berangkat sendiri ya, kata seorang pria yang bernama Pak Reza., anak kandungnya berangkat ke sekolah menggunakan kendaran umum dengan berbekal seadanya. Iya, Pah, ga apa-apa, udah bisa sendiri koq, jawab dengan wajah datar tanpa ekspresi. Untuk ukuran siswi SMA, bekal uang sebesar sepuluh ribu rupiah perharinya merupakan hal yang menyedihkan. Betapa tidak, harus menjalani sekolahnya dengan bekal ongkos seadanya, padahal keluarga termasuk keluarga yang berkecukupan. adalah seorang gadis belia yang sedang menempuh pendidikan di salah satu Sekolah Menengah Atas yang berada di kawasan Jakarta. Sesekali pemandangan macet di jalan ibu kota adalah hal yang biasa baginya. Awan berarak bersama indahnya bentangan langit biru di pagi yang cerah menemani harihari menuju tempat dimana ia menimba Ilmu. Hembusan angin membelai rambut hitam
panjangnya, menyadarkan bahwa ia akan segera tiba di tujuan. Kiri, bang!, ucap Ia memberikan ongkos dan melangkahkan kaki dengan penuh harap bahwa suatu hari ia akan menemukan tempat yang penuh kedamaian. Beberapa menit lagi bel akan segera berbunyi, berjalan cepat menuju ruang kelas di lantai dua. Eh, Sar, baru dateng lo?, kata Rizka teman sebangkunya. Iya, untung gue ga telat, haduh mati gua kalo dikunciin pak satpam, hari ini giliran kelompok gua presentasi soalnya. Materi semua ada di gue, jawab masih dengan nafas tersenggal. Jam mata pelajaran Matematika baru saja berakhir, tentu saja sangat membahagiakan para siswa di kelas itu. dan Rizka menuju toilet. Sar, lo mau nitip beli apa? Sekalian nanti gue beliin di kantin, kata Rizka. Ngga Riz, lo aja. Habis ini gue mau ke perpus, kata. 2
harus pandai-pandai mengatur uang jajannya. Tidak seperti teman-teman lainnya yang berkesempatan untuk bisa jajan dan makan sesuka hati mereka. Menyusuri lorong sekolah, Rizka dan berpisah di depan pintu ruang perpustakaan kemudian masuk ke perpustakaan di lantai bawah. Lebih baik disini, biar ga ada yang tahu kalo emang gue ga punya duit jajan banyak untuk bisa makan di jam istirahat. Lagian gue bisa dapet ilmu di sini, baca-baca apaan aja dah., lirih batinnya sambil memperhatikan buku-buku yang tersusun rapi. Di sudut meja baca ada seorang siswa memegang buku bacaan yang cukup tebal. mengambil buku dan membacanya. Ka Ghifari di sini? Baca buku apa kak?, ucap sambil menarik kursi kayu berwarna coklat di hadapannya dengan jantungnya yang terus berdegup kencang. Siswa kelas tiga itu bernama Ghifari, ia adalah mantan Ketua OSIS sekaligus anggota ekskul Rohis (Rohani Islam) di sekolah SMA Permata Nusantara. Putih wajahnya dengan alis tebal dan tinggi yang ideal plus dengan gayanya 3
yang cool dan taat beragama. Idaman setiap siswi di sekolah itu. Duh, mimpi apa gue semalem? Bisa ketemu ka Ghifari di sini dan nekatnya gue duduk di depan dia. OMG!!, berkata dalam hati. Hmm.. Ini lagi cari referensi untuk tugas Rohis, jawab Ghifari. Oh, tugas Rohis ya kak. Hmm... Iyadeh lanjutkan kak, ucap yang entah harus bicara apalagi. Pengen banget sih ngobrol banyak sama kakak ini. Tapi apalah daya gue, baru begini aja udah lemes rasanya nih kaki, berucap sambil menatap sebuah buku novel yang diambilnya. memulai percakapan singkat di waktu yang singkat itu. : Hmmm...Kak, boleh aku tanya? Kakak ikut ekskul Rohis, memangnya apa kak manfaatnya buat kita? berusaha membuka obrolan. Karena ini adalah hal yang langka bahwa ia bisa berada di depan Kak Ghifari sang Bintang sekolah pujaan semua siswi. Ghifari : Ya, banyak, kamu bisa punya banyak teman buat sharing, curhat, cerita, kita 4
bisa mendapatkan ilmu agama yang lebih mendalam, terutama untuk masalah aqidah kita, keyakinan kita terhadap Tuhan kita. Maaf ya, kakak tanya, kamu agamanya apa? : Islam lah kak Ghifari : Nah, Maaf ya kakak tanya seperti itu, karena kan yang sekolah di sini bukan hanya yang beragama Islam aja. Jadi, kakak ga tau agama kamu apa : Iya, ga apa-apa kak Ghifari : Nama kamu siapa dan anak kelas berapa? : Aku, kak, Kelas 2-B IPS Ghifari :, Maaf nih ya, boleh kakak tanya sama kamu, ayah kamu masih ada? : Masih Ghifari : Apakah selama hidupmu, kamu pernah meletakkan bara api di tangan ayahmu? : Tidak mungkinlah kak, masa iya aku melakukan hal itu Ghifari : Menurutku, iya : maksudnya? (mengerutkan dahi) 5
Ghifari : Iya, kamu sedang meletakkan bara api, bahkan bukan hanya bara api, lebih dari pada itu, dengan penampilan kamu yang seperti itu, sudah cukup menjadi alasan ayahmu dimasukkan ke api neraka. Maaf ya, kakak komentari cara berpakaian kamu. Kamu seorang muslim. Sudah selayaknya kamu berhijab, karena kamu sudah dewasa Jantung semakin berdegup tidak karuan. Entahlah, obrolan pertama kalinya dengan Kak Ghifari hari ini seperti tamparan keras yang menyakitkan. : Hmm.. Gitu ya kak (menundukkan wajah). Tapi kak, kadang ya, yang aku lihat, percuma dong kak berhijab tapi perilakunya masih ga baik, kadang masih suka sombong. Aku mah, yang penting kan hatinya kak Ghifari : Hmm.. iya benar, hatinya juga harus baik. Tapi lebih baik berhijab dulu, masalah perilaku baik atau tidaknya itu kembali kepada pribadi masing-masing. Coba, sekarang kakak tanya, setelah pembicaraan ini, apakah ada keinginan dihati untuk berhijab? 6
: Ada sih kak Ghifari : Nah, yasudah, berhijablah sebelum terlambat! (Tersenyum dan menutup buku yang ada dihadapannya) Bel berbunyi membuat percakapan terhenti. : Yah, sudah bel kak, padahal aku masih ingin banyak tanya sama kakak Ghifari : Mending kamu gabung aja di ekskul Rohis, kita selalu menerima siapa saja yang mau gabung. Ada yang wanitawanitanya juga nanti. : Iya Seakan malaikat dan setan bertarung untuk menetapkan keputusan untuk berhijab atau tidak. Langkahnya seakan terasa berat tetapi harus ia ambil keputusan itu. Berhijablah sebelum terlambat. Kalimat itu berputar-putar mengelilingi kepalanya. Di ruang kelas Rizka menunggu, Eh, Sar, gue tungguin dari tadi, lo ga dateng-dateng, betah amat lo di perpus. Nih, gue beliin kue di kantin tadi, buat lo, kata Rizka sambil menyodorkan makanan ditangannya. 7