I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan

ARAHAN PENGEMBANGAN PERWILAYAHAN KEGIATAN AGRIBISNIS DI KABUPATEN GROBOGAN TUGAS AKHIR. Oleh : NURUL KAMILIA L2D

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Sebaran Struktur PDB Indonesia Menurut Lapangan Usahanya Tahun

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

I. PENDAHULUAN. Produksi (kg)

I. PENDAHULUAN. Industri nasional memiliki visi pembangunan untuk membawa Indonesia

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum tahun 2008/2009 berada

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional merupakan cerminan keberhasilan pembangunan. perlu dilaksanakan demi kehidupan manusia yang layak.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

Batam adalah kotamadya kedua di Propinsi Riau setelah Kotamadya Pekanbaru yang bersifat otonom. Tetapi, dengan Keppres

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam. secara langsung maupun secara tidak langsung dalam pencapaian tujuan

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

I. PENDAHULUAN. utama. Industrialisisasi dimasa sekarang tidak dapat terlepas dari usaha dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam

I. PENDAHULUAN. Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus

I. PENDAHULUAN. pembentukan Gross National Product (GNP) maupun Produk Domestik Regional

PENDAHULUAN. memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan.

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi nasional menitikberatkan pada pembanguan sektor

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

STUDI PENGEMBANGAN DAN PERAN AGRIBISNIS HORTIKULTURA DALAM PEREKONOMIAN WILAYAH DI KABUPATEN KARO SUMATERA UTARA RIMTA TERRA ROSA BR PINEM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kota Depok telah resmi menjadi suatu daerah otonom yang. memiliki pemerintahan sendiri dengan kewenangan otonomi daerah

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PRODUKTIVITAS DAN KONTRIBUSI TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN BOYOLALI

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh :

I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan tersebut

I. PENDAHULUAN. Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki peranan yang penting bagi pertumbuhan pembangunan

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Masalah pokok dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama bagi negara-negara

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti

AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten

1 PENDAHULUAN. Tahun Manggis Pepaya Salak Nanas Mangga Jeruk Pisang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. memiliki prospek cerah untuk dikembangkan, karena ikan lele merupakan. air tawar yang sangat digemari oleh masyarakat.

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Atas Dasar Harga Berlaku di Indonesia Tahun Kelompok

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah)

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan negara, penyedia lapangan kerja, dan juga sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

I. PENDAHULUAN. Persentase Produk Domestik Bruto Pertanian (%) * 2009** Lapangan Usaha

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi

IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN KARO

I. PENDAHULUAN , , ,99. Total PDRB , , ,92

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, terlebih dahulu kita harus menganalisa potensi pada

Lapangan Usaha. Sumber : Badan Pusat Statistik (2012) 1

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Analisis Isu-Isu Strategis

I. PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan dan sayuran,

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. melalui nilai tambah, lapangan kerja dan devisa, tetapi juga mampu

3 KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu hal yang cukup penting dalam mewujudkan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

AKTIVITAS EKONOMI HULU-HILIR DI PERBATASAN. ARIS SUBAGIYO Halama n

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pembangunan hortikultura telah memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi sektor pertanian maupun perekonomian nasional, yang dapat dilihat dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB), jumlah rumah tangga yang mengandalkan sumber pendapatan dari subsektor hortikultura, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. Pembangunan hortikultura juga meningkatkan perdagangan internasional produk hortikultura nasional dan ketersediaan sumber pangan masyarakat. Kontribusi hortikultura pada pembentukan PDB memperlihatkan kecenderungan meningkat, baik pada PDB kelompok komoditas maupun keseluruhan PDB Hortikultura. Pada tahun 2005 PDB Hortikultura sebesar Rp. 61,79 Trilliun naik menjadi Rp.89,057 Trilliun pada tahun 2009. Pada tahun 2005 subsektor hortikultura mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 2.901.900 orang, dan menunjukkan kecenderungan peningkatan selama 5 tahun. Dapat dilihat pada tabel bahwa pada tahun 2008 penyerapan tenaga kerja hortikultura telah meningkat menjadi 3.777.857 orang pada tahun 2008. Pada tahun 2009 subsektor hortikultura diramalkan menyerap tenaga kerja sebesar 3.972.989 orang. (Ditjen Hortikultura, 2010). Disamping itu komoditas hortikultura juga merupakan komoditas yang sangat penting dan strategis. Komoditas hortikultura merupakan komponen penting dari Pola Pangan Harapan, yaitu hortikultura khususnya sayuran dan buah-buahan. Komoditas tersebut merupakan bagian penting dari keseimbangan pangan yang dikonsumsi, sehingga harus tersedia setiap saat dalam jumlah yang cukup, mutu yang baik, aman konsumsi, harga yang terjangkau, serta dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat sebagai konsumen, merupakan pasar yang sangat potensial, dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan semakin meningkat. Komoditas hortikultura juga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sehingga usaha agribisnis hortikultura (buah, sayur, tanaman hias dan tanaman biofarmaka) dapat menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat dan petani baik berskala kecil, menengah maupun besar, karena memiliki keunggulan berupa

2 nilai jual yang tinggi, keragaman jenis, ketersediaan sumberdaya lahan dan teknologi, serta potensi serapan pasar di dalam negeri dan internasional yang terus meningkat. Pasokan produk hortikultura nasional diarahkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri, baik melalui pasar tradisional, pasar modern, maupun pasar luar negeri (ekspor). Salah satu indikator ekonomi makro yang cukup penting untuk mengetahui peranan dan kontribusi subsektor hortikultura terhadap pendapatan nasional adalah dengan melihat nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Kontribusi hortikultura pada pembentukan PDB memperlihatkan kecenderungan meningkat. Peningkatan tersebut terlihat baik pada PDB kelompok komoditas maupun keseluruhan PDB Hortikultura. Pada tahun 2005 PDB Hortikultura sebesar Rp. 61,79 Trilliun naik menjadi Rp.89,057 Trilliun pada tahun 2009. Perkembangan Nilai PDB Hortikultura Nasional sejak tahun 2005 sampai 2009 per kelompok komoditas dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Tahun 2005-2009 (berdasarkan harga berlaku) No Komoditas Nilai PDB (Milyar Rupiah) 2005 2006 2007 2008* 2009* 4 3 1 Buah-buahan 31.694 35.448 42.362 47.060 50.595 2 Sayuran 22.630 24.694 25.587 28.205 29.005 3 Tan. Hias 4.662 4.734 4.741 4.960 5.348 4 Tan.Biofarmaka 2.806 3.762 4.105 3.853 4.109 Hortikultura 61.792 68.639 76.795 84.078 89.057 *Angka Ramalan Sumber : Ditjen Hortikultura, 2009 Salah satu sentra hortikultura berada di provinsi Sumatera Utara. Pengembangan tanaman pangan dan hortikultura di provinsi Sumatera Utara salah satunya dilakukan melalui pembangunan komoditi unggulan dengan pendekatan wilayah pada kawasan andalan. Kawasan pengembangan tanaman hortikultura di provinsi Sumatera Utara salah satunya adalah Kabupaten Karo. Kabupaten Karo memiliki wilayah dimana kondisi geografi dan topografinya sesuai untuk pengembangan sektor tanaman pangan dan hortikultura. Sektor tanaman pangan dan hortikultura atau tanaman bahan makanan dalam

3 perekonomian wilayah Kabupaten Karo memiliki peran yang cukup penting. Hal ini dapat dilihat dari kondisi perekonomian Kabupaten Karo pada tahun 2009. Kondisi perekonomian Kabupaten Karo tahun 2009 yang diukur berdasarkan perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000 menunjukkan pertumbuhan,walaupun tidak terlalu besar yakni sebesar Rp. 3.175.599.350. Pada tahun 2008 nilai PDRB Kabupaten Karo sebesar Rp.3.019.387.588 dan tahun 2002 sebesar Rp. 2.869.736.960. Sektor pertanian mendominasi struktur perekonomian Kabupaten Karo. Hal ini dibuktikan dengan besarnya sumbangan sektor ini dalam pembentukan PDRB kabupaten Karo tahun 2008 yang mencapai 59,77 %. Subsektor pertanian yang mendominasi nilai PDRB Kabupaten Karo adalah berasal dari subsektor Hortikultura dan Tanaman Pangan yang dikelompokkan dalam Sektor Bahan Makanan yakni sebesar 97,24 % terhadap nilai total sumbangan PDRB dari sektor Pertanian, atau sekitar 77,90 % terhadap nilai PDRB Kabupaten Karo. (BPS KabupatenKaro, 2008). Nilai Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Karo tahun 2007 sampai 2009 atas dasar harga konstan 2000 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Produk Domestik Regional Kabupaten Karo Tahun 2000, 2007 2009. Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 (Jutaan Rupiah) No. Lapangan Usaha Tahun 2000 2007 2008 r) 2009 *) 1. Pertanian 1.393.107,08 1.694.608,66 1.770.599,84 2.030.151,507 2. Pertambangan dan 5.246,34 8.886,84 10.024,67 7.909,467 Penggalian 3. Industri 16.979,24 22.930,56 23.808,49 89.941,069 4. Listrik, Gas dan Air 6.649,37 8.741,30 9.119,99 4.444,863 Bersih 5. Bangunan 65.455,62 105.589,10 108.026,33 172.274,533 6. Perdagangan, Hotel 241.036,18 404.078,38 430.314,26 311.507,531 dan Restoran 7. Pengangkutan dan 154.466,3 269.317,71 282.954,34 166.113,542 Komunikasi 8. Keuangan, 34.888,61 46.186,28 49.092,44 29.851,784 Persewaan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa 186.845,27 312.398,13 335.447,22 365.521,707 PDRB Kabupaten Karo 2.104.374,02 2.869.736,96 3.019.387,58 3.177.716,003 Keterangan : r) = Angka Perbaikan *) = Angka Sementara Sumber : BPS Kabupaten Karo 2009

4 Secara ringkas sumbangan Hortikultura yang terangkai dalam sektor bahan makanan terhadap PDRB dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Sumbangan Hortikultura terhadap Pembentukan PDRB. No Komoditas Sumbangan terhadap PDRB tahun 2008 (%) Nasional Sumut Kab. Karo 1 Tanaman Bahan Makanan 7,5 23,53 77,9 Tanaman Bahan Makanan : Hortikultura dan Tanaman Pangan Sumber: BPS Indonesia, 2009, BPS Sumatera Utara, 2009 dalam Renstra Ditjen Hortikultura 2010. BPS Kabupaten Karo,2009 Dari hal tersebut di atas dapat dilihat bahwa sektor Hortikultura memberi peran yang cukup besar dalam pembentukan nilai perekonomian, namun di samping potensi yang ada terdapat pula beberapa permasalahan dalam pengembangan hortikultura, antara lain : 1. Keterbatasan dan penurunan kapasitas sumberdaya pertanian, 2. Rantai tata niaga yang panjang dan sistem pemasaran yang belum adil dan tidak berpihak kepada petani, 3. Akses terhadap pelayanan usaha dan permodalan masih terbatas, 4. Kelembagaan petani dan posisi tawar petani masih rendah, 5. Sarana dan prasarana penunjang yang terbatas, 6. Rendahnya nilai tambah yang dihasilkan. Selain itu juga rataan kepemilikan lahan petani pedesaan sebesar 0,41 ha. Kondisi tersebut antara lain disebabkan oleh meningkatnya konversi lahan pertanian untuk keperluan pemukiman dan fasilitas umum serta terjadinya fragmentasi lahan karena proses pewarisan khususnya untuk lahan beragroekosistem sawah dan lahan kering. Di satu sisi status penguasaan lahan oleh sebagian besar petani belum memiliki legalitas yang kuat dalam bentuk sertifikat sehingga lahan belum bisa dijadikan sebagai jaminan untuk memperoleh modal usaha melalui perbankan (Ditjen Hortikultura, 2010). Produk hortikultura yang dihasilkan petani pada umumnya kurang berdaya saing, yang ditunjukkan oleh rendahnya kualitas serta terbatasnya jumlah pasokan, keterbatasan kepemilikan lahan petani serta minimnya dukungan sarana dan prasarana dalam melaksanakan usahataninya, Hal ini disebabkan oleh belum diaturnya secara jelas pemanfaatan lahan kering untuk komoditas hortikultura

5 karena peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemanfaatan dan penggunaan lahan pertanian masih jauh dari memadai. Di samping penegakan hukum terhadap peraturan yang ada yang terkait dengan kebijakan pemanfaatan lahan pertanian masih sangat lemah. Kelembagaan usaha yang ada di pedesaan seperti koperasi belum dapat sepenuhnya mengakomodasi kepentingan petani/kelompok tani sebagai wadah pembinaan teknis. Hal ini disebabkan kelembagaan petani yang ada masih bersifat budaya dan sebagian besar berorientasi hanya untuk mendapatkan fasilitas pemerintah. Kelembagaan belum sepenuhnya diarahkan untuk memanfaatkan peluang ekonomi melalui pemanfaatan aksesibilitas terhadap lembaga informasi teknologi, permodalan dan pasar yang diperlukan bagi pengembangan usahatani dan usaha pertanian di pedesaan. Permasalahan yang terjadi dalam sistem agribisnis baik subsistem agribisnis hulu, subsistem usaha tani, subsistem hilir atau pengolahan, subsistem pemasaran dan subsistem jasa. Berbagai permasalahan tersebut akan berdampak pada perekonomian wilayah Kabupaten Karo dalam tataran makro maupun nilai pendapatan yang diperoleh oleh petani. Dalam pengelolaan agribisnis, keterkaitan antar pelaku dari berbagai pihak seperti penghasil produk primer, pengolah, pedagang, distributor dan lain-lain sangat dibutuhkan. Semakin baik keterkaitan dalam pengelolaan sistem agribisnis, maka semakin besar pula perannya terhadap pembentukan perekonomian wilayah. Namun di beberapa daerah termasuk di Kabupaten Karo, keterkaitan antar subsistem ini belum terkait satu dengan yang lainnya. Isu utama yang terjadi di Kabupaten Karo adalah belum terciptanya keterkaitan subsistem usahatani dengan subsistem pengolahan. Beberapa kajian sebelumnya di beberapa daerah juga menunjukkan hal yang sama. Sumunaringtyas (2010) mengkaji peran agribisnis hortikultura di Kabupaten Bandung Barat Sektor, disimpulkan bahwa hortikultura terkait ke belakang cukup kuat dengan sektor industri pengolahan. Sektor industri pengolahan menghasilkan output yang digunakan sebagai input oleh sektor-sektor hortikultura. Sehingga masih dibutuhkan pengolahan di kabupaten tersebut. Hotman (2006) mengkaji mengenai Peran Sektor Tanaman Bahan Makanan

6 dalam pembangunan ekonomi di Propinsi Sumatera Utara. Dalam kajiannya terlihat bahwa Sektor tanaman bahan makanan di Provinsi Sumatera Utara mempunyai keterkaitan tertinggi ke depan teringgi dengan sektor industri makanan, minuman dan tembakau. Isu pengolahan juga menjadi penting dalam kajian tersebut. Darmansyah, Rochana dan Hamidah (2010) mengkaji Strategi Pembangunan Daerah yang Berwawasan Agribisnis di Kabupaten Cirebon dalam penelitian ini disimpulkan bahwa strategi pembangunan daerah Kabupaten Cirebon seyogyanya melakukan strategi agresif, dengan strategi umum meliputi pertumbuhan terkonsentrasi, integrasi horizontal, dan pengembangan pasar dan produk. Sementara strategi operasional pembangunan daerah Kabupaten Cirebon yang berwawasan agribisnis adalah meningkatkan efisiensi pengelolaan usahatani dan agroindustri, meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan daerah, meningkatkan produksi dan mutu produk berdasarkan produk unggulan daerah/wilayah sekaligus memperluas pasar melalui penataan wilayah dan pemanfaatan sarana informasi dan komunikasi, meningkatkan kerja sama program dan proyek lintas sektoral dan lintas wilayah. Kecamatan-kecamatan yang berada di Kabupaten Karo saat ini masih belum memiliki keterkaitan secara ekonomi. Masing-masing kecamatan berkembang sendiri-sendiri sesuai potensinya. Keterkaitan yang terjadi saat ini masih berupa keterkaitan spasial yaitu dalam hal aliran komoditas dari daerah penghasil ke wilayah kota sebagai pasar. Kota-kota hanya menjadi tempat pengumpulan komoditas ataupun hanya berada di dalam throught traffic aliran komoditas,tidak ada ada proses produksi yang menghasilkan nilai tambah dalam wilayah tetapi langsung dipasarkan dalam bentuk mentah. Untuk itu dibutuhkan integrasi hulu-hilir dan produksi dari produk unggulan yang dilayani oleh sistem transportasi dan sistem pusat-pusat pemukiman yang strategis. Penelitian ini diarahkan untuk melihat keterkaitan antar subsistem-subsistem yang ada sehingga terlihat peran yang diberikan sektor ini terhadap perekonomian di Kabupaten Karo.

7 1.2. Perumusan Masalah Hortikultura merupakan salah satu potensi yang ada di Kabupaten Karo. Komoditas utama hortikultura yang ada di Kabupaten Karo adalah sayuran dan buah-buahan yang tersebar di beberapa wilayah kecamatan. Produksi hortikultura berbeda di tiap-tiap wilayah demikian juga permasalahan yang di hadapi oleh masing-masing kecamatan di Kabupaten Karo. Seperti yang telah diuraikan di atas permasalahan yang secara umum dihadapi adalah: - keterbatasan dan penurunan kapasitas sumberdaya pertanian - sistem alih teknologi masih lemah, - rantai tata niaga yang panjang dan sistem pemasaran yang belum adil dan belum berpihak kepada petani, - akses terhadap pelayanan usaha dan permodalan masih terbatas, - kualitas, mentalitas dan keterampilan sumberdaya petani masih rendah, - kelembagaan petani dan posisi tawar petani masih rendah; - lemahnya koordinasi antar lembaga terkait dan birokrasi, - kebijakan makro ekonomi yang belum berpihak kepada petani. Bila diperhatikan lebih lanjut, permasalahan yang timbul merupakan permasalahan yang terjadi dalam suatu sistem agribisnis, baik subsistem agribisnis hulu, subsistem usahatani, subsistem hilir atau pengolahan, subsistem pemasaran dan subsistem jasa. Berbagai permasalahan yang dihadapi tersebut tentunya akan berdampak pada perekonomian wilayah Kabupaten Karo dalam tataran makro maupun nilai pendapatan yang diperoleh oleh petani. Permasalahan tersebut timbul terkait dengan sistem agribisnis yang terjadi. Permasalahan tersebut secara rinci akan berbeda dari satu kecamatan dengan kecamatan lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik wilayah dan sistem kelembagaan agribisnis yang sudah berlaku di masing-masing kecamatan. Agribisnis sebagai salah satu sistem merupakan konsep pengelolaan pertanian secara luas dan utuh yang terdiri dari subsistem-subsistem. Oleh karena itu dalam pengelolaan agribisnis dibutuhkan keterkaitan yang erat dan utuh antar subsistem seperti subsistem agribisnis hulu, subsistem usahatani,

8 subsistem hilir dan subsistem jasa layanan pendukung. Hal ini berarti bahwa kinerja sistem agribisnis sangat ditentukan oleh efektifitas dari masing-masing subsistem. Dalam pengelolaan agribisnis, keterkaitan antar pelaku dari berbagai pihak seperti penghasil produk primer, pengolah, pedagang, distributor, importir, eksportir dan lain-lain sangat dibutuhkan. Semakin baik keterkaitan dalam pengelolaan sistem agribisnis maka semakin besar pula perannya terhadap pembentukan perekonomian wilayah terutama dalam memberikan sumbangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Selain itu agribisnis juga berperan sebagai penyedia bahan kebutuhan hidup (pangan, perumahan dan pakaian), penghasil devisa, pencipta lapangan kerja dan sumber pendapatan masyarakat. Oleh karena itu perkembangan sistem agribisnis hulu, subsistem usahatani, subsistem hilir dan subsistem jasa layanan pendukung harus dapat dideskripsikan terlebih dahulu. Tahapan selanjutnya adalah dengan mengevaluasi kondisi dan kelengkapan sarana dan prasarana wilayah sebagai penunjang pembangunan agribisnis hortikultura. Oleh karena itu kelengkapan dan kondisi sarana prasarana sistem pemukiman perlu dievaluasi. Pembangunan agribisnis juga membutuhkan sarana prasarana agribisnis baik sarana prasarana budidaya, pasca panen, pengolahan dan pemasaran. Ketersediaan sarana prasarana tersebut mempengaruhi perkembangan subsistemsubsistem agribisnis dan berdampak pada sistem agribisnis itu sendiri. Hal ini tentu saja berpengaruh pada perekonomian wilayah. Oleh karena itu kondisi dan kelengkapan sarana dan prasarana agribisnis perlu dievaluasi. Pengembangan agribisnis hortikultura dipengaruhi juga oleh kondisi rantai pasokan yang terjadi di lapangan. Pengembangan kawasan hortikultura berkaitan erat dengan Supply Chain Management (SCM) yang terjadi dalam aliran komoditas hortikultura. Nilai margin dari tiap elemen yang terlibat dalam rantai pasokan yang terjadi juga perlu dianalisis dan dihitung. Produk hortikultura dalam negeri saat ini baru mampu memasok kebutuhan konsumen dalam negeri/pasar tradisional dan masih sangat sedikit yang diekspor. Sistem produksi di lokasi yang terpencar, skala usaha sempit dan belum efisien

9 serta jumlah produksi yang terbatas menjadi penyebab utama produk hortikultura nasional kurang kompetitif di pasar internasional. Pembangunan agribisnis hortikultura perlu dilakukan dengan pendekatan yang komprehensif dengan memperhatikan keseluruhan aspek dan segmen agribisnis dari hulu sampai ke hilir dan perangkat penunjangnya menuju keseimbangan antara usaha peningkatan produksi, perbaikan distribusi dan peningkatan konsumsi, yang menguntungkan semua pihak. Untuk memetakan kondisi dan permasalahan yang ada, membuat analisis kebutuhan perbaikan, menetapkan target-target perbaikan dan menyusun rencana aksinya perlu digunakan pendekatan SCM atau Pengelolaan Rantai Pasokan. Pada intinya SCM adalah suatu jejaring organisasi yang saling tergantung dan bekerjasama secara menguntungkan melalui pengembangan sistem manajemen untuk perbaikan sistem penyaluran produk, informasi, pelayanan dan dana dari pemasok ke pengguna akhir (konsumen). Konsep SCM dilakukan agar peningkatan daya saing itu tidak semata dilakukan melalui perbaikan produktivitas dan kualitas produk, tetapi juga melalui pengemasan, pemberian merk, efisiensi, transportasi, informasi, penguatan kelembagaan dan penciptaan inovasi secara kontinu dan sistematik. SCM merupakan siklus lengkap produksi, mulai dari kegiatan pengelolaan di setiap mata rantai aktifitas produksi sampai siap untuk digunakan oleh pemakai/user. Pendekatan SCM didasarkan pada; (a) Proses budidaya untuk menghasilkan produk (hortikultura), (b) Mentransformasikan bahan mentah (penanganan panen dan pasca panen), dan (c) Pengiriman produk ke konsumen melalui sistem distribusi. Dengan demikian dalam penerapan SCM tidak hanya menuntut GAP (Good Agriculture Practices), tetapi juga mencakup GHP (Good Handling Practices), GMP (Good Manufacturing Practices) dan GTP (Good Trading Practices). Untuk menjamin keberhasilan penerapan SCM atau Manajemen Pengelolaan Rantai Pasokan perlu memahami faktor-faktor pendukung keberhasilan antara lain : kebijakan, sumber daya manusia, prasarana,sarana, teknologi, kelembagaan, modal/ pembiayaan, sistem informasi, sosial budaya dan lingkungan lain. Proses aktifitas dalam penerapan SCM memiliki 5 (lima) aliran

10 utama yang harus dikelola dengan baik yakni aliran produk, aliran informasi, aliran dana, aliran pelayanan dan aliran kegiatan. Selanjutnya dianalisis peran hortikultura terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Karo. Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah menggunakan analisis Input Output. Dengan analisis tersebut dapat diketahui keterkaitan subsektor hortikultura dengan subsektor atau sektor lainnya baik forward dan backward linkage. Selain itu juga dapat diketahui multiplier effect subsektor hortikultura terhadap peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan hasil analisis tersebut selanjutnya dapat disusun rekomendasi implikasi kebijakan yang diperlukan dalam peningkatan agribisnis hortikultura dalam perekonomian wilayah Kabupaten Karo. Dengan memperhatikan uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas, terdapat beberapa pertanyaan penelitian yang akan diajukan dalam penelitian ini, yaitu : 1. Bagaimana peran agribisnis hortikultura terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Karo? 2. Bagaimana tingkat perkembangan subsistem-subsistem agribisnis hortikultura di Kabupaten Karo? 3. Bagaimana kondisi dan kelengkapan sarana prasarana wilayah dan sistem agribisnis di Kabupaten Karo? 4. Bagaimana tata niaga atau rantai pasokan dalam sistem agribisnis hortikultura di Kabupaten Karo? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis peran agribisnis hortikultura terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Karo. 2. Mendiskripsikan tingkat perkembangan subsistem-subsistem agribisnis hortikultura di Kabupaten Karo. 3. Mengevaluasi kondisi dan kelengkapan sarana dan prasarana wilayah dan sistem agribisnis di Kabupaten Karo. 4. Mengevaluasi struktur tata niaga atau rantai pasokan dalam sistem agribisnis hortikultura di Kabupaten Karo.

11 Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Memberikan masukan kepada pemerintah daerah mengenai pengembangan agribisnis hortikultura di Kabupaten Karo. 2. Memberikan arahan kebijakan pada pemerintah daerah mengenai peningkatan peran subsektor hortikultura bagi perekonomian wilayah Kabupaten Karo.