BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Kesadaran bela negara merupakan satu hal yang esensial dan harus dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia (WNI), sebagai wujud penunaian hak dan kewajiban dalam upaya bela negara. Kesadaran ini menjadi modal sekaligus kekuatan bangsa dalam rangka menjaga keutuhan, kedaulatan serta kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) mengatur mengenai upaya bela negara yaitu ketentuan Pasal 27 Ayat (3) : Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara, dan Pasal 30 Ayat (1) : Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Upaya bela negara harus dilakukan dalam kerangka pembinaan kesadaran bela negara sebagai upaya untuk mewujudkan warga negara Indonesia (WNI) yang memahami dan menghayati serta yakin untuk menunaikan hak dan kewajibannya. Kesadaran bela negara diartikan sebagai suatu keadaan tahu, mengerti dan merasa dari tiap-tiap warga negara tentang ke arah mana pada taraf apa, tekad, sikap, dan tindakan warga negara guna meniadakan setiap ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan (AGHT) baik yang datangnya dari luar maupun dari dalam negeri yang akan membahayakan kedaulatan negara, serta kesadaran warga negara dalam terwujudnya kesadaran bela negara yaitu terbentuknya (bela negara) yang berdaulat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 1
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dalam Pasal 9 Ayat (1) dikatakan bahwa: Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara, dalam bela negara menurut Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pertahanan Keamanan Negara, selanjutnya ditulis (UU No.20/1982) adalah tekad, sikap, dan tindakan warga negara yang teratur, menyeluruh, terpadu, dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan pada tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia serta keyakinan akan landasan Pancasila sebagai palsafah ideologi kehidupan berbangsa, bernegara, dan UUD 1945 sebagai dasar negara Republik Indonesia. Pembentukan kesadaran bela negara memang akan sangat efektif bila di lakukan sedini mungkin, dengan cara menanamkan kecintaan kepada tanah air serta kesadaran berbangsa, bernegara, menghayati, dan mengamalkan Pancasila. Kesediaan rela berkorban jiwa raga dan mewujudkan kemampuan awal bela negara, sehingga memiliki sikap mental yang menyadari akan hak dan kewajiban, serta tanggung jawabnya sebagai warga negara Indonesia (Mabesad, 2005:4). Suratman (2008:111), menyatakan bahwa demi menegakkan dan menjunjung tetap tegaknya negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), apa saja termasuk harta benda, kesempatan, bahkan nyawa akan dikorbankan karena sifatnya yang sedemikian dan patriotisme mudah disejajarkan dengan sebuah komitmen yang kukuh dalam membela NKRI, terkait dengan pertahanan negara demi tetap tegaknya NKRI, tentang bela negara sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang merupakan ketentuan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi bagi
setiap warga negara Indonesia baik yang ada di dalam maupun di luar negeri, ikut berperan serta dalam usaha mempertahankan dan menjaga keutuhan NKRI. Suryadinata (2004), menjelaskan bahwa keragaman dan kemajemukan yang dimiliki bangsa Indonesia tersebut sesungguhnya menempatkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang pluralis, berbagai suku, agama, adat istiadat, sosial, dan kebudayaan yang mana sekaligus rentan terhadap ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan baik yang datang dari dalam maupun dari luar negeri, kerentanan tersebut akan dipertajam manakala keanekaragamannya disikapi dengan pendekatan kepentingan, sehingga menjadi tidak mengherankan, jika dalam suatu masyarakat majemuk seperti bangsa Indonesia, peluang terjadinya konflik sosial akan sangat besar. Hal ini tentu saja tidak diinginkan kalau konflik horizontal semata-mata hanyalah karena masalah perbedaan identitas, dimana mengingat keberagaman masyarakat Indonesia sangatlah kompleks dan pluralis. Wahyono Suroto (2009:5), menyatakan bahwa pluralisme di Indonesia tergambar dari jumlah 470 suku bangsa, 18 lingkungan hukum adat, dan tidak kurang dari 300 bahasa yang digunakan oleh kelompok masyarakat Indonesia. Luas wilayah Indonesia kurang lebih sembilan juta km² luas perairan laut kedaulatan (soverignty), di antara dan di sekelilingi pulau-pulau itu sepertiga juta km² perairan laut yang mengelilingi, laut kedaulatan itu sebagai sabuk selebar 200 mil laut dengan hak berdaulat (soverignty rights) atas sumber daya alamnya di atas dan di bawah permukaan, serta berada di lapisan bawah laut kepulauan Indonesia.
Kemajemukan bangsa Indonesia bila disikapi secara arif dan bijaksana merupakan modal dasar sumber daya manusia, di sisi lain dapat juga menimbulkan kerawanan sosial. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini merupakan suatu tragedi yang timbul karena adanya kemajemukan yang tidak disikapi secara arif, hal ini menimbulkan jarak sosial yang menjadi potensi timbulnya konflik, dalam konteks negara Indonesia dapat dilihat dari perbedaan kultur antar etnis yang relatif lebih besar ragamnya, hal ini memang masih bisa ditemukan, misalnya antara etnis-etnis yang ada di Indonesia dan etnis Tionghoa. Bahar (1995:148), menyatakan dalam pendapatnya bahwa, dalam konteks Indonesia perbedaan kultural antar etnis yang relatif besar memang masih banyak ditemukan, misalnya antara etnis India dengan etnis Tionghoa. Secara kultural, mayoritas masyarakat Indonesia lebih intensif memperoleh pengaruh dari kebudayaan India dibandingkan dengan kebudayaan China, padahal antara kedua orientasi budaya ini terdapat perbedaan cukup besar. Implikasi dari besarnya kelompok etnis tersebut adalah beragamnya etnis, suku, sosial, budaya, bahasa, adat istiadat dan agama yang ada di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Jahja (1993:108), mengatakan dalam tulisannya, bahwa realitas sosial politik Indonesia yang terjadi belakangan ini disebabkan adanya pembedaan terhadap warga negara seperti tercermin dalam penyebutan warga negara Indonesia atau WNI asli (pribumi) dan warga negara Indonesia atau WNI keturunan (non-pribumi). Pembedaan penyebutan tersebut lebih banyak dijumpai dalam hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi, politik, dan sosial budaya. Sofyan (2004:81), dalam tulisannya menyatakan bahwa Pribumi adalah
penduduk asli Indonesia seperti suku bangsa Betawi, Dayak, Sunda, Jawa, Ambon, Minahasa, dan sebagainya. Non-pribumi adalah WNI keturunan asing. Suryadinata (2010:3-90), menerangkan bahwa etnis Tionghoa di Indonesia mempunyai sejarah panjang. Cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun (factor) menyebut nama seorang Laksamana Cheng Ho, dia adalah seorang pelaut penjelajah dari negeri Tiongkok (China) yang sangat terkenal, dengan ekspedisi melakukan beberapa penjelajahan sampai kepulauan Indonesia. Bahkan di dalam sejarah diriwayatkan, salah seorang pengikut dari pasukan Cheng Ho ada yang bermukim di bumi nusantara. Etnis Tionghoa dalam perjalanannya di Indonesia menjalankan peran penting, baik pada masa pergerakan nasional mempertahankan kemerdekaan, maupun ikut andil dalam usaha pembangunan pasca kemerdekaan. Beberapa nama memiliki jasa kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia antara lain: Liem Koenhian, Laksamana Jhon Lie, Yap Thian Hien, dan Soe Hok Gie. Keberadaan etnis Tionghoa sebagai warga negara Indonesia sampai saat ini merupakan suatu masalah yang memerlukan penanganan secara serius, di sisi lain keberadaan etnis Tionghoa sebagai warga negara Indonesia dengan hak dan kewajibannya tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan warga negara Indonesia yang lainnya, didasari hal inilah perlu adanya penggantian istilah sebutan terhadap etnis tersebut. Dalam bukunya Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa, bahwa sebutan Tionghoa perlu diperkenalkan kembali untuk menggantikan istilah China yang dirasakan menyakitkan (Suryadinata, 1999:x). Kelompok etnis Tionghoa di wilayah Glodok merupakan salah satu kelompok etnis Tionghoa bagian dari kota lama ibu kota Jakarta. Sejak masa
pemerintahan Hindia Belanda, daerah ini juga dikenal sebagai Pechinan terbesar di Batavia, mayoritas penduduk yang berdomisili di Glodok adalah keturunan etnis Tionghoa. Secara administratif daerah ini merupakan wilayah Kelurahan Glodok yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Taman Sari Kotamadya Jakarta Barat. Kawasan ini sangat kental dengan ciri khas budaya Tionghoa, sehingga tidak heran jika masyarakat menyebut daerah ini sebagai Pechinan atau (China Town) sebagai salah satu kawasan tua di daerah Jakarta. Sejak jaman penjajahan kolonial Belanda dan masih bernama Batavia, keberadaan warga masyarakat etnis Tionghoa yang bertempat tinggal di daerah Glodok tersebut, masih ada keberadaannya sampai dengan saat ini, sebagai penduduk yang bermukim turun temurun yang bermata pencharian, tinggal, berkerja, serta hidup sebagai mahluk sosial, dan berinteraksi di wilayah Kelurahan Glodok. Pemilihan obyek penelitian ini didasarkan pada beberapa hal yang menyangkut kesadaran bela negara etnis Tionghoa sebagai salah satu warga negara Indonesia seperti apa yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002, tentang Pertahanan dan Keamanan Negara. Warga etnis Tionghoa yang berada tinggal di wilayah Kelurahan Glodok Kecamatan Taman Sari Jakarta Barat, mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan warga lainnya yang ada di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, untuk ikut seta dalam usaha pembelaan negara (bela negara) sesuai dengan peraturan pemerintah dan peraturan Undang-Undang. Penelitian ini sangat menarik untuk menjadi kajian, dalam penelitian ini peneliti lebih jauh membahas sikap dan kesadaran warga negara Indonesia
keturunan etnis Tionghoa yang ada di wilayah Kelurahan Glodok Kecamatan Taman Sari Jakarta Barat, dikaitkan dengan kesadaran bela negara dan implikasinya terhadap ketahanan wilayah. 1.2 Permasalahan Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merumuskan pertanyaan tentang permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana kesadaran bela negara di kalangan warga etnis Tionghoa di wilayah Kelurahan Glodok Jakarta Barat? 2. Bagaimana kendala yang dihadapi kalangan warga etnis Tionghoa dalam kesadaran bela negara di wilayah Kelurahan Glodok Jakarta Barat? 3. Bagaimana implikasinya terhadap ketahanan wilayah di wilayah Kelurahan Glodok Jakarta Barat? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kesadaran bela negara di kalangan warga etnis Tionghoa di wilayah Kelurahan Glodok Jakarta Barat dari sudut pandang suatu ketahanan wilayah. Secara khusus tujuan penelitian ini dirinci sebagai berikut: 1. Mengetahui kesadaran bela negara di kalangan warga etnis Tionghoa di wilayah Kelurahan Glodok Jakarta Barat. 2. Mengetahui kendala yang dihadapi di kalangan warga etnis Tionghoa dalam kesadaran bela negara di wilayah Kelurahan Glodok Jakarta Barat. 3. Mengetahui implikasinya terhadap ketahanan wilayah di wilayah Kelurahan Glodok Jakarta Barat.
1.4 Keaslian Penelitian Keberadaan Penelitian yang mengangkat mengenai masalah ketahanan wilayah telah banyak dilakukan dalam beberapa tinjauan, akan tetapi penelitian tentang ketahanan wilayah yang dikaitkan dengan tinjauan masalah kesadaran bela negara pada warga etnis Tionghoa di wilayah Kelurahan Glodok Jakarta Barat merupakan permasalahan yang baru dan belum pernah diteliti oleh para peneliti sebelumnya, menyangkut dengan kesadaran bela negara dan implikasinya terhadap ketahanan wilayah. Hasil penelitian yang berkaitan dengan etnis Tionghoa dan sosial budaya dalam beberapa tinjauan dapat dilihat dari perbandingan judul yang terdahulu dan hasil penelitian tesis yang pernah dilakukan oleh para peneliti-peneliti yang dilakukan sebelumnya, yaitu: Tabel 1.1 Hasil Penelitian Tesis Terdahulu No Nama/Tahun Judul Hasil Penelitian 1. Wuri Handayani, 1991 2. La Ode, M.D. 1997 Asimilasi di Pontianak: Kajian Tentang Masyarakat (Keturunan China) dan Program Pembauran Bangsa Tiga Muka Etnis China-Indonesia. Fenomena di Kalimantan Barat (Perspektif Ketahanan Penelitian ini lebih menekankan pada struktur sosial antara masyarakat keturunan China dengan masyarakat pribumi, serta dominasi masyarakat keturunan China dalam bidang ekonomi. Asimilasi yang dilakukan etnis Tionghoa dengan etnis Dayak menghasilkan etnis baru yang dikenal dengan sebutan Orang Khek.
Lanjutan Tabel 1.1 No Nama/Tahun Judul Hasil Penelitian Nasional) 3. Hardowiyono, 2004 Integrasi Sosial antara Etnis Jawa dan Etnis Madura serta Implikasinya terhadap Ketahanan Sosial Budaya: Studi Kasus di Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang 4. Sujiati, 2004 Pola Akomodasi Masyarakat Tionghoa Dalam Berhadapan Dengan Birokrasi Pelayanan Publik: Studi di Kota Pontianak 5. Ronika, 2007 Peran Budaya Jawa terhadap Ketahanan Sosial Budaya Masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta 6. Suyadi, 2011 Pelaksanaan Bela Negara di Kalangan Etnis Tionghoa Muslim dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah: Studi di Berisi deskripsi tentang integrasi etnis Jawa dan etnis Madura di Kecamatan Gondanglegi, analisis menunjukkan bahwa terdapat dampak berupa sinergi yang positif dalam memajukan pembangunan di daerah. Berisi deskripsi menekankan pada pola akomodasi dan adaptasi yang dilakukan oleh etnis Tionghoa dengan biro pelayanan publik yang mengarah pada suatu kerja sama untuk mendapatkan pelayanan publik dan kepentingan timbal balik antara etnis Tionghoa dan birokrasi pelayanan publik masyarakat. Berisi deskripsi budaya Jawa, selanjutnya dianalisis secara kualitatif yang menghasilkan adanya peran keselarasan dan penghormatan dalam budaya Jawa, yang berpengaruh pada aspek ketahanan sosial budaya. Berisi deskripsi etnis Tionghoa di Yogyakarta yang beragama muslim, lebih memahami konsep bela negara, selain itu jiwa nasionalismenya lebih tinggi dibanding yang non
Lanjutan Tabel 1.1 No Nama/Tahun Judul Hasil Penelitian Kota Yogyakarta Sumber: Dokumentasi peneliti, 2017 muslim, yang diwujudkan dalam kehidupan seharihari dengan keterlibatan untuk kegiatan sosial, kegiatan keagamaan sampai pada kegiatan kampung,seperti halnya: siskamling, kerja bakti, posyandu, karang taruna, bakti sosial. Tabel di atas dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya, bahwa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu sangat berbeda dengan penelitian yang sudah ada, dimana dalam penelitian ini membahas tentang makna kesadaran bela negara, wujud kesadaran bela negara masyarakat etnis Tionghoa yang berimplikasi terhadap ketahanan wilayah dengan fokus lokasi di wilayah Kelurahan Glodok Kecamatan Taman Sari Jakarta Barat. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan dari hasil riset terdahulu, belum ada yang fokus bahasannya tentang kesadaran bela negara dan implikasinya terhadap ketahanan wilayah warga etnis Tionghoa yang berada di wilayah Kelurahan Glodok Jakarta Barat dengan beberapa penelitian di atas yang telah dilakukan. Dilihat dari tulisan yang telah ada dari penelitian sebelumnya terdapat penelitian yang hampir mendekati kesamaan adalah riset yang ditulis oleh (Suyadi, 2011), studi kasus di Yogyakarta, dengan judul Pelaksanaan Bela Negara di Kalangan Etnis Tionghoa Muslim dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah di Kota Yogyakarta.
1.5 Kegunaan Penelitian Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat sebagai berikut: 1. Mengembangkan pengetahuan tentang ketahanan wilayah terutama yang terkait dengan masalah potensi konflik. 2. Mengaktifkan proses pembinaan kesadaran bela negara bagi kalangan warga negara Indonesia (WNI) terutama bagi keturunan etnis Tionghoa. 3. Mengembangkan ilmu pengetahuan sosial terutama dalam konteks pluralisme, kehidupan etnis yang ada di Indonesia dengan etnis Tionghoa. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: a. Bagi pengambil kebijakan dalam hal ini pemerintah untuk secara arif dan bijaksana, berperan aktif dalam mencegah dan meredam diskriminasi serta mengatasi konflik dan melaksanakan pendidikan dan sosialisasi tentang kesadaran bela negara di kalangan masyarakat etnis Tionghoa. b. Bagi masyarakat diharapkan dapat memahami arti pentingnya kesadaran bela negara dalam menjaga ketahanan wilayah pada khususnya dan ketahanan nasional pada umumnya. Masyarakat Indonesia diharapkan dapat mengambil pelajaran, menghargai arti kemajemukan kelompok-kelompok etnis yang ada di Indonesia dan keragaman bentuk pluralis yang ada. Hal ini akan lebih mempererat jiwa persaudaraan, persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Bagi penulis sendiri menjadikan suatu wawasan dan pengalaman yang dapat dijadikan referensi di dalam melaksanakan kerja dinas keseharian ke depan dan menjadi pedoman pelaksanaan perintah tugas di medan operasi