BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini banyak media massa atau media sosial yang menampilkan model dan selebriti yang memiliki bentuk tubuh yang sempurna. Memiliki bentuk dan ukuran tubuh yang ideal merupakan impian semua perempuan, dan hal ini tentunya membuat banyak perempuan yang berusaha untuk mencapai bentuk dan ukuran tubuh yang ideal tersebut. Bentuk dan ukuran tubuh yang ideal sering dikaitkan dengan daya tarik fisik. Daya tarik fisik menjadi salah satu hal yang penting dalam masyarakat modern saat ini. Daya tarik fisik seseorang dapat memiliki dampak yang signifikan pada pengalaman sosialnya (Swami, Frederick, Aavik, Alcalay, & Allik, 2010). Penelitian yang dilakukan Langlois, Kalakanis, Rubenstein, Larson, Hallam, & Smoot (2000) mengungkapkan bahwa individu yang atraktif dibandingkan dengan individu yang tidak atraktif lebih dinilai berkompeten pada profesi, pekerjaan, dan diperlakukan oleh orang lain dengan lebih menyenangkan. Penampilan fisik atau daya tarik fisik juga menjadi perhatian bagi individu ketika memilih pasangan dalam berbagai budaya. Penelitian Buss (1989) yang dilakukan pada 37 negara menemukan bahwa pria dan wanita menjadikan daya tarik fisik sebagai salah satu sifat paling penting yang mereka cari ketika memilih pasangan jangka panjang. Banyak orang yang saat ini kemudian mengejar penampilan fisik yang sempurna karena penampilan atau daya tarik fisik dapat mempengaruhi kehidupan sosial mereka. Timbulnya kesenjangan antara ukuran tubuh ideal dengan bentuk tubuh yang sebenarnya menyebabkan perempuan mengalami ketidakpuasan bentuk tubuh 1
2 (Asri & Setiasih, 2004). Robinson (dalam Suprapto dan Aditomo, 2007) mengemukakan bahwa di Amerika, dari tahun ke tahun jumlah wanita yang mengalami body dissatisfaction semakin bertambah. Hal ini ditunjukkan dari hasil survei dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1997. Pada tahun 1973 sebanyak 25% perempuan tidak puas terhadap keseluruhan penampilannya, pada tahun 1986 meningkat menjadi 38%, dan pada tahun 1997 jumlahnya meningkat lagi menjadi 56%. Sebuah penelitian survei menemukan hampir 80% remaja mengalami ketidakpuasan dengan kondisi fisiknya (Kostanski & Gullone, 1998). Penelitian Herawati (dalam Suprapto dan Aditomo, 2007) yang dilakukan di Surabaya pada tahun 2003, mendapatkan hasil bahwa sebanyak 40% perempuan berusia 18-25 tahun mengalami body dissatisfaction yang tergolong dalam kategori tinggi dan 38% dalam kategori sedang. Tingginya tingkat ketidakpuasan bentuk tubuh mendorong remaja putri di Irlandia untuk melakukan diet. Hal ini ditunjukkan dari 80% remaja yang menyatakan bahwa penting bagi mereka untuk menjadi langsing dan 49% remaja terlibat dalam beberapa bentuk perilaku diet (Mooney, Farley & Strugnell, 2010). Hasil penelitian Pratiwi (2009) menemukan bahwa remaja putri melakukan suntik kurus untuk mendapatkan ukuran tubuh yang ideal. Remaja putri menganggap bahwa ukuran mereka sudah sangat berlebih dan banyak timbunan lemak yang sangat mengganggu meskipun orang-orang terdekatnya mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki tubuh yang gemuk. Bagian tubuh yang dirasa kurang memuaskan adalah bagian paha dan perut. Penelitian yang dilakukan oleh Sim dan Zeman (2006) menemukan hasil bahwa tingkat ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh dapat menyebabkan gangguan makan pada remaja putri, antara lain anoreksia dan bulimia.
3 Penelitian Setyorini (2010) yang dilakukan di Semarang menemukan bahwa remaja putri sebanyak 87,1% belum menjalankan perilaku makan yang baik dan 48,4% merasa tidak puas dengan bentuk dan ukuran tubuh yang dimiliki. Remaja putri yang menganggap tubuhnya kurang ideal atau yang mengalami ketidakpuasan bentuk tubuh belum menjalankan perilaku makan yang baik. Penelitian Dieny (2009) yang dilakukan di Semarang menemukan bahwa remaja yang berusia 14-17 tahun, sebanyak 68,2% menginginkan bentuk tubuh tinggi dan langsing. Sebanyak 50,4% remaja pernah melakukan upaya pencapaian bentuk tubuh ideal secara tidak tepat dengan rincian sebanyak 22,2% melakukan diet yang salah, 9,3% mengonsumsi obat atau teh pelangsing, dan 37% melakukan diet dan olahraga yang berlebih. Penelitian yang dilakukan oleh Wal (2011) pada 4.529 remaja, menemukan bahwa sebanyak 43,9% remaja terlibat dalam perilaku mengontrol berat badan yang tidak sehat. Sebanyak 46,6% remaja perempuan sengaja melewatkan makan (sarapan, makan siang, atau makan malam), 16% remaja perempuan sengaja berpuasa, 12,9% remaja perempuan membatasi satu jenis makanan atau lebih untuk diet ketat, 8,9% remaja perempuan menggunakan pil diet, 6,6% remaja perempuan merokok untuk menurunkan berat badan, dan 6,6% remaja perempuan memuntahkan makanan dengan paksa. Dilansir oleh Vemale.com, gadis bernama Beth Birch saat berusia 19 tahun melakukan gastric bypass atau operasi pemotongan lambung untuk menurunkan berat badannya yang saat itu mencapai 197 kg. Selama 16 bulan, berat Beth turun dari 197 kg menjadi 25 kg saja. Penurunan berat badan yang terlalu drastis ini hampir membunuh Beth. Peneliti melakukan pengamatan terhadap beberapa mahasiswi Fakultas Psikologi UGM. Terdapat beberapa mahasiswi yang melakukan diet karena merasa
4 berat badannya berlebih. Mahasiswi yang melakukan diet tidak hanya mahasiswi yang kelebihan berat badan namun beberapa di antara mereka yang sudah memiliki berat badan normal pun ikut melakukan diet. Hal ini sesuai dengan pendapat Furnham & Calnan (1998) bahwa wanita lebih sering menilai diri mereka overweight atau kelebihan berat badan, padahal jika dilihat dari standar objektif mereka tidak termasuk sebagai overweight. Bagi mereka yang sudah memiliki berat badan normal dan ukuran proporsional ikut melakukan diet karena menganggap bahwa beberapa bagian tubuh mereka masih belum memuaskan, seperti paha, perut, pinggang, lengan, dan wajah yang terlalu chubby. Terdapat informasi dari salah satu mahasiswi bahwa ada mahasiswi yang melakukan diet ekstrim dengan hanya memakan es batu dan kripik pedas dalam beberapa hari demi menurunkan berat badannya. Salah satu mahasiswi yang lain melakukan diet dengan hanya memakan buah-buahan dan sayuran saja, padahal ukuran tubuh mahasiswi tersebut sudah termasuk kecil. Mahasiswi yang lain ada yang melakukan diet dengan mengonsumsi produk susu untuk mengganti makan pagi dan malam. Ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh mendorong perempuan berusaha untuk terus memperbaiki penampilan fisiknya. Berbagai upaya dilakukan untuk mendapatkan tubuh yang ideal, antara lain dengan berdiet, olahraga, mengonsumsi suplemen, sedot lemak, atau operasi plastik. Body dissatisfaction merupakan perasaan tidak senang dengan berat badan dan bentuk tubuh (Bearman, Martinez, & Stice, 2006). Secara teoritis, wanita yang menginternalisasi bentuk tubuh ideal menurut masyarakat ke dalam dirinya akan lebih mudah untuk memiliki body dissatisfaction apabila standar bentuk tubuh yang ideal tidak terpenuhi (Bearman, Martinez, & Stice, 2006). Body dissatisfaction adalah suatu bentuk ketidakpuasan terhadap tubuh yang merupakan hasil dari pengalaman individu dan juga
5 merupakan hasil dari interaksi dengan lingkungan (Sumali, Sukamto, & Mulya, 2008). Menurut Rosen, Reiter, & Orosan (1995) body dissatisfaction memiliki karakteristik yaitu penilaian negatif terhadap bentuk tubuh, baik secara keseluruhan ataupun bagian-bagian tertentu dari tubuhnya, perasaan malu terhadap bentuk tubuhnya, body checking, kamuflase tubuh dan menghindari aktivitas sosial serta kontak fisik dengan orang lain. Body dissatisfaction akan berasosiasi dengan stress negatif subyektif tingkat tinggi, perilaku mengontrol berat badan yang tidak sehat, dan metode ekstrim pengubahan penampilan, seperti operasi kecantikan dan pemakaian steroid (Neumark-Sztainer, Paxton, Hannan, Haines, & Story, 2006). Menurut Freedman (dalam Sumali dkk., 2008) body dissatisfaction dapat menyebabkan timbulnya permasalahan kesehatan fisik yang serius pada orang yang mengalaminya. Permasalahan yang mungkin timbul meliputi gangguan makan, diet yang ternyata justru menimbulkan kelebihan berat badan dan timbulnya perilaku-perilaku menghukum diri. Citra tubuh yang negatif juga dapat berdampak pada gangguan makan seperti anorexia nervosa dan bulimia nervosa (Sejcova, 2008). Menurut Troisi, Giorgio, Alcini, Nanni, Pascuale, & Siracusano (2006) body dissatisfaction merupakan prediktor utama terhadap munculnya gangguan makan. Body dissatisfaction tidak muncul begitu saja. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya body dissatisfaction. Menurut Dieny (2009) persen lemak tubuh dan pengaruh teman sebaya merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap citra tubuh. Body dissatisfaction terkait erat dengan tingkat kurus atau gemuk seseorang. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang menemukan bahwa berat badan dan ukuran tubuh berperan penting dalam mempengaruhi body dissatisfaction pada wanita, terutama di lingkungan budaya
6 yang menekankan pentingnya penampilan (Thompson, 1990). Faktor lain yang mempengaruhi body dissatisfaction adalah social comparison (Sunartio, Sukamto, & Dianovinina, 2012). Body dissatisfaction sangat dipengaruhi oleh komparasi sosial, membandingkan tubuh dengan orang lain yang lebih kurus, majalah, sikap ibu terhadap tubuh individu, sikap teman dekat terhadap tubuh individu dan orang asing yang mempengaruhi individu dalam memandang tubuhnya (Pratiwi, 2009). Tekanan dari orang-orang sekitar untuk menjadi kurus dapat membuat para wanita semakin merasa tidak puas dengan bentuk tubuh yang dimiliki (Tylka & Sabik, 2010). Faktor lainnya adalah self-esteem. Rahmania & Ika (2012) mengemukakan bahwa tingkat self-esteem yang tinggi menyebabkan remaja putri merasa puas dengan penampilan fisik dan merasa tidak terlalu fokus pada penampilan fisiknya. Faktor lain yang dapat mempengaruhi body dissatisfaction adalah body image. Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya, baik secara keseluruhan, maupun bagian per bagian, seperti ukuran, bentuk tubuh, dan nilai estetisnya (Cash & Pruzinsky, 2002). Sikap ini dapat bersifat positif maupun negatif. Individu yang memiliki citra tubuh negatif akan memiliki kepuasan terhadap tubuh yang rendah (Cash & Flemming, 2002). Rendahnya kepuasan terhadap bentuk tubuh akan mempengaruhi munculnya body dissatisfaction. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai peran body mass index, body image, self-esteem terhadap body dissatisfaction pada mahasiswi Fakultas Psikologi UGM.
7 B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: apakah terdapat peran body mass index, body image, selfesteem terhadap body dissatisfaction pada mahasiswi Fakultas Psikologi UGM. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran body mass index, body image, self-esteem terhadap body dissatisfaction pada mahasiswi Fakultas Psikologi UGM. D. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan mengenai peran body mass index, body image, self-esteem terhadap body dissatisfaction pada perempuan. b. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi dalam menyusun upaya dalam mencegah dampak buruk dari body dissatisfaction yang dapat mengarah pada perilaku diet yang tidak sehat pada seseorang. Bagi orangtua, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menyadarkan akan pentingnya self-esteem pada anak dan menanamkan rasa bangga terhadap bentuk tubuh yang dapat dibentuk melalui pola asuh orangtua. Peningkatan self-esteem dan rasa bangga terhadap tubuh pada anak dapat mencegah timbulnya body dissatisfaction pada anak dikemudian hari. Bagi kaum perempuan, hasil penelitian ini dapat berguna untuk menyadarkan akan pentingnya self-esteem dan body image yang positif dalam mencegah timbulnya body dissatisfaction.