BAB I PENDAHULUAN. dan melindungi keluarganya, ibu juga banyak mewarnai dan memengaruhi perilaku, akhlak

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB I PENDAHULUAN. Memiliki anak merupakan hal yang diharapkan oleh orang tua, terlebih

BAB I PENDAHULUAN. meliputi berbagai aspek kehidupan (Pervasive Developmental Disorder) yang sudah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pada umumnya dalam menyokong pembangunan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. Dunia saat ini sedang memasuki era baru yaitu era globalisasi dimana hampir

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Pemasyarakatan ini merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah

BAB I PENDAHULUAN. perhatian serius. Pendidikan dapat menjadi media untuk memperbaiki sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. sekaligus mendebarkan hati. Kelahiran anak dalam kondisi sehat dan normal adalah harapan

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Hepatitis adalah penyakit peradangan hati yang merusak sel-sel hati (liver)

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan anak yang sehat secara fisik dan mental. Pada kenyataannya tidak

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk berbagai macam transaksi keuangan. Kartu kredit diberikan kepada

BAB I PENDAHULUAN. yang berkompetensi dalam berbagai bidang, salah satu indikator kompetensi

BAB I PENDAHULUAN. selalu sehat, dan dijauhkan dari berbagai penyakit, tetapi pada kenyataannya yang

BAB I PENDAHULUAN. heran bila kesadaran masyarakat awam tentang pentingnya pendidikan berangsurangsur

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia terdapat beberapa jenjang pendidikan, mulai dari Play Group

BAB I PENDAHULUAN. dianggap penting. Melalui pendidikan, individu dapat belajar. pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

BAB I PENDAHULUAN diprediksikan mencapai jiwa atau 11,34%. Pada tahun terjadi peningkatan mencapai kurang lebih 19 juta jiwa.

BAB 1 PENDAHULUAN. dari Tuhan. Selain itu, orang tua juga menginginkan yang terbaik bagi anaknya,

BAB I PENDAHULUAN. istri (Mangunsong, 1998). Survei yang dilakukan Wallis (2005) terhadap 900

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit degeneratif semakin sering terdengar dan dialami oleh masyarakat

PARTISIPASI ORANG TUA DALAM PELAKSANAAN PROGRAM TERAPI PADA ANAK AUTISME. Oleh. Edi Purwanta

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. pengangguran di Indonesia. Badan Pusat Statistik menyebutkan, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. lembaga-lembaga kemasyarakatan. Kelompok-kelompok ini biasanya

BAB 1 PENDAHULUAN. yang harus dijalaninya. Dalam memenuhi kodratnya untuk menikah, manusia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan tugas pemerintah untuk menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. akan merasa sedih apabila anak yang dimiliki lahir dengan kondisi fisik yang tidak. sempurna atau mengalami hambatan perkembangan.

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

POLA INTERAKSI SOSIAL ANAK AUTIS DI SEKOLAH KHUSUS AUTIS. Skripsi Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan. Mencapai derajat Sarjana S-1

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, dan keterampilan. Hal ini akan membuat siswa mampu memilih,

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. Komunitas ( Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO, masalah kesehatan utama yang menjadi penyebab

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa era globalisasi ini, kesadaran masyarakat akan pentingnya

Abstrak. iii Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.

BAB I PENDAHULUAN. netra), cacat rungu wicara, cacat rungu (tunarungu), cacat wicara, cacat mental

BABI PENDAHULUAN. Anak adalah permata bagi sebuah keluarga. Anak adalah sebuah karunia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat berkembang secara baik atau tidak. Karena setiap manusia memiliki

juga kelebihan yang dimiliki

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang hidup di dunia ini pasti selalu berharap akan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa,

BAB I PENDAHULUAN. pembeda. Berguna untuk mengatur, mengurus dan memakmurkan bumi. sebagai pribadi yang lebih dewasa dan lebih baik lagi.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kusta atau Leprae merupakan salah satu penyakit tertua di dunia. Catatancatatan

BAB II KAJIAN TEORITIS. pada diri seseorang terkadang membuat hilangnya semangat untuk berusaha, akan

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan ibu berperan di dapur

BAB I PENDAHULUAN. 40 tahun dimana terjadi perubahan fisik dan psikologis pada diri individu, selain itu

BABI PENDAHULUAN. Semua orangtua menginginkan anak lahir dengan keadaan fisik yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. meninggal sebelum usia lima tahun didominasi oleh kelahiran prematur dan kelahiran bayi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam tahap perkembangan tersebut, manusia mengalami perubahan fisik dan

BAB I PENDAHULUAN. disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sejak tahun 2004 hingga 2010,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Memiliki kondisi fisik yang cacat bukanlah hal yang diinginkan oleh setiap

LAMPIRAN. Depresi. Teori Interpersonal Depresi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. melihat sisi positif sosok manusia. Pendiri psikologi positif, Seligman dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian pesan dari

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia.

LETTER OF CONSENT. Dengan ini, saya yang bertanda tangan di bawah ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting. Untuk menilai tumbuh kembang anak banyak pilihan cara. Penilaian

BAB I PENDAHULUAN. otak atau ke bagian otak tertentu. Stroke dapat menyebabkan kerusakan permanen

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi adalah salah satu aktivitas yang sangat fundamental dalam

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB 1 PENDAHULUAN. kompleks pada anak, mulai tampak sebelum usia 3 tahun. Gangguan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dari golongan ekonomi kelas atas saja, tapi juga sudah masuk kedalam

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. sistem imun atau sistem pertahanan tubuh. Sistem imun ini berupa antibodi, yang

Abstrak. v Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 15% dari seluruh kanker pada wanita. Di beberapa negara menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan

Angket Optimisme. Bayangkan anda mengalami situasi yang tergambar dalam setiap. persoalan, walaupun untuk beberapa situasi mungkin anda belum pernah

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat diukur secara kuantitas dari waktu ke waktu, dari satu tahap ke tahap

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Tri Fina Cahyani,2013

BAB I PENDAHULUAN. Memiliki anak yang terlahir sempurna merupakan dambaan setiap orangtua yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga merupakan salah satu impian bagi setiap individu yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Penyakit kronis merupakan penyakit yang berkembang secara perlahan selama bertahuntahun,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013

BAB I PENDAHULUAN. antara suami istri saja melainkan juga melibatkan anak. retardasi mental termasuk salah satu dari kategori tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan, dan partisipasi merupakan hakhak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB I PENDAHULUAN. UNESCO pada tahun 2014 mencatat bahwa jumlah anak autis di dunia mencapai

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua perasaan takut bermula dari masa kanak-kanak karena pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menggunakan waktu dengan efektif sehingga efisiensi waktu menjadi sangat penting

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak anak lahir dari rahim ibu, tidak lepas dari peran seorang ayah yang memiliki kedudukan khusus dalam keluarga yaitu berperan sebagai pemimpin keluarga, mencari nafkah dan melindungi keluarganya, ibu juga banyak mewarnai dan memengaruhi perilaku, akhlak dan perkembangan pribadi anak. Ibu memiliki peran penting dalam mendidik anak mengenai iman, moral, intelektual, psikologis, fisik dan jasmani, psikologis serta sosial (Retno, 2012 dalam website informid.com). Ibu juga akan memperhatikan setiap perkembangan yang tampak pada diri anaknya. Namun seringkali ibu tidak menyadari ketika anaknya mengalami hambatan dalam perkembangan (Bernie, 2013 dalam website idai.or.id). Anak dapat menampilkan ketidakmampuannya untuk berinteraksi dengan orang lain, adanya gangguan bahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan tertunda dan perilaku yang terbatas serta berulang. Salah satu jenis gangguan perkembangan pada anak yaitu autisme atau sekarang dikenal sebagai gangguan spektrum autisme. Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fifth Edition (DSM-V), gejala awal gangguan spektrum autisme seringkali melibatkan pengembangan bahasa yang tertunda, sering disertai oleh kurangnya minat sosial atau interaksi sosial yang tidak biasa (misalnya, menarik tangan seseorang tanpa usaha untuk melihatnya), pola bermain yang aneh (misalnya, membawa mainan di sekitar namun tidak pernah bermain dengan mainannya), dan pola komunikasi yang tidak biasa (misalnya, mengetahui alphabet namun tidak dapat menanggapi nama sendiri) serta muncul perilaku aneh dan berulang. 1

2 Penyebab gangguan spektrum autisme masih belum dapat dipastikan hingga saat ini. Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fifth Edition (DSM-V), faktor resiko yang dapat menyebabkan gangguan spektrum autisme dapat berasal dari lingkungan, genetik dan fisiologis. Faktor resiko berasal dari lingkungan seperti usia ibu ketika mengandung, berat badan saat lahir yang rendah, atau janin yang dipengaruhi oleh asam valproate. Kemudian sebanyak 15% kasus gangguan spektrum autisme tampaknya diakibatkan oleh adanya mutasi genetik yang diketahui. Dalam DSM-V gangguan spektrum autisme memiliki tiga tingkat keparahan, level 1yaitu requiring support, kemudian level 2 requiring substantial support dan level 3 requiring very substantial support. Berdasarkan data yang dirilis, menurut Melly Budhiman, pakar autisme dan ketua Yayasan Autisma Indonesia dalam acara Autism Awareness Month di Grand Indonesia (2016) mengatakan bahwa Indonesia belum adanya survei resmi mengenai autisme sehingga belum ada data jumlah pasti angka dan pertumbuhan autisme di Indonesia. Meskipun belum ada survei resmi mengenai jumlah anak dengan autisme di Indonesia, tahun 2013 Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementrian Kesehatan pernah menduga jumlah anak autisme di Indonesia sekitar 112.000 dengan rentang 5-19 tahun. Angka ini keluar berdasarkan hitungan prevelensi autis sebesar 1,68 per 1000 anak di bawah 15 tahun (Priherdityo, E. 2016 dalam website cnnindonesia.com). Ketika ibu pertama kali mendengar bahwa anaknya didiagnosis oleh dokter sebagai penyandang autisme, ibu akan memperlihatkan berbagai reaksi. Berdasarkan hasil penelitian Sabih dan Sajid (2006) mengenai stres pada orangtua yang memiliki anak penyandang autisme dari berbagai rumah sakit dan lembaga keterbelakangan mental di Islamabad, Rawalpindi dan Wah Cantt, Pakistan didapatkan dari 60 orangtua (30 ayah dan 30 ibu) dari 30 anak dengan diagnosis autisme, diketahui bahwa ibu memiliki tingkat stress lebih tinggi

3 dibandingkan tingkat stres pada ayah. Implikasinya bahwa ibu dari anak autisme lebih mudah mengalami stres sehingga memerlukan perhatian khusus dari profesional kesehatan mental. Berdasarkan hasil survei kepada 5 ibu mengatakan bahwa mereka sangat sedih mendengar bahwa anaknya sebagai penyandang autisme. Satu dari lima ibu mengatakan ia bertanya-tanya, mengapa anaknya sebagai penyandang autisme, apakah pada masa kehamilannya dirinya tidak menjaga kesehatan dengan baik, atau ada yang salah dalam pengasuhan setelah anaknya lahir. Dua ibu lainnya mengatakan bahwa mereka marah kepada Tuhan, mengapa memberikan ujian yang sangat berat kepada dirinya serta keluarga. Mereka awalnya tidak mudah menerima jika anaknya ternyata sebagai penyandang autisme. Kemudian, satu ibu mengatakan bahwa ia takut jika keluarga serta teman-temannya akan menjauhi dan mengatakan hal yang negatif terhadap anak autisnya. Satu ibu lainnya mengatakan bahwa ia merasa iri mengapa keluarga yang lain memiliki anak yang tumbuh sehat secara fisik maupun psikis, tetapi dirinya mempunyai anak dengan penyandang autisme. Meskipun perasaan terus menyelimuti, tiga dari lima orang ibu mengatakan bahwa mereka tidak ingin terus berada dalam perasaan iri, takut dijauhi orang lain dan juga menyalahkan dirinya sendiri. Tiga orang ibu mulai berusaha mencari informasi bagaimana cara menangani anaknya agar dapat tumbuh mandiri. Informasi yang didapatkan dari tiga ibu yaitu dengan mengikutsertakan anaknya untuk sekolah dan melakukan terapi. Salah satu tempat khusus menangani anak penyandang autisme yaitu Yayasan X Bandung. Yayasan X Bandung merupakan sebuah lembaga sosial yang didirikan dengan tujuan akan tempat sekolah maupun terapi bagi anak penyandang autisme bahkan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) bagi keluarga yang tidak mampu. Di Yayasan X Bandung, terdapat 70% anak-anak penyandang autisme dari keluarga tidak mampu dan 30% berasal dari keluarga yang mampu. Anak-anak penyandang autisme yang berasal dari keluarga mampu ini dapat mensubsidi kepada anak-anak dari keluarga yang tidak mampu. Dalam Yayasan X

4 memiliki tiga program yaitu layanan yang terdiri dari sekolah khusus yang dilaksanakan pada hari Senin hingga Jumat, selanjutnya terdapat terapi dan latihan keterampilan. Program yang kedua adalah sosialisasi seperti melakukan kampanye. Program ketiga adalah advokasi gerakan sadar peduli autis. Anak-anak autisme yang mengikuti pembelajaran di sekolah dan terapi di Yayasan X berjumlah 30 anak yang terdiri dari 15 anak autis dengan tingkat keparahan berat dan 15 anak autis dengan tingkat keparahan ringan. Pada saat anak penyandang autisme ingin bersekolah dan terapi di Yayasan X, hal pertama yang dilakukan adalah anak diobservasi terlebih dahulu oleh guru, terapis dan psikolog selama 3 sampai 7 hari. Observasi yang dilakukan oleh pihak Yayasan dengan tujuan agar mereka mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang dimiliki oleh anaknya. Setelah pihak guru, terapis dan psikolog melakukan observasi, mereka juga melakukan wawancara terhadap orangtuanya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pihak yayasan pada orangtua misalnya usia anak, hambatan-hambatan apa saja yang diperlihatkan oleh anaknya, apakah anak menampilkan ketidakmampuannya dalam mengikuti instruksi, atau hambatan dalam berkomunikasi. Setelah dilakukan observasi dan wawancara, maka orangtua akan diberitahu oleh pihak dari yayasan mengenai tingkat keparahan. Tingkat keparahan yang diberitahukan kepada orangtua yaitu apakah anaknya tergolong sebagai penyandang autis berat, sedang atau ringan. Tingkat keparahan yang ditentukan oleh pihak yayasan mengacu pada DSM-V yang terdiri dari tiga level yaitu level 1 yaitu requiring support, kemudian level 2 requiring substantial support dan level 3 requiring very substantial support. Selanjutnya orangtua juga diberitahu mengenai kebutuhan apa saja yang diperlukan, apakah anaknya harus mengikuti terapi terlebih dahulu atau sudah bisa diikutsertakan juga pada pembelajaran sekolah. Di Yayasan X ini mengharuskan anaknya untuk mengikuti pembelajaran sekolah serta terapi agar anak dapat lebih optimal dalam proses penanganan autisme. Namun

5 berdasarkan hasil wawancara dari salah satu pengurus yayasan yaitu Ibu I mengatakan apa yang diharuskan pihak yayasan terhadap keluarga akan kembali pada orangtua. Terdapat orangtua yang mengikuti apa yang diperintahkan oleh pihak yayasan untuk mengikutsertakan anaknya dalam terapi, tetapi ada juga keluarga yang menolak karena mereka memikirkan biaya untuk terapi. Ibu I mengatakan anak-anak yang tidak diikutsertakan dalam terapi, padahal ia membutuhkannya maka akan memengaruhi kemajuan pada penanganan autisme. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dari Guru M yang mengajar sekaligus sebagai terapis juga mengatakan bahwa perkembangan dan perubahan yang dialami anak berjalan dengan lambat karena dipengaruhi bagaimana terapi yang dilakukan anaknya apakah dilaksanakan secara intensif atau tidak. Kerjasama dari orangtua, terutama ibu yang mengasuh secara penuh anaknya dapat memengaruhi bagaimana kemajuan perkembangan anaknya. Kemudian Guru M mengatakan bahwa keadaan baik dan buruk akan selalu hadir pada anak-anak yang menjalankan sekolah dan terapi di Yayasan X Bandung. Keadaan baik seperti anak mengalami kemajuan atau perubahan perkembangan setelah melakukan terapi, sedangkan keadaan buruk seperti setelah anak diikutsertakan dalam pembelajaran sekolah dan terapi ternyata anak tidak menampilkan kemajuan dalam perkembangannya. Keadaan tersebut menurut Guru M memunculkan tanggapan yang diberikan para ibu yang selalu mengantar anaknya ke Yayasan X. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada lima orang ibu yang selalu mengantar anaknya ke Yayasan X, mereka mengatakan bahwa dalam mendampingi anaknya untuk bersekolah dan melakukan terapi di yayasan ini, berbagai keadaan selalu dihadapi oleh para ibu. Berdasarkan lima orang ibu keadaan yang sering dihadapi mereka yaitu lambatnya perubahan yang dialami oleh anaknya setelah mengikuti terapi. Menurut 1 orang ibu yang memiliki anak autisme berat menyatakan bahwa lambatnya perubahan setelah mengikuti terapi maupun sekolah hanya terjadi pada hari itu saja. Namun

6 mungkin di hari berikutnya anaknya dapat mengalami kemajuan perkembangan setelah mengikuti terapi dan bersekolah. Kemudian 1 orang ibu yang memiliki anak autisme berat lainnya mengatakan bahwa lambatnya perubahan perkembangan yang ditampilkan oleh anaknya dikarenakan program terapi yang diberikan belum tepat. Satu orang ibu yang memiliki anak autisme ringan juga menyatakan hal yang sama, bahwa tidak adanya perubahan pada anaknya setelah mengikuti terapi dan bersekolah disebabkan program terapi yang dilaksanakan baru 3 kali pertemuan sehingga belum terlihat perubahan yang jelas. Selain itu 2 orang ibu yang memiliki anak autisme ringan lainnya mengatakan bahwa lambatnya perubahan perkembangan yang dialami dikarenakan mereka yang tidak dapat mengasuh dengan baik di rumah. Dua orang ibu merasa anaknya tidak mengikuti apa yang diperintahkan oleh guru dan juga terapis dikarenakan mereka tidak hanya memiliki satu anak sehingga pengasuhan mereka harus terbagi-bagi antara anak autisnya dan anak yang lain. Mereka juga mengatakan bahwa pengajaran di sekolah dan terapi yang diberikan sudah cukup baik. Hal tersebut membuat mereka menganggap bahwa kemajuan yang dialami oleh anaknya tidak secepat apa yang dibayangkan. Melihat hasil wawancara dari 5 orang ibu dalam menghadapi suatu keadaan yang dialami oleh anak autisnya menampilkan berbagai cara pandang. Hal tersebut dikenal sebagai optimisme. Menurut Martin E.P. Seligman (2006) menggunakan istilah optimisme untuk menjelaskan cara pandang seseorang dalam menghadapi situasi baik (good situation) maupun situasi buruk (bad situation). Optimisme sebagai suatu gaya penjelasan yang menghubungkan situasi baik (good situation) yang terjadi pada dirinya bersifat permanen, pervasive dan disebabkan oleh dirinya sendiri (internal), sedangkan untuk situasi buruk (bad situation) yang terjadi pada dirinya bersifat eksternal (bersumber dari luar), sementara dan spesifik. Bagaimana seseorang menjelaskan mengenai keadaan baik atau buruk yang dialaminya mencerminkan bagaimana harapan seseorang atau seberapa besar energi yang dimiliki orang

7 tersebut untuk menghadapi situasi. Ibu dengan anak autis yang optimis juga akan melakukan usaha dalam mengatasi keadaan yang tidak menguntungkan bagi dirinya, berpikir bahwa keadaan buruk merupakan tantangan, tidak merasa putus asa, memiliki dukungan sosial yang pada akhirnya akan memiliki kesehatan psikologis yang lebih baik (Martin E.P. Seligman, 1990). Berdasarkan hasil wawancara dari 5 orang ibu diatas mengenai cara pandang dalam menghadapi peristiwa yang dialami oleh anaknya, 1 ibu yang memiliki anak penyandang autis berat terlihat cenderung optimis, dimana ia menjelaskan bahwa keadaan buruk yang dialami oleh anaknya hanya terjadi pada hari itu saja dan mungkin saja di hari berikutnya akan mengalami kemajuan. Kemudian 1 orang ibu yang memiliki anak penyandang autis berat dan 1 ibu dengan anak autis ringan juga terlihat cenderung optimis, dimana ia menjelaskan bahwa keadaan buruk yang dialami oleh anaknya disebabkan program terapi yang belum tepat sehingga anaknya belum terlihat kemajuan yang jelas. Namun 2 orang ibu yang memiliki anak autis ringan terlihat cenderung pesimis dalam menjelaskan keadaan buruk yang terjadi pada anaknya. Mereka menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab dari lambatnya perubahan setelah melakukan terapi. Melihat data-data yang diperoleh diatas bahwa ibu dengan anak autis berat dan ringan memiliki cara pandang yang berbeda terhadap suatu peristiwa yang dialami oleh anak autisnya seperti lambatnya perubahan perkembangan setelah mengikuti terapi dan sekolah, maka peneliti ingin melakukan penelitian mengenai perbandingan optimisme antara ibu yang memiliki anak penyandang autis berat dan ringan di Yayasan X kota Bandung. 1.2. Identifikasi Masalah Dari penelitian ini ingin diketahui apakah terdapat perbandingan optimisme antara ibu yang memiliki anak penyandang autis berat dan ringan di Yayasan X Bandung.

8 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan gambaran mengenai optimisme antara ibu yang memiliki anak penyandang autis berat dan ringan di Yayasan X Bandung. 1.3.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan optimisme pada ibu yang memiliki anak penyandang autis berat dan ringan di Yayasan X Bandung. 1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Teoritis 1. Memberikan informasi bagi ilmu Psikologi khususnya Psikologi Positif mengenai perbandingan optimisme antara ibu yang memiliki anak penyandang autisme berat dan ringan Yayasan X di kota Bandung. 2. Memberikan masukan kepada peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai optimisme dan autisme. 1.4.2. Kegunaan Praktis 1. Memberikan informasi kepada pihak Yayasan X Bandung mengenai perbandingan optimisme ibu yang memiliki anak penyandang autisme berat dan ringan dalam rangka meningkatkan dan mempertahankan optimis pada ibu-ibu dalam mendampingi dan pengasuhan anak autisnya sehari-hari. 2. Memberikan informasi kepada ibu yang memiliki anak autisme dengan tingkat keparahan berat dan ringan mengenai perbandingan optimisme, agar ibu dapat memahami dirinya sendiri sehingga mampu mempertahankan dan meningkatkan rasa optimis yang akan berdampak pada pengasuhannya terhadap anak autisnya.

9 3. Memberikan informasi kepada Yayasan X Bandung mengenai perbandingan optimisme ibu yang memiliki anak autisme berat dan ringan dalam rangka. 1.5. Kerangka Pemikiran Perkembangan merupakan bertambahnya kemampuan dan struktur atau fungsi tubuh yang lebih komplek dalam pola yang teratur (Jenni K.D. 2017 dalam website www.idai.or.id). Perkembangan setiap anak memiliki keunikan tersendiri dan kecepatan pencapaian perkembangan setiap anak berbeda. Namun seorang anak dapat mengalami hambatan dalam perkembangan di hanya satu ranah perkembangan saja atau dapat pula di lebih dari satu ranah perkembangan (Bernie E.M. 2013 dalam website www.idai.or.id). Terdapat berbagai tipe gangguan perkembangan yang dialami oleh anak, salah satunya adalah spektrum autisme. Gangguan spektrum autisme (DSM-V) merupakan gangguan perkembangan pervasif dengan gejala awal seringkali melibatkan pengembangan bahasa yang tertunda, sering disertai oleh kurangnya minat sosial atau interaksi sosial yang tidak biasa (misalnya, menarik tangan seseorang tanpa usaha untuk melihatnya), pola bermain yang aneh (misalnya, membawa mainan disekitarnya namun tidak pernah bermain dengan mainannya) dan pola komunikasi yang tidak biasa (misalnya, mengetahui alphabet namun tidak dapat menanggapi nama sendiri), serta perilaku yang aneh dan berulang. Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fifth Edition (DSM- V), faktor resiko yang dapat menyebabkan gangguan spektrum autisme dapat berasal dari lingkungan, genetik dan fisiologis. Faktor resiko berasal dari lingkungan seperti usia ibu ketika mengandung, berat badan saat lahir yang rendah, atau janin yang dipengaruhi oleh asam valproate. Sedangkan faktor resiko dari genetis dan fisiologis menyatakan sebanyak 15% kasus gangguan spektrum autisme tampaknya diakibatkan oleh adanya mutasi genetik yang diketahui. Berdasarkan DSM-V, diagnosa gangguan spektrum autisme juga memiliki

10 tingkat keparahan yang dilihat pada konteks dan perubahan dari waktu ke waktu. Tingkat keparahan gangguan spektrum autisme dibedakan menjadi 3 tingkatan (level), yaitu level 1, 2, dan 3. Tingkatan ini didasarkan pada sejauhmana anak penyandang autisme membutuhkan dukungan dari orang lain dalam melakukan tugas perkembangannya. Tingkat 1 yaitu requiring support (memerlukan dukungan). Dalam tingkat 1, pada komunikasi sosial tidak adanya dukungan di tempat, kekurangan dalam hal komunikasi sosial menyebabkan gangguan yang berarti. Kesulitan mengawali interaksi sosial dan contoh yang jelas dari respon yang tidak normal atau tidak sukses terhadap ajakan dari pihak lain. Mungkin tampak penurunan minat dalam interaksi sosial. Sebagai contoh, seseorang yang dapat berbicara dengan kalimat yang utuh dan mampu terlibat dalam komunikasi, namun gagal dalam percakapan dua arah dengan orang lain, dan yang memiliki cara-cara yang ganjil dan gagal dalam berteman. Kemudian perilaku yang tidak fleksibel menyebabkan pengaruh yang signifikan dalam keberfungsian pada satu konteks atau lebih. Kesulitan beralih diantara beberapa aktivitas. Permasalahan dalam mengorganisir dan merencanakan sesuatu menghalangi kemandirian. Tingkat 2 yaitu requiring substantial support (memerlukan dukungan substansial). Dalam hal komunikasi sosial, tingkat 2 ini memiliki kekurangan yang kentara dari keterampilan komunikasi sosial verbal dan non-verbal; gangguan sosial yang nyata walaupun mendapat dukungan di tempat; keterbatasan mengawali interaksi sosial; dan respon yang sedikit atau abnormal terhadap ajakan bersosialisasi dari pihak lain. Sebagai contoh, seseorang yang berbicara kalimat sederhana, yang interaksinya terbatas atau sempit pada minat tertentu, dan tampak jelas keganjilan komunikasi nonverbal. Kemudian perilaku yang tidak fleksibel, kesulitan dalam menghadapi perubahan, atau perilaku-perilaku terbatas/ berulang lainnya cukup sering terjadi sehingga tampak jelas oleh pengamat biasa dan

11 menganggu keberfungsian pada konteks yang beragam. Kesulitan merubah perhatian dan tindakan. Tingkat 3 yaitu requiring very substantial support (memerlukan dukungan sangat substansial). Dalam komunikasi sosial, tingkat 3 ini memiliki kekurangan yang parah dalam keterampilan komunikasi sosial verbal dan non-verbal menyebabkan kerusakan parah dalam keberfungsian, keinginan mengawali interaksi sosial yang sangat terbatas, dan respon yang minimal terhadap ajakan bersosialisasi dari orang lain. Misalnya, seseorang yang berbicara dengan jelas dengan sedikit kata, yang sangat jarang mengawali interkasi, dan apabila hal tersebut dilakukannya, dengan cara yang tak biasa untuk pemenuhan kebutuhannya, dan tanggapan hanya pada pendekatan sosial yang sangat langsung. Kemudian perilaku yang tidak fleksibel, kesulitan yang ekstrim dalam menghadapi perubahan, atau perilaku-perilaku terbatas atau berulang jelas sekali tampak menganggu keberfungsian pada semua bidang. Kesulitan besar merubah perhatian dan tindakan. Menurut Powers (1989) ketika orangtua mengetahui anaknya sebagai penyandang autisme, mereka akan mengalami suatu tahapan perasaan-perasaan seperti terkejut, perasaan tidak berdaya, merasa bersalah, marah, dukacita, benci atau bahkan dendam. Terutama reaksi yang ditampilkan oleh ibu karena memiliki peranan penting dalam mendidik anak-anaknya setiap hari (Retno, 2012 dalam website informid.com). Perasaan-perasaan yang dialami oleh ibu merupakan proses normal yang akan dilalui sampai ibu menyadari dan mampu menyesuaikan diri serta menerima kondisi anaknya sebagai penyandang autisme (Powers, 1989). Setelah ibu menerima kondisi anaknya sebagai penyandang autisme, ibu akan berusaha mengasuh dan mendampingi anaknya dengan baik. Dalam mengasuh dan mendampingi anak autisnya, keadaan baik maupun buruk akan dihadapi oleh ibu. Keadaan baik maupun buruk yang dialami oleh anak autis berat dan ringan akan menampilkan cara pandang ibu dalam menghadapi keadaan tersebut.

12 Martin E.P. Seligman menggunakan istilah optimisme untuk menjelaskan cara pandang seseorang dalam menghadapi keadaan baik maupun buruk. Bagaimana seseorang memandang keadaan baik maupun buruk melalui explanatory style (gaya penjelasan). Sehingga optimisme sebagai suatu gaya penjelasan dalam menghadapi keadaan baik (good situation) maupun keadaan buruk (bad situation). Menurut Martin E.P. Seligman terdapat 3 dimensi yaitu permanence, pervasiveness, dan personalization. Dimensi pertama yaitu permanence. Dimensi permanence membahas mengenai waktu, yaitu apakah suatu keadaan akan permanence (menetap) atau temporary (sementara). Ibu dengan anak autis berat akan menjelaskan keadaan baik (good situation) yang dialami oleh anaknya seperti adanya kemajuan perkembangan setelah menjalani terapi dan sekolah bersifat sementara dan keadaan buruk (bad situation) seperti terhambatnya perkembangan bersifat menetap (permanen). Sedangkan ibu dengan anak autis ringan anak menjelaskan keadaan baik (good situation) yang dialami oleh anaknya bersifat menetap (permanen) dan keadaan buruk (bad situation) bersifat sementara. Dimensi kedua yaitu pervasiveness. Dimensi pervasiveness berkaitan dengan ruang lingkup yaitu spesifik atau universal. Dalam menghadapi keadaan menyenangkan yang terjadi pada anak autisnya seperti adanya kemajuan perkembangan setelah menjalani terapi dan sekolah, ibu dengan anak autis berat akan melihat bahwa keadaan tersebut hanya terjadi pada aspek perkembangan tertentu saja (spesifik). Kemudian keadaan buruk yang dialami oleh anaknya seperti terhambatnya perkembangan, ibu dengan anak autis berat akan melihat secara keseluruhan (universal) yang mana aspek perkembangan lainnya juga mengalami hambatan. Sedangkan ibu dengan anak autis ringan ketika menghadapi keadaan menyenangkan yang terjadi pada anak autisnya akan melihat secara keseluruhan (universal) yang mana aspek perkembangan lainnya juga mengalami kemajuan. Kemudian keadaan buruk yang dialami

13 oleh anaknya autisnya, ibu dengan anak autis ringan akan melihat bahwa keadaan tersebut hanya terjadi pada aspek perkembangan tertentu saja (spesifik). Dimensi ketiga adalah personalization. Ketika keadaan baik terjadi pada anaknya seperti adanya kemajuan perkembangan setelah menjalani terapi dan sekolah, ibu dengan anak autis berat akan menjelaskan bahwa keadaan tersebut disebabkan oleh keadaan (eksternal). Kemudian keadaan buruk yang dialami anaknya seperti terhambatnya perkembangan, ibu dengan anak autis berat akan menjelaskan keadaan tersebut disebabkan oleh dirinya sendiri (internal). Sedangkan ibu dengan anak autis ringan akan menjelaskan keadaan baik yang dialami anaknya disebabkan oleh dirinya sendiri (internal) dan keadaan buruk disebabkan oleh keadaan (eksternal) seperti program terapi yang belum tepat sehingga belum menunjukkan perubahan yang pesat. Ibu dengan anak autis berat dan ringan yang optimis dalam menghadapi sebuah peristiwa yang dialami oleh anaknya akan melakukan usaha lebih keras dalam mengatasi keadaan yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Kemudian mereka akan memandang keadaan buruk yang dialami oleh anak autisnya sebagai suatu tantangan dan tidak cepat putus asa. Ibu dengan anak autis berat dan ringan yang optimis mempunyai dukungan sosial karena ketika mengatasi sebuah keadaan mereka mengatasi dengan bertingkah laku seperti biasa sehingga teman-teman, keluarga, terapis dan guru akan mendukung. Dukungan sosial yang hangat dan penuh kasih membuat ibu dengan anak autis berat dan ringan memiliki kesehatan fisik yang lebih baik. Cara pandang ibu yang memiliki anak autis berat dan ringan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang pertama yaitu mother s explanatory style. Explanatory style figur signifikan adalah gaya figur dalam menjelaskan mengenai setiap keadaan yang dihadapinya. Ketika ibu masih kanak-kanak, mereka akan memperhatikan bagaimana orangtuanya bereaksi pada hal yang terjadi pada setiap hal di kehidupannya. Sebagian besar

14 dari ibu yang memiliki anak penyandang autis berat dan ringan memperhatikan cara ketika orangtuanya secara spontan menjelaskan mengapa sesuatu terjadi apa yang dilakukannya. Ibu tidak hanya mendengarkan hal tertentu dari apa yang orangtua katakan, tetapi mereka mendengarkan dengan tajam: bagaimana figur signifikan menjelaskan sebuah peristiwa yang terjadi padanya, apakah peristiwa tersebut bersifat permanen atau sementara, spesifik atau universal, apakah peristiwa tersebut berasal dari diri orangtuanya atau orang lain. Setiap hal yang ditunjukkan orangtua dari ibu dengan anak autis berat dan ringan akan didengarkan setiap hari dan terus berulan sehingga memengaruhi explanatory style. Faktor yang kedua adalah adult criticism. Pada saat ibu dengan anak autis berat dan ringan masih kanak-kanak melakukan kesalahan, apa yang orang dewasa katakan pada mereka, maka ibu akan mendengarkan dengan seksama tidak hanya kontennya, namun juga apa kata-kata yang digunakan, tidak hanya mengenai apa yang orang dewasa katakan kepada mereka tetapi bagaimana orang dewasa mengatakan hal tersebut. Ibu ketika masih kanakkanak akan percaya terhadap kritik yang didapatkannya dan menggunakan untuk membentuk gaya penjelasan (explanatory style) ibu. Faktor yang ketiga adalah children s life crises. Jika pada masa kanak-kanak, ibu dengan anak autis berat dan ringan mengalami depresi seperti kehilangan seseorang yang dekat (misalnya kehilangan salah satu atau bahkan kedua orangtuanya) baik meninggal maupun bercerai, depresi tersebut menjadi sesuatu yang dirasakan berat sebagai suatu pukulan yang mendalam dan akan membekas dalam waktu yang lama, karena ketika ibu masih kanak-kanak masih bergantung pada orangtuanya. Apabila depresi tersebut tidak segera ditangani oleh ibu dan tidak dapat menerima kenyataan yang ada dalam waktu lama, kemungkinan memengaruhi terbentuknya cara berpikir ibu dengan anak autis ringan dan berat dalam melihat dari kehilangan tersebut. Ibu cenderung akan menginterpretasikan bahwa orangtuanya tidak akan kembali dan dirinya tidak dapat mempertahankan keberadaan orangtuanya untuk tetap bersamanya, sehingga ibu merasa

15 tidak memiliki harapan karena hidupnya semakin terasa sulit tanpa kehadiran orangtuanya. Namun jika ibu saat masih kanak-kanak dapat menerima keadaan ketika kehilangan sesuatu, maka ibu akan mengalami perkembangan pola pikir. Ibu akan berpikir bahwa peristiwa yang tidak menyenangkan dapat berubah dan dapat diatasi sehingga dapat melalui masa krisisnya dengan baik. Ibu yang mampu mengatasi masa krisisnya memiliki kecenderungan untuk memiliki optimisme ketika dewasa. Berdasarkan cara pandang antara ibu dengan anak autis berat dan ringan di Yayasan X Bandung dalam menghadapi keadaan baik dan buruk yang dialami oleh anaknya berbeda. Hal tersebut dapat menggambarkan apakah adanya perbedaan optimisme ibu dengan anak autis berat dan ringan di Yayasan X Bandung dalam menghadapi keadaan baik dan buruk yang dialami oleh anaknya. Faktor yang memengaruhi: Mother s Explanatory Style Adult Criticism Children s Life Crises Ibu yang memiliki Optimis Ibu dengan anak autis anak penyandang autis berat Optimisme berat Perbandingan Optimis Ibu Ibu yang memiliki dengan anak autis anak penyandang autis ringan Permanence Pervasiveness ringan Personalization Bagan 1.1. Kerangka Pemikiran

16 1.6. Asumsi Penelitian Terdapat perbedaan optimisme pada ibu yang memiliki anak autis berat dan ibu yang memiliki anak autis ringan. Optimisme tercermin dalam 3 dimensi, yaitu permanence, pervasiveness, dan personalization. Optimisme pada ibu yang memiliki anak autis berat dan ringan dipengaruhi oleh explanatory style ibu, kritik dari lingkungan dan masa krisis anak. 1.7. Hipotesis Penelitian H " : Tidak terdapat perbedaan optimisme antara ibu yang memiliki anak penyandang autisme berat dan ibu yang memiliki anak penyandang autisme ringan. H " : Terdapat perbedaan optimisme antara ibu yang memiliki anak penyandang autisme berat dan ibu yang memiliki anak penyandang autisme ringan.