BAB I PENDAHULUAN. ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, sebagai negara hukum Indonesia. dengan sebutan norma hukum, dimana hukum mengikatkan diri pada

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing, mungkin

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang


II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. demokratis yang menjujung tinggi hak asasi manusia seutuhnya, hukum dan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi kekacauan-kekacauan,

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia perjudian masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditegaskan bahwa Negara

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara hukum, menyebabkan kita akan dihadapkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pergaulan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat tersebut, aturan-aturan tersebut disebut juga normanorma

BAB I PENDAHULUAN. Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah Negara Hukum. Di samping itu Pasal 27 Ayat 1 (1) Undang -

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian:

BAB I PENDAHULUAN. pelaku dan barang bukti, karena keduanya dibutuhkan dalam penyidikkan kasus

Hukum Acara Pidana disebut hukum pidana formal, untuk membedakan dgn hukum pidana materiil.

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

KUASA HUKUM Ir. Tonin Tachta Singarimbun, S.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 28 Februari 2013

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

BAB I PENDAHULUAN. secara biasa, tetapi dituntut dengan cara yang luar biasa. juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. suatu kegiatan untuk menjaga dan mengawal hukum agar tetap tegak sebagai

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. ada juga kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak. Anak yaitu seorang yang belum berumur 18 tahun dan sejak masih dalam

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, sebagai negara hukum Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Konsekuensi dari itu semua adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh setiap warga Negara Indonesia. Hukum bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan karena itu pula hukum berupa norma. Hukum yang berupa norma dikenal dengan sebutan norma hukum, dimana hukum mengikatkan diri pada masyarakat sebagai tempat bekerjanya hukum tersebut. Di dalam perkembangannya obyektivitas penegakan hukum terasa masih jauh dari harapan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari peradilan yang tidak jujur, hakim-hakim yang terkontaminasi oleh kondisi perilaku pemerintahan yang tidak konsisten, pengacara yang mengerjai rakyat, adalah akumulasi ketidakpercayaan kepada lembaga yudikatif, dalam menjalankan perannya sebagai pelindung, pengayom rakyat, yang berdampak pada tatanan kehidupan masyarakat yang tidak menganggap hukum sebagai jaminan keselamatan di dalam interaksi sesama warga masyarakat.

2 Berbagai kasus merebak sejalan dengan tuntutan akan perubahan, yang dikenal dengan reformasi, tampak di berbagai lapisan masyarakat dari tingkat atas sampai bawah terjadi penyimpangan hukum. Pembangunan masyarakat hukum madani (civil society) merupakan tatanan hidup masyarakat yang memiliki kepatuhan terhadap niiai-nilai hukum. Akan tetapi dalam perjalanan (transisi) perubahan terdapat sejumlah ketimpangan hukum yang dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sudah diatur mengenai berbagai bentuk tindak pidana yang salah satunya adalah pencurian. Dalam sejarah peradaban manusia pencurian ada sejak terjadi ketimpangan antara kepemilikan benda-benda kebutuhan manusia, kekurangan akan kebutuhan, dan ketidak pemilikan cenderung membuat orang melakukan perbuatan pidana ini (pencurian). Pencurian dilakukan dengan berbagai cara, dari cara-cara tradisional sampai pada cara-cara modern dengan menggunakan alat-alat modern dengan pola yang lebih lihai. Hal seperti ini dapat terlihat dimanamana, dan cenderung luput dari jeratan hukum yang lebih parahnya lagi banyak kasus-kasus pencurian yang bukan hanya dilakukan oleh orang dewasa tetapi juga dilakukan oleh anak yang merupakan generasi penerus di masa depan. Akhir-akhir ini berbagai macam bentuk pencurian sudah demikian merebak dan meresahkan orang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan sebagian masyarakat sudah cenderung terbiasa dan seolah-olah memandang pencurian tersebut merupakan kejahatan yang biasa.

3 Tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok seperti yang diatur Pasal 362 KUHP terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif sebagai berikut : a. Unsur Subjektif Dengan maksud untuk menguasai benda secara melawan hukum. b. Unsur Objektif 1. Barang siapa 2. Mengambil 3. Suatu benda 4. Yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain Tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 363 KUHP merupakan suatu pencurian dengan kualifikasi ataupun merupakan suatu pencurian dengan unsur-unsur memberatkan. Maka sudah jelas bahwa pada hakekatnya, pencurian adalah perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, kesopanan maupun norma hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Perkembangan pencurian tidak terlepas dari peran institusi penegak hukum yang saat ini semakin banyak dipertanyakan, mulai dari Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Tidak hanya terbatas pada institusi penegak hukum yang bertanggung jawab, akan tetapi juga semua elemen masyarakat tanpa terkecuali. Masih banyaknya pencurian yang bervariasi jenisnya yang terjadi di kalangan masyarakat menunjukkan bahwa kinerja dari aparat penegak

4 hukum belum maksimal. Hal ini menimbulkan konsekuensi terhadap kepercayaan masyarakat akan institusi pemerintah dan para penegak hukum semakin menurun dari waktu ke waktu. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Rahman Hari Akbar tanggal 1 september 2012 di Kejaksaan Negeri Mataram, kasus pencurian semakin meningkat dari tahun ke tahun, dari banyaknya jumlah perkara yang masuk atau yang telah di tangani oleh Kejaksaan tersebut sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2012, kasus pencurian masih menempati urutan angka tertinggi dibandingkan dengan perkara lainnya, dengan prosentase lebih dari 50% dari keseluruhan jumlah perkara yang ada. Dari banyaknya jumlah kasus pencurian tersebut, sekitar 60% diantaranya adalah pencurian dengan pemberatan dan sisanya sekitar 40% adalah pencurian biasa dan pencurian dengan kekerasan. Hal ini menandakan bahwa kasus pencurian yang paling sering terjadi adalah pencurian dengan pemberatan. Tingginya jumlah kasus tindak pidana tersebut dapat terlihat dengan jelas bahwa kasus pencurian merupakan kasus yang paling sering terjadi dalam masyarakat, khususnya masyarakat di wilayah hukum Kejaksaan Negeri Mataram. 1 Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pencurian dengan pemberatan diatur dalam Pasal 363 KUHP sebagai landasan dan pedoman untuk menangkap setiap bentuk tindak pidana pencurian dengan pemberatan. Pasal inilah yang digunakan sebagai dasar bagi pihak Kepolisian 1 Hasil wawancara Staf Pidana Umum Kejaksaan Negeri Mataram.

5 untuk melakukan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan. Sedangkan bagi pihak Kejaksaan, pasal ini digunakan sebagai dasar dan pedoman untuk melakukan penuntutan. Penuntutan merupakan salah satu tahap di dalam prosedur pemeriksaan perkara pidana yang telah diatur di dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Prosedur pemeriksaan perkara pidana dipisahkan dalam 4 tingkat acara pidana, yaitu : 1. Tahap penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia; 2. Tahap penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum; 3. Tahap pemeriksaan di sidang pengadilan yang dipimpin oleh Hakim; 4. Tahap pelaksanaan putusan pengadilan yang dijalankan oleh Jaksa dan Lembaga Pemasyarakatan dengan pengawasan/ pengamatan Ketua Pengadilan. 2 Pengertian penuntutan dalam Pasal 1 angka 7 KUHAP, yaitu tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang Pengadilan, dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa wewenang untuk melakukan penuntutan adalah terletak ditangan Jaksa Penuntut Umum. Dalam tahap pemeriksaan di sidang Pengadilan yang dipimpin oleh Hakim, pengajuan tuntutan merupakan salah satu bagian yang ada pada tahap tersebut, pengajuan tuntutan diatur dalam Pasal 182 ayat 1 huruf (a) KUHAP, 2 Luhut M.P. Pangaribuan, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Satu Kompilasi Ketentuan-Ketentuan KUHAP dan Hukum Internasional yang Relevan, Cetakan Kedua,Edisi Revisi, (Jakarta,: Djambatan, 2003), hal. 23.

6 yang menyebutkan bahwa setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana. Pengajuan tuntutan ini didasarkan pada perangkaian fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan menjadi suatu konstruksi peristiwa yang sebenarnya dan terhadap peristiwa itu dianalisis hukumnya baik oleh Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum maupun Hakim menurut sudut pandangnya masing-masing. Oleh Jaksa Penuntut Umum analisa ini dimasukkan dalam sebuah surat yang dinamakan surat tuntutan. Di dalam surat tuntutan dicantumkan pertimbangan dalam mengajukan tuntutan pidananya yang terdiri dari hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan terdakwa, sedangkan pada bagian akhir dari surat tuntutan itu Jaksa Penuntut Umum akan menyebutkan tuntutan pidana atas diri terdakwa. Di dalam hukum pidana materiil ada batas maksimum khusus ancaman pidana yang tercantum dalam tiap-tiap rumusan tindak pidana, serta batas minimum umum ancaman pidananya mengacu pada Pasal 12 ayat (2) KUHP, yakni 1 (satu) hari, sehingga dalam mengajukan tuntutan pidana, penuntutan itu berkisar pada batas maksimum khusus dan batas minimum umum ancaman pidana ini, kecuali ada ketentuan pidana yang mengatur secara khusus mengenai batas minimum khusus ancaman pidana. Dari sisi lain, hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan dalam hal pengajuan tuntutan pidana antara perkara pidana yang satu dengan perkara

7 pidana yang lain, tidak terkecuali pada perkara tindak pidana pencurian. Dalam kenyataannya pada perkara-perkara pencurian dengan pemberatan dapat terjadi pengajuan tuntutan pidana yang berbeda, walaupun dari sisi kualitasnya perkara-perkara tersebut tidak terlalu berbeda. Pengajuan tuntuan pidana yang berbeda akan membawa implikasi pula bagi Hakim di dalam menjatuhkan pidana. Implikasi tersebut adalah terjadinya perbedaan dalam hal penjatuhan pidana antara perkara pencurian dengan pemberatan yang satu dengan perkara pencurian dengan pemberatan yang lain, walaupun dari sisi kualitas diantara perkara-perkara pencurian dengan pemberatan tersebut tidak terlalu berbeda, hal ini antara lain disebabkan karena di dalam penjatuhan putusan pidana itu, Hakim mendasarkan pula pada berat ringannya tuntutan pidana pada terdakwa kasus pencurian dengan pemberatan. Mengkaji mengenai dasar pertimbangan yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan berat ringannya tuntutan pidana terhadap terdakwa kasus pencurian dengan pemberatan, merupakan suatu hal yang perlu dilakukan terlebih hal ini terkait dengan penjatuhan pidana yang dijatuhkan oleh Hakim terhadap terdakwa kasus pencurian dengan pemberatan.

8 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang akan penulis bahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana proses penanganan perkara pencurian dengan pemberatan setelah penyerahan berkas perkara dari Penyidik ke Jaksa Penuntut Umum? 2. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan berat ringannya tuntutan pidana terhadap terdakwa kasus pencurian dengan pemberatan? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui dan menganalisa proses penanganan perkara pencurian dengan pemberatan setelah penyerahan berkas perkara dari Penyidik ke Jaksa Penuntut Umum. b. Untuk mengetahui dan menganalisa dasar pertimbangan yang dipakai Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan berat ringannya tuntutan pidana terhadap terdakwa kasus pencurian dengan pemberatan. 2. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak, antara lain :

9 a. Manfaat Akademis Penelitian ini merupakan sarana pembangunan, pemikiran serta memahami dan mendiskripsikan mengenai dasar pertimbangan yang dipakai Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan berat ringannya tuntutan pidana terhadap terdakwa kasus pencurian dengan pemberatan, serta sebagai syarat akademis untuk memperoleh gelar kesarjanaan Strata 1 (S-1) di bidang Ilmu Hukum. b. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pengajaran dan kajian untuk proses belajar mengajar, dan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu hukum khususnya dalam hukum pidana. c. Manfaat Praktis 1. Bagi Penulis Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh, mengumpulkan data dan mengetahui secara langsung yang terjadi di lapangan dan memberikan pengetahuan mengenai dasar pertimbangan yang dipakai Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan berat ringannya tuntutan pidana terhadap terdakwa kasus pencurian dengan pemberatan. 2. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan penjelasan kepada masyarakat tentang pertimbangan Jaksa

10 Penuntut Umum dalam menentukan berat ringannya tuntutan pidana terhadap terdakwa kasus pencurian dengan pemberatan yang akan berpengaruh pada vonis yang dijatuhkan oleh Hakim. 3. Bagi Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Mataram Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemikiran bagi pihak Jaksa Penuntut Umum mengenai pentingnya kewenangan yang melekat pada jabatannya yang dapat menimbulkan tidak terpenuhinya asas-asas keadilan demi terciptanya keadilan dan kepastian hukum berkaitan dengan pertimbangan yang digunakan mengenai berat ringannya tuntutan pidana terhadap terdakwa dalam kasus pencurian dengan pemberatan. D. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini akan difokuskan pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan masalah penelitian yang meliputi : 1. Proses penanganan perkara pencurian dengan pemberatan setelah penyerahan berkas perkara dari Penyidik ke Jaksa Penuntut Umum. 2. Hal apa saja yang dijadikan dasar pertimbangan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan berat ringannya tuntutan pidana terhadap terdakwa kasus pencurian dengan pemberatan.