BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan antara kanak-kanak dengan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan secara

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan tubuhnya secara efektif. Lebih lanjut Havighurst menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. juga disebabkan oleh bawaan sejak lahir (Somantri, 2007). Tunadaksa sendiri dapat digolongkan dalam beberapa macam.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

BAB 1 PENDAHULUAN. diwarnai dengan berbagai macam emosi, baik itu emosi positif maupun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V PEMBAHASAN. A. Rangkuman Hasil Seluruh Subyek Hasil penelitian dengan mengunakan metode wawancara, tes

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia pasti berharap memiliki kondisi fisik yang sempurna dan

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. kembar identik pun masih dapat dibedakan melalui sifat-sifat non-fisik yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi hampir bersamaan antara individu satu dengan yang lain, dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. tantangan dan tekanan dalam kehidupan dipengaruhi oleh persepsi, konsep

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang memiliki bentuk tubuh yang ideal memang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan (Papalia, et. la., 2007). Setelah menikah laki-laki dan perempuan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan Indonesia yang sudah dikenal sejak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Siti Syabibah Nurul Amalina, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 2014, remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan atau sekolah dapat tercapai dengan lebih efektif dan efisien (Zamroni,

BAB I PENDAHULUAN. manuisia bertujuan untuk melihat kualitas insaniah. Sebuah pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. mengindikasikan gangguan yang disebut dengan enuresis (Nevid, 2005).

2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN STRES REMAJA SERTA IMPLIKASINYA BAGI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

BAB I PENDAHULUAN. pembuahan hingga akhir kehidupan selalu terjadi perubahan, baik dalam

BAB I PENDAHULUAN. sudah menjadi masalah emosi yang umum. Depresi merupakan salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilihat dari fisik, tetapi juga dilihat dari kelebihan yang dimiliki.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA PENYANDANG TUNA DAKSA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. mempertajam keterampilan yang dimiliki serta menjalin pertemanan dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dihindari. Penderitaan yang terjadi pada individu akan mengakibatkan stres dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Manusia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dalam kehidupan manusia. Perkembangan adalah perubahanperubahan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB I PENDAHULUAN. positif dan dampak negatif dalam kehidupan kita. Berbagai macam orang dari

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

Anak adalah dambaan setiap pasangan, dimana setiap pasangan selalu. menginginkan anak mereka tumbuh dengan sehat dan normal baik secara fisik

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu fase dalam kehidupan manusia yang sangat penting dilalui bagi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. siap pakai dan berkualitas. Berkaitan dengan itu, pendidikan diharapkan mampu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hal yang paling mutlak dimiliki oleh semua orang.

Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN hingga (Unicef Indonesia, 2012). Menurut Departemen Sosial

I. PENDAHULUAN. dasarnya, manusia berkembang dari masa oral, masa kanak-kanak, masa

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Tubuh manusia mengalami berbagai perubahan dari waktu kewaktu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yuyun Yuniarsih, 2014 Perilaku sosial remaja tunadaksa yang menggunakan jejaring sosial

BAB I PENDAHULUAN. ingin dicapai dari proses pendidikan yaitu menghasilkan manusia yang terdidik

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tugas perkembangan yang sangat penting yaitu mencapai status

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana pernyataan yang diungkap oleh Spencer (1993) bahwa self. dalam hidup manusia membutuhkan kepercayaan diri, namun

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia yang berkualitas sangat penting artinya untuk

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi

BAB I PENDAHULUAN. dukungan, serta kebutuhan akan rasa aman untuk masa depan. Orang tua berperan

BAB I PENDAHULUAN. ketika menginjak usia remaja. Individu juga sudah mulai merasakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebutuhan, menempatkan kebutuhan individu akan harga diri sebagai kebutuhan pada level

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam setiap proses kehidupan, manusia mengalami beberapa tahap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. syndrome, hyperactive, cacat fisik dan lain-lain. Anak dengan kondisi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karena adanya keterbatasan fisik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Agni Marlina, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, mudah memperoleh teman, sukses dalam pekerjaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk memiliki kemampuan intelektual dan ilmu pengetahuan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan fisik, motorik, kognitif, sosial emosi serta perkembangan bahasa.

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya

1. PENDAHULUAN. (Wawancara dengan Bapak BR, 3 Maret 2008)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB I PENDAHULUAN. individual yang bisa hidup sendiri tanpa menjalin hubungan apapun dengan individu

PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu tahap penting dalam siklus kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan antara kanak-kanak dengan dewasa, yang melibatkan perubahan yang signifikan dalam kondisi fisik, kognitif, serta sosial. (Papalia, 2007). Selain itu seorang remaja juga mengalami perubahan emosi, penilaian, pengorganisasian perilaku, kontrol diri serta berbagai macam gejolak dalam emosi yang menjadi meningkat pada masa ini (Adams, 1995 dalam Arslan, 2009). Perubahan perubahan yang terjadi di dalam diri remaja, salah satunya yaitu perubahan fisik memberikan dampak secara psikologis bagi remaja itu sendiri. Hal ini disebabkan kebanyakan remaja menjadi lebih fokus dengan penampilan fisiknya daripada aspek lain didalam diri mereka. Hal ini mulai sering terjadi pada pertengahan kanak-kanak atau lebih awal dan semakin intens pada masa remaja (Papalia, 2007) Setiap individu menginginkan penampilan fisik yang menarik dan sempurna. Namun ketika kondisi fisik yang mereka miliki tidak seperti yang diharapkan, hal tersebut dapat menjadi sumber distress tersendiri bagi diri remaja. Hal ini tentunya akan mempengaruhi interaksi yang meliputi bagaimana pandangan orang lain terhadap individu dan secara langsung akan mempengaruhi bagaimana individu akan memandang dirinya sendiri, yang disebut sebagai konsep diri.

2 Permasalahan penampilan fisik menjadi suatu kondisi yang dialami oleh individu yang mengalami cacat fisik yang diakibatkan oleh berbagai macam faktor. Somantri (2006) mengemukakan cacat fisik atau tunadaksa berarti suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir, yang dapat menghambat kegiatan individu sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan atau untuk berdiri sendiri. Adapun ketunaan itu sendiri disebabkan oleh beberapa hal, yakni kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan keturunan, kerusakan pada waktu kelahiran, infeksi, kondisi traumatik, tumor, serta kondisi lainnya. Perbedaan kondisi ketunaan yang dimiliki seorang individu juga menimbulkan kondisi psikologis yang berbeda pula. Misalnya usia pertama kali individu mengalami ketunaan. Permasalahan emosi lebih cenderung terjadi pada individu yang mengalami ketunaan pada usia tertentu, daripada individu yang mengalami ketunaan sejak lahir (Somantri,2006). Hal ini disebabkan individu pernah memiliki kondisi fisik yang normal, sehingga hal ini mempengaruhi proses penerimaan diri terhadap kondisi fisik mereka. Sedih aja gitu (diam sejenak). Gimana ya, soalnya kan gak seperti kemarinkemarin lagi. Apalagi kalau dibilang, saya harapan keluargalah seperti itu. Kalo bisa saya sendiri jadi gitulah. Kalau bisa saya harus perguruan tinggi atau kuliah, tapi kok malah aku pulak yang jadi begini.

3 Kalau terima, ya kalau bisa dibilang masih tahaplah, tahap penerimaan. Kalau dibilang sudah terima sepenuhnya yah bohonglah. Belumlah, masih tahap-tahap gitulah. (AR,20 tahun- Komunikasi Personal,8 Juni 2013) Masih sedih. Saya kan dilahirkan sempurna. Tahu-tahu ini udah umur 16 tahun, hilang kakinya, jari-jari kaki hilang. Sedikit saja masih terima, belum sepenuhnya. Belum bisa terima semua kak. Masih sedih kalau lihat orang sehat diluar sana. Saya masih minder. (A,16 tahun- Komunikasi Personal, 8 Juni 2013) Sedangkan untuk individu yang mengalami ketunaan sejak lahir sudah lebih dapat menerima kondisi fisik mereka saat ini..ya terima ajalah kak. Dah dikasih Tuhan kayak gini..ya udah apalagi mau dibilang. (yang membuat nerima) yaa,eee apa ya (diam sejenak), semangat. Semangat dari orang tua, teman-teman semua yang ngasih. Pokoknya yang ngasih semangatlah., biar saya bisa maju gitu walaupun keadaan kayak gini (LH,17 tahun-komunikasi Personal) Penerimaan diri terhadap kondisi fisik menjadi suatu kondisi psikologis yang dihadapi oleh individu tunadaksa. Penerimaan diri individu tunadaksa tidak terlepas dari reaksi positif dari lingkungan. (yang membuat nerima) yaa,eee apa ya (diam sejenak), semangat. Semangat dari orang tua, teman-teman semua yang ngasih. Pokoknya yang ngasih semangatlah., biar saya bisa maju gitu walaupun keadaan kayak gini. (LH,17 tahun-komunikasi Personal) Somantri (2006) mengemukakan bahwa kondisi sosial yang positif menunjukkan kecenderungan untuk menetralisasi akibat keadaan tunadaksa tersebut. Sikap orang tua, keluarga, teman sebaya, teman sekolah, dan masyarakat pada umumnya sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri individu tunadaksa, dimana

4 seseorang akan menghargai dirinya sendiri apabila lingkungan pun menghargainya. Konsep diri ini memberikan pengaruh terhadap harga diri remaja, dan berdampak terhadap pembentukan self-esteem remaja itu sendiri (Harter, 1993 dalam Arslan, 2009). Pembentukan self esteem memberikan kontribusi terhadap pembentukan kepribadian individu, yang dipengaruhi oleh kehidupan sosial. Selain itu, reaksi positif lingkungan, secara khusus keluarga akan membantu anak untuk memiliki pandangan yang positif mengenai dirinya, meskipun berada didalam lingkungan yang berpandangan negatif terhadap mereka. Dengan kata lain, keluarga berperan sebagai protektor terhadap ancaman psikologis ataupun fisik (Sanders, 2005). Kondisi psikologis individu tunadaksa tidak hanya berkaitan dengan proses penerimaan diri mereka, namun juga terkait dengan reaksi lingkungan terhadap individu tersebut. Pada umumnya, individu yang mengalami ketunaan sejak lahir ataupun karena kondisi traumatik, tidak menunjukkan perbedaan dalam hal reaksi negatif yang mereka terima dari lingkungan. Keduanya tetap mengalami reaksi negatif dari lingkungan. Ejekan dan gangguan anak anak normal terhadap anak tunadaksa akan menimbulkan kepekaan efektif pada anak tunadaksa yang tidak jarang mengakibatkan timbulnya perasaan negatif pada diri mereka terhadap lingkungan sosialnya, yang dapat menimbulkan hambatan pergaulan sosial. Meskipun memiliki persamaan dalam hal reaksi negatif yang diterima dari lingkungan sosial, Somantri (2006)

5 menambahkan bahwa anak-anak tunadaksa dari tingkat sekolah yang rendah, misalnya sekolah dasar, merasa tidak begitu tertolak dibandingkan dengan anak-anak tunadaksa pada sekolah yang lebih tinggi. Dengan kata lain, semakin tinggi usia seseorang perasaan ditolak akan semakin terasa. [ ]sangat sedih kak sedih kan sedih dikampung,malu keadaan gini,belum pasang kaki palsu dulu masih jarang keluar,dikamar aja 4 bulan. Disuruh keluar aku gak mau..malu aku, anak-anak lewat gitu kan, diejek gitu ada orang puntung keluar gitu. (A,16 tahun - Komunikasi Personal 8 Juni 2013) Individu tunadaksa rentan untuk mengalami reaksi negatif dari lingkungannya. Pandangan negatif lingkungan terhadap individu akan mempengaruhi cara mereka memandang diri mereka sebagai seseorang yang bermakna bagi lingkungan atau tidak. Hal ini menjadi fenomena yang pada umumnya terjadi pada individu tunadaksa. Seperti yang terjadi pada kisah Nick Vujicic, seorang tunadaksa sejak lahir, pernah melakukan usaha pencobaan bunuh diri pada usia 8 tahun akibat mendapat ejekan dari teman-teman sekolahnya, ketika ibunya memasukkannya ke sekolah anak-anak normal. Namun dukungan dari seorang ibu terus membuatnya bangkit sehingga saat ini Nick Vujicic menjadi seorang motivator dunia yang memotivasi orang-orang lewat kisah hidupnya. Seorang individu tunadaksa rentan untuk mengalami bullying oleh lingkungan, secara khusus oleh teman sebayanya, yang fokus dengan kondisi kecacatan yang mereka miliki (Kompasiana, 2013). Hal ini membuat mereka menjadi tidak percaya diri, merasa tidak berguna dan tertolak serta menarik diri dari lingkungan sosial.

6 Masa remaja menjadi masa dimana individu menjadi lebih fokus dengan penampilan fisik daripada aspek lain dalam dirinya. Seberapa menarik individu secara fisik memberikan pengaruh terhadap evaluasi diri yang positif, popularitas, penerimaan teman sebaya serta perkembangan kepribadian individu. Pada individu tunadaksa, keterbatasan penampilan fisik menjadi hal yang mempengaruhi penyesuaian mereka terhadap lingkungan social ataupun penerimaan diri terhadap kondisi fisik mereka. Hal ini juga dipengaruhi nampak atau tidaknya kondisi tunadaksa. Reaksi negatif dari lingkungan maupun proses penerimaan diri oleh remaja yang mengalami ketunaan menjadi hal yang memberikan pengaruh terhadap kondisi psikologis mereka. Meskipun individu tidak mengalami reaksi negatif dari lingkungan, dikarenakan kondisi lingkungan yang menerima dan mengerti kondisi fisik mereka, adakalanya individu mengalami proses penerimaan diri yang cukup panjang, misalnya perasaan tertolak ketika bertemu dengan lingkungan baru ataupun hendak mendekati lawan jenis. Kedua kondisi inilah yang membuat individu tunadaksa rentan mengalami tekanan yang bersifat emosional. Hubungan yang kuat dan suportif terhadap orang tua memberikan pengaruh yang kuat dalam memberikan rasa aman ketika tekanan yang bersifat emosional terjadi (Papalia, Old, 2007). Orang tua juga berperan sebagai sumber utama individu tunadaksa untuk mendapatkan dukungan secara emosional, mengingat keterbatasan secara fisik yang dialami oleh remaja tunadaksa, yang secara langsung mengharuskan

7 anak untuk melakukan adaptasi ataupun penyesuaian. Somantri (2006) mengemukakan bahwa adaptasi itu sendiri dapat berlangsung sebagaimana mestinya apabila adanya suatu lingkungan yang memberikan dorongan serta individu yang memiliki anggota tubuh lengkap dalam arti fisik ataupun biologik. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dukungan dari lingkungan menjadi sumber utama bagi individu ini, mengingat keterbatasan fisik yang mereka alami menghambat mereka untuk beradaptasi, dimana penyesuaian diri terhadap lingkungan yakni bagaimana individu melakukan kompensasi terhadap bagian tubuh yang tidak sempurna tersebut merupakan salah satu kondisi psikologis yang harus dihadapi individu tunadaksa (Somantri, 2006). Dukungan lingkungan sosial menjadi penting bagi individu tunadaksa mengingat keterbatasan fisik yang mereka miliki. Kehidupan sosial pada remaja melibatkan hubungan dengan teman sebaya, masyarakat luas, serta keluarga. Keluarga menduduki posisi yang paling penting bagi remaja itu sendiri, mengingat bahwa keluarga sebagai sistem sosial pertama bagi anak. Interaksi individu dengan orang tua yang merupakan figur yang dianggap penting dalam keluarga akan melibatkan bagaimana orang tua memandang serta memperlakukan mereka, yang juga akan mempengaruhi individu dalam memandang dirinya sendiri, serta bagaimana interaksi mereka diinterpretasi (Coopersmith,1967 & Rosenberg, 1965 dalam Cavosoglu,2001). Sehingga interpretasi yang dimiliki seorang individu terhadap

8 hubungan yang dimiliki dengan orang tua bergantung pada reaksi yang mereka dapatkan didalam keluarga. Penelitian Fitzgerald (dalam Somantri,2006) menunjukkan bahwa reaksi dan perlakuan keluarga dapat menjadi salah satu sumber frustasi bagi anak-anak tunadaksa, yang tidak jarang justru berakibat lebih berat daripada akibat ketunaanya itu sendiri. Orang tua dari individu tundaksa sering menunjukkan perilaku yang berlebihan, seperti bersikap terlalu melindungi (overprotective), melayani secara berlebihan, membatasi ruang gerak anak, yang kemudian dapat menyebabkan anak memiliki ketergantungan terhadap orang tua mereka yang dapat menimbulkan kecemasan akibat ketidaksiapan ketika berhadapan dengan lingkungan dengan segala tuntutan yang ada didalamnya. Selain itu, sikap terlalu melindungi juga memberikan pengaruh terhadap rendahnya self-esteem, perasaan tidak mampu serta mengurangi kesempatan untuk bertumbuh. Orang tua yang melarang anak mereka untuk bekerja dengan alasan bahaya-bahaya atau ancaman lingkungan akan menghambat pertubuhan diri mereka, mengingat bahwa bekerja menjadi cara yang paling baik dalam membangun rasa percaya diri serta rasa berharga diri pada individu dengan tunadaksa (Sanders,2006). Bagi kebanyakan lingkungan masyarakat, prestasi menjadi tolak ukur dalam menilai kesuksesan seseorang. Keterbatasan ruang gerak individu dengan tunadaksa dapat menjadi penghambat bagi mereka untuk mencapai prestasi, akibat perlakuan orang

9 tua yang terlalu melindungi. Hal ini menyebabkan individu dengan tunadaksa sering sekali menarik diri dari pergaulan masyarakat. Konsep mattering merupakan konsep yang berkaitan dengan hubungan individu dengan orang lain. Elliott (2009) mendefenisikan mattering sebagai sebuah persepsi dimana seorang individu memiliki bagian yang penting dalam dunia sekitarnya. Kata seberapa penting disini tidak terbatas pada setiap individu, karena hal ini merupakan pengalaman subjektif seseorang melalui proses sosialisasi yang mereka jalani, misalnya, bagaimana cara orang lain memperlakukan individu, waktu serta dukungan emosional yang diberikan kepada individu ataupun kesadaran orang lain terhadap kehadiran individu tersebut. Seseorang dapat memiliki persepsi ini pada orang lain yang spesifik seperti pada teman, pasangan, ataupun pada guru; dalam institusi sosial, seperti dalam keluarga atau perusahaan dan komunitas individu secara keseluruhan bahkan masyarakat luas. Rosenberg dan McCullough,1981 (dalam Baham) menambahkan bahwa mattering melibatkan suatu tingkat dimana seseorang merasa menjadi bagian yang penting dalam kehidupan orang lain; persepsi individu bahwa dirinya diperhitungkan dalam kehidupan orang lain dan orang lain menaruh perhatian terhadap apa yang dirasakan, dipikirkan serta dilakukannya. Konsep mattering berperan penting dalam perkembangan self-concept yang mempengaruhi pembentukan self-esteem bagi remaja. Keberadaan mattering ini sendiri tidak harus dipersepsikan oleh seorang individu terhadap semua orang, Namun hanya pada orang-orang yang dianggap berarti dalam kehidupan mereka saja,

10 misalnya pada keluarga. Hal ini menyebabkan keluarga, khususnya orang tua berperan sebagai sumber utama dari mattering tersebut. Konsep mattering sebagai salah satu dimensi dari konsep diri (self-concept) merupakan hal yang dipelajari dari proses sosialisasi yang dialami individu. Sehingga masing-masing individu yang memiliki pengalaman sosialisasi yang berbeda juga akan mengalami perbedaan pengalaman mattering yang berbeda pula. Beberapa ahli sosial telah mengidentifikasi proses utama yang dapat mengkonstruksikan pemahaman terhadap diri sendiri. Salah satunya adalah reflected appraisal yang dikemukakan oleh Hary Stuck Sullivan (dalam Elliot 2009). Proses ini menekankan bahwa kita secara mendalam dipengaruhi dalam konsepsi diri kita sendiri melalui bagaimana orang lain bereaksi terhadap kita. Melalui komunikasi yang dijalin secara berkesinambungan, kita akan mulai memahami bagaimana orang lain melihat kita. Hal ini pada akhirnya akan membuat individu menginternalisasikan gambaran diri sendiri yang dikomunikasikan orang lain, yang pada akhirnya melekat dalam diri individu. Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti ingin melihat gambaran family matters pada remaja tunadaksa, terkait keterbatasan fisik yang mereka alami, secara khusus pada remaja yang mengalami kecacatan sejak lahir. Pada masa remaja berbagai perubahan psikologis mulai terjadi ditambah dengan keterbatasan fisik yang dialami individu tunadaksa. Konsep mattering merupakan konsep yang tidak terjadi secara langsung, namun memerlukan proses untuk kemudian seseorang memiliki persepsi

11 mengenai kebermaknaan dirinya. Sehingga penelitian ini ingin mengetahui gambaran family matters pada remaja yang mengalami ketunaan sejak lahir. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian yaitu Bagaimana Gambaran Family Matters Pada Remaja Tunadaksa? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran family matters pada remaja tunadaksa. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam menambah kekayaan informasi serta perkembangan ilmu di bidang psikologi, secara khusus dalam bidang psikologi perkembangan mengenai gambaran family matters pada remaja tunadaksa. 2. Manfaat Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada remaja tunadaksa ataupun pada keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan ketunaan, agar mengetahui apa itu konsep family matters dan bagaimana gambaran family matters pada remaja tunadaksa, yang secara tidak langsung memberikan kontribusi terhadap perkembangan kepribadian remaja itu sendiri. Dengan mengetahui hal ini, diharapkan keluarga, secara khusus orang

12 tua yang memiliki anak tunadaksa dapat memberikan dukungan yang sesuai kebutuhan, sehingga remaja tunadaksa memiliki perkembangan yang maksimal ditengah-tengah keterbatasan yang mereka miliki. b. Secara umum, penelitian ini juga diharapkan dapat berfungsi sebagai penambah informasi yang berisi pengetahuan bagi masyarakat luas mengenai remaja tunadaksa terkait dengan topik penelitian. Hal ini diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi masyarakat luas, tentang bagaimana harus bersikap ketika berhadapan dengan remaja tunadaksa. c. Sebagai bahan atau acuan bagi peneliti selanjutnya yang hendak melanjutkan atau mengembangkan penelitian ini. E. Sistematika Penelitian Laporan hasil penelitian ini disusun dalam sistematika sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan Dalam bab ini akan disajikan uraian secara singkat mengenai latarbelakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan. BAB II : Landasan Teori Bab ini menguraikan tinjauan teoritis yang digunakan sebagai acuan dalam membahas masalah. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah : teori mattering, meliputi defenisi mattering,

13 komponen mattering, proses pemahaman diri (self-understanding); tunadaksa, meliputi defenisi, klasifikasi tunadaksa, aspek perkembangan remaja tunadaksa; remaja, meliputi defenisi remaja, kategori remaja, aspek-aspek perkembangan remaja; family matters pada remaja tunadaksa. BAB III: Metode Penelitian Bab ini menguraikan tentang metode penelitian yang digunakan peneliti, dalam hal ini penelitian kualitatif; metode pengumpulan data, meliputi wawancara; alat pengumpulan data, meliputi alat perekam dan pedoman waawancara; subjek dan lokasi penelitian, meliputi karakteristik subjek penelitian, jumlah subjek penelitian, teknik pengambilan subjek, lokasi penelitian; prosedur penelitian, meliputi tahap pralapangan, tahap pelaksanaan penelitian, tahap pencatatan data dan metode analisa data. BAB IV: Analisa dan Interpretasi Data yang memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga pembahasan data-data penelitian dari teori yang relevan.

14 BAB V: Kesimpulan dan Saran berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian serta saran-saran yang dibutuhkan baik untuk penyempurnaan penelitian maupun untuk penelitian-penelitian lanjutan.