Bab 1 Keberangkatan Pak Brata adalah anak tunggal di keluarganya. Ayahnya seorang pedagang kelontong yang mengelola toko dengan dibantu sang istri tercinta. Mereka hampir tak mengenal waktu dalam bekerja, pagi hingga sore melayani pembeli, sementara malamnya mencatat pembukuan. Kondisi ini membuat orang tua Pak Brata menjadi mudah sakit-sakitan karena terlalu letih mencari nafkah. Ayahnya meninggal saat Pak Brata berusia 22 tahun, disusul ibunya dua tahun kemudian. Untungnya, saat itu Pak Brata sudah hidup mandiri dengan menjadi seorang polisi. Mereka pun tak berkesempatan melihat cucu lakilakinya hasil pernikahan Pak Brata dengan istrinya, yang oleh Pak Brata diberi nama Dewa. Saat masih bersekolah, Pak Brata tidak pernah bercita-cita mengikuti jejak orang tuanya sebagai juragan toko kelontong. Satu-satunya yang terpikir oleh Pak Brata remaja saat itu, dia ingin menjadi polisi agar tak mudah sakit-sakitan seperti orang tuanya dulu. Ia ingin hidup sehat sampai tua agar bisa melihat anak cucunya selama mungkin. Ketika hendak menikah, Pak Brata membayangkan bakal mendapat banyak tambahan saudara baru dari keluarga istrinya. Kenyataannya, sangatlah jauh dari harapan. Kala itu istri Pak Brata sudah dijodohkan
dengan lelaki kaya pilihan orang tuanya, yang didukung oleh saudara-saudara istri Pak Brata yang lain. Istri Pak Brata menolak keinginan keluarganya dengan tetap memilih Pak Brata sebagai calon suaminya. Keberhasilan perjuangan mereka ditandai dengan didapatnya restu pernikahan dari keluarga istri Pak Brata, walau dengan konsekuensi harus dikucilkan dalam pergaulan keluarga sang istri. Pak Brata tak terlalu merisaukannya. Ia dan istrinya sudah sepakat untuk lebih fokus pada kehidupan rumah tangga mereka bersama anak-anaknya kelak. Buah hati yang mereka idam-idamkan pun lahir. Seorang bayi laki-laki sehat bernama Dewa menemani hari-hari Pak Brata bersama istrinya. Kehadiran Dewa membawa keceriaan baru dalam rumah tangga mereka. Suara tawa dan tangis Dewa benar-benar tak ternilai. Rasa kesepian yang mendera istri Pak Brata karena ditinggalkan keluarga besarnya sudah terlupakan berkat senyum Dewa yang demikian menawan. Lesung pipitnya yang ikut bermain-main saat senyumnya merekah berhasil mengalihkan dunia sang ibu. Ia terpesona dibuatnya. Orang-orang yang mengenal Dewa kecil pun sudah memprediksi jika Dewa akan tumbuh menjadi pemuda yang tampan. Pak Brata tak ingin Dewa bernasib seperti dirinya dulu, yang merasakan kesepian di rumah karena hanya bertemankan kedua orang tua. Ia dan istrinya pun sudah memprogramkan untuk kelahiran anak kedua mereka. Istri Pak Brata kembali hamil saat Dewa berusia lima tahun. Sayang, kehamilannya kali ini tak seperti saat mengandung Dewa dulu. Masalah kesehatan janin kerap kali menghantui. Cerita kehamilannya pun berakhir tragis. Sang bayi dinyatakan meninggal, sementara ibunya gagal diselamatkan. 2
Di sepanjang perjalanan menuju bandara, Dewa terlihat lebih banyak murung. Isi kepalanya masih dipenuhi oleh para sahabatnya. Apakah saat di Makasar nanti, ia bakal bertemu orang-orang seperti sahabatnya di sini? Apa yang akan terjadi dengan sahabat-sahabatnya tanpa ada dirinya? Pak Brata bisa menangkap kegelisahan yang dirasakan anaknya. Dewa, kamu tahu, kan, dulu ayah sangat sering merasakan kehilangan orang-orang yang ayah cintai. Dewa hanya mengangguk. Segala cerita hidup ayahnya sedari kecil hingga sekarang, sudah sering didengarnya. Dulu ayah ditinggalkan kakek dan nenekmu saat usia ayah tidak jauh berbeda dengan usiamu sekarang. Lalu, ayah ditinggalkan ibumu saat ayah sedang bahagiabahagianya menanti kelahiran adikmu. Semua terjadi begitu cepat tanpa bisa ayah hentikan. Terkadang, atau mungkin seringkali, apa yang kita anggap paling berharga dalam hidup, justru tak bisa digenggam untuk waktu yang lama. Iya, Yah. Aku tahu. Dewa sudah mulai bersuara meski masih terbatas. Kalian berpisah hanya untuk sementara, bukan perpisahan selamanya seperti yang ayah rasakan dulu. Masih banyak kesempatan buat kalian untuk bisa bertemu lagi. Selama masih ada handphone, aku dan temantemanku pasti bakal bertemu lagi, Yah, Dewa berupaya 3
mencairkan suasana setelah melihat ayahnya mulai tampak serius, aku tidak perlu khawatir. Kini Dewa lebih banyak bermain dengan handphone-nya untuk menghilangkan kegalauan. Sampai di bandara pun, Dewa tetap asyik dengan jari-jemarinya yang begitu lincah memencet tombol-tombol keyboard. Awalnya, Pak Brata tak mempermasalahkan. Hingga akhirnya ia merasa jika keberadaannya di samping Dewa sudah tak dianggap lagi. Dewa terlalu lama mendiamkannya demi tetap bisa cengar-cengir di depan layar handphone. Lagi SMS-an sama siapa, sih, Wa? Kelihatannya asyik banget, Sama siapa lagi, Yah, kalau bukan sama mereka. Dewa menjawab, tetapi tatap matanya tak beranjak dari layar handphone. Wajahnya berekspresi, tetapi sebagai reaksi atas pesan yang masuk ke handphone-nya. Lagi-lagi Pak Brata merasa tak dianggap oleh anaknya. Tanpa disebutkan namanya pun, Pak Brata sudah bisa menebak jika Dewa sedang berkirim pesan dengan Rafis, Adip, dan Aura. Andaikan diriku yang hendak berpisah dengan Dewa, akankah Dewa bersikap serupa? Pertanyaan yang sebenarnya tak perlu ada, mulai muncul di benak Pak Brata. Tidak, aku tidak boleh merasa tersaingi dengan para sahabat anakku. Akulah satu-satunya yang membesarkan Dewa sejak ibunya meninggal, sedari kecil hingga sekarang. Dewa pasti lebih memilihku daripada sahabatnya. Dewa sudah membuktikan dengan mengikuti pindah ke Makasar dibanding nge-kost di Jakarta. Atau jangan-jangan, Dewa memilih ke Makasar hanya karena ada hubungan darah denganku, sementara hatinya 4
sebenarnya lebih berat ke Jakarta? Pikiran Pak Brata mendadak kacau sendiri. Pak Brata sudah kehilangan banyak orang yang dicintainya. Dewa adalah satu-satunya kepunyaannya yang harus dimilikinya secara penuh. Pak Brata memang mengajarkan Dewa untuk menyayangi sesama, tapi tak pernah menghendaki untuk melebihi kasih sayang Dewa kepadanya. Rasa kehilangan di masa lalu kembali menghantui Pak Brata. Ia takut kehilangan Dewa. Diamatinya lekat-lekat anak lelakinya yang kini sudah memasukkan handphone ke kantongnya. Wa, ayah boleh pinjam handphone-mu sebentar? Handphone ayah sudah hampir habis baterainya. Dewa kembali merogoh handphone dari kantongnya untuk diserahkan kepada sang ayah. Ayah pergi ke toilet sebentar, Wa. Handphone-mu ayah bawa dulu. Jangan lama-lama, Yah! pesan Dewa, pesawatnya tak lama lagi berangkat, Nanti kalau ayah kelamaan, kamu masuk duluan saja, ucap Pak Brata, lantas meninggalkan Dewa sendirian. Sebenarnya, Pak Brata tak benar-benar ingin ke toilet ataupun meminjam handphone untuk sebuah keperluan, tetapi ia memiliki rencana lain. Pak Brata mengambil SIM card di dalam handphone Dewa, lalu dipatahkannya kartu itu menjadi dua bagian untuk kemudian dilempar ke dalam lubang closet. Tombol flushing yang ditekan Pak Brata memastikan potongan SIM card itu tenggelam 5
bersama pusaran air di dalam closet. Maafkan ayah, Wa. Ayah terpaksa melakukannya. Pak Brata keluar dari toilet, lalu mendekat ke sudut ruangan. Perlahan, ia dekatkan tangannya ke mulut sebuah tempat sampah. Pak Brata melempar handphone Dewa ke dalamnya tanpa ragu. Sekali lagi maafkan ayah, Wa. Ayah hanya takut kehilanganmu. Pak Brata melanjutkan langkahnya seolah tak terjadi apa-apa. Ia tak segera kembali ke tempat Dewa berada. Pak Brata mengamati Dewa dari kejauhan untuk memastikan bahwa anaknya masih baik-baik saja. Tanpa handphone di tangannya, Dewa terlihat mati gaya. Pak Brata sengaja mengulur waktu hingga mendekati batas akhir waktu check in pesawat. Saat itu wajah Dewa mulai terlihat resah menunggu kedatangan ayahnya. Dewa mengedarkan pandangan ke sekeliling, berharap bisa melihat wujud ayahnya untuk segera diajak check in. Tentu saja, apa yang dicarinya tidak mungkin ketemu. Pesawat yang bakal ditumpangi Dewa dan ayahnya tak lama lagi lepas landas. Petugas bandara sudah mempersilakan para penumpangnya untuk bersiap memasuki pesawat. Saat itulah kegundahan Dewa mencapai puncaknya karena yang ditunggunya tak juga muncul. Dewa! Akhirnya, terdengar juga suara yang Dewa nantinantikan. Dewa lega bukan kepalang. Tak sabar ia ingin segera menginterogasi ayahnya. 6
Lama banget sih, Yah? Untung pesawatnya belum berangkat, Perasaan lega dan penasaran bercampur menjadi satu di kepala Dewa. Maaf, Wa, tadi perut ayah sakit banget, jadi agak lama di toilet. Waktu ayah keluar dari toilet, sempat ketemu sama teman ayah sekolah, dan kita ngobrolngobrol dulu. Pak Brata menjelaskannya dengan santai. Sama sekali tak ada kecurigaan dari Dewa terhadap kebohongan yang ditutupi ayahnya. Pak Brata sudah menjadi figur ayah yang terbaik baginya. Apa pun yang dikatakan ayahnya, Dewa akan selalu percaya. O iya, handphone Dewa mana, Yah? Inilah saatnya Pak Brata berakting secara total. Tidak hanya dari ucapan, tapi juga dari gesture, ekspresi wajah, semua harus sempurna agar Dewa tak curiga. Pak Brata merogoh saku celananya, dari depan berpindah ke belakang, lalu dilanjutkan dengan saku di kemejanya. Kok handphone-mu tidak ada, Wa? Pak Brata memasang muka pura-pura panik. Tadi Ayah taruh di mana? Kepanikan palsu dari sang ayah menular ke Dewa menjadi panik yang nyata. Seingatku, tadi ayah taruh di saku celana. Atau jangan-jangan, masih ketinggalan di toilet? Akting Pak Brata mencapai klimaksnya. Sukses. Ia bisa merasakannya setelah melihat reaksi Dewa. Kalau begitu, biar aku balik ke toilet sebentar, Dewa tak menunggu persetujuan ayahnya untuk berbalik arah. Namun, tangan Pak Brata sudah sigap menahannya. Pesawat sudah hampir berangkat, Wa! Tak ada waktu lagi buat kembali ke sana, 7
Tapi, Yah, handphone itu penting banget buat Dewa, Jangan nekat, Wa! Nanti di Makasar ayah belikan handphone baru yang lebih bagus, Bukan soal lebih bagus atau tidak. Handphone Dewa kan isinya kontak teman-teman Dewa di Jakarta, Yah, Di handphone ayah ada nomor Adip, nanti kamu bisa tanya Adip lagi buat ngumpulin semua nomor teman-temanmu di Jakarta. Serius, Yah? Pak Brata menjawab dengan anggukan. Sebuah anggukan yang melahirkan kelegaan luar biasa bagi Dewa. Ia bisa melupakan dengan cepat tragedi kehilangan handphone setelah mendapat kepastian takkan kehilangan nomor kontak Adip. Sayangnya, itu semua hanya akal-akalan Pak Brata untuk menenangkan Dewa. Rencana yang disusunnya telah berhasil. 8