktor kurangnya pendekatan ke korban, jadi tokoh masyarakat bisa terlibat apabila ada persetujuan dari pihak korban dan keluarga korban. Kepedulian tokoh masyarakat terhadap perkara anak melalui proses diversi masih kurang, karena kurang pahamnya hukum 62. Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa dalam proses diversi tidak jarang dijumpai hambatan-hambatan. Hambatan tersebut salah satunya adalah tokoh masyarakat yang tidak melaksanakan perannya atau posisinya saat proses diversi berlangsung dan pendekataan hubungan antara tokoh masyarakat dengan korban yang kurang. Menurut penulis, kepedulian tokoh masyarakat terhadap anak yang berkonflik dengan hukum haruslah ditingkatkan dengan cara pemerintah memberikan penyuluhan kepada tokoh masyarakat mengenai kebutuhan khusus yang diperlukan untuk menyelesaiakan kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Sehingga tokoh masyarakat sebagai salah satu pihak yang dapat memberikan dampak positif bagi anak dalam proses diversi dapat dioptimalkan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 93 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dimana peran serta masyarakat dalam perlindungan anak, yaitu: 1. Menyampaikan laporan terjadinya Pelanggaran hak Anak kepada pihak yang berwenang; 2. Mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan Anak; 3. Melakukan penelitian dan pendidikan mengenai Anak; 62 Hasil wawancara dengan Brigpol Septri Kartikawati dan Didik Risdiyanto, Pembimbing Kemasyarakatan dan Registrasi BKA Balai Pemasyarakatan Kelas I Kota Semarang, pada hari i Selasa, tanggal 20 Maret 2018. 75

4. Berpartisipasi dalam penyelesaian perkara Anak melalui Diversi dan pendekatan Keadilan Restoratif; 5. Berkontribusi dalam rehabilitasi dan reintegrasi sosial anak, anak korban dan/atau anak saksi melalui organisasi kemasyarakatan; 6. Melakukan pemantauan terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam penanganan perkara anak; atau 7. Melakukan sosialisasi mengenai hak anak serta peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan anak. Seperti telah dijelaskan dalam Bab sebelumnya yakni Bab II tentang Tinjauan Pustaka, Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, dinataranya faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor fasilitas berupa sarana dan prasarana serta faktor budaya hukum dan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa hambatan yang timbul sehubungan dengan upaya pelibatan tokoh masyarakat dalam proses penegakan hukum, khususnya diversi bagi anak yang berkonflik dengan hukum pidana, maka menurut hemat Penulis, faktor yang terbesar adalah faktor hukum dimana seharusnya pasal tentang pelibatan tokoh masyarakat dirumuskan secara lebih rinci apabila sesuai dengan asas kepentingan terbaik anak atau the best interest of the child dan faktor budaya atau masyarakat yakni pihak keluarga pelaku dan korban belum paham akan pentingnya melibatkan tokoh masyarakat karena kurang rasa percaya terhadap tokoh masyarakat. 76

Walaupun dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2012, telah disebutkan bahwa tokoh masyarakat dapat dilibatkan dalam proses diversi, namun seharusnya pasal tersebut juga mempertimbangkan asas yang terpenting dalam penanganan masalah anak yang berkonflik dalam hukum pidana yakni asas kepentingan terbaik anak atau the best interest of the child. Jika pelibatan tokoh dirasakan tidak sesuai dengan asas tersebut, maka tokoh masyarakat ini tidak perlu dilibatkan. Oleh sebab itu, mengingat sulitnya mengamandemen undang-undang, maka sebaiknya ada peraturan teknis yang mengatur tentang diversi yang berbunyi keterlibatan tokoh masyarakat akan dipertimbangkan dengan memperhatikan asas kepentingan terbaik bagi anak. Untuk hambatan lain yakni dari masyarakat, terutama keluarga korban dan pelaku yang tidak menginginkan adanya keterlibatan tokoh masyarakat dalam proses penyelesaian perkara, hal ini menurut Soerjono Soekanto adalah berasal dari faktor budaya atau masyarakat itu sendiri. Masyarakat masih enggan untuk melibatkan tokoh masyarakat karena kurangnya pemahaman mereka terhadap kegunaan hukum itu sendiri. Selain itu ada faktor budaya yakni rasa malu dan kurangnya kepercayaan terhadap tokoh masyarakat, terutama untuk menjaga kerahasiaan kasus. Hal ini menurut Soerjono Soekanto adalah salah satu faktor yang menghambat penegakan hukum yakni dari faktor budaya. Sejalan dengan apa yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) tentang pelibatan tokoh masyarakat dalam kesepakatan diversi dan Pasal 93 Undang- 77

Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak butir 4 yakni adanya peran serta masyarakat (termasuk tokoh masyarakat) dalam perlindungan anak, maka seharusnya tokoh masyarakat sebagai pihak yang disegani dapat membantu serta berpartisipasi dalam penyelesaian perkara Anak melalui Diversi dan pendekatan Keadilan Restoratif. Kepada tokoh masyarakat juga perlu diberikan pemahaman tentang pentingnya menjaga kerahasiaan kasus dalam penyelesaian diversi atau penyelesaian perkara pidana yang dihadapi anak, sehingga peran mereka dapat terus ditingkatkan. 78