III. TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Tinjauan Penelitian TPT Indonesia Penelitian Soeratno (1988), menganalisis keunggulan komparatif suatu produk ekspor, seperti pakaian jadi, bersumber pada banyaknya tenaga kerja dalam negeri dengan upah yang murah, skala produksi yang ekonomis, efisiensi upah, rendahnya harga bahan baku dan penolong, serta berbagai bentuk subsidi yang dilakukan oleh pemerintah. Untuk kasus industri pakaian jadi dijelaskan bahwa meskipun upah tenaga kerja pada kelompok industri pakaian jadi di Indonesia lebih murah daripada upah tenaga kerja pada industri yang sama di luar negeri, namun upah yang murah ini diikuti juga oleh produktivitas tenaga kerja yang rendah. Untuk itu efisiensi upah harus selalu diperbaiki dan ditingkatkan dengan cara meningkatkan produktivitas tenaga kerja Indonesia pada industri pakaian jadi. Penelitian Susanto (1997) menggunakan CMS untuk mengetahui daya saing produk tekstil Indonesia pada tahun 1987-1991 dan 1991-1994. Produk tekstil yang diteliti berdasarkan SITC 651-SITC 659 (benang dan tekstil) dan SITC 841-SITC 848 (pakaian jadi). Negara-negara yang diamati adalah negaranegara anggota APEC, antara lain yaitu Australia, Thailand, Jepang, Indonesia, dan Hongkong. Ada dua komponen yang mempengaruhi pertumbuhan ekspor produk-produk tekstil Indonesia dalam model CMS tersebut yaitu, efek pertumbuhan dunia dan efek daya saing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk-produk tekstil Indonesia yang mempunyai daya saing selama periode penelitian adalah produk SITC 651, SITC 652, dan SITC 653 di Cina. Sedangkan di Hongkong produk-produk tekstil yang berdaya saing adalah SITC 652, SITC 653, SITC 655, SITC 658, SITC 845, SITC 846, dan SITC 848.
29 Purnamaningrum (1998) menganalisis perkembangan ekspor dan daya saing industri tekstil Indonesia tahun 1986-1997 dengan menggunakan CMS, RCA, dan Indeks Penetrasi Pasar. Temuannya menunjukkan bahwa pada periode tahun 1986-1992 ekspor tekstil dan pakaian jadi Indonesia meningkat bervariasi. Tahun 1993 dan 1994 mengalami penurunan, sedangkan tahun 1995 dan 1996 mengalami peningkatan dengan lambat. Pada tahun 1997 ekspor justru turun kembali. Daya saing produk dengan SITC 651, 655, 657, 658 dan 843 pada tahun 1992-1997 cenderung melemah, kecuali di pasar USA dan Hongkong. Sedangkan daya saing produk SITC 846 memiliki kecenderungan kuat. Peningkatan dan penurunan ekspor tekstil dan pakaian jadi Indonesia di pasar tujuan, terutama pasar non kuota lebih bamyak disebabkan oleh efek daya saing dan efek pertumbuhan dunia. Secara umum industri tekstil Indonesia memiliki keunggulan komparatif. Hal ini didasarkan pada rata-rata nilai RCA lebih dari 1. Disebutkan pula bahwa kemampuan Indonesia untuk menembus pasar tekstil di negara-negara tujuan berkisar 0.01-23 persen. Penetrasi yang cukup tinggi terdapat di pasar Hong Kong dan Singapura (23 persen). Penelitian Pracoyo (1995) berkaitan dengan ekspor industri tekstil yang menggunakan data time series tahun 1983-1992 dan menggunakan metode analisis 2SLS. Pracoyo mengadopsi model permintaan dan penawaran ekspor, khususnya untuk negara industri yang baru berkembang (seperti Hong Kong) yang telah dilakukan oleh Muscatelli, Srinivasan, dan Vines (1992). Hasil adaptasinya disebutkan bahwa penawaran ekspor tekstil Indonesia dipengaruhi oleh harga tekstil per satuan, biaya bahan baku, besarnya tingkat upah, tarif, dan perubahan teknologi. Sedangkan dari sisi permintaan ekspor tekstil dipengaruhi oleh harga tekstil domestik, harga tekstil dunia, harga barang substitusi (yaitu harga wool di pasar dunia), pendapatan negara lain, dan selera konsumen. Disimpulkan bahwa penurunan tarif akan mendorong perdagangan dunia
30 menjadi lebih kompetitif. Besarnya variabel tarif dalam fungsi permintaan dan penawaran mempunyai pengaruh yang positif terhadap kuantitas yang ditawarkan dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang, variabel tarif mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kuantitas yang ditawarkan. Disepakatinya persetujuan GATT untuk menurunkan tarif sebesar 30 persen akan mampu mendorong perdagangan dunia menjadi lebih kompetitif. Apabila Indonesia menurunkan rata-rata tarif sebesar 30 persen, maka kuantitas ekspor tekstil akan meningkat sebesar 5.4 persen dan rata-rata harga tekstil domestik sebesar Rp. 23 643.6 per kg. Selanjutnya, variabel tingkat upah dalam jangka pendek mempunyai tingkat elastisitas 4.5, artinya pemberian upah sebesar 1 persen akan mengurangi kuantitas yang ditawarkan sebesar 4.5 persen. Perubahan teknologi, yang ditunjukkan oleh variabel trend, mendorong produksi tekstil menjadi lebih efisien yang ditunjukkan oleh elastisitas perubahan teknologi sebesar 0.014. Artinya apabila terjadi perubahan teknologi sebesar 100 persen, maka akan menambah kuantitas tekstil yang ditawarkan sebesar 1.4 persen (ceteris paribus). Penelitian dengan menggunakan metode pendugaan Ordinary Least Squares (OLS) dilakukan oleh Wintala (1999). Kesimpulan yang diperoleh adalah ekspor tekstil Indonesia ke Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang pada tahun 1978-1997 menunjukkan trend yang positif dan signifikan secara statistik. Devaluasi Rupiah, kenaikan cadangan devisa, peningkatan jumlah penduduk, dan indeks harga sandang cenderung menaikkan volume ekspor tekstil Indonesia. Istojo (2002) melakukan penelitian dengan menganalisis struktur industri TPT Indonesia dengan adanya terhadap WTO pada tahun 2005. Adapun metode yang digunakan adalah deskripsi karakteristik industri, five forces model, driving forces dan key success factor. Hasil yang diperoleh bahwa
31 ketergantungan industri TPT menunjukkan tingkat yang tinggi terhadap pemasok dan pembeli serta adanya persaingan yang ketat antar perusahaan dalam industri TPT Indonesia. Pemberlakuan WTO tahun 2005 disimpulkan (1) akan menambah persaingan dan perebutan pasar di dalam dan luar negeri, (2) akan merubah struktur industri TPT menjadi mass customization yang cenderung pada non price factor dan secara penuh didukung oleh prinsip quick response dan just in time stock, (3) perusahaan-perusahaan dalam industri TPT harus dapat melakukan banyak inovasi manufacture, agar diferensiasi produk meningkat, dan (4) perubahan tataniaga industri TPT dapat menghapus segmen yang selama ini sangat kuat di pasar, yaitu produk dengan harga murah. Agustineu (2004) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ouput industri tekstil di Jawa Barat dengan menggunakan model Cobb Douglas tahun 1980-2001. Ternyata faktor produksi modal, bahan baku, dan bahan bakar memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan output industri tekstil di Jawa Barat. Faktor tenaga kerja memberikan pengaruh yang berkebalikan dengan faktor-faktor yang pertama disebutkan. Industri tekstil di Jawa Barat berada pada kondisi increasing return to scale. Nilai tambah bruto perusahaan tekstil di Jawa Barat tahun 1980-2001 terus meningkat, kecuali tahun 2001. Tingkat efisiensi produksi industri tekstil di Jawa Barat paling tinggi pada tahun 2000. 3.2. Tinjauan Penelitian TPT Dunia Mlachila dan Yongzheng (2004) menggunakan General Trade Analysis Project (GTAP) untuk menganalisis berakhirnya kuota tekstil dengan mengambil studi kasus di Bangladesh. Terdapat tiga faktor yang berpengaruh dalam kinerja ekspor tekstil dan pakaian jadi Bangladesh pada tahun 1990an, yaitu upah yang rendah, aliran masuk Foreign Direct Investment (FDI) dan kuota yang diberlakukan di negara pesaing. Bangladesh menghadapi masalah yang serius
32 dengan daya saing setelah sistem kuota berakhir, karena infrastruktur yang lemah dan berbagai iklim makro yang tidak mendukung. Hasil simulasi menunjukkan bahwa ekspor Bangladesh akan menurun setelah penghapusan kuota dan hal ini berpengaruh terhadap balance of payment. Sama halnya yang dilakukan oleh WTO (2004), dengan menggunakan General Trade Analysis Project berusaha menjelaskan kondisi industri TPT global setelah berakhirnya Agreement on Textiles and Clothing (ATC). China dan India merupakan negara-negara yang akan mendominasi pasar TPT Uni Eropa, Amerika Serikat dan Kanada setelah sistem kuota berakhir. Bahkan China diprediksikan akan mengambil pangsa pasar TPT dunia hingga 50 persen. Selain itu, spesialisasi vertikal dalam supply chain TPT adalah sangat penting dan bagi negara-negara yang mempunyai kedekatan secara geografis akan banyak diuntungkan dengan perjanjian bilateral dan tarif yang lebih rendah. Temuan penting bagi TPT Indonesia adalah: (1) di pasar Uni Eropa, setelah kuota berakhir pangsa pasar garmen Indonesia akan meningkat dari 4 persen menjadi 5 persen, sedangkan pangsa pasar tekstil Indonesia akan tetap pada tingkat 3 persen, (2) di pasar Amerika Serikat, pangsa pasar tekstil Indonesia akan stagnan pada 3 persen, penurunan akan terjadi untuk komoditas garmen, yaitu dari 4 persen menjadi 2 persen. Dari berbagai telaah penelitian tentang industri TPT yang telah dilakukan tersebut telah memberikan gambaran tentang perkembangan industri dan perdagangan TPT dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, baik di tingkat nasional maupun internasional. Selain itu, banyak penelitian yang melakukan prediksi terhadap perkembangan industri TPT pasca kuota tahun 2005. Namun demikian, keterkaitan antara pasar domestik dan pasar dunia yang berperan penting dalam perkembangan industri TPT domestik, belum dieksplorasi lebih mendalam.
33 Oleh sebab itu, pada penelitian ini dianalisis perkembangan dan prospek industri TPT secara holistik, baik industri tekstil dan maupun industri garmen. Analisis penelitian ini dimulai secara spesifik dengan menganalisis pangsa pasar TPT Indonesia di antara negara-negara pesaing. Kemudian dilanjutkan dengan mengaitkan industri TPT secara simultan melalui variabel-variabel ekonomi, termasuk kebijakan moneter dan fiskal, untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan industri TPT Indonesia. Selain itu isu-isu terkini dan kebijakan pemerintah yang berubah juga akan mempengaruhi industri TPT sepanjang waktu. Simulasi kebijakan dan non kebijakan dalam penelitian ini untuk menganalisis dampak terhadap perkembangan industri TPT Indonesia merupakan kontribusi baru dari penelitian ini.