By: Uti Abdulloh (JfLegalNetwork) HAPUSNYA HAK PENUNTUTAN PIDANA DAN EKSEKUSI HAPUSNYA HAK PENUNTUTAN Pada hakekatnya penegakan hukum bertujuan untuk menegakkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat yang berintikan keadilan. Kepastian hukum tanpa didasarkan pada sendi-sendi keadilan akan menimbulkan ketidakpuasan dan mengandung banyak reaksi. Tujuan diundangkannya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah untuk memenuhi aspirasi masyarakat Indonesia akan berwujudnya penegasan hukum yang lebih baik, lebih baik demokrasi dari pada masa berlakunya HIR. Dalam kosiderans, disebutkan bahwa tujuan KUHAP adalah untuk mewujudkan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi HAM. Pengertian penuntutan sebenarnya diatur dalam KUHAP pasal 1 butir 7 KUHAP: Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana kepengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan". Alasan-alasan terkait hapusnya hak penuntutan dimuat dalam perundang-undangan yang mana untuk hapusnya hak penuntutan adalah: a. Adanya suatu keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap b. kematian orang yang melakukan delik. c. Daluarsa. d. penyelesaian perkara diluar pengadilan
Adanya Suatu Putusan yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap pengaturan terhadap hal ini diatur dalam pasal 76 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), "kecuali dalam putusan hakim dapat dirubah, orang tidak dapat dituntut sekali lagi karena perbuatan yang sama baginya telah dihapuskan oleh hakim indonesia dengan putusan yang telah tetap" ketentuan dalam pasa 76 KUHP tersebut sesuai dengan ketentuan azas Ne bis In Idem yang mana ketentuan dalam azas Ne bis In Idem yaitu suatu perkara tidak boleh dituntut 2 (dua) kali atas perbuatan yang telah diadili oleh hakim dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. ketentuan dalam pasal 76 KUHP ini dimaksudkan guna memberi kepastian kepada masyarakat maupun kepada setiap individu agar menghormati putusan tersebut (Laden Marpaung, Asas-Asas Praktek Hukum Pidana, Sinar grafika, 2009, Hlm, 100). sebelumnya pada Reglemen Indonesias yang diperbaharui (HIR/RIB) dipergunakan istilah "adanya suatu putusan yang tidak dapat diubah lagi" akan tetapi setelah berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, istilah tersebut menjadi "adanya satu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap". suatu putusan yang berkekuatan hukum berupa: 1. putusan bebas 2. putusan lepas dari segala tuntutan 3. putusan tidak menerima tuntutan penuntut umum 4. putusan pemidanaan Kematian Orang Yang Melakukan Delik kemtian orang yang melakukan delik diatur dalam pasal 77 KUHP yang berbunyi "hak menuntut hilang karena meninggalnya si tersangka". ketika tersangka/terdakwa meninggal dunia itu dapat dijadikan dasar untuk menhentikan penuntutan pidana. Penjatuhan hukuman pidana harus ditujukan kepada pribadi orang yang melakukan perbuatan pidana. Apabila orang yang melakukan pidana meninggal dunia, maka tidak ada lagi penuntutan pidana baginya atas perbutan yang dilakukannya. Jika orang itu meninggal dunia maka penuntutan pidana kepadanya menjadi gugur atau dengan kata lain kewenangan menuntut pudana gugur jika terdakwa
meninggal dunia. Daluwarsa Daluwarsa diatur dalam pasal 78 KUHP, latar belakang yang mendasari daluwarsa sebagai alasan yang menggugurkan penuntutan pidana adalah dikaitkan dengan kemampuan daya ingat manusia dan keadaan alam yang memungkinkan petunjuk alat bukti lenyap atau tidak memiliki nilai untuk hukum pembuktian. Daya ingat manusia baik sebagai terdakwa maupun sebagai saksi seringkali tidak mampu untuk menggambarkan kembali kejadian yang telah terjadi dimasa lalu. Bahan yang diperlukan dalam perkara semakin sulit untuk dipertanggungjawabkan yang disebabkan oleh kerusakan dan lain-lain. Atas dasar hal inilah, maka pembentuk Undang-undang harus memilih satu kebijakan yakni kewenangan untuk melakukan suatu penuntutan pidana menjadi gugur karna alasa daluarsa dengan tenggang waktu tertentu. Tenggang waktu tertentu yang menjadi alasan daluarsa penuntutan dibedakan menurut jenis atau berat ringan perbuatan pidana. Penyelesaian Perkara Di Luar Persidangan ketentuan ini diatu dalam pasal 82 ayat (1) KUHP yang berbunyi antara lain sebagai berikut: "hak penuntutan pidana karena pelanggaran, yang atasnya tidak ditentukan hukuman pokok lain daripada denda, hilang kalau dengan rela hati sudah dibayar maksimum denda serta juga biaya perkara". Ketentuan diatas secara rasional adalah hal yang logis demi efisiensi. Hal ini diaur demikian rupa untuk memberi kepastian hukum bagi pelaku pelanggran maupun bagi aparat penuntut. Selain hal diatas, dalam perundang-undangan masih ada ketentuan yang dapat menghapuskan hak penuntutan atas pelaku kejahatan, yakni abolisi dan amnesti. kedua hal tersebut merupakan hak perogratif persiden dengan memperhatikan pertimbangan DPR yang diatur dalam pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 hasil aman demen. Abolisi adalah penghpusan penghapusan hak melakukan penuntutan pidana dan menghentikan penuntutan pidana yang telah dimulai. Adapun amnesti adalah pernyataan pengampunan atau penghapusan hukuman kepada umum yang telah melakukan tindak-tindak pidana tertentu.
HAPUSNYA HAK EKSEKUSI Pada umumnya, setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap, jaksa pada kesempatan pertama akan melakukan eksekusi (Pasal 270 KUHAP). Akan tetapi, ada kalanya jaksa tidak dapat melakukan eksekusi atau hak eksekusi telah habis, sehingga putusan yang berkekuatan hukum tetap tidak dapat dilakukan untuk selama-lamanya, hal ini dapat terjadi karena hal-hal berikut:. a. Kematian terpidana b. Daluwarsa c. Grasi Kematian Terpidana Doktrin menganut paham bahwa hukuman atau pidana di jatuhkan semata-mata pribadi terpidana atau si terhukum, karenanya tidak dapat dibebankan pada ahli waris. Dengan demikian, jika terpidana meninggal dunia, hak eksekusi tidak dapat dilakukan. terhadap ketentuan ini, dahulu ada pengecualian yang dimuat dalam pasal 368 HIR ysng berisi sebagai berikut: " jika orang yang melakukan pelanggara pidana telah meninggal setelah putusan hakim yang tidak dapat diubah lagi, maka dalam perkara-perkara pelanggaran peraturan pajak dan cukai, semua denda dan perampasan serta biaya-biaya ditagi di ahli-ahli waris atau wakil-wakil orang yang meninngal itu", akan tetapi ketentuan ini tidak dianut oleh KUHP, sebaliknya sebaliknya dalam rangka menyempurnakan KUHP, hal tersebut perlu mendapat perhatian (Laden Marpaung, Asas-Asas-Praktek Hukum Pidana, Sinar Grafika, 2009, Hlm, 103). Daluwarsa Ketentuan daluwarsa terhadap hak eksekusi diatur dan dimuat dalam ketentuan pasal 84 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut: (1) Hak menjalankan hukuman karena daluwarsa (2) Tenggang Daluwarsa ini untuk pelanggaran-pelanggaran, yang lamanya 2 (dua) tahun, untuk kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan, lamanya 5 (lima) tahun, dan
untuk kejahatan lainnya, lamanya sama dengan lebih tenggang daluwarsa hak menuntut pidana, ditambah sepertiga. (3) Tenggang waktu daluwarsa ini sekali-kali tidak boleh kurang dari lamanya hukuman yan g telah dijatuhkan. (4) Hak menjalankan Hukuman mati tidak kena daluwarsa Grasi ketentuan tentang grasi dimuat dalam pasal 14 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. pengertian grasi adalah wewenang dari kepala negara untuk menghapuskan seluruhhukuman yang telah di jatuhkan hakim atau mengurangi hukuman, atau menukar hukuman pokok yang berat dengan suatu hukuman yang lebih ringan. pengertian grasi sendiri Dalam arti sempit berarti merupakan tindakan meniadakan hukuman yang telah diputuskan oleh hakim. Dengan kata lain, Presiden berhak untuk meniadakan hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang (Laden Marpaung, Asas-Asas-Praktek, Hukum Pidana, Sinar Grafika, 2009, Hlm, 102). Dahulu, grasi ini merupakan hak raja sehingga dianggap sebagai anugerah raja. Akan tetapi, pada saat ini grasi merupakan suatu alat untuk menghapuskan sesuatu yang dirasakan tidak adil jika hukum yang berlaku menimbulkan kekurang adilan. prihal grasi sendiri sekarang ini diatur oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 22 Tentang Grasi yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 Tentang Permohonan Grasi.