1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi kecacingan merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang masih tinggi prevalensinya terutama pada kelompok umur balita dan anak usia sekolah dasar terutama di daerah pedesaan dan daerah kumuh perkotaan (Mardiana dan Djarismawati, 2008). Anak sekolah merupakan aset atau modal utama pembangunan di masa depan yang perlu dijaga, ditingkatkan dan dilindungi kesehatannya. Usia sekolah bagi anak juga merupakan masa rawan terserang berbagai penyakit. Salah satu penyakit yang banyak diderita oleh anak-anak, khususnya usia sekolah dasar adalah penyakit infeksi kecacingan, yaitu sekitar 40-60 %. Penyakit kecacingan atau biasa disebut cacingan masih dianggap sebagai hal sepele oleh sebagian besar masyarakat (Depkes RI, 2007) Definisi infeksi Kecacingan menurut World Health Organization(WHO) adalah sebagai infestasi satu atau lebih cacing parasit usus yang terdiri dari golongan nematoda usus. Diantara nematoda usus ada sejumlah spesies yang penularannya melalui tanah atau biasa disebut dengan cacing jenis STH (soil transmitted helminths) yaitu cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) dan cacing cambuk (Trichuris trichiura) (Gandahusada, 2006). Infeksi kecacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara
2 ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia (Depkes RI, 2004). Penyakit ini merupakan penyakit infeksi yang paling umum menyerang kelompok masyarakat ekonomi lemah dan ditemukan pada berbagai golongan usia. Cara infeksi cacing ini dapat terjadi melalui beberapa jalan, yaitu telur infektif masuk ke dalam mulut bersama makanan dan minuman yang tercemar, melalui tangan yang kotor tercemar terutama pada anak, atau telur infektif terhirup melalui udara bersama debu (Soedarto, 2008). Berbagai faktor mendukung tingginya angka kesakitan infeksi cacing perut di Indonesia. Letak geografis Indonesia di daerah tropik yang mempunyai iklim yang panas akan tetapi lembab memungkinkan cacing perut akan berkembang biak dengan baik. Banyak penduduk Indonesia yang berpendidikan rendah, sehingga pengetahuan tentang cara untuk hidup sehat, cara untuk menjaga kebersihan perseorangan bagi dirinya dan kebersihan makanan dan minuman serta cara makannya belum di pahami dengan baik. Selain itu banyak keluarga yang tidak memiliki jamban keluarga, sehingga mereka membuang kotoran (buang air besar) di halaman rumah, di kebun atau di selokan yang terbuka sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan hidup oleh kotoran manusia yang mengandung stadium infektif cacing perut. Penduduk yang sangat padat lebih mempermudah penyebaran infeksi cacing perut ini (Soedarto, 1991). Di dunia kurang lebih 2 milyar orang terinfeksi berbagai jenis cacing. Infeksi tersebar luas di daerah tropis dan subtropis beriklim basah dimana hygiene
3 dan sanitasinya buruk, dengan penderita terbesar berada di sub-sahara Afrika, Amerika, Cina dan Asia Timur. Jumlah orang yang terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides adalah 800 juta sampai 1,4 milyar, yang terinfeksi cacing Trichuris trichiura sebanyak 600 juta sampai 1 milyar, dan yang terinfeksi cacing Ancylostoma duodenale dan Necator americanus sebanyak 580 juta sampai 1,2 milyar. Angka kematian akibat cacing ini sekitar 3.000 sampai 60.000 per tahun (WHO, 2015). Lebih dari 270 juta anak usia prasekolah dan lebih dari 600 juta anak usia sekolah membutuhkan intervensi pencegahan dan pengobatan karena tinggal di daerah dimana penyakit ini ditransmisikan secara terus-menerus, sehingga mereka sangat rentan terinfeksi. Hal ini disebabkan karena anak-anak lebih sering mengalami kontak dengan tanah (kebiasaan bermain di tanah), serta masih kurangnya kesadaran untuk menjaga kebersihan diri dan juga karena rendahnya mutu sanitasi (WHO, 2015). Menurut Depkes (2008) prevalensi kecacingan di Indonesia masih relatif tinggi yaitu sebesar 32,6% dan di dominasi oleh Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Hookworm, Strongyloides, Necator americanus. Berdasarkan hasil survei kecacingan oleh Ditjen P2PL (2009) menyebutkan bahwa 31,8% siswasiswi SD menderita kecacingan. Berdasarkan survei Dinas Kesehatan Tingkat 1 Sumatera Utara (2009) yang dilakukan pada siswa-siswi SD di 13 Kabupaten/kota, prevalensi Ascaris lumbricoides 39%, Hookworm 5%, dan Trichuris trichiura 24% (Daim, 2011). Berdasarkan hasil survei pemeriksaan tinja pada anak SD di 10 kabupaten/kota di Indonesia, tahun 2011 diketahui dari sekitar
4 3.666 siswa di 64 SD, sekitar 829 anak mengidap cacingan atau prevalensinya sekitar 22,6 persen (Kemenkes, 2012). Infeksi kecacingan menjadi penyakit no. 2 tersering diderita pada anak dengan prevalensi rate yaitu 22,6% (Riskesdas, 2013 dan Evaluasi Program PP dan PL 2010-2013). Tabel 1.1 Sepuluh Penyakit Tersering Diderita pada Anak Tahun 2013 No. Nama Penyakit Prevalensi Rate 1. Infeksi Saluran Pernapasan 25,0% Akut 2. Kecacingan 22,6% 3. Anemia Gizi 17,6% 4. Malaria 6,0% 5. Asma 4,5% 6. PPOK 3,7% 7. Diare 3,5% 8. Pnemonia 1,8% 9. Hepatitis 1,2% 10 TB Paru 0,4% Penelitian yang dilakukan oleh Simarmata (2010) di tiga SD di Kecamatan Kabanjahe dan Simpang Empat, Kabupaten Karo melaporkan bahwa prevalensi kecacingan didapatkan sebesar 58.7%. Prevalensi infeksi Trichuris trichiura sebesar 22.6%, infeksi Ascaris lumbricoides sebesar 6.8%, dan infeksi campuran antara Trichuris trichiura dengan Ascaris lumbricoides sebesar 70.6%. Penelitian yang dilakukan oleh Tarigan (2011) pada murid SD Negeri 067244 Kecamatan Medan Selayang mendapat hasil bahwa dari total 23 orang anak yang terinfeksi cacing, 13 orang (56,5%) terinfeksi Trichuris trichiura, 6 orang (26,0 %)
5 terinfeksi Ascaris lumbricoides dan 4 orang (17,5%) terinfeksi Trichuris trichiura dan Ascaris lumbricoides. Penelitian yang dilakukan oleh Ariffin (2011) pada murid SD Negeri 101837 Suka Makmur Kecamatan Sibolangit melaporkan bahwa dari 64 sampel yang fesesnya diperiksa ditemukan 49 anak (76,6%) terinfeksi Ascaris lumbricoides. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Simbolon (2014) pada anak kelas I VI di SD Salsabila Kecamatan Medan Marelan, dari 81 siswi perempuan yang di periksa sample tinja, ternyata 48 orang (59,3%) positif terinfeksi telur cacing Ascaris lumbricoides. Prevalensi infeksi kecacingan yang tinggi dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, rendahnya higiene perorangan (perilaku hidup bersih dan sehat) seperti kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar, kebersihan kuku, kebiasaan kontak dengan tanah, penggunaan alas kaki, dan rendahnya sanitasi dasar, seperti kurangnya pemakaian jamban keluarga yang menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, bawah pohon, tempat mencuci dan tempat pembuangan sampah. Dan dapat juga disebabkan oleh sanitasi lingkungan yang buruk, seperti di Kelurahan Paya Pasir, Kecamatan Medan Marelan yang berdekatan dengan TPA Terjun yang merupakan Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Kondisi sampah yang berserakan di halaman rumah sangat memungkinkan mengandung telur cacing yang infektif, dan keluarmasuknya truk pengangkut sampah di sekitar lingkungan rumah dan sekolah berdampak buruk bagi kesehatan anak dan sangat beresiko terinfeksi telur cacing karena telur cacing dapat terhirup melalui udara bersama debu.
6 Berdasarkan beberapa data dan uraian diatas maka penulis melakukan penelitian untuk mengetahui Hubungan sanitasi dasar dan higiene perorangan dengan infeksi kecacingan pada murid SD Negeri 067773 di Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan Tahun 2016. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dilihat bahwa masih tingginya angka infeksi kecacingan, usaha sanitasi dasar yang kurang baik, serta higiene perorangan yang masih perlu diperhatikan, maka penulis ingin mengetahui Hubungan Sanitasi Dasar dan Higiene Perorangan dengan Infeksi Kecacingan Pada Murid SD Negeri 067773 Di Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan Tahun 2016. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan sanitasi dasar dan higiene perorangan dengan infeksi kecacingan pada murid SD Negeri 067773 di Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan Tahun 2016. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui kondisi sanitasi dasar siswa-siswi SD Negeri 067773 Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan. 2. Untukmengetahui higiene perorangan siswa-siswi SD Negeri 067773 Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan. 3. Untuk mengetahui kejadian infeksi kecacingan pada siswa-siswi SD Negeri 067773 Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan.
7 4. Untuk mengetahui hubungan sanitasi dasar dengan infeksi kecacingan pada siswa-siswi SD Negeri 067773 Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan. 5. Untuk mengetahui hubungan higiene perorangan dengan infeksi kecacingan siswa-siswi SD Negeri 067773 Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan masukan bagi pihak sekolah untuk membuat penyuluhan kepada siswa - siswi agar dapat meningkatkan usaha sanitasi dasar dan perilaku higiene perorangan pada murid. 2. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas setempat agar lebih memperhatikandan menggalakkan program UKS, diharapkan dapat meningkatkan usaha sanitasi dasar dan perilaku higiene perorangan pada siswa yang berada pada wilayah kerjanya. 3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain yang ingin melaksanakan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan sanitasi dasar dan higiene perorangan dengan infeksikecacingan pada murid sekolah dasar.