PENGALAMAN REMAJA PEREMPUAN KORBAN BROKEN HOME (Studi Kualitatif Fenomenologis)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan menjadi tempat yang penting dalam perkembangan hidup seorang manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara fisik maupun psikologis. Menurut BKKBN (2011 ), keluarga adalah unit

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. kedudukan yang primer dan fundamental. Pengertian keluarga disini berarti nuclear family

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

BAB I PENDAHULUAN. penuh kedamaian, kesejukan, dan ketenangan lahir batin dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki

1.1 Latar Belakang Masalah

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

BAB I PENDAHULUAN. sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal (Kartono, 2013:6).

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kelompok yang disebut keluarga (Turner & Helmes dalam Sarwono & Weinarno,

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan pertumbuhan tersebut, salah satu fase penting dan menjadi pusat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan kesempatan untuk pertumbuhan fisik, kognitif, dan psikososial tetapi juga

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. faktor yang secara sengaja atau tidak sengaja penghambat keharmonisan

BAB I PENDAHULUAN. fungsi utamanya dapat dipisahkan satu sama lain. Keluarga. dengan baik maka akan terjadi suatu ketimpangan antar anggota keluarga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

POLA ASUH KELUARGA BROKEN HOME DALAM PROSES PERKEMBANGAN ANAK DI DESA SUMBEREJO, KECAMATAN MADIUN, KABUPATEN MADIUN ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. proses kultural budaya di masa lalu, kini telah berganti sebab. Di masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahasan dalam psikologi positif adalah terkait dengan subjective well being individu.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB II TINJAUAN TEORITIS

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kasus perceraian di Indonesia saat ini bukanlah menjadi suatu hal yang asing

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menyebut seseorang yang pergi dari kampung halamannya untuk menetap serta

KOMITMEN PERNIKAHAN PADA PASANGAN SUAMI ISTRI YANG SUAMINYA MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung

BAB I PENDAHULUAN. yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada usia ini individu

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal ini adalah rumah tangga, yang dibentuk melalui suatu perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang dapat dicapai oleh individu. Psychological well-being adalah konsep keberfungsian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan terpenting bagi

BAB I PENDAHULUAN. bernilai, penting, penerus bangsa. Pada kenyataannya, tatanan dunia dan perilaku

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak apabila dapat memilih, maka setiap anak di dunia ini akan

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

BAB I PENDAHULUAN. proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan

BAB I PENDAHULUAN. pemberian rangsangan pendidikan lebih lanjut (Depdiknas, 2011). Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk

TAHAP-TAHAP KEHIDUPAN / PERKEMBANGAN KELUARGA

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. selesaikan oleh individu untuk kemudian di lanjutkan ketahapan berikutnya.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

STRATEGI COPING IBU DALAM MENJALANI PERAN SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mutia Ramadanti Nur,2013

KEPRIBADIAN TANGGUH PADA SISWA KORBAN KEKERASAN TEMAN SEBAYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dari hasil pembahasan pada bab IV, oleh peneliti rumuskan suatu. kesimpulan, kesimpulan umum dan kesimpulan khusus.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang bahagia. Kebahagiaan menjadi harapan dan cita-cita terbesar bagi setiap

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia telah mencapai angka yang cukup tinggi sebagaimana dipaparkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau adolesense adalah periode perkembangan selama individu

BAB V PEMBAHASAN. mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

PERKEMBANGAN PSIKOLOGIS ANAK USIA DINI KORBAN BROKEN HOME

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini setiap individu pasti pernah mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

Transkripsi:

PENGALAMAN REMAJA PEREMPUAN KORBAN BROKEN HOME (Studi Kualitatif Fenomenologis) Desi Wulandri Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro desiwulandri112@yahoo.co.id ABSTRAK Keluarga adalah suatu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup bersama dengan hubungan darah atau ikatan pernikahan. Perselisihan dalam keluarga dapat menimbulkan keretakan keluarga atau krisis keluarga atau broken home. Keadaan keluarga yang krisis dapat menimbulkan kerugian pada banyak pihak terutama pada anak. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui dan memahami pengalaman individu saat remaja yang menjadi korban broken home serta memberikan gambaran mengenai bagaimana remaja yang menjadi korban broken home dapat bertahan dan menjalani kehidupan. Metode digunakan adalah metode penelitian kualitatif fenomenologis dengan metode analisis eksplikasi data. Metode pengumpulan data penelitian ini menggunakan wawancara semiterstruktur. Partisipan dalam penelitian ini dipilih dengan teknik purposive. Partisipan berjumlah tiga orang, partisipan merupakan perempuan dan berusia remaja saat keadaan keluarga broken home. Temuan dari penelitian ini, ketiga partisipan dapat bertahan pada keadaan keluarga yang broken home karena adanya penerimaan diri yang positif. Ketiga subjek mengaku bahwa penerimaan diri yang muncul dipengaruhi oleh religiusitas dan dukungan emosional dari lingkungan. Ketiga subjek mampu membangun kemampuan resiliensi ditunjukkan dengan bangkit kembali dan memiliki harapan untuk masa depan. Kata kunci: Studi Kualitatif Fenomenologis, Keluarga, Broken home. 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga adalah suatu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup bersama dengan hubungan darah atau ikatan pernikahan. Berdasarkan Undang-undang No. 52 Tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga, Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Reis (dalam Lestari, 2012) menjelaskan keluarga merupakan kelompok kecil yang memiliki struktur dalam pertalian keluarga dan memiliki fungsi utama berupa sosialisasi pemeliharaan generasi baru. Friedman (dalam Suprajitno, 2004) menjelaskan keluarga adalah sekumpulan orang yang tinggal bersama dalam satu rumah yang dihubungkan dengan suatu ikatan aturan dan emosional serta setiap individunya memiliki peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga. Keluarga yang harmonis membentuk individu yang baik. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2008) suasana keluarga yang harmonis penuh dengan keakraban, saling pengertian, persahabatan, toleransi dan saling menghargai. Keadaan keluarga yang utuh dan bahagia, didalamnya ada ikatan kekeluargaan yang memberikan rasa aman dan tentram bagi setiap anggota keluarga. Keluarga yang harmonis memiliki hubungan baik antara ayah-ibu, ayah-anak, dan ibu-anak. Keluarga harmonis ditandai dengan komunikasi yang baik antara orangtua dengan anak, bapak dengan ibu, dan anak dengan anak. Komunikasi bersifat dua arah dan memiliki 2

3 kebebasan untuk mengemukakan pendapat tiap anggota keluarga. Keterbukaan dalam komunikasi antara anggota keluarga terjalin karena adanya sikap terbuka, jujur, saling memperhatikan dan mencintai, serta adanya sikap orangtua yang melindungi anak (Wahyurini & Ma shum, 2001). Keluarga harmonis atau keluarga sehat atau keluarga bahagia memiliki karakteristik menurut Stinet dan DeFrain (dalam Lestari, 2012) yakni, adanya komitmen, kesediaan untuk mengungkapkan apresiasi, terdapat waktu untuk berkumpul bersama, mengembangkan spiritualitas, memiliki ritme atau rutinitas, dan menyelesaikan konflik. Relasi dalam keluarga terjalin dimulai dengan pernikahan antara laki-laki dan perempuan dewasa yaitu relasi antara suami dan istri. Relasi suami istri menentukan warna bagi relasi lain di dalam keluarga (Lestari, 2012). Terdapat lima aspek yang paling menonjol yang dapat membedakan antara pasangan yang bahagia dan yang tidak bahagia yaitu komunikasi, fleksibilitas, kedekatan, kecocokan kepribadian, dan resolusi konflik (David & Amy dalam Lestari, 2012). Pada kehidupan keluarga, tidak sedikit terjadi suatu perselisihan dan keributan antara anggota keluarga. Hal tersebut dirasa wajar jika perbedaan pendapat di dalam keluarga karena terdapat pemikiran yang berbeda tiap anggota keluarga. Konflik dalam sebuah hubungan antarindividu merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri lagi, semakin tinggi saling ketergantungan semakin meningkat pula kemungkinan terjadinya konflik (Dwyer dalam Lestari, 2012). Disamping itu konflik dapat memberikan manfaat untuk perkembangan individu dalam meningkatkan pengertian sosial. Namun perselisihan atau bahkan konflik itu dapat

4 menimbulkan perceraian orangtua di dalam keluarga. Menurut Willis (2015) keluarga retak atau krisis adalah suatu keadaan keluarga dengan kondisi yang sangat labil dimana komunikasi dua arah dalam kondisi demokratis sudah tidak ada. Keluarga krisis dapat membawa pada perceraian suami-istri. Perceraian didalam keluarga menimbulkan kerugian pada banyak pihak terutama pada anak. Perceraian dapat diartikan sebagai pecahnya suatu unit keluarga atau retaknya struktur peran sosial saat satu atau beberapa anggota keluarga tidak dapat menjalankan kewajiban peran secukupnya. Perceraian berasal dari kata cerai yang artinya berpisah dan dikenal dengan istilah broken home. Willis (2015) menjelaskan bahwa broken home diartikan sebagai keluarga yang retak, yaitu kondisi hilangnya perhatian keluarga atau kurangnya kasih sayang dari orangtua yang disebabkan oleh beberapa hal, bisa karena perceraian sehingga anak hanya tinggal bersama satu orangtua kandung. Broken home dapat dilihat dari dua aspek, yaitu (1) Keluarga yang terpecah karena strukturnya tidak utuh sebab salah satu dari anggota keluarga meninggal atau telah bercerai, (2) Orangtua yang tidak bercerai, tetapi struktur keluarga itu tidak utuh lagi karena ayah atau ibu sering tidak dirumah dan atau tidak memperlihatkan hubungan kasih sayang lagi. Keluarga yang disebut broken home dapat memengaruhi tumbuh kembang anak dalam keluarga. Perkembangan anak dalam keluarga tergganggu dengan adanya masalah keluarga. Keluarga merupakan tempat yang penting untuk perkembangan anak dalam keluarga secara fisik, emosi, spriritual, dan sosial. Menurut hasil penelitian Saikia (2017) mengenai Broken family: Its causes and

5 effects on the development of children atau penyebab dan dampak dari broken home pada perkembangan anak menjelaskan bahwa salah satu penyebab keluarga broken home adalah perceraian orangtua. Padahal keluarga itu sendiri memiliki fungsi yang sangat penting bagi keberlangsungan masyarakat dari generasi ke generasi (Lestari, 2012). Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (dalam Purnawan, 2016) menjelaskan bahwa tahun 2013 angka perceraian Indonesia menduduki peringkat tertinggi di Asia Pasifik. Hal tersebut tidak kunjung menurun pada tahun-tahun berikutnya. Pusat Penelitian dan Pengembangan bersama Kementerian Agama pada tahun 2015 menyatakan bahwa angka perceraian di Indonesia meningkat (Anonim, 2017). Selama tahun 2010-2014 kasus perceraian di Indonesia meningkat dengan 100.000 kasus dibandingkan lima tahun sebelumnya. Perceraian secara langsung dan tidak langsung dapat memberikan dampak psikologis yang buruk bagi anak dalam keluarga. Dampak langsung yang dirasakan adalah perasaan kehilangan salah satu sosok orangtua yang biasanya mereka jumpai setiap hari. Hasil penelitian Loughlin (dalam Nasiri, 2016) menunjukkan bahwa anak-anak atau remaja yang menghadapi perceraian orangtuanya biasanya akan mengalami gejala gangguan kesehatan mental jangka pendek, yaitu stres, cemas, dan depresi. Seperti yang dilansir menurut healthmeup.com (dalam Kusumaningrum, 2015) terdapat delapan dampak bagi anak sebagai korban perceraian orangtuanya. Delapan dampak tersebut adalah penurunan akademik, kecenderungan untuk terpengaruh hal buruk, kualitas

6 kehidupan yang rendah, mengalami pelecehan, obesitas dan gangguan makan, tekanan psikologis, apatis dalam berhubungan, dan melakukan seks bebas. Hal tersebut dikuatkan oleh hasil penelitian Sarbini dan Kusuma (2014) mengenai kondisi psikologis anak dalam keluarga yang bercerai menjelaskan bahwa dampak yang dirasakan oleh anak korban perceraian orangtuanya antaralain; merasa tidak aman, adanya rasa penolakan dari keluarga, marah, sedih, kesepian, dan perasaan menyalahkan diri sendiri. Berdasarkan hasil penelitian yang sudah ada mayoritas menyatakan bahwa korban broken home memiliki sikap yang negatif. Seperti hasil penelitian Sukoco, Dino, dan Tri (2016) mengenai pengaruh broken home terhadap perilaku agresif yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh broken home terhadap perilaku agresif pada anak. Bentuk perilaku agresif tersebut antaralain tidak peduli pada lingkungan sekitar, anak yang berperilaku agresif tidak memiliki motivasi belajar, dan tidak saling bertegur sapa dengan teman maupun guru. Kemudian menurut hasil penelitian Saikia (2017) mengenai broken family: Its causes and effects on the development of children menjelaskan dampak keluarga broken home pada anak yaitu, anak menjadi merasa insecure, anak buruk dalam tata krama, anak rentang akan memiliki amarah atau depresi, rentang akan memiliki keinginan untuk balas dendam, rentang untuk memilih pelarian pada minuman beralkohol, kriminal, atau narkoba, serta anak kehilangan ketertarikan dan tujuan pada hidupnya.

7 Dari beragam permasalahan yang dialami oleh anak dalam keluarga yang broken home, masa setelah perceraian merupakan periode paling sulit bagi anak (Ihrom dalam Hadianti, Nunung, & Rudi, 2017). Keadaan tersebut menuntut anak untuk dapat mengembangkan kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi setelah keadaan krisis dalam keluarga dan setelah perceraian orangtua. Adanya stigma di masyarakat mengenai individu yang berasal dari keluarga broken home. Tidak sedikit yang memberikan stigma bahwa tindakan kenakalan remaja banyak dilakukan oleh remaja dengan latar belakang broken home. Seperti penelitian Nadeak (2014) yang menjelaskan faktor eksternal sangat dominan untuk memengaruhi kenakalan remaja yaitu perceraian orangtua, kurangnya komunikasi orangtua dengan anak, pola asuh orangtua yang salah, pengaruh teman dan dorongan keluarga dan lingkungan sosial. Hal ini membuat masyarakat menggeneralisasikan remaja dengan latar belakang keluarga yang krisis sudah pasti melakukan tindakan yang menyimpang atau kenakalan remaja. Menjadi anak dari keluarga yang krisis atau broken home tidak selalu buruk. Tidak menutup kemungkinan latar belakang keluarga krisis atau broken home tersebut dapat dipandang dari sisi yang lebih positif. Ada hikmah yang dapat diambil sebagai motivasi bagi korban broken home untuk menjadi individu yang lebih positif. Sikap mandiri yang tercipta karena tuntutan beradaptasi dengan keadaan hidup yang harus dijalani tanpa perhatian dari orangtua. Sikap kedewasaan biasanya muncul pada diri korban keluarga broken home karena terbiasa menghadapi masalah sendiri dan bertanggungjawab atas dirinya sendiri.

8 Seperti contohnya, Presiden Indonesia ke-6, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono atau biasa dikenal SBY. SBY mengalami masa-masa dimana orangtuanya bercerai ketika beliau duduk dibangku kelas satu SMA (Ananda, 2014). Berikutnya Presiden berkulit hitam pertama di Amerika Serikat, Barrack Obama dan presenter terkenal, Oprah Winfrey juga berasal dari keluarga yang broken home (Arthinkle, 2014). Sebagai seseorang dengan latar belakang keluarga yang krisis atau broken home justru membentuk mereka menjadi individu yang dapat berprestasi. Dari contoh tokoh tersebut menunjukan bahwa latar belakang keluarga krisis atau broken home tidak selalu membuat seseorang terpuruk berkepanjangan atau memilih melakukan tindakan yang menyimpang. Berdasarkan hasil penelitian Mohi (2015) mengenai positive outcomes of divorce: A multi-study on the effects of parental divorce on children atau hasil positif dari perceraian: Sebuah multi-studi pada efek perceraian orangtua pada anak-anak, menemukan bahwa banyak orang dewasa awal yang mengalami efek positif setelah perceraian dan hasil tersebut tergantung pada berbagai faktor keluarga dan sosial yang membentuk pengalaman perceraian. Meskipun, mayoritas penelitian mengenai anak-anak korban perceraian terus mengeksplorasi efek negatif daripada efek positif. Adapun menurut hasil penelitian Primasti dan Aryani (2013) mengenai dinamika psychological well-being pada remaja yang mengalami perceraian orangtua ditinjau dari family conflict yang dialami, menjelaskan mayoritas partisipan pada penelitian tersebut berujung pada psychological well-being yang tinggi, hal ini disebabkan karena partisipan dituntut untuk mandiri dan berpikir

9 dewasa dengan masalah yang ada. Pada partisipan yang tidak dapat mengelola lingkungan dengan baik menjadi individu yang pergaulannya bebas dan suka mabuk-mabukkan akan berujung pada psychological well-being yang rendah. Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa broken home dapat berdampak negatif maupun positif bagi seseorang dari keluarga yang broken home. Seperti pada penelitian oleh Saika (2017), Sarbini dan Kusuma (2014), Sukoco dkk (2016), dan Aziz (2015) yang menyatakan bahwa dampak yang dirasakan oleh anak korban broken home atau di dalam bahasannya perceraian orangtuanya adalah perasaan tidak aman, perasaan penolakan dari keluarga, perilaku agresif, hingga perilaku sosial anak yang bermasalah. Lalu penelitian yang dilakukan oleh Mohi (2015) dan Primasti (2013) menemukan banyak orang dewasa awal yang mengalami efek positif setelah perceraian dan remaja yang mengalami perceraian orangtua memiliki psychological well-being yang tinggi, tetapi hal ini tergantung pada berbagai faktor. Mayoritas penelitian mengenai anak sebagai korban broken home atau di dalam bahasannya adalah perceraian, akan mengeksplor dampak negatif daripada dampak positif. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana remaja dengan latar belakang broken home dapat bertahan pada keadaan keluarganya dan dapat melanjutkan hidupnya. Penelitian ini akan memfokuskan pada pengalaman remaja perempuan pada keadaan keluarga yang broken home.

10 B. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan utama yang mendasari penelitian ini adalah bagaimana pengalaman seorang remaja perempuan korban broken home dapat bertahan. Berdasarkan pertanyaan utama tersebut peneliti dapat mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang dapat membantu dalam mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan penelitian ini. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana pengalaman remaja perempuan sebagai korban keluarga broken home dapat bertahan. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam bidang psikologi keluarga dan psikologi sosial, terutama mengenai pengalaman remaja dengan kondisi kelaurga broken home dapat bertahan. 2. Manfaat Praktis Penelitian diharapkan dapat berguna bagi pembacanya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi peneliti lain. Memberi informasi tambahan bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian pada kajian yang sama.

11