HAPUSNYA HAK PENUNTUTAN PIDANA DAN EKSEKUSI

dokumen-dokumen yang mirip
Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

Berlin Nainggolan: Hapusnya Hak Penuntutan Dalam Hukum Pidana, 2002 USU Repository

HAPUSNYA HAK PENUNTUNAN DALAM HUKUM PIDANA. BERLIN NAINGGOLAN, SH Fakultas Hukum Jurusan Pidana Universitas Sumatera Utara

Hilangnya Sifat Tindak Pidana dan Kewenangan Menuntut Pidana. Faiq Tobroni

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berlaku dalam kehidupan bermasyarakat yang berisi mengenai perintah-perintah

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

Kapita Selekta Ilmu Sosial

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Dasar Hukum Penyampingan Perkara(Seponering) 1. Pengertian Penyampingan Perkara (Seponering)

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. hukum tetap ini merupakan upaya hukum luar biasa, dalam memperoleh kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

Ringkasan Permohonan Perkara Nomor 59/PUU-XII/2014 Daluwarsa Masa Penuntutan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

jahat tersebut tentunya berusaha untuk menghindar dari hukuman pidana, yaitu dengan cara

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 1958 TENTANG

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

BAB III PENUTUP KESIMPULAN. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBERIAN GRASI BAGI TERPIDANA MATI. Oleh. Josi Dedi Gultom. A A. Gde Oka Parwata

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

I. PENDAHULUAN. Korban dalam suatu tindak pidana, dalam Sistim Hukum Nasional, posisinya tidak

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

POLA PEMBELAAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI PENGADILAN. Kuswindiarti STMIK AMIKOM Yogyakarta

POLA PEMBELAAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI PENGADILAN. Kuswindiarti STMIK AMIKOM Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PENUTUP. korupsi dan kekuasaan kehakiman maka penulis menarik kesimpulan. mengenai upaya pengembalian kerugian negara yang diakibatkan korupsi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA

Transkripsi:

By: Uti Abdulloh (JfLegalNetwork) HAPUSNYA HAK PENUNTUTAN PIDANA DAN EKSEKUSI HAPUSNYA HAK PENUNTUTAN Pada hakekatnya penegakan hukum bertujuan untuk menegakkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat yang berintikan keadilan. Kepastian hukum tanpa didasarkan pada sendi-sendi keadilan akan menimbulkan ketidakpuasan dan mengandung banyak reaksi. Tujuan diundangkannya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah untuk memenuhi aspirasi masyarakat Indonesia akan berwujudnya penegasan hukum yang lebih baik, lebih baik demokrasi dari pada masa berlakunya HIR. Dalam kosiderans, disebutkan bahwa tujuan KUHAP adalah untuk mewujudkan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi HAM. Pengertian penuntutan sebenarnya diatur dalam KUHAP pasal 1 butir 7 KUHAP: Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana kepengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan". Alasan-alasan terkait hapusnya hak penuntutan dimuat dalam perundang-undangan yang mana untuk hapusnya hak penuntutan adalah: a. Adanya suatu keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap b. kematian orang yang melakukan delik. c. Daluarsa. d. penyelesaian perkara diluar pengadilan

Adanya Suatu Putusan yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap pengaturan terhadap hal ini diatur dalam pasal 76 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), "kecuali dalam putusan hakim dapat dirubah, orang tidak dapat dituntut sekali lagi karena perbuatan yang sama baginya telah dihapuskan oleh hakim indonesia dengan putusan yang telah tetap" ketentuan dalam pasa 76 KUHP tersebut sesuai dengan ketentuan azas Ne bis In Idem yang mana ketentuan dalam azas Ne bis In Idem yaitu suatu perkara tidak boleh dituntut 2 (dua) kali atas perbuatan yang telah diadili oleh hakim dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. ketentuan dalam pasal 76 KUHP ini dimaksudkan guna memberi kepastian kepada masyarakat maupun kepada setiap individu agar menghormati putusan tersebut (Laden Marpaung, Asas-Asas Praktek Hukum Pidana, Sinar grafika, 2009, Hlm, 100). sebelumnya pada Reglemen Indonesias yang diperbaharui (HIR/RIB) dipergunakan istilah "adanya suatu putusan yang tidak dapat diubah lagi" akan tetapi setelah berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, istilah tersebut menjadi "adanya satu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap". suatu putusan yang berkekuatan hukum berupa: 1. putusan bebas 2. putusan lepas dari segala tuntutan 3. putusan tidak menerima tuntutan penuntut umum 4. putusan pemidanaan Kematian Orang Yang Melakukan Delik kemtian orang yang melakukan delik diatur dalam pasal 77 KUHP yang berbunyi "hak menuntut hilang karena meninggalnya si tersangka". ketika tersangka/terdakwa meninggal dunia itu dapat dijadikan dasar untuk menhentikan penuntutan pidana. Penjatuhan hukuman pidana harus ditujukan kepada pribadi orang yang melakukan perbuatan pidana. Apabila orang yang melakukan pidana meninggal dunia, maka tidak ada lagi penuntutan pidana baginya atas perbutan yang dilakukannya. Jika orang itu meninggal dunia maka penuntutan pidana kepadanya menjadi gugur atau dengan kata lain kewenangan menuntut pudana gugur jika terdakwa

meninggal dunia. Daluwarsa Daluwarsa diatur dalam pasal 78 KUHP, latar belakang yang mendasari daluwarsa sebagai alasan yang menggugurkan penuntutan pidana adalah dikaitkan dengan kemampuan daya ingat manusia dan keadaan alam yang memungkinkan petunjuk alat bukti lenyap atau tidak memiliki nilai untuk hukum pembuktian. Daya ingat manusia baik sebagai terdakwa maupun sebagai saksi seringkali tidak mampu untuk menggambarkan kembali kejadian yang telah terjadi dimasa lalu. Bahan yang diperlukan dalam perkara semakin sulit untuk dipertanggungjawabkan yang disebabkan oleh kerusakan dan lain-lain. Atas dasar hal inilah, maka pembentuk Undang-undang harus memilih satu kebijakan yakni kewenangan untuk melakukan suatu penuntutan pidana menjadi gugur karna alasa daluarsa dengan tenggang waktu tertentu. Tenggang waktu tertentu yang menjadi alasan daluarsa penuntutan dibedakan menurut jenis atau berat ringan perbuatan pidana. Penyelesaian Perkara Di Luar Persidangan ketentuan ini diatu dalam pasal 82 ayat (1) KUHP yang berbunyi antara lain sebagai berikut: "hak penuntutan pidana karena pelanggaran, yang atasnya tidak ditentukan hukuman pokok lain daripada denda, hilang kalau dengan rela hati sudah dibayar maksimum denda serta juga biaya perkara". Ketentuan diatas secara rasional adalah hal yang logis demi efisiensi. Hal ini diaur demikian rupa untuk memberi kepastian hukum bagi pelaku pelanggran maupun bagi aparat penuntut. Selain hal diatas, dalam perundang-undangan masih ada ketentuan yang dapat menghapuskan hak penuntutan atas pelaku kejahatan, yakni abolisi dan amnesti. kedua hal tersebut merupakan hak perogratif persiden dengan memperhatikan pertimbangan DPR yang diatur dalam pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 hasil aman demen. Abolisi adalah penghpusan penghapusan hak melakukan penuntutan pidana dan menghentikan penuntutan pidana yang telah dimulai. Adapun amnesti adalah pernyataan pengampunan atau penghapusan hukuman kepada umum yang telah melakukan tindak-tindak pidana tertentu.

HAPUSNYA HAK EKSEKUSI Pada umumnya, setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap, jaksa pada kesempatan pertama akan melakukan eksekusi (Pasal 270 KUHAP). Akan tetapi, ada kalanya jaksa tidak dapat melakukan eksekusi atau hak eksekusi telah habis, sehingga putusan yang berkekuatan hukum tetap tidak dapat dilakukan untuk selama-lamanya, hal ini dapat terjadi karena hal-hal berikut:. a. Kematian terpidana b. Daluwarsa c. Grasi Kematian Terpidana Doktrin menganut paham bahwa hukuman atau pidana di jatuhkan semata-mata pribadi terpidana atau si terhukum, karenanya tidak dapat dibebankan pada ahli waris. Dengan demikian, jika terpidana meninggal dunia, hak eksekusi tidak dapat dilakukan. terhadap ketentuan ini, dahulu ada pengecualian yang dimuat dalam pasal 368 HIR ysng berisi sebagai berikut: " jika orang yang melakukan pelanggara pidana telah meninggal setelah putusan hakim yang tidak dapat diubah lagi, maka dalam perkara-perkara pelanggaran peraturan pajak dan cukai, semua denda dan perampasan serta biaya-biaya ditagi di ahli-ahli waris atau wakil-wakil orang yang meninngal itu", akan tetapi ketentuan ini tidak dianut oleh KUHP, sebaliknya sebaliknya dalam rangka menyempurnakan KUHP, hal tersebut perlu mendapat perhatian (Laden Marpaung, Asas-Asas-Praktek Hukum Pidana, Sinar Grafika, 2009, Hlm, 103). Daluwarsa Ketentuan daluwarsa terhadap hak eksekusi diatur dan dimuat dalam ketentuan pasal 84 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut: (1) Hak menjalankan hukuman karena daluwarsa (2) Tenggang Daluwarsa ini untuk pelanggaran-pelanggaran, yang lamanya 2 (dua) tahun, untuk kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan, lamanya 5 (lima) tahun, dan

untuk kejahatan lainnya, lamanya sama dengan lebih tenggang daluwarsa hak menuntut pidana, ditambah sepertiga. (3) Tenggang waktu daluwarsa ini sekali-kali tidak boleh kurang dari lamanya hukuman yan g telah dijatuhkan. (4) Hak menjalankan Hukuman mati tidak kena daluwarsa Grasi ketentuan tentang grasi dimuat dalam pasal 14 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. pengertian grasi adalah wewenang dari kepala negara untuk menghapuskan seluruhhukuman yang telah di jatuhkan hakim atau mengurangi hukuman, atau menukar hukuman pokok yang berat dengan suatu hukuman yang lebih ringan. pengertian grasi sendiri Dalam arti sempit berarti merupakan tindakan meniadakan hukuman yang telah diputuskan oleh hakim. Dengan kata lain, Presiden berhak untuk meniadakan hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang (Laden Marpaung, Asas-Asas-Praktek, Hukum Pidana, Sinar Grafika, 2009, Hlm, 102). Dahulu, grasi ini merupakan hak raja sehingga dianggap sebagai anugerah raja. Akan tetapi, pada saat ini grasi merupakan suatu alat untuk menghapuskan sesuatu yang dirasakan tidak adil jika hukum yang berlaku menimbulkan kekurang adilan. prihal grasi sendiri sekarang ini diatur oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 22 Tentang Grasi yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 Tentang Permohonan Grasi.