TINJAUAN PUSTAKA Daging Itik Menurut Srigandono (1997), tujuan utama pemeliharaan ternak itik sebagaimana ternak ayam pada umumnya, dibagi menjadi 3 golongan, yaitu : a. Itik tipe pedaging : Aylesbury, Cayuga, Orpington. b. Itik tipe penelur : Campbell, Indian Runner. c. Itik tipe ornament (hiasan) : Calls, East India, Mallard, Mandarin. Faktor kualitas daging yang dimakan meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavour dan aroma termasuk bau dan cita rasa dan juiciness. Disamping itu, lemak intramuskuler, susut masak (cooking loss) yaitu berat daging yang hilang selama pemasakan atau pemanasan, retensi cairan dan ph daging, ikut menentukan kualitas daging (Soeparno, 1992). Keempukan dan tekstur daging kemungkinan besar merupakan faktor penentu yang penting pada kualitas daging. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging digolongkan menjadi faktor antemortem seperti genetik termasuk bangsa spesies dan fisiologi, faktor umur, manajemen, jenis kelamin dan stres serta faktor postmortem (metode chilling, refrigeration, pelayuan dan pembekuan termasuk faktor lama dan temperatur penyimpanan dan metode pengolahan, termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk). Tingkat keempukan bervariasi antarspesies, bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas dan otot (Soeparno, 1992). Kandungan protein itik lebih tinggi (21,4%) dibandingkan kandungan protein ayam (20,8%), dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi daging itik dan daging ternak lainnya Daging dari Ternak Kadar (%) Air Protein Lemak Abu Angsa 68,3 22,3 7,1 1,1 Ayam 73,4 20,8 4,8 1,1 Itik 68,8 21,4 8,2 2,1 Sapi (gemuk) 63,0 18,7 17,0 0,9 Domba (gemuk) 59,8 16,7 22,4 0,8 Babi (gemuk) 52,0 14,8 32,0 0,8 Sumber : Srigandono (1997) Pengertian dan Pengaruh Pemberian Enzim Setelah hewan dipotong, sebagian besar enzim masih meneruskan keaktifannya dalam berbagai reaksi biokimia. Adanya enzim memungkinkan terjadinya reaksi-reaksi biokimia dengan lebih cepat tergantung dari macam enzim yang ada dan dapat mengakibatkan bermacam-macam perubahan pada komposisi bahan. Enzim dapat mengakibatkan perubahan cita rasa, warna, tekstur dan sifatsifat lain dari bahan pangan. Enzim dapat diekstraksi dari bahan-bahan hayati dan dapat dimurnikan. Penggunaan enzim dalam teknologi pangan misalnya penambahan enzim ke dalam bahan pangan untuk tujuan memecahkan pati, mengempukkan daging, menjernihkan anggur, menggumpalkan protein susu atau perubahan-perubahan lainnya (Winarno, 1983). Suatu ciri khas sel hidup adalah terdapatnya proses metabolisme yang diperantarai oleh suatu protein yang disebut enzim. Enzim adalah salah satu katalisator protein yang mempercepat reaksi kimia dalam makhluk hidup atau dalam sistem biologik. Tanpa enzim maka reaksi selular berlangsung sangat lambat, bahkan mungkin tidak terjadi reaksi. Enzim meningkatkan kecepatan reaksi spontan pada temperatur fisiologik (Shahib, 1992).
Dua faktor utama yang mempengaruhi kerja enzim adalah suhu dan ph. Enzim akan aktif pada suhu optimum antara 25-50 C. Aktivitas enzim akan turun jika suhu diturunkan dan akan inaktif pada suhu di bawah 5 C. Inaktivasi enzim inilah yang mendasari adanya pengawetan atau penundaan suhu dengan cara penyimpanan pada suhu kulkas/refrigerator (Widodo, 2003). Enzim Bromelin Dalam Buah Nanas Bromelin adalah enzim yang dapat diisolasi dari buah nanas (Fellows, 1990) bahkan dari limbah kulit buah nanas (Istika, 2009). Enzim bromelin banyak digunakan dalam proses chilled proofing (tahan dingin) seperti halnya enzim papain. Enzim proteolitik yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan diantaranya adalah papain dalam buah papaya, bromelin dalam buah nanas dan fisin dalam buah fig (Fellows, 1990). Buah nanas yang muda maupun tua mengandung enzim bromelin. Keaktifan enzim bromelin dari buah nanas muda lebih tinggi bila dibanding buah yang sudah tua (Winarno, 1983). Demikian juga menurut Pantastico (1997) bahwa kegiatan spesifik enzim bromelin akan berkurang selama seluruh stadium perkembangan terjadi. Kandungan enzim bromelin yang terdapat dalam buah nanas merupakan enzim kompleks pemecah protein. Oleh karena itu, nanas dapat digunakan untuk memperlancar sistem pencernaan protein. Keuntungan lain dari enzim bromelin adalah dapat menyembuhkan arthritis, sembelit dan infeksi saluran pernafasan (Wirakusumah, 2000). Enzim proteolitik menghidrolisa protein menjadi pepton, polipeptida dan asam amino (George and Wilbur, 1988). Semakin banyak enzim yang digunakan,
maka semakin cepat proses hidrolisis yang akan terjadi, sehingga waktu yang dibutuhkan dalam mengempukan daging menjadi lebih singkat (Soeparno, 1992). Perendaman daging dalam enzim dapat meningkatkan keempukan daging dan akan menyebabkan terjadinya perubahan komposisi daging (Lawrie, 1995). Kandungan gizi nanas dalam 100 g dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan gizi nanas dalam 100 g BDD Kandungan gizi Jumlah Energi (kal) 50.00 Protein (g) 0.40 Lemak (g) 0.20 Karbohidrat (g) 13.00 Kalsium (g) 19.00 Fosfor (mg) 9.00 Serat (g) 0.40 Besi (mg) 0.20 Vitamin A (RE) 20.00 Vitamin B1 (mg) 0.08 Vitamin B2 (mg) 0.04 Vitamin C (mg) 20.00 Niacin (g) 0.20 Keterangan : BDD = Bahan yang Dapat Dikonsumsi Sumber : Wirakusumah (2000). Tekstur dan Organoleptik Indera perasa kita dapat merasakan banyak makanan yang kita makan. Hal ini dapat dipakai sebagai metode untuk menentukan kualitas makanan. Kita dapat membiasakan indera kita untuk mengenali atau menilai cita rasa dan kualitas makanan dengan cara melatih indera tersebut (Ammermen, 1987). Makanan yang telah dikunyah akan mengakibatkan keluarnya air liur yang kemudian menimbulkan rangsangan pada saraf pengecap yang ada di lidah. Makanan yang empuk dapat dikunyah dengan sempurna dan akan menghasilkan senyawa yang lebih banyak yang berarti intensitas rangsangan menjadi lebih tinggi (Moehyi, 1992).
Ammermen (1987) yang menyatakan bila digabungkan dengan perasaan (konsistensi dan tekstur) dari makanan didalam mulut, konsumen dapat membedakan suatu makanan dengan jenis makanan lain. Cita rasa makanan ditimbulkan oleh terjadinya rangsangan terhadap indera pengecap dalam tubuh manusia. Cita rasa suatu bahan adalah respon ganda dari bau dan rasa. Bila digabungkan dengan perasaan (konsistensi dan tekstur) dari makanan di dalam mulut, konsumen dapat membedakan suatu makanan dengan jenis makanan lain. Cita rasa makanan ditimbulkan oleh terjadinya rangsangan terhadap indera pengecap dalam tubuh manusia. Makanan yang memiliki cita rasa tinggi adalah makanan yang disajikan dengan menarik, menyebarkan bau yang sedap dan memberikan rasa yang lezat (Ammermen, 1997). Evaluasi bau dan rasa masih tergantung pada taste panel, keragaman antara individu dalam respon intensitas dan kualitas terhadap stimulus tertentu dan pada seorang individu tertentu (karena beberapa faktor luar) menyebabkan pemilihan anggota panel merupakan hal yang terpenting (Lawrie, 1995). Moehyi (1992) menyatakan bahwa makanan yang memiliki cita rasa tinggi adalah makan yang disajikan dengan menarik, menyebarkan bau yang sedap dan memberikan rasa yang lezat. Komponen yang berperan dalam penentuan kelezatan makanan adalah aroma makanan, bumbu masakan, keempukan dan kerenyahan makan serta tingkat pematangan dan temperatur makanan. Salah satu penilaian uji organoleptik adalah uji hedonik. Tujuan dari uji hedonik adalah untuk mengetahui apakah suatu produk dapat diterima oleh
masyarakat. Uji ini biasanya diwakili oleh sekelompok orang yang berasal dari berbagai umur, jenis kelamin dan suku. Soekarto (1985) menambahkan bahwa kesan mutu hedonik lebih spesifik dari pada kesan suka atau tidak suka. Mutu hedonik dapat bersifat umum baik-buruk dan bersifat spesifik seperti empuk-keras pada daging. Pengujian organoleptik dilakukan pada rasa, keempukan dan aroma dari 20 orang panelis, kemudian data diambil dengan skala hedonik dan skala numerik (Tabel 3). Tabel 3. Tabel skala hedonik dan numerik Skala hedonik Skala numerik Sangat suka 4 Suka 3 Kurang suka 2 Tidak suka 1 Sumber: Soekarto (1981) Susut Masak Besarnya susut masak dapat dipergunakan untuk mengestimasikan jumlah kandungan air dan lemak dalam daging setelah dimasak. Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas relatif lebih baik daripada daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit (Soeparno, 1992). Selama proses pemanasan, daging akan mengalami pengerutan dan pengurangan berat. Inilah yang disebut susut masak. Produk daging olahan sebaiknya mengalami susut masak sedikit mungkin karena susut masak mempunyai hubungan erat dengan rasa/juiceness daging (Winarno, 1983).