II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Deskripsi Puyuh Burung puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang, ukuran tubuh relatif kecil, berkaki pendek dan dapat diadu. Burung puyuh disebut juga Gemak (Bhs. Jawa-Indonesia). Bahasa asingnya disebut quail, merupakan bangsa burung (liar) yang pertama kali diternakkan di Amerika Serikat tahun 1870 dan terus dikembangkan ke penjuru dunia. Puyuh di Indonesia mulai dikenal dan diternak sejak akhir tahun 1979. Kini mulai bermunculan di kandang-kandang ternak yang ada di Indonesia. Sentra peternakan burung puyuh banyak terdapat di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah (Tim Karya Tani Mandiri, 2009). Burung puyuh yang banyak diternakkan di Indonesia adalah burung puyuh asli Jepang. Burung puyuh ini banyak diternakkan untuk diambil telurnya karena produktivitas telurnya tinggi, sekitar 250-300 butir/ekor/tahun. Sebelum diternakkan, burung puyuh ini termasuk burung liar yang menghuni hutan dan hidup perpindah-pindah. Bobot rata-rata seekor puyuh Coturnix coturnix japonica sekitar 150 gram. Puyuh betina akan mulai bertelur pada umur 41 hari. Puncak produksinya terjadi pada umur lima bulan dengan persentase bertelur rata-rata 76 kali. Puyuh umur diatas 14 bulan, produktivitasnya akan menurun dengan persentase bertelur kurang dari 50 kali, kemudian sama sekali berhenti bertelur saat berumur 2,5 tahun atau 30 bulan (Tetty, 2002). Klasifikasi ilmiah puyuh sebagai berikut (Wuryadi, 2013): Kingdom : Animalia
8 Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus Spesies : Chordata : Aves : Galliformes : Phasianidae : Perdicinae : Coturnix : Coturnix coturnix japonica Sexing pada burung puyuh umumnya dilakukan pada umur 3 minggu. Pada umur tersebut dengan mudahnya peternak dapat membedakan puyuh jantan dan puyuh betina hanya dengan melihat warna bulu (down/feather colour). Warna bulu puyuh betina pada bagian leher dan dada bagian atas warnanya lebih terang serta terdapat totol-totol cokelat tua, sedangkan puyuh jantan bulu dadanya berwarna cinnamon/cokelat muda (Vali dan Doosti, 2011). Cara lain untuk sexing yaitu dengan cara melihat lubang kloakanya, perabaan atau pemeriksaan dilakukan dengan jari sampai ditemukan tonjolan atau lipatan pada dinding kloaka. Jika ada tonjolan puyuh tersebut berjenis kelamin jantan. Bentuk tonjolan pada puyuh jantan seperti bentuk jantung (Indarto, 2011). 1.2 Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan sangat berkaitan dengan kualitas dan kuantitas ransum. Pertambahan bobot badan dapat mengalami perlambatan apabila konsumsi ransum dibawah kebutuhan konsumsi standar (Uzer, dkk., 2013). Pertambahan bobot badan mencakup pertambahan dalam bentuk jaringan pembangun seperti urat daging, tulang, jantung, otak, dan semua jaringan tubuh lainnya, dalam hal ini tidak termasuk penggemukan, karena penggemukan merupakan pertambahan dalam bentuk lemak (Anggorodi, 1994). Menurut Fahrudin, dkk. (2016) bahwa
9 pertambahan bobot badan diperoleh dari perbandingan antara selisih dari bobot akhir dan bobot awal dengan lamanya pemeliharaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertambahan bobot badan pada unggas adalah tipe ternak, suhu lingkungan, jenis ternak dan gizi yang ada dalam ransum (Suharno dan Nazaruddin, 1994). Tabel 1 menunjukan bahwa bobot badan DOQ puyuh Padjadjaran galur cokelat adalah 7,41 g, sedangkan bobot badan umur 6 minggu adalah 141,22 g (Anang, dkk., 2017a). Tabel 1. Rataan Bobot Badan Puyuh Umur 0-6 Minggu Umur Bobot Badan...minggu......gram/ekor/minggu... 0 7,41 1 19,29 2 36,62 3 66,49 4 91,13 5 120,82 6 141,22 Sumber: Anang, dkk. (2017a) 2.4 Performa Pertumbuhan dan Kurva Pertumbuhan Performa merupakan penilaian suatu tindakan untuk mengumpulkan informasi tentang bentuk perilaku yang diharapkan muncul dari ternak yang dijadikan objek dalam penelitian (Ensminger, 1992). Performa juga diartikan sebagai bentuk penilaian pada ternak yang dijadikan objek untuk mendapatkan informasi terkait berbagai perilaku yang memiliki sesuai dengan kriteria yang diinginkan (North dan Bell, 1990). Pertumbuhan umumnya dinyatakan dengan pengukuran kenaikan bobot badan yang dengan mudah dilakukan melalui
10 penimbangan pertumbuhan bobot badan setiap hari dan minggunya (Tillman, dkk., 1986). Pertumbuhan unggas dipengaruhi oleh faktor genetik, masing-masing ternak mempunyai kemampuan tumbuh yang berbeda-beda berdasarkan umur dan jenis kelaminnya (Anggorodi, 1995). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, puyuh akan mengalami pertumbuhan yang cepat pada fase grower (umur 2-5 minggu) yaitu ditunjukkan dengan pertambahan bobot badan dan kadar hormon pertumbuhan yang meningkat (Wiwit, dkk., 2014). Pengukuran pertumbuhan ternak didasarkan pada kenaikan bobot tubuh per satuan waktu tertentu, yang dinyatakan sebagai rataan pertambahan bobot badan per hari atau rataan kadar laju pertumbuhan. Berdasarkan umur, puyuh dibedakan dalam tiga periode sebagai berikut: 1) Periode starter, periode ini puyuh berumur satu hari hingga 2-3 minggu (Listiyowati dan Roospitasari, 2005). 2) Periode grower, disebut juga puyuh dara. Periode ini puyuh berumur 21-31 hari atau pra-produksi, puyuh sudah bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga pada fase ini lebih rendah jika dibandingkan dengan fase starter. 3) Periode layer, periode puyuh menghasilkan telur sekitar umur 42 hari atau 6 minggu jumlah telur yang dihasilkan kontinu hingga puncak produksi setelah itu akan menurun secara perlahan hingga afkir (Wuryadi, 2013). Pola pertumbuhan tubuh secara normal merupakan gabungan dari pola pertumbuhan semua komponen penyusunnya. Pola pertumbuhan sebagai bentuk yang sederhana dengan laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada kehidupan awal, kemudian mengalami peningkatan secara perlahan sampai mencapai konstan saat
Bobot Badan (gram) 11 ternak tua (Lawrence dan Fowler, 2002). Ketika bobot badan selama hidup diplotkan sebagai fungsi dari umur atau waktu, ternak memproduksi sebuah kurva karakteristik pertumbuhan yang berbentuk kurva pertumbuhan sigmoid karena menyerupai huruf "S". Kurva pertumbuhan sigmoid terbentuk karena umur tidak menyebabkan peningkatan bobot tubuh, tetapi memberikan kesempatan kepada ternak untuk tumbuh mencapai dewasa dan berinteraksi dengan lingkungan (Karnaen, 2007).... betina jantan Ilustrasi 1. Nilai Rata-Rata Bobot Mingguan Puyuh Jepang Betina dan Jantan (Kaplan dan Gürcan, 2018). Ilustrasi 1 merupakan bentuk dari kurva pertumbuhan aktual puyuh Jepang jantan dan betina. Kurva tersebut menggambarkan bahwa tidak ada perbedaan antara jantan dan betina dalam hal bobot badan di tiga minggu pertama. Berdasarkan Ilustrasi 1, bobot badan puyuh Jepang betina lebih tinggi dari jantan, hal tersebut terlihat pada umur 21-28 hari dan bertahan hingga penelitian selesai dilakukan (Kaplan dan Gürcan, 2018). Umur (Hari)
Bobot Badan (gram) 12 Hitam - - - Cokelat Umur (Minggu) Ilustrasi 2. Bobot Badan Mingguan (Anang, dkk., 2017a). Ilustrasi 2 menggambarkan pertumbuhan puyuh Padjajdjaran galur murni dari umur 0-6 minggu, pertumbuhan tersebut diketahui dengan mengukur bobot badan puyuh di setiap minggu. Berdasarkan Ilustrasi 2, puyuh warna cokelat tumbuh lebih lambat dari warna hitam saat usia dini, tetapi setelah umur empat minggu puyuh cokelat tumbuh lebih cepat dari puyuh hitam. Kurva pertumbuhan tersebut dapat digambarkan oleh berbagai model kurva pertumbuhan. Model kurva pertumbuhan terdiri dari model Logistic, Morgan Mercer Flodine (MMF), Richard, dan Gompertz. Ketepatan model kurva dapat diukur dari koefisien determinasi (R 2 ) dan standar error (SE) (Anang, dkk., 2017a). Salah satu model kurva pertumbuhan yang digunakan dalam bidang peternakan adalah Morgan Mercer Flodin (MMF). Kurva MMF ini memiliki kelebihan dalam tingkat keakuratan dan sangat baik untuk menggambarkan pertumbuhan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, pada ayam KUB memperoleh nilai koefisien determinasi pada model MMF untuk tingkat energi dan protein masing-masing adalah 99,80 (R1), 99,81 (R2), 99,88 (R3), 99,79
13 (R4), 99,86 (R5) hampir mendekati satu (Urfa, dkk., 2017). Apabila R 2 = 1 berarti peubah bebas dalam regresi dapat menerangkan sepenuhnya keragaman peubah tidak bebasnya. Makin dekat nilai R 2 ke satu dan makin kecil SE, maka keterandalan model makin baik (Draper dan Smith, 1969). 2.4 Konsumsi Ransum dan Kurva Konsumsi Konsumsi merupakan jumlah makanan yang dimakan oleh seekor ternak, zat makanan yang dikandungnya dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan produksi hewan tersebut (Yunilas, 2005). Konsumsi ransum adalah jumlah ransum yang diberikan dikurangi dengan jumlah ransum yang tersisa pada pemberian ransum saat itu (Fadillah, 2004). Konsumsi ransum dipengaruhi oleh kebutuhan energi dan kadar energi ransum. Apabila kadar energi dalam ransum sudah dapat memenuhi kebutuhan hidup maka ransum yang dikonsumsi lebih sedikit dan sebaliknya (Rasyaf, 2005). Konsumsi ransum dapat dipengaruhi oleh bentuk ransum, kandungan energi ransum, kesehatan lingkungan, zat-zat nutrisi, kecepatan pertumbuhan dan stress (Leeson dan Summers, 2005). Selain konsumsi energi, kecepatan pertumbuhan, zat makanan dan bentuk ransum terdapat faktor lain yang mempengaruhi konsumsi ransum, yaitu faktor genetik. Kebutuhan konsumsi ransum burung puyuh dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Konsumsi Ransum Burung Puyuh Berdasarkan Umur Umur Jumlah ransum yang diberikan...minggu......gram/ekor/hari... 0-1 2 1-2 4 2-4 8 4-5 13 5-6 15 >6 17-19 Sumber : Listyowati dan Roospitasari (2005).
14 Konsumsi ransum akan digambarkan ke dalam kurva. Kurva konsusmsi ransum akan digambarkan dengan menggunakan model fungsi Rasional. Model fungsi Rasional merupakan model yang baik untuk mempresiksi konsumsi ransum. Hasil terbaik akan menunjukkan korelasi antara data yang diamati, prediksi (r), dan standar error prediksi (Se). Berdasarkan penelitian pada itik rambon, memiliki tingkat korelasi yang tinggi yaitu berkisar antara 0,9432 dan 0,9566 untuk masingmasing betina dan jantan. Korelasi tinggi menunjukkan bahwa model fungsi Rasional memiliki kecocokan yang baik dalam memprediksi konsumsi ransum pada itik (Anang, dkk., 2017b). 2.5 Konversi Ransum Konversi ransum merupakan suatu ukuran yang dapat digunakan untuk menilai efisiensi penggunaan dan kualitas ransum. Konversi ransum adalah perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan dalam jangka waktu tertentu. Salah satu ukuran efisiensi adalah dengan membandingkan antara jumlah ransum yang diberikan (input) dengan hasil yang diperoleh baik itu daging atau telur (output) (Rasyaf, 1995). Konversi ransum perlu diperhatikan karena erat hubunganya dengan biaya produksi karena dengan bertambah besarnya konversi ransum berarti biaya produksi pada setiap satuan bobot badan akan bertambah besar dan teknik pemberian ransum yang baik dapat menekan angka konversi ransum sehingga keuntungan bertambah banyak dengan semangkin rendah angka konversi ransum kualitas ransum semakin baik (Yunilas, 2005). Berdasarkan penelitian Achmanu, dkk. (2011) menunjukkan konversi ransum burung puyuh adalah 2,45, sedangkan hasil penelitian Hazim, dkk. (2010), konversi ransum yang ideal adalah 3,67 4,71.