BAB I PENDAHULUAN. diambil dari istilah juvenile delinquency, istilah juvenile delinquency berasal dari

dokumen-dokumen yang mirip
RUMAH DUTA REVOLUSI MENTAL KOTA SEMARANG. Diversi : Alternatif Proses Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

Al Adl, Volume VII Nomor 14, Juli-Desember 2015 ISSN UPAYA DIVERSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA ANAK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

BAB III SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK. sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana Undang-

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

SANKSI PIDANA PELANGGARAN KEWAJIBAN OLEH APARATUR HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA 1 Oleh: Wailan N. Ransun 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara yang telah meratifikasi konvensi hak anak (United

BAB II PENGATURAN HUKUM TERKAIT DIVERSI DALAM PERMA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN DELIK PEMBUNUHAN TIDAK DISENGAJA OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

Pelaksanaan Diversi Dengan Ganti Kerugian Untuk Korban Tindak Pidana

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruh yang cukup besar dalam membentuk perilaku seorang anak. 1

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 3 ayat (1), Bangsa

OLEH ANAK BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Harkristuti Harkrisnowo Direktur Jenderal HAM Kementrian Hukum dan HAM RI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Anak Di Indonesia. hlm Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pada era modernisasi dan globalisasi seperti sekarang ini

TATA CARA PELAKSANAAN DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN

PENERAPAN SANKSI YANG BERKEADILAN TERHADAP ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA. A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir

Lex et Societatis, Vol. III/No. 3/Apr/2015

BAB I PENDAHULUAN. proses evolusi kapasitas selaku insan manusia, tidak semestinya tumbuh sendiri

IMPLEMENTASI DIVERSI TERHADAP ANAK PELAKU PEMBUNUHAN BERENCANA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI GRESIK, TANGGAL 12 NOVEMBER 2014, NOMOR: 03/PID

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DIVERSI DAN TINDAK PIDANA ANAK. Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus - kasus anak yang diduga

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang dan peraturan serta ketentuan-ketentuan lain yang berlaku di

I. PENDAHULUAN. yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa dimasa yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Perbandingan Penghukuman Terhadap Anak dengan Minimal yang Disebut sebagai Anak

Penerapan Diversi Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Fiska Ananda *

BAB I PENDAHULUAN. maupun anak. Penangannanya melalui kepolisian kejaksaan Pengadilan

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan genersi penerus bangsa di masa yang akan datang,

BAB I PENDAHULUAN. penerus cita-cita perjuangan bangsa dan juga merupakan sumber daya manusia bagi

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan

IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINGKAT PENYIDIKAN DI TINJAU DARI UU

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara hukum, menyebabkan kita akan dihadapkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pergaulan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengenai kenakalan anak atau (juvenile deliuencya) adalah setiap

I. PENDAHULUAN. sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

PENUNTUTAN TERHADAP PERKARA ANAK DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA 1 Oleh: Robert Andriano Piodo 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

BAB I PENDAHULUAN. Berawal dari sebuah adegan di film Arwah Goyang Karawang, Julia

I. PENDAHULUAN. mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan-keterampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi,

PENGATURAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PERSPEKTIF KEPENTINGAN TERBAIK ANAK

BAB I PENDAHULUAN. kemudian hari. Apabila mampu mendidik, merawat dan menjaga dengan baik,

TAHAP-TAHAP DIVERSI TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA (ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM) DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI JAMBI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. kongkrit. Adanya peradilan tersebut akan terjadi proses-proses hukum

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE. Oleh : Dheny Wahyudhi 1. Abstrak

Lex Crimen Vol. V/No. 3/Mar/2016. PENANGANAN ANAK GUNA KEPENTINGAN PENYIDIKAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA 1 Oleh : Fernando Reba 2

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian Anak dalam Konsideran Undang-Undang Nomor 11 Tahun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bahan Masukan Laporan Alternatif Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10) PRAKTEK-PRAKTEK PENANGANAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM KERANGKA

PERANAN BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) DALAM PROSES PERADILAN ANAK DI KOTA JAYAPURA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOmor 11 TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

kearah yang tidak baik atau buruk. Apabila arah perubahan bukan ke arah yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VIII/2010 Tentang UU Pengadilan Anak Sistem pemidanaan terhadap anak

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tindakan menyimpang terhadap norma hukum yang seringkali ditemukan dalam masyarakat rupanya tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa (cakap hukum). Anakanak dibawah umur juga dapat melakukan tindakan menyimpang. Kenakalan anak diambil dari istilah juvenile delinquency, istilah juvenile delinquency berasal dari juvenile artinya anak muda sedangkan delinquency artinya terabaikan/mengabaikan yang kemudian diperluas artinya menjadi kriminal, pelanggar aturan dan lain-lain. Dari uraian arti diatas dapat dijelaskan bahwa juvenile delinquency adalah perilaku anak yang merupakan perbuatan yang melanggar norma, yang apabila dilakukan oleh orang dewasa disebut sebagai kejahatan. Terlalu kejam apabila pelaku anak disebut sebagai penjahat anak bukan kenakalan anak sementara bila memerhatikan kebijakan eksekutif terkait anak yang melakukan kenakalan (Anak Nakal), penyebutan anak yang berada dalam Lembaga Pemasyarakatan bukan sebagai Narapidana Anak namun sebagai Anak Didik Pemasyarakatan. Dalam KUHP Indonesia terkandung makna bahwa suatu perbuatan pidana harus mengandung unsur-unsur: adanya perbuatan manusia, perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum, adanya kesalahan dan orang yang berbuat harus dapat dipertanggungjawabkan. Batasan yang demikian memang berlaku untuk orang dewasa, tetapi apabila pelakunya adalah anak, tentu ada hal-hal yang berbeda dengan orang dewasa. KUHP menegaskan bahwa seseorang dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya atas syarat kesadaran diri bahwa yang bersangkutan harus mengetahui

dan menyadari bahwa perbuatannya itu dilarang menurut hukum yang berlaku, sedangkan seorang anak dengan karakteristiknya berbeda dengan orang dewasa yang memiliki pola pikir normal akibat sudah menjadi pribadi yang mantap menampakkan rasa tanggungjawab sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Seorang anak tentu memiliki jiwa dan pikiran yang masih labil sehingga mudah sekali terbawa arus pergaulan dimana ia sendiripun tidak tahu bahwa suatu perbuatan tersebut salah atau benar karena hanya ikut dengan lingkungan pergaulannya saja. Oleh karena faktorfaktor tersebut antara orang dewasa dan anak-anak dilakukan pembinaan yang berbeda dalam upaya mengembalikan mereka ke dalam masyarakat agar dapat diterima kembali dengan baik. Dalam upaya tersebut tentu memerlukan peran dan kerjasama pelaku sistem peradilan yang baik dan bersinergi. Dalam rangka memberikan pemenuhan hak terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan hukum terhadap anakanak Indonesia dengan menerbitkan berbagai peraturan perundang-undangan yang merumuskan perlindungan terhadap anak-anak yang berhadapan dengan hukum 1. Peradilan Anak memiliki tujuan tidak hanya untuk mencari bukti benar atau tidaknya suatu peristiwa kemudian menjatuhkan putusan, namun untuk menyelesaikan perkara 2. Putusan yang dijatuhkan harus menuntaskan segala perkara tanpa menimbulkan perkara atau masalah baru. Maka dalam peradilan anak ini tidak diutamakan dalam terbukti tidaknya si anak dalam melakukan suatu tindak kejahatan tetapi lebih fokus pada hal yang melatar belakangi, motivasi dan sebab-sebab si anak melakukan tindakan tersebut. Selain itu, sebelum menjatuhkan putusan, hakim tentu mempunyai pertimbangan sendiri mengenai dampak apa yang akan terjadi setelah putusan itu dijatuhkan, terlebih untuk masa depan si anak. Berdasarkan penelitian normatif, diketahui bahwa yang 1 Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bndung, 2015, hlm. 107 2 Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2005, hlm. 27

menjadi dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan, antara lain: keadaan psikologis anak pada saat melakukan tindak pidana, keadaan psikologis anak setelah dipidana, keadaan psikologis hakim dalam menjatuhkan hukuman 3 Kedudukan Peradilan Anak dalam susunan Peradilan di Indonesia adalah sebagai Peradilan Khusus, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa masing-masing peradilan di bawah Mahkamah Agung diatur sesuai dengan kekhususannya masing-masing. Kekhususan yang nampak jelas dari Peradilan Anak imi adalah dalam sidang anak, hakim, penuntut umum, pengacara dan polisi serta petugas-petugas lainnya tidak mengenakan toga atau pakaian seragam 4. Pemeriksaan perkara dalam persidangan anak dilakukan secara tertutup dan hanya dihadiri oleh anak yang bersangkutan beserta orang tua atau wali atau orang tua asuh, pengacara dan pembimbing kemasyarakatan. Dalam Sistem Peradilan Anak, diutamakan keadilan restoratif (restorative justice). Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana di luar sistem peradilan pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, masyarakat, serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian 5 Untuk menghindari efek atau dampak negatif proses peradilan pidana terhadap anak, United Nations Standart Minimum Rules for the Administrator of Juvenile (The Beijing Rules) telah memberikan pedoman sebagai upaya menghindari efek negatif tersebut, yaitu memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum mengambil tindakan kebijakan dalam menangani atau menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal, antara lain menghentikan atau tidak meneruskan atau 3 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 120 4 Op. cit, hlm. 23 5 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2012, hlm. 23

melepaskan dari proses pengadilan atau mengembalikan atau menyerahkan kepada masyarakat dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya 6. Dalam penyelesaian perkara pidana anak sesuai dengan Pasal 5 ayat (3) Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak wajib diupayakan diversi pada tingkat penyidikan, penuntutan dan persidangan, perlunya diupayakan diversi agar salah satu hak anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu hak untuk memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum, dan penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukuman yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Sehingga diharapkan bahwa Anak yang berhadapan dengan hukum sangat diusahakan agar terhindar dari proses peradilan di dalam pengadilan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana 7. Namun perlu juga dipahami bahwa tidak semua jenis tindak pidana dapat dilakukan Diversi. Diversi ini dilaksanakan dalam hal tindak pidana dilakukan: diancam dengan pidana penjara di bawah 7(tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak., diversi memiliki tujuan yaitu: a) mencapai perdamaian antara korban dan anak b) menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan c) menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan d) mendorong masyarakat untuk berpastisipasi 6 R. Wiyono, Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2016. hlm. 45-46 7 Pasal 7 Undang-Undang Nmor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

e) menanamkan raa tanggung jawab kepada Anak. Proses diversi dapat dikatakan mengutamakan peran serta masyarakat dalam membina kembali anak yang melakukan kejahatan agar si anak dapat kembali diterima masyarakat dengan baik, maka dari itu dalam proses diversi wajib memperhatikan halhal berikut: a) kepentingan korban b) kesejahteraan dan tanggung jawab anak c) penghindaran stigma negatif d) penghindaran pembalasan e) keharmonisan masyarakat f) kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum. Menurut Pasal 8 ayat (1) UU SPPA, proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif (restorative justice). Sehingga melalui musyawarah tersebut dapat didengar dengan baik keterangan semua pihak baik itu korban maupun pelaku kemudian diputuskan keputusan yang seadil-adilnya demi kepentingan korban dan pelaku Dalam pelaksanaan Diversi, penyidik, PU, dan hakim wajib mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur anak, hasil penelitian masyarakat dari BAPAS, dan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat. BAPAS melalui Pembimbing Kemasyarakatan dilibatkan dalam setiap tingkatan pemeriksaan dan bertugas untuk memberikan rekomendasi dalam pelaksanaan Diversi kepada penyidik, PU, dan hakim. Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan dalam pendidikan

atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan atau pelayanan masyarakat disampaikan oleh atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan (dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan Diversi). Kemudian penetapan disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan, setelah menerima penetapan kemudian Penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau Penuntut Umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan. Diversi merupakan sistem pemasyarakatan dan dilaksanakan diluar proses pengadilan. Namun, Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. Dalam bukunya Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia menyatakan bahwa pembentuk UU Sistem Peradilan Pidana Anak menimbulkan beberapa implikasi dan problematika. Pertama, berpotensi melanggar hak anak yang berhadapan dengan hukum karena pembentuk UU SPPA tidak mengatur secara eksplisit klausula, Anak yang telah mengaku bersalah melakukan tindak pidana/kejahatan, sebagai salah satu syarat penentu atau pertimbangan untuk dilakukannya Diversi, Kedua, kewajiban pelaksanaan Diversi senyatanya melanggar hak anak atas asas praduga tidak bersalah, Ketiga, kewajiban pelaksanaan Diversi melanggar hak anak atas peradilan yang adil dan tidak memihak, Keempat, Diversi hanya dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana sebagaimana ditentukan Pasal 7 ayat (2) huruf a dan b UU SPPA 8. Diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan 8 Lilik Mulyadi, Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, PT Alumni, Jakarta, 2014, hlm. 39-40

oleh hakim pada pengadilan negeri (Pasal 7 ayat (1)). Jika dalam masing-masing tingkat tidak diupayakan diversi maka akan ada sanksi pidana bagi penyidik, penuntut umum dan hakim bersangkutan. Berikut ini isi pasal 96, 100 dan 101 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang memuat ancaman pidana bagi penegak hukum dalam SPPA: Pasal 96 Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Penjelasan-nya: Cukup Jelas Pasal 100 Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. Penjelasan-nya: Cukup Jelas Pasal 101 Pejabat pengadilan yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. Penjelasan-nya: Cukup Jelas Selanjutnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 merupakan putusan mengenai permohonan pengujian pasal yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Pasal yang dimohonkan pengujiannya adalah Pasal 96, 100 dan 101 diatas. Dalam UU SPPA tidak hanya ketiga pasal tersebut yang memuat ancaman pidana, namun karena pemohon berprofesi sebagai hakim maka hanya tiga pasal itu saja yang dimohon pengujiannya.

Penyidik dari POLRI memiliki kemandiriannya yang dimuat dalam visi, misi dan tujuan POLRI. Kemudian upaya pelaksanaan kemandirian POLRI sendiri dengan mengadakan perubahan-perubahan dalam tiga aspek yaitu, aspek Aspek Struktural: Mencakup perubahan kelembagaan Kepolisian dalam Ketata negaraan, organisasi, susunan dan kedudukan, Aspek Instrumental: Mencakup filosofi (Visi, Misi dan tujuan), Doktrin, kewenangan,kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek, Aspek kultural: Adalah muara dari perubahan aspek struktural dan instrumental, karena semua harus terwujud dalam bentuk kualitas pelayanan Polri kepada masyarakat, perubahan meliputi perubahan manajerial, sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem material fasilitas dan jasa, sistem anggaran, sistem operasional. Kemudian jika dikaitkan dengan permasalahan dalam penelitian ini adalah bahwa POLRI sebagai lembaga indipenden dalam melaksanakan visi, misi dan tujuannya selanjutnya merasa dikriminalisasi dengan adanya pengaturan dalam Pasal 96 UU SPPA tersebut. Kebebasan hakim diatur dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Hakim sebagai unsur inti dalam sumber daya manusia yang menjalankan kekuasaan kehakiman di Indonesia, dalam menjalankantugas pokok dan fungsi kekuasaan kehakimanwajib menjaga kemandirian peradilan melalui integritas kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara 9 sehingga dengan adanya pemberian sanksi pidana bagi hakim yang tidak mengupayakan Diversi dianggap akan mengganggu kinerja hakim. Jaksa sebagai salah satu komponen penting dalam Sistem Peradilan, memiliki 9 Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Jakarta: Kencana Prenada Pratama, 2012, hlm. 305

kemandiriannya sendiri, dilihat dari profesionalismenya yang meliputi, keahlian, rasa tanggung jawab, dan kinerja terpadu. Profesionalisme jaksa terhambat oleh masalahmasalah seperti independensi, pelanggaran kode etik, penurunan kualitas sumber daya manusia. Intervensi dalam tubuh kejaksaan menjadi menghambat independensi sehingga menghambat profesionalisme jaksa dalam mengatasi sebuah perkara demi penegakan hukum dalam kekuasaan peradilan, oleh karena itu ditakutkan dalam gonjang-ganjing masalah adanya sanksi pidana bagi penuntut umum (yaitu jaksa) yang tidak mengupayakan Diversi kemudian akan mengendurkan profesionalisme jaksa itu sendiri sehingga tidak maksimal dalam penanganan kasus, khususnya kasus Peradilan Pidana Anak. Inti dari masing-masing kemandirian aparat penegak hukum diatas bahwa aparat penegak hukum memiliki indepedensi mereka sendiri yang tidak etis jika dicampuri oleh aturan yang mana dapat menganggu kemandirian mereka dalam bertugas, sehingga apa yang dikemukakan dalam Pertimbangan Hukum Putusan MK Nomor 110/PUU- X/2012 dengan adanya sanksi pidana ini akan menimbulkan dampak-dampak negatif bagi aparat-aparat itu sendiri, dampak negatif yang dimaksud adalah adanya ketakutan, tekanan, dan kekhawatiran dalam melaksanan pemeriksaan perkara pidana Anak. Ke depannya, dampak negatif tersebut akan semakin meluas dan menurunkan kinerja masing-masing aparat sehingga hukum di Indonesia tidak akan terwujud sebagaimana mestinya. SANKSI PIDANA BAGI PENYIDIK, PENUNTUT UMUM DAN HAKIM BILA TIDAK MENGUPAYAKAN DIVERSI (STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 110/PUU-X/2012 ) Pentingnya kajian ini yaitu mengetahui apakah sanksi pidana bagi penyidik, PU, dan hakim yang tidak mengupayakan diversi sudah tepat.

B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan pemaparan dari latar belakang maka rumusan masalahnya adalah : Apakah putusan hakim MK terhadap Pasal 96, 100, dan 101 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA sudah tepat? C. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan rumusan masalah penelitian hukum diatas maka yang menjadi tujuan penelitian adalah: Untuk mengetahui pertimbangan hakim terhadap pemberian sanksi kepada pejabat penegak hukum (penyidik, PU, hakim) yang tidak mengupayakan diversi khususnya terhadap Pasal 96, Pasal 100 yang memuat pengenaan sanksi pidana terhadap aparat yang tidak mengupayakan Diversi tersebut menyalahi aspek kemandirian penyidik, PU dan hakim sebagai aparat penegak hukum. D. MANFAAT PENELITIAN Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi atau rujukan bagi calon peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai kewajiban upaya diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian dalam rangka meningkatkan kualitas pemahaman mengenai kewajiban upaya Diversi dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak. E. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian Hukum (legal research) adalah bagaimana menemukan kebenaran yaitu adakah aturan hukum yang berupa perintah atau larangan yang sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan (act) seseorang sesuai dengan norma hukum (bukan hanya sesuai aturan hukum) atau prinsip hukum. 10. 2. Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Pendekatan perundang-undangan. Jenis pendekatan perundang-undangan yang menurut Marzuki 11 Pendekatan undang-undang (statue approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi. 2. Pendekatan Konseptual (conceptual approach). Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi 12. 3. Pendekatan Filosofis (Pendekatan Filsafat). Pendekatan ini dilakukan untuk menyelami isu hukum dalam konsep mengenai ajaran hukum dari segi filosofis. 10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum edisi Revisi, kencana, Jakarta, 2014, hlm. 47 11 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 35. 12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 135-136.

Pendekatan penelitian seperti ini dilakukan untuk mencari pemahaman yang lebih mendalam efek hukum dan efek sosial 13 4. Pendekatan Kasus (Case Approach). Pendekatan ini bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. 3. Bahan Hukum a. Bahan Hukum Primer 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 2. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 5. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 6. Putusan MK Nomor 110/PUU-X/2012 b. Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum Sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi dan jurnal-jurnal hukum. Kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan kepada peeneliti semacam petunjuk kearah mana peneliti melangkah 14. 4. Unit Analisa Sanksi Pidana Terhadap Penyidik, Penuntut Umum Dan Hakim Bila Tidak Mengupayakan Diversi (Studi Terhadap Putusan Mahmah Konstitusi Nomor 110/Puu-X/2012 Unit analisa di dalam suatu penelitian perlu dikemukakan untuk memudahkan pembaca 13 Dian Puji N. Simatupang, Bahan Perkuliahan Metode Penelitian dan Penelusuran Literatur Hukum Program Magister Kenotariatan, Depok : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010, hlm. 9 14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum edisi Revisi, kencana, Jakarta, 2014, hlm.196

memahami isi suatu penelitian. Dalam penulisan ini, unit analisa adalah Diversi, tetapi sesuai dengan tujuan penelitian dan rumusan masalah yaitu kewajiban pengupayaan Diversi yang menjadi fokus untuk dikaji dalam penelitian ini dengan megkaji Putusan Mahkamah Konstitusional Nomor 110/PUU-X/2012 mengenai pengenaan sanksi pidana terhadap aparat penegak hukum yang tidak mengupayakan Diversi.