BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memisahkan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif dan publik.

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL

PENDAHULUAN. yang sangat besar, terlebih lagi untuk memulihkan keadaan seperti semula. Sesuai

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran dearah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya desentralisasi fiskal. Penelitian Adi (2006) kebijakan terkait yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dalam menciptakan good governance sebagai prasyarat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. (Maryati, Ulfi dan Endrawati, 2010).

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.otonomi

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan perubahan peraturan perundangan yang mendasari pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. setiap anggaran tahunan jumlahnya semestinya relatif besar. publik. Beberapa proyek fisik menghasilkan output berupa bangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB I PENDAHULUAN. melalui otonomidaerah.pemberian otonomi daerah tersebut bertujuan untuk

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDHULUAN. kebijakan otonomi daerah yang telah membawa perubahan sangat besar terhadap

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL (Studi Empiris di Wilayah Karesidenan Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

BABl PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang mulai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitan. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5 memberikan definisi

BAB 1 PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kebijakan otonomi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

PERKEMBANGAN DAN HUBUNGAN DANA ALOKASI UMUM (DAU), PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN BELANJA PEMERINTAH DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. provinsi terbagi atas daerah-daerah dengan kabupaten/kota yang masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya demokratisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

Pengaruh Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) Terhadap Belanja Modal

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Manajemen pemerintah daerah di Indonesia memasuki era baru seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah.kebijakan ini berlaku di Indonesia berdasarkan UU 22/1999 (direvisi menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas antara fungsi Pemerintahan Daerah (Eksekutif) dengan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Legislatif). Berdasarkan pembedaan tersebut, menunjukkan bahwa antara legislatif dan eksekutif terjadi hubungan keagenan (Halim, 2001; Halim dan Abdullah, 2006). Secara implisit, peraturan perundang-undangan merupakan perjanjianantara eksekutif, legislatif dan publik. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah, pemerintah pusat akan mentransfer Dana Perimbangan yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU)dan bagian daerah dari Dana Bagi Hasil yang terdiri dar Pajak,Cukaidan Sumber Daya Alam. Disamping dana perimbangan tersebut, Pemerintah Daerah mempunyai sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), pembiayaandan lain-lain pendapatan. Kebijakan dana-dana tersebut diserahkan kepada Pemerintahan Daerah. Seharusnya dana transfer dari 1

Pemerintah Pusat diharapkan digunakan secara efektif oleh Pemerintahan Daerah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak daerah, dipisahkandan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Dana Alokasi Umum adalah sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap Daerah Otonom (provinsi/kabupaten/kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana pembangunan, DAU juga salah satu komponen belanja pada APBNdan menjadi salah satu komponen pendapatan APBD. Penyusunan APBD diawali dengan membuat kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang Kebijakan Umum APBD dan Prioritas & Plafon Anggaran yang akan menjadi pedoman untuk penyusunan anggaran pendapatan dan anggaran belanja. Eksekutif membuat rancangan APBD sesuai dengan Kebijakan Umum APBD dan Prioritas & Plafon Anggaran yang kemudian diserahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai Peraturan Daerah (Perda).Dalam perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk kontrak (incomplete contract), yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif. Menurut PP Nomor 58 Tahun 2005 dalam Warsito Kawedar, dkk (2008), APBD merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan setujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Besarnya kewenangan legislatif dalam proses penyusunan anggaran (UU 32/2004) membuka ruang bagi legislatif untuk memaksakan kepentingan pribadinya. Posisi legislatif sebagai pengawas bagi pelaksana 2

kebijakan pemerintah daerah, dapat digunakan untuk memprioritaskan preferensinya dalam penganggaran.untuk merealisasikan kepentingan pribadinya, politisi memiliki preferensi atas alokasi yang mengandung Iucrative opportunities dan memiliki dampak politik jangka panjang. Oleh karena itu, legislatif akan merekomendasi eksekutif untuk menaikkan alokasi pada sektor-sektor yang mendukung kepentingannya. Legislatif cenderung mengusulkan pengurangan atas alokasi untuk pendidikan, kesehatan dan belanja publik lainnya yang tidak bersifat job programs dan targetable. Pergeseran komposisi belanja merupakan upaya logis yang dilakukan pemerintah daerah setempat dalam rangka meningkatkan tingkat kepercayaan publik.pergeseran ini ditujukan untuk peningkatan investasi modal dalam bentuk asset tetap, yakni peralatan, bangunan, infrastruktur dan harta tetap lainnya.semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik, karena aset tetap yang dimiliki sebagai akibat adanya belanja modal merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah menglokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD untuk menambah aset tetap. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, pemerintah daerah seharusnya mengubah komposisi belanjanya.selama ini belanja daerah lebih banyak digunakan untuk belanja rutin yang relatif kurang produktif.saragih 3

(2003) menyatakan bahwa pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misalnya untuk melakukan aktivitas pembangunan.penerimaan pemerintah hendaknya lebih banyak untuk program-program pelayanan publik, hal ini menyiratkan pentingnya mengalokasikan belanja pemerintah daerah untuk berbagai kepentingan publik. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, menunjukkan bahwa potensi fiskal pemerintah daerah antara satu dengan daerah yang lain bisa jadi sangat beragam. Perbedaan ini pada gilirannya dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang beragam pula. Pemberian otonomi yang lebih besar akan memberikan dampak yang lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi, hal inilah yang mendorong daerah untuk mengalokasikan secara lebih efisien berbagai potensi lokal untuk kepentingan pelayanan publik. Kemampuan daerah untuk menyediakan pendanaan yang berasal dari daerah berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), sangat tergantung pada kemampuan merealisasikan potensi ekonomi menjadi bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang mampu menciptakan perguliran dana untuk pembangunan daerah yang berkelanjutan. Kekuasaan legislatif yang sangat besar menyebabkan diskresi atas penggunaan spread PAD sering kali tidak sesuai dengan preferensi publik. Berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, hal tersebut merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan di dalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan pemerintah daerah secara leluasa dapat menggunakan dana ini apakah 4

untuk memberi pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat atau untuk keperluan lain yang tidak penting. Pada studi yang dilakukan oleh Legrenzi& Milas (2001) dalam Abdullah dan Halim (2004) menemukan bukti empiris bahwasanya dalam jangka panjang, transfer berpengaruhi terhadap belanja modal dan pengurangan jumlah transfer dapat menyebabkan penurunan dalam pengeluaran belanja modal. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2002, belanja modal dibagi menjadi; Belanja Publik yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat umum dan sedangkan Belanja Aparatur adalah belanja yang manfaatnya tidak dapat secara langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan kajian atas Pendapatan dan Belanja Modal Provinsi Sumatera Utara tahun 2012-2014. Berdasarkan Permendagri No 13 Tahun 2006, Belanja Modal dapat dikategorikan dalam 5 (lima) kategori utama yaitu Modal Tanah, Belanja Modal Gedung dan Bangunan, Belanja Modal Peralatan dan Mesin, Belanja Modal Jalan Irigasi dan Jaringan, Belanja Modal Fisik dan Lainnya. Transfer dana ditentukan dengan melihat kebutuhan dan kemampuan daerah dalam membiayai belanja daerah. Pemerintah sebagai pembuat dan pengguna anggaran sangatlah bergantung kepada PAD dan DAU. Dalam gambar 1.1 dibawah dapat dilihat yang terjadi pemerintah daerah lebih bergantung kepada dana transfer dari pusat atau provinsi berupa DAU dan DBHP. Seharusnya pemerintah lebih mengoptimalkan dan memaksimalkan PAD berupa pajak daerah 5

dan retribusi daerah sehingga daerah tersebut tidak selalu bergantung kepada DAU. 4.500.000.000.000 4.000.000.000.000 3.500.000.000.000 3.000.000.000.000 2.500.000.000.000 2.000.000.000.000 1.500.000.000.000 1.000.000.000.000 500.000.000.000 0 PAD DAU DBHP TPPBelanja Modal 2012 2013 2014 Sumber : Data Realisasi Anggaran, BPK RI yang diolah 2012-2014 Gambar 1.1Grafik Perkembangan PAD, DAU, DBHPdan Belanja Modal Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara T.A 2012-2014 Untuk menjalankan suatu fungsi dan wewenang pemerintah dalam menjalankan otonomi daerahnya, daerah tersebut harus dapat menggali potensi dan mengidentifikasi sumber daya yang dimiliki.pemerintah daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan untuk memenuhi pembiayaan belanja dan pembangunan didaerahnya melalui PAD. Selain PAD, DAU, dan Dana Bagi Hasil Pajak(DBHP) merupakan salah satu penerimaan daerah yang memiliki kontribusi besar dalam struktur APBD, karena DAU merupakan dana yang berasal dari dana APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka melaksanakan desentralisasi fiscal. 6

Pada pasal 11 UU No. 33 Tahun 2004 DBHP ini terdiri atas pajak bimu dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dan PPh pasal 25 dan pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2010, sumber pembiayaan daerah bukan hanya berasal dari PAD namun terdapat sumber pembiayaan lain salah satunya adalah Bagi Hasil Pajak Daerah yang saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Bagi Hasil Pajak Daerah yang dimaksud adalah Pajak Provinsi. Pendapatan Bagi Hasil Pajak Provinsi Kabupaten/Kota harus diupayakan karena pendapatannya akan berdampak pada kemampuan pembiayaan daerah sehubungan dengan fungsi pelaksanaan pemerintah dan pembangunan daerah. Penelitian sebelumnya telah banyak yang mengangkat permasalahan transfer ini, seperti di Amerika Serikat, persentase transfer dari seluruh pendapatan mencapai 20% untuk pemerintahan federal dan 50% untuk pemerintahan daerah (Fisher, 1996). Di Indonesia pada masa sekarang ini, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, transfer yang dalam hal ini disamakan istilahnya dengan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negri Neto yang ditetapkan dalam APBN. Selanjutnya Darwanto dan Yulia Yustikasari (2007) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai pengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal pada Pulau Jawa dan Bali. Pengaruh DAU dan PAD terhadap Belanja Modal tersebut sebelumnya telah diteliti dan menghasilkan analisis bahwa ketika digunakan dengan lag, pengaruh DAU 7

terhadap Belanja Modal justru lebih kuat daripada PAD Darwanto dan Yulia Yustikasari (2007). Hal ini berarti terjadi Pertumbuhan Ekonomi dalam respon Pemerintahan Daerah terhadap DAU. Selanjutnya Deller dan Maher (2005) meneliti kategori pengeluaran anggaran belanjamodal yang berpengaruh posotif terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah(PAD) dan Dana Alokasi(DAU). Dari tabel 1.1 dan penelitian terdahulu, peneliti termotivasi untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan memodifikasi penelitian Darwanto dan Yulia Yustikasari (2007)dan Deller Maher (2005)dengan menambahkan variabel DBHP dan mengubah pertumbuhan ekonomi menjadi variabel moderating. Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Pendapatan Asli Daerah(PAD), Dana Alokasi Umum(DAU) dan Dana Bagi Hasil Pajak(DBHP) Terhadap Belanja Modal dengan Pertumbuhan Ekonomi sebagi Variabel Moderating pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012-2014. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini sebagai berikut : 1. Apakah Pendapatan Asli Daerah berpengaruh terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2012-2014? 8

2. Apakah Dana Alokasi Umum berpengaruh terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2012-2014? 3. Apakah Dana Bagi Hasil Pajak berpengaruh terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2012-2014? 4. Apakah Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum,dan Dana Bagi Hasil Pajak secarasimultan berpengaruh terhadap Belanja Modal pada pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2012-2014? 5. Apakah Pertumbuhan Ekonomi mampu memoderasi(memperkuat/memperlemah) hubungan antara Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil Pajak dengan Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2012-2014? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerahterhadap Belanja Modal pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2012-2014? 2. Untuk mengetahui pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2012-2014? 9

3. Untuk mengetahui pengaruh Dana Bagi Hasil Pajak terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2012-2014? 4. Untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil Pajak secarasimultan terhadap Belanja Modal pada pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2012-2014? 5. Untuk mengetahui kemampuan Pertumbuhan Ekonomimemoderasi hubungan antara Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil Pajak dengan Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2012-2014? 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Bagi peneliti, sebagai penambah wawasan dan pengetahuan tentang Belanja Modal di Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara. 2. Bagi penelitian selanjutnya, hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai bahan dan masukan dalam melakukan penelitian pada bidang yang sejenis. 3. Bagi Pemerintah Daerah, memberikan masukan dalam hal penyusunan kebijakan di masa yang akan datang dalam hal pengalokasian anggaran belanja modal yang terdapat di dalam APBD. 10