BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. bertujuan untuk menyakiti, seperti menakuti melalui ancaman agresi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

DAMPAK PSIKOLOGIS BULLYING

BAB I PENDAHULUAN. Bullying atau ijime adalah masalah umum di setiap generasi dan setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB II LANDASAN TEORI. dengan orang-orang di sekeliling atau sekitarnya. bijaksana dalam menjalin hubungan dengan orang lain.

BAB II LANDASAN TEORI

BULLYING. I. Pendahuluan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. Bullying adalah ketika siswa secara berulang-ulang dan berperilaku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan

BAB II LANDASAN TEORI. beberapa tokoh. Olweus (2003) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif dalam

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I. Pendahuluan. I.A Latar Belakang. Remaja seringkali diartikan sebagai masa perubahan. dari masa anak-anak ke masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

MEMINIMALISASI BULLYING DI SEKOLAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I RENCANA PENELITIAN. formal, pendidikan dilakukan oleh sebuah lembaga yang dinamakan sekolah,.

BAB I PENDAHULUAN. dengan sebutan aksi bullying. Definisi kata kerja to bully dalam Oxford

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan Kontrol..., Agam, Fakultas Psikologi 2016

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017

SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara)

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu suatu pendekatan yang

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence)

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

Pengaruh Role Play dalam Konseling Kelompok untuk Menurunkan Tingkat Bullying Siswa

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

BAB I PENDAHULUAN. seperti ini sering terjadi dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat, baik itu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak

Memahami dan Mencegah Terjadinya Kekerasan di Sekolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB II KAJIAN TEORI. tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605).

Pengaruh Role Play dalam Konseling Kelompok untuk Menurunkan Tingkat Bullying Siswa

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II TINJUAN PUSTAKA

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan perhitungan-perhitungan statistik mengenai tingkat efektivitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat pada anak-anaknya (Friedman et al., 2010). yang masih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anaknya.

BAB I PENDAHULUAN. Keluaga mempunyai fungsi tidak hanya terbatas sebagai penerus keturunan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Iceu Rochayatiningsih, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi

BAB III METODE PENELITIAN. teori yang dikembangkan oleh Coloroso (2006:43-44), yang mengemukakan

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan

Pengertian tersebut didukung oleh Coloroso (2006: 44-45) yang mengemukakan bahwa bullying akan selalu melibatkan ketiga unsur berikut;

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya yang semuanya menyebabkan tersingkirnya rasa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terhadap pihak yang lebih lemah. Di sekolah bullying lebih dikenal dengan istilahistilah

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya

BAB II KEKERASAN YANG DI LAKUKAN OLEH GURU TERHADAP ANAK DI LINGKUNGAN SEKOLAH. A. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Kekerasan di lingkungan Sekolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk

STRATEGI COPING KORBAN BULLYING VERBAL PADA SISWA KELAS XI DI SMA NEGERI 11 YOGYAKARTA SKRIPSI

BAB II KAJIAN TEORI. A. Tinjauan Tentang Layanan Informasi Bimbingan dan Konseling

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dalam bentuk penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. korban bullying yang dilakukan secara berulang-ulang dan terjadi dari. negatif yang diterima korban (Olweus, 1993).

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

PERAN GURU BK/KONSELOR DALAM MENGENTASKAN PERILAKU BULLYING PARTICIPANT OF THE TEACHERS BK / COUNSELORS TO ALLEVIATE BULLYING BEHAVIOR

I. PENDAHULUAN. bullying. Prinsipnya fenomena ini merujuk pada perilaku agresi berulang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan perjuangan dan cita-cita suatu negara (Mukhlis R, 2013). Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di

PENGARUH LAYANAN DISKUSI KELOMPOK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA AUDIO VISUAL TERHADAP PERILAKU BULLYING SISWA KELAS XI (Studi di SMA Negeri 5 Sigi )

BAB I PENDAHULUAN. mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Menengah

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. UKM Olahraga merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Korea Selatan adalah sebuah negara republik yang terletak di Semenanjung

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk meneliti populasi atau sampel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Konsumtif

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Berbagai definisi serta konsep mengenai bullying telah banyak

BAB II KAJIAN TEORI. dengan disciple yaitu individu yang belajar dari atau secara suka rela

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

UNTUK PENCEGAHAN KEKERSAN DAN PENYIMPANGAN PERILAKU REMAJA OLEH RR. SUHARTATI, S.H.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang ringan seperti mencontek saat ujian, sampai pada perkelahian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya, hukuman hanya menjadi salah satu bagian dari metode

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Pengembangan Agresi o Sejak usia prasekolah beberapa anak menunjukkan tingkat abnormalitas yang tinggi terhadap permusuhan atau perlawanan. o Anak mel

BAB I PENDAHULUAN. dengan masa remaja, kemudian masa dewasa. Masa remaja adalah masa. fisik, kognitif dan sosial emosional (Santrock, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. yang menunjukkan kebaikan dan perilaku yang terpuji. Akan tetapi, banyak kita

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. seorang individu mengalami peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Dimasa ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan ditinjau dari sudut psikososial (kejiwaan kemasyarakatan)

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan anak yang berbeda-beda. Begitu pula dengan pendidikan dan

2016 EFEKTIVITAS STRATEGI PERMAINAN DALAM MENGEMBANGKAN SELF-CONTROL SISWA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying 1. Pengertian Perilaku Bullying Pengertian perilaku bullying menurut Coloroso (2007) adalah tindakan bermusuhan yang dilakukan secara sadar dan disengaja yang bertujuan untuk menyakiti, seperti menakuti melalui ancaman agresi dan menimbulkan teror termasuk juga tindakan yang direncanakan maupun yang spontan, bersifat nyata atau hampir tidak terlihat, di hadapan seseorang atau di belakang seseorang, mudah untuk diidentifikasi atau terselubung dibalik persahabatan, dilakukan oleh seorang anak atau kelompok anak. Sedangkan menurut Surilena (2006) perilaku bullying merupakan tindakan negatif yang dilakukan secara berulang oleh seseorang atau sekelompok orang yang bersifat menyerang karena adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat, seperti mengejek, menyebarkan gossip, menghasut, mengucilkan, menakut-nakuti, intimidasi, mengancam, menindas, memalak, hingga menyerang, secara fisik seperti mendorong, menampar, atau memukul. Definisi lain diungkap oleh Dwipayanti & Komang (2014) yang menyatakan bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara berulang-ulang baik fisik, verbal maupun psikologis dan biasanya 12

13 terjadi ketidakseimbangan kekuasaan antara pelaku maupun korban. Kemudian menurut Cahyani (2017), perilaku bullying adalah perilaku agresif dengan bentuk kekerasan spesifik yang bertujuan untuk menyakiti atau mengganggu, terjadi berulang atau potensial terulang, dan kekuatan atau power antara korban dan pelaku tidak seimbang. Berdasarkan uraian penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku bullying adalah tindakan bermusuhan yang dilakukan secara sadar dan disengaja yang bertujuan untuk menyakiti, seperti menakuti melalui ancaman agresi dan menimbulkan teror termasuk juga tindakan yang direncakan maupun yang spontan, bersifat nyata atau hampir tidak terlihat, di hadapan seseorang atau di belakang seseorang, mudah untuk diidentifikasi atau terselubung dibalik persahabatan, dilakukan oleh seorang anak atau kelompok anak. 2. Bentuk Bentuk Perilaku Bullying Menurut Coloroso (2007), perilaku bullying dibagi menjadi empat jenis, yaitu: a. Bullying Fisik Bullying fisik adalah perilaku bullying yang dalam perilakunya melibatkan kontak fisik antara pelaku dan korban (Lestari, 2016). Jenis bullying secara fisik di antaranya adalah memukul, mencekik, menyikut, meninju, menendang, menggigit, memiting, mencakar, serta meludahi anak yang ditindas hingga ke posisi yang menyakitkan, serta merusak dan menghancurkan pakaian serta

14 barang-barang milik anak yang tertindas. Semakin kuat dan semakin dewasa sang penindas, semakin berbahaya jenis serangan ini, bahkan walaupun tidak dimaksudkan untuk mencederai secara serius (Zakiyah dkk, 2017). b. Bullying Verbal Bullying verbal adalah perilaku bullying dimana pelaku menyerang korban melalui kata kata atau lisannya (Lestari, 2016). Bullying verbal mudah dilakukan dan dapat dibisikkan dihadapan orang dewasa serta teman sebaya, tanpa terdeteksi. Bullying verbal dapat diteriakkan di taman bermain bercampur dengan hingar binger yang terdengar oleh pengawas, diabaikan karena hanya dianggap sebagai dialog yang bodoh dan tidak simpatik di antara teman sebaya (Zakiyah dkk, 2017). Bullying verbal dapat berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan, dan pernyataan-pernyataan bernuansa ajakan seksual atau pelecehan seksual. Selain itu, bullying verbal dapat berupa perampasan uang jajan atau barang-barang, telepon yang kasar, e-mail yang mengintimidasi, surat-surat kaleng yang berisi ancaman kekerasan, tuduhan-tuduhan yang tidak benar, kasak-kusuk yang keji, serta gossip (Lestari, 2016). c. Bullying Relasional Bullying relasional adalah pelemahan harga diri korban bullying secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan,

15 pengecualian, atau penghindaran. Penghindaran, suatu tindakan penyingkiran, adalah alat penindasan yang terkuat. Anak yang digunjingkan mungkin akan tidak mendengar gosip itu, namun tetap akan mengalami efeknya. Penindasan relasional dapat digunakan untuk mengasingkan atau menolak seorang teman atau secara sengaja ditujukan untuk merusak persahabatan. Perilaku ini dapat mencakup sikap-sikap tersembunyi seperti pandangan yang agresif, lirikan mata, helaan nafas, bahu (Zakiyah dkk, 2017). d. Cyberbullying Cyberbullying adalah perilaku bullying yang dilakukan melalui media masa atau media sosial yang bertujuan menghina atau mengkritik seseorang melalui dunia maya, pada intinya adalah korban terus menerus mendapatkan pesan negatif dari pelaku bullying baik dari sms, pesan di internet dan media sosial lainnya (Zakiyah dkk, 2017). Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Colloroso (2007) membagi bentuk bullying menjadi empat, yaitu bullying fisik seperti memukul, mencekik, menyikut, meninju, menendang, menggigit, memiting, mencakar. Bullying verbal seperti memberi julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan, dan pernyataan-pernyataan bernuansa ajakan seksual atau pelecehan seksual. Bullying relasional seperti pengucilan, penggunjingan, gossip, dan cyber bullying yaitu tindakan bullying melalui media masa maupun media sosial.

16 Menurut Cahyani (2017), perilaku bullying dibagi menjadi 2 jenis, yaitu : a. Langsung Perilaku bullying yang dilakukan secara langsung oleh pelaku terhadap korban, baik secara verbal maupun non verbal yang dampaknya dapat langsung melukai korban saat itu juga. Bullying langsung dapat berupa memukul, merusak barang, mengejek, menghina, dan berkata kasar. b. Tidak Langsung Perilaku bullying dimana pelaku tidak secara langsung menyerang korban melainkan menggunakan pihak ketiga atau media lain dalam melakukan bullying terhadap korban. Bullying tidak langsung dapat berupa menyebar gossip, menirukan, membuat lelucon, menghasut orang lain untuk mengucilkan, dan cyberbullying. Dari penjelasan yang telah diuraikan dapat diambil kesimpulan bahwa menurut Cahyani (2017) perilaku bullying terbagi menjadi dua jenis, yang pertama adalah langsung yaitu perilaku bullying yang langsung dilakukan oleh pelaku tanpa melalui perantara seperti memukul, merusak barang, mengejek, menghina, dan berkata kasar. Kedua adalah tidak langsung, yaitu perilaku bullying yang dilakukan melalui perantara pihak ketiga atau media lain seperti menyebar

17 gossip, menirukan, membuat lelucon, menghasut orang lain untuk mengucilkan, dan cyberbullying. Dalam penelitian ini, bentuk bentuk bullying yang akan digunakan, mengacu pada bentuk bentuk perilaku bullying menurut Coloroso (2007) yang meliputi bullying fisik, bullying verbal, bullying relasional, dan cyberbullying, alasanya adalah bahwa bentuk bentuk bullying ini terdeferensiasi secara baik dengan aspek aspek yang hendak diteliti selain itu, bentuk bentuk bullying menurut Colloroso (2007) ini dapat digunakan untuk mengetahui serta mengukur kecenderungan berperilaku bullying oleh siswa pada zaman modern, karena bentuk bullying paling banyak terjadi adalah bullying rasional dan cyberbullying, seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Octavianto (2017) yang melakukan penelitian terhadap 113 siswa SMA di Yogyakarta memperoleh hasil 92,99% subjek menyatakan pernah mengalami bullying rasional dan cyberbullying, sementara yang pernah mengalami bullying fisik dan verbal hanya 75,22% dari keseluruhan subjek, sedangkan bentuk bentuk perilaku bullying menurut Cahyani (2017) hanya mencakup perilaku bullying langsung, dan perilaku bullying tidak langsung, dimana cyberbullying belum berdiri sendiri atau dengan kata lain hanya sebagai penjelas dari perilaku bullying tidak langsung saja.

18 3. Faktor Faktor Perilaku Bullying Menurut Fithria & Rahmi (2016), faktor yang mendorong terjadinya perilaku bullying adalah : a. Faktor Internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam atau dari dirinya sendiri, faktor internal meliputi : 1) Kontrol Diri Kontrol diri adalah kemampuan individu untuk menahan keinginan yang bertentangan dengan tingkah laku yang sesuai dengan norma sosial yang berlaku. Sebagai salah satu sifat kepribadian, kontrol diri pada satu individu dengan individu yang lain tidaklah sama, ada individu memiliki kontrol diri yang tinggi dan ada individu yang memiliki kontrol diri yang rendah. Salah satu sebab siswa melakukan bullying yaitu rendahnya kontrol diri pada siswa. Individu dengan kontrol diri yang rendah memiliki kecenderungan menjadi impulsif, senang melakukan perbuatan yang berisiko, dan berpikiran sempit. 2) Kepribadian Kepribadian yaitu ciri, karakteristik, gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir (Sjarkawi dalam

19 Fithria & Rahmi, 2016). Faktor-faktor dalam kepribadian berkontribusi besar pada ciri khas perilaku anak-anak dalam situasi bullying, di mana tingginya tingkat dari ketidakstabilan emosi dan rendahnya tingkat dari keramahtamahan berpengaruh pada pelaku bullying. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Slee & Rigby, (Fithria & Rahmi, 2016) salah satu studi pada anak remaja di Florance berusia antara 10-16 tahun menunjukkan bahwa kecenderungan seseorang dalam melakukan perilaku bullying berhubungan dengan faktor kepribadian yang dikenal dengan nama psychoticism yang meliputi perilaku impulsif, mengajak orang lain bermusuhan, dan sensitif dalam situasi sosial. 3) Harga Diri Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh prilaku memenuhi ideal diri (Stuart & Sundeen dalam Fithria & Rahmi, 2016). Dalam penelitian yang dilakukan Fithria & Rahmi (2016) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara harga diri dengan perilaku bullying. Hubungan yang terjadi sifatnya negatif, dimana jika harga diri tinggi maka perilaku bullying yang terjadi rendah dan jika harga diri rendah maka bullying yang terjadi tinggi. Penelitian oleh Anderson & Carnagey (dalam Fithria & Rahmi, 2016), yang didapatkan hasil bahwa

20 seorang anak yang memiliki harga diri negatif atau harga diri rendah, anak tersebut akan memandang dirinya sebagai orang yang tidak berharga. Rasa tidak berharga tersebut dapat tercermin pada rasa tidak berguna dan tidak memiliki kemampuan baik dari segi akademik, interaksi sosial, keluarga dan keadaan fisiknya. Harga diri rendah dapat membuat seorang anak merasa tidak mampu menjalin hubungan dengan temannya sehingga dirinya menjadi mudah tersinggung dan marah. Akibatnya anak tersebut akan melakukan perbuatan yang menyakiti temannya. b. Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar dirinya atau lingkungan sekitar, faktor eksternal meliputi : 1) Keluarga Anak akan mempelajari perilaku bullying ketika mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orang tua mereka, dan kemudian menirunya terhadap teman-temannya (Zakiyah dkk, 2017). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap orang tua yang terlalu berlebihan dalam melindungi anaknya, membuat mereka rentan berperilaku bullying. Pola hidup orang tua yang berantakan, terjadinya perceraian orang tua, orang tua yang tidak stabil perasaan dan pikirannya, orang tua yang saling mencaci maki, menghina,

21 bertengkar dihadapan anak-anaknya, bermusuhan dan tidak pernah akur, memicu terjadinya depresi dan stress bagi anak. Seorang remaja yang tumbuh dalam keluarga yang menerapkan pola komunikasi negatif seperti sarcasm (sindirian tajam) akan cenderung meniru kebiasaan tersebut dalam kesehariannya. 2) Sekolah Kecenderungan pihak sekolah yang sering mengabaikan keberadaan bullying menjadikan siswa yang menjadi pelaku bullying semakin mendapatkan penguatan terhadap perilaku tersebut (Zakiyah dkk, 2017). Selain itu, bullying dapat terjadi di sekolah jika pengawasan dan bimbingan etika dari para guru rendah, sekolah dengan kedisiplinan yang sangat kaku, bimbingan yang tidak layak dan peraturan yang tidak konsisten. Dalam penelitian oleh Adair (dalam, Fithria & Rahmi, 2016), 79% kasus bullying di sekolah tidak dilaporkan ke guru atau orang tua. Siswa cenderung untuk menutupnutupi hal ini dan menyelesaikannya dengan teman sepermainannya di sekolah untuk mencerminkan kemandirian. 3) Teman Sebaya Menurut Benites dan Justicia (dalam Fithria & Rahmi, 2016), kelompok teman sebaya yang memiliki masalah di sekolah akan memberikan dampak yang buruk bagi teman-

22 teman lainnya seperti berperilaku dan berkata kasar terhadap guru atau sesama teman dan membolos. Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman di sekitar rumah, kadang kala terdorong utnuk melakukan bullying. Beberapa anak melakukan bullying hanya untuk membuktikan kepada teman sebayanya agar diterima dalam kelompok tersebut, walaupun sebenarnya mereka tidak nyaman melakukan hal tersebut. 4) Media Massa Televisi dan media cetak membentuk pola perilaku bullying dari segi tayangan yang mereka tampilkan (Zakiyah dkk, 2017). Survey yang dilakukan Kompas, 56,9% anak meniru adegan-adegan film yang ditontonnya, umunya mereka meniru gerakannya (64%) dan kata-katanya (43%). Hal ini dapat menciptakan perilaku anak yang keras dan kasar yang selanjutnya memicu terjadi bullying yang dilakukan oleh anak-anak terhadap teman-temannya di sekolah. 5) Faktor Budaya Faktor kriminal budaya menjadi salah satu penyebab munculnya perilaku bullying. Suasana politik yang kacau, perekonomian yang tidak menentu, prasangka dan diskriminasi, konflik dalam masyarakat, dan ethnosentrime,

23 hal ini dapat mendorong anak-anak dan remaja menjadi seorang yang depresi, stress, arogan dan kasar. Berdasarkan uraian penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak faktor yang turut mempengaruhi terjadinya perilaku bullying pada siswa. Beberapa faktor tersebut antara lain adalah faktor internal yang meliputi kontrol diri, kepribadian, harga diri, dan faktor eksternal yang meliputi keluarga, sekolah, media masa, teman sebaya, serta budaya, dari beberapa faktor tersebut peneliti memilih faktor internal dalam hal ini adalah kontrol diri. Alasannya, Aroma & Dewi (2012) menyatakan bahwa kontrol diri yang tinggi seharusnya dapat membantu individu menurunkan agresi dan perilaku menyimpang dalam hal ini perilaku bullying dengan mempertimbangkan aspek aturan dan norma sosial yang berlaku. Becker (dalam Aroma & Dewi, 2012) juga menyatakan bahwasanya setiap manusia memiliki dorongan untuk melanggar aturan pada situasi tertentu, tetapi pada kebanyakan orang dorongan dorongan tersebut biasanya tidak menjadi kenyataan yang berwujud penyimpangan, hal tersebut karena orang normal biasanya dapat menahan diri dari dorongan dorongan untuk berperilaku menyimpang, kemampuan seperti inilah yang seharusnya dipelajari individu selama masa remaja untuk menghindari perilaku bullying.

24 B. Kontrol Diri 1. Pengertian Kontrol Diri Menurut Ghufron (2010), kontrol diri adalah kemampuan mengontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang membawa individu ke arah konsekuensi yang lebih positif. Kemudian menurut Chaplin (2008) kontrol diri adalah kemampuan untuk membimbing tingkah lakunya sendiri, yaitu kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-implus atau tingkah laku yang impulsif. Sedangkan kontrol diri yang dikemukakan oleh Averill (1973) kontrol diri ialah kemampuan individu untuk memodifikasi perilaku, kemampuan individu dalam mengelola informasi yang tidak penting atau penting dan kemampuan individu untuk memilih suatu tindakan yang diyakininya. Menurut Calhoum dan Acocella (dalam Kusumadewi dkk, 2012) mendefinisikan kontrol diri sebagai pengaruh seseorang terhadap dan peraturan tentang fisiknya, tingkah laku, dan proses - proses psikologisnya. Selanjutnya Lazarus (dalam Masitah & Irna, 2012) mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif. Selain itu kontrol diri

25 juga menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan. Berdasarkan uraian penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kontrol diri adalah kemampuan mengontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang membawa individu ke arah konsekuensi yang lebih positif. 2. Aspek Aspek Kontrol Diri Menurut Ghufron (2010) kontrol diri mempunyai aspek aspek diantaranya adalah : a. Kemampuan Mengontrol Perilaku Kemampuan mengontrol perilaku merupakan kesiapan atau tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini terbagi menjadi dua komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability). Kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau sesuatu diluar dirinya. Individu yang kemampuan mengontrol dirinya baik akan mampu mengatur perilaku dengan menggunakan kemampuan

26 dirinya dan bila tidak mampu individu akan menggunakan sumber eksternal. Kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggang waktu di antara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir, dan mengatasi intensitasnya. b. Kemampuan Mengontrol Stimulus Kemampuan mengontrol stimulus juga menjadi salah satu aspek dari kontrol diri karena dalam kehidupan seseorang terdapat berbagai macam stimulus yang diterima, dari berbagai macam stimulus yang masuk tersebut individu harus mempunyai kemmpuan untuk mengontrol stimulus stimulus tersebut yaitu dengan memilih stimulus mana yang harus diterima dan mana yang harus ditolak. c. Kemampuan Mengantisipasi Peristiwa Individu dalam menghadapi suatu masalah atau suatu peristiwa harus memiliki kemampuan untuk mengantisipasi masalah tersebut agar tidak menjadi masalah yang semakin besar dan rumit. d. Kemampuan Menafsirkan Peristiwa Individu harus mempunyai kemampuan untuk menafsirkan peristiwa, artinya individu harus dapat mengartikan semua

27 peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya, sehingga individu dapat dengan mudah untuk menjalani peristiwa tersebut dan dapat memikirkan langkah langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya. e. Kemampuan Mengambil Keputusan Setiap individu harus mempunyai kemampuan untuk mengambil suatu keputusan yang baik, dimana keputusan yang diambil tersebut baik untuk diri individu sendiri maupun bagi orang lain yang ada disekitarnya, dan juga tidak merugikan untuk diri sendiri dan orang lain. Berdasarkan uraian penjelasan diatas maka dapat diambil kesimpulan aspek kontrol diri menurut Ghufron (2010) diantaranya adalah kemampuan mengontrol perilaku, kemampuan mengontrol stimulus, kemampuan mengantisipasi peristiwa, kemampuan menafsirkan peristiwa, dan kemampuan mengambil keputusan. Menurut Lazarus (dalam Masitah & Irna, 2012) kontrol diri terbagi atas tiga bagian diantaranya adalah : a. Kontrol diri dalam berpikir, yaitu usaha untuk mengarahkan perhatian pada suatu tujuan tertentu dan melawan pikiran yang tidak diinginkan dan mengarah proses penilaian berdasarkan pada hal yang ditentukan terlebih dahulu. b. Kontrol diri dalam berperasaan, yaitu usaha yang dilakukan untuk berada dalam situasi emosional tertentu atau keluar dari situasi

28 emosional yang sedang dialami maupun usaha untuk menjaga situasi emosional yang timbul. c. Kontrol diri dalam berperilaku, yaitu usaha yang dilakukan untuk menjaga secara terus menerus dengan memaksimalkan performansi dan mengendalikan perilaku yang dapat menghambat pencapaian tujuan yang ditentukan sebelumnya. Berdasarkan uraian penjelasan diatas maka dapat diambil kesimpulan aspek aspek kontrol diri menurut Lazarus (dalam Masitah & Irna, 2012) kontrol diri terbagi atas beberapa bagian diantaranya adalah kontrol diri dalam berpikir, kontrol diri dalam berperasaan, dan kontrol diri dalam berperilaku. Pada penelitian ini aspek aspek kontrol diri yang akan digunakan mengacu pada aspek aspek kontrol diri menurut Ghufron (2010). Alasanya, aspek aspek ini dapat mengungkap hal hal yang ingin diketahui bila digunakan untuk mengukur kontrol diri yang dimiliki oleh seseorang. Kontrol diri tersebut mencakup kemampuan mengontrol perilaku, kemampuan mengontrol stimulus, kemampuan mengantisipasi peristiwa, kemampuan menafsirkan peristiwa, dan kemampuan mengambil keputusan, kemudian aspek aspek yang dikemukakan oleh Averill lebih kompleks dan lebih jelas serta detail sedangkan aspek aspek kontrol diri menurut Lazarus hanya digolongkan menjadi tiga bagian saja dimana hanya diuraikan secara umum saja belum secara detail.

29 C. Hubungan Antara Kontrol Diri Dengan Perilaku Bullying Siswa yang memiliki kontrol diri yang rendah kurang mampu mengarahkan dan mengatur perilakunya secara positif dan tidak mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin dihadapi dari perilaku yang dilakukan sehingga cenderung bertindak agresif, mudah marah, dan tidak dapat menghindari untuk melakukan tindakan bullying terhadap temannya, sebaliknya siswa yang memiliki kontrol diri yang tinggi akan mampu mengarahkan dan mengatur perilakunya secara positif, berusaha mencari informasi sebelum mengambil keputusan, serta mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin dihadapi sehingga menghindari untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap temannya di sekolah (Masitah & Irna, 2012). Kontrol diri memiliki fungsi yang lebih besar dalam mengarahkan kepatuhan terhadap peraturan pada individu, tanpa dimilikinya kontrol diri, konflik yang terjadi menjadi kurang terkendali, sehingga kemungkinan untuk melakukan perilaku bullying akan terjadi (Kusumadewi dkk, 2012). Becker (dalam Aroma & Dewi, 2012) menyatakan bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki dorongan untuk melanggar aturan pada situasi tertentu, tetapi pada kebanyakan orang dorongan-dorongan tersebut biasanya tidak menjadi kenyataan yang berwujud penyimpangan, hal tersebut karena orang normal biasanya dapat menahan diri dari dorongan dorongan untuk berperilaku menyimpang.

30 Menurut Travis (dalam Aroma & Dewi, 2012) pelaku penyimpangan dalam hal kekerasan dapat dilihat melalui single dimention yakni kontrol diri (self control), individu dengan kontrol diri yang rendah memiliki kecenderungan untuk menjadi impulsif, senang berperilaku beresiko, dan berpikiran sempit. Menurut Defriyanto & Reta (2015) perilaku impulsif adalah kondisi saat seseorang mendapatkan dorongan untuk melakukan sebuah tindakan tanpa memikirkan konsekuensinya terlebih dahulu, meskipun pelaku merasa sadar dengan apa yang ia lakukan, pelaku cenderung tidak bisa mengendalikan dirinya ketika melakukan sebuah tindakan negatif. Sehingga perilaku impulsif ini akan mendorong seseorang berperilaku bullying. Kontrol diri yang rendah ini dapat mengantarkan siswa pada perilaku bullying ini dibuktikan dengan beberapa penelitian, seperti penelitian yang dilakukan oleh Alkollo (2016) menunjukan adanya hubungan negatif antara kontrol diri dengan perilaku bullying, semakin rendah kontrol diri pada siswa maka perilaku bullying akan semakin tinggi, begitu juga sebaliknya semakin tinggi kontrol diri pada siswa maka perilaku bullying juga akan semakin rendah. Penelitian lain yang dilakukan oleh Masitah & Irna (2012) juga menunjukan hubungan negatif antara kontrol diri dengan perilaku bullying pada siswa, semakin rendah kontrol diri maka semakin tinggi perilaku bullying.

31 Adapun hubungan kontrol diri dengan perilaku bullying bisa ditinjau dari aspek aspek penyusun kontrol diri. Menurut Ghufron (2010) kontrol diri mempunyai aspek aspek diantaranya adalah kemampuan mengontrol perilaku, kemampuan mengontrol stimulus, kemampuan mengantisipasi peristiwa, kemampuan menafsirkan peristiwa, dan kemampuan mengambil keputusan. Dari aspek pertama yaitu mengontrol perilaku, individu dengan kemampuan mengontrol dirinya baik akan mampu mengatur perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak mampu individu akan berperilaku diluar norma atau batas batas sehingga perilaku bullying dapat dilakukan karena kontrol perilakunya rendah (Kusumadewi dkk, 2012). Dari aspek kedua yaitu kemampuan mengontrol stimulus, dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan baik dan buruknya, ketika dorongan untuk berbuat menyimpang maupun agresi sedang mencapai puncaknya, kontrol diri dapat membantu individu menurunkan agresi dengan mempertimbangkan aspek aturan dan norma sosial yang berlaku (Aroma & Dewi, 2012). Dari aspek ketiga yaitu kemampuan mengantisipasi peristiwa, ketidakmampuan individu dalam mengantisipasi suatu kejadian yang tiba tiba terjadi membuat individu tersebut bertindak secara spontan tanpa difikirkan terlebih dahulu (Masitah & Irna, 2012). Dari aspek keempat yaitu kemampuan

32 menafsirkan peristiwa, melakukan penilaian dan penafsiran akan suatu hal dilihat dari kaca mata negatif dan masuknya informasi informasi atau pikiran pikiran negatif maka perilaku menyimpang dalam hal ini adalah perilaku bullying dapat terjadi karena keterbatasan informasi yang positif (Kusumadewi dkk, 2012). Dari aspek kelima yaitu kontrol pengambilan keputusan, menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan, jika dalam pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan tidak berfungsi dengan baik maka keputusan yang diambil dalam berperilaku juga akan terarah kedalam perilaku negatif dalam hal ini adalah bullying bisa terjadi (Kusumadewi dkk, 2012). Berdasarkan dinamika diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa kontrol diri mempunyai hubungan yang signifikan dengan perilaku bullying, yaitu kontrol diri yang rendah dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan perilaku bullying, sedangkan kontrol diri yang tinggi dapat mencegah seseorang untuk melakukan perilaku bullying.

33 D. Hipotesis Berdasarkan uraian diatas, maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis : Ada hubungan negatif antara kontrol diri dengan perilaku bullying pada siswa. Semakin tinggi kontrol diri siswa, maka semakin rendah perilaku bullying yang dilakukan. Sebaliknya, semakin rendah kontrol diri yang dimiliki oleh siswa, maka semakin tinggi perilaku bullying yang dapat dilakukan.