1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker serviks adalah kanker dengan angka kejadian terbesar kedua di dunia. Hingga saat ini, sekitar 10.000 hingga 13.000 wanita Amerika didiagnosa kanker serviks setiap tahunnya, dan sekitar sepertiganya mengalami kematian (Spencer, 2007). Kanker serviks sangat erat kaitannya dengan infeksi Human Papilloma Virus (HPV). Virus ini umumnya ditransmisikan melalui hubungan seksual (Dunleavay, 2009). Salah satu penanganan kanker adalah dengan pemberian kemoterapi. Kemoterapi merupakan penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat-obat sitotoksik. Kemoterapi dapat dilakukan dengan obat tunggal ataupun kombinasi (Airley, 2009). Penggunaan kombinasi obat lebih efektif dalam menghasilkan respon, mencegah klon sel kanker yang resisten terhadap regimen tunggal, dan memperpanjang harapan hidup dibandingkan dengan obat yang sama secara tunggal (Skeel and Khleif, 2011). Kemoterapi yang diberikan di RSUP Sanglah dengan menggunakan kombinasi obat antara lain adalah kombinasi bleomisin, Oncovin, mitomisin, dan cisplatin (BOMP) serta kombinasi bleomisin, Oncovin, mitomisin, dan karboplatin (BOM- Karboplatin). Pemilihan jenis regimen kemoterapi disesuaikan dengan kondisi klinis pasien seperti fungsi ginjal dan hasil pemeriksaan hematologi (Komite Medik, 2004). Berdasarkan penelitian Wicaksana (2013), tidak terdapat perbedaan yang bermakna
2 pada parameter efektivitas, yaitu antigen SCC pada pasien kemoterapi BOMP. Hal ini menunjukan bahwa kemungkinan terdapat kegagalan terapi BOMP pada pasien kanker serviks tersebut yang diduga karena efek cisplatin sehingga perlu dipertimbangkan untuk memberikan regimen kemoterapi dengan penggantian cisplatin, yaitu kombinasi bleomisin, Oncovin, mitomisin, dan karboplatin (BOM- Karboplatin). Kemoterapi BOM-Karboplatin diberikan secara intravena. Pemberian obat secara intravena dimaksudkan untuk memperoleh konsentrasi terapi obat yang cepat sehingga dapat menghasilkan respon terapi dalam waktu yang singkat (Dougherty and Julie, 2008). Selain itu, pemberian kemoterapi BOM-Karboplatin merupakan salah satu bentuk modifikasi terapi akibat keterbatasan alat radioterapi di RSUP Sanglah. Meskipun memberikan respon terapi yang cepat, namun pemberian obat secara intravena juga dapat meningkatkan risiko terjadinya toksisitas pada pasien (Dougherty and Julie, 2008).Sebagai obat sitotoksik, BOM-Karboplatin tidak hanya berefek pada sel kanker. Toksisitas kemoterapi dapat terjadi pada organ-organ lain yang diakibatkan oleh obat sitotoksik itu sendiri.sel normal yang terkena dampaknya adalah sel dengan laju perputaran yang pesat seperti pada sumsum tulang yaitu dapat terjadi neurotoksisitas dan pada sel-sel selaput lendir dapat terjadi alopesia serta kulit melepuh (Skeel and Khleif, 2011). Ginjal merupakan jalur eliminasi utama untuk obat-obat antineoplastik dan metabolitnya. Sebanyak 50%-60% dari dosis bleomisin; 10-30% dari dosis mitomisin; dan 65% dari dosis Karboplatin dieliminasi lewat ginjal
3 (Anderson et al., 2002). Besarnya jumlah obat sitotoksik yang dieliminasi lewat ginjal serta adanya efek nefrotoksik Karboplatin dan mitomisin pada ginjal akan meningkatkan risiko terjadinya toksisitas ginjal pada pemberian kemoterapi BOM- Karboplatin ini.untuk itu sangat penting dilakukan pemantauan terhadap efek toksik ke ginjal pada pemberian kemoterapi BOM-Karboplatin. Pada penelitian Kurschel et al., (1990), 4 dari 18 pasien yang menerima terapi karboplatin mengalami penurunan fungsi ginjal. Terjadi penurunan GFR setelah 4 hari administrasi karboplatin. Data penelitian tersebut menunjukan bahwa karboplatin menginduksi kerusakan tubular dan glomerular. Dibandingkan dengan cisplatin, nefrotoksisitas karboplatin lebih kecil, namun masih tetap berisiko tinggi pada pasien. Mekanisme biokimia kerusakan ginjal yang disebabkan oleh karboplatin hingga saat ini belum diketahui secara jelas. Adanya platinum pada karboplatin berikatan dengan protein ginjal dan akumulasi platinum pada ginjal kemungkinan besar berperan dalam menginduksi terjadinya nefrotoksisitas akibat adanya kerusakan glomerular. Karboplatin pada dosis tinggi diperkirakan menginduksi nefrotoksisitas melalui kerusakan ginjal oksidatif (Husain et al., 2002). Kerusakan ginjal akibat mitomisin dapat disebabkan efek toksik langsung mitomisin pada sistem endothelium arterial ginjal dan deposisi thrombi fibrin dalam microvasculature ginjal sehingga menyebabkan vaskulitis pada ginjal (Fayyaz, 2013). Penilaian terhadap fungsi ginjal didasari oleh prinsip bahwa ginjal membersihkan suatu substansi dari plasma darah. Untuk penilaian fungsi ginjal secara keseluruhan dapat dilihat dari nilai GFR. GFR menunjukan laju plasma yang
4 difilitrasi oleh glomerulus ginjal. Marker endogen yang ideal untuk penilaian GFR dikarakterisasi dengan laju produksi yang stabil, level sirkulasi stabil, ikatan protein rendah, difiltrasi secara bebas pada glomerulus, serta sekresi atau reabsorpsinya rendah. Marker endogen yang mendekati persyaratan tersebut adalah kreatinin. Selain kreatinin, parameter lain yang dapat digunakan adalah Blood Urea Nitrogen (BUN) (Rhoades and David, 2009). Peningkatan kadar serum kreatinin dan Blood Urea Nitrogen (BUN) pada pasien dapat digunakan untuk menilai derajat efek samping gangguan fungsi ginjal (Duong and Yew-Loh, 2006). Bukti definitif efektivitas terapi kanker adalah perbaikan gejala klinis dan kemampuan bertahan hidup pasien. Selain ukuran tumor, parameter penilaian efektivitas terapi dapat menggunakan antigen SCC (Squamous Cell Carcinoma). Antigen SCC adalah penanda tumor pertama yang digunakan secara komersil. Level antigen SCC serum meningkat secara signifikan pada pasien dengan kanker serviks, kepala, leher dan paru. Level antigen SCC ini meningkat seiring dengan peningkatan stadium penyakit (Wild, 2013). Antigen SCC dapat digunakan sebagai salah satu indikator dalam penentuan efektivitas kemoterapi pada pasien kanker serviks tipe sel skuamosa karena keberhasilan kemoterapi ditandai dengan adanya penurunan kadar antigen SCC (Yoon et al., 2010). Hingga saat ini belum terdapat data yang memadai mengenai tingkat efektivitas dan toksisitas dari kemoterapi BOM-Karboplatin yang diberikan di RSUP Sanglah. Pemantauan hasil kemoterapi pada pasien baik efektivitas maupun toksisitas merupakan salah satu pelaksanaan asuhan pelayanan kefarmasian untuk mencapai
5 kesembuhan yang optimal bagi pasien. Oleh karena itu, pada penelitian kali ini, dilakukan penilaian terhadap efektivitas terapi BOM-Karboplatin dengan menggunakan parameter SCC dan toksisitas kemoterapi BOM-Karboplatin pada organ ginjal dengan menggunakan parameter Scr dan BUN. Dengan demikian akan dapat diperoleh informasi yang dapat digunakan oleh tenaga medis dalam memilihkan kemoterapi yang rasional bagi pasien kanker serviks di RSUP Sanglah Denpasar. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut : 1.2.1 Apakah terdapat perbedaan nilai antigen SCC sebelum kemoterapi I dan skuamosa stadium IIB-IIIB? 1.2.2 Apakah terdapat perbedaan nilai serum kreatinin sebelum kemoterapi I dan skuamosa stadium IIB-IIIB? 1.2.3 Apakah terdapat perbedaan nilai BUN sebelum kemoterapi I dan sesudah kemoterapi III BOM-Karboplatin pada pasien kanker serviks sel skuamosa stadium IIB-IIIB?
6 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui efektivitas kemoterapi BOM-Karboplatin pada pasien kanker serviks sel skuamosa stadium IIB-IIIB 2. Untuk mengetahui toksisitas kemoterapi BOM-Karboplatin pada kasus kanker serviks sel skuamosa stadium IIB-IIIB 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui perbedaan nilai antigen SCC sebelum kemoterapi I dan skuamosa stadium IIB-IIIB 2. Untuk mengetahui perbedaan nilai serum kreatinin sebelum kemoterapi I dan skuamosa stadium IIB-IIIB 3. Untuk mengetahui perbedaan nilai BUN sebelum kemoterapi I dan sesudah kemoterapi III BOM-Karboplatin pada pasien kanker serviks sel skuamosa stadium IIB-IIIB
7 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Adanya informasi mengenai efektivitas kemoterapi BOM-Karboplatin melalui parameter SCC dan informasi mengenai toksisitas kemoterapi BOM-Karboplatin pada ginjal melalui parameter serum kreatinin dan BUN pada kasus kanker serviks tipe sel skuamosa stadium IIB-IIIB. Informasi ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi dokter dan farmasis dalam menentukan kemoterapi kanker serviks tipe sel skuamosa dengan mempertimbangkan manfaat serta risiko sehingga didapatkan hasil pengobatan yang optimal. 2. Meningkatkan peran apoteker sebagai tenaga kesehatan yang menjamin keamanan pasien khususnya dalam memonitor respon terapi dan efek samping kemoterapi pada pasien kanker serviks.