BAB I PENDAHULUAN. otonomi seluas-luasnya dalam artian daerah diberi kewenangan mengurus dan

dokumen-dokumen yang mirip
pemerintahan lokal yang bersifat otonomi (local outonomous government) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan penganggaran pada dasarnya mempunyai manfaat yang sama

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perencanaan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Siklus pengelolaan keuangan daerah merupakan tahapan-tahapan yang

BAB I PENDAHULUAN. kerja pengelolaan pemerintahan, Indonesia dibagi menjadi daerah kabupaten dan. sendiri urusan pemerintahan dan pelayanan publik.

Sejak tahun 2008, tingkat kemiskinan terus menurun. Pada 2 tahun terakhir, laju penurunan tingkat kemiskinan cukup signifikan.

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 34 provinsi yang kini telah tumbuh menjadi beberapa wacana

SUATU TINJAUAN KEBIJAKAN ALOKASI BELANJA 3 (TIGA) BIDANG UTAMA (SOSIAL BUDAYA, INFRASTRUKTUR, EKONOMI) UNTUK 25 KABUPATEN DAN KOTA PADA RAPBD TA

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Lampiran 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita Menurut Kabupaten/Kota Atas Dasar Harga Konstan (Rupiah)

Provinsi Sumatera Utara: Demografi

BAB I PENDAHULUAN. (United Nations Development Programme) sejak tahun 1996 dalam seri laporan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi sehingga dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

Lampiran 1 REALISASI DANA ALOKASI UMUM (DAU) KABUPATEN / KOTA PROVINSI SUMATERA UTARA (Tabulasi Normal dalam Rupiah) TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. setiap anggaran tahunan jumlahnya semestinya relatif besar. publik. Beberapa proyek fisik menghasilkan output berupa bangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi suatu daerah pada dasarnya merupakan kegiatan yang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia (IPM), pembangunan manusia didefinisikan sebagai a process

BAB I PENDAHULUAN. sejarah ekonomi dan selalu menarik untuk dibicarakan. Pengangguran adalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB I PENDAHULUAN. 1994). Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. bersama yang diterjemahkan sebagai kesejahteraan hidup. Secara ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. untuk tempat tinggal dan berlindung. Namun seiring dengan perkembangan

Disampaikan Oleh: SAUT SITUMORANG Staf Ahli Mendagri Bidang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

Lampiran 1. Tabel Daftar Pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. usaha pertanian (0,74 juta rumah tangga) di Sumatera Utara.

Tabel 1.1. Daftar Surplus/Defisit Laporan Realisasi APBD Kabupaten/Kota T.A (dalam jutaan rupiah)

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibuat dan dipopulerkan oleh United Nations

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BERITA RESMI STATISTIK

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. (Maryati, Ulfi dan Endrawati, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan Pembangunan Nasional, sebagaimana diamanatkan dalam. Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. Pada September 2000 sebanyak 189 negara anggota PBB termasuk

Lampiran 1 Daftar Kabupaten/ Kota, Sampel

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, dalam upaya untuk meningkatkan taraf hidup maupun kesejahteraan rakyat.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang politik, ini terlihat bagaimana. kesehatan yang memadai untuk seluruh masyarakat.

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan adalah hal yang sangat penting. Pada tahun 1950an, orientasi

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

I. PENDAHULUAN. tantangan, menyesuaikan diri dalam pola dan struktur produksi terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

Sumatera Utara. Rumah Balai Batak Toba

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

: SUMATERA UTARA Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agus Sept Okt Nov

BAB III TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PROPINSI SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. meliputi kebutuhan makan maupun non makan. Bagi Indonesia, kemiskinan sudah sejak lama menjadi persoalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen

ALOKASI ANGGARAN DAERAH DALAM PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SUMATERA UTARA Beryl Artesian Girsang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Federalisme Fiskal (Fiscal Federalism)

Daftar Populasi dan Sampel Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. internasional dikenal adanya tujuan posisi manusia sebagai central dalam

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

KEMISKINAN ASAHAN TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. kewenangan dan tanggung jawab penuh dalam mengatur dan mengurus rumah

I. PENDAHULUAN. tanaman dagang yang sangat menguntungkan, dengan masukan (input) yang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan. pendapatan perkapita suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu asas pembangunan daerah adalah desentralisasi. Menurut ketentuan umum UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwujudan dari asas desentralisasi adalah berlakunya otonomi daerah. Otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam artian daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat (Maryati dan Endrawati, 2010). Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dikukuhkan dengan undang-undang telah membawa konsekuensi tersendiri bagi daerah untuk bisa melaksanakan pembangunan disegala bidang, dengan harapan dapat dilaksanakan secara mandiri oleh daerah. Kebijakan tersebut dicanangkan oleh Pemerintah melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Kebijakan tersebut bisa dilihat dari dua sudut pandang. Sudut pandang yang pertama adalah tantangan, yang kedua adalah peluang bagi Pemerintah Daerah. Hal tersebut dikarenakan, dalam UU tersebut diamanatkan suatu kewenangan otonomi yaitu

agar daerah melaksanakan pembangunan disegala bidang, terutama untuk pembangunan sarana dan prasarana publik (Sumarmi, 2010). Manfaat yang diharapkan dari penerapan otonomi daerah adalah dapat menjadi katalis peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan serta mendukung pemerataan hasil pembangunan di seluruh daerah. Pengalokasian sumber daya produktif diharapkan menjadi lebih tepat dan optimal karena pengambilan keputusan pengalokasian tersebut telah diserahkan ke tingkat pemerintahan yang paling rendah. Penetapan alokasi sumber daya yang dimiliki oleh daerah dilakukan dengan menganut asas kepatuhan, kebutuhan, dan kemampuan daerah yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau APBD (Yasser, 2015). Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), anggaran sektor publik pemerintah daerah sebenarnya merupakan output pengalokasian sumberdaya yang mendasar dalam penganggaran sektor publik. Keterbatasan sumberdaya sebagai akar masalah utama dalam pengalokasian anggaran sektor publik dapat diatasi dengan pendekatan ilmu ekonomi melalui berbagai teori. Tuntutan untuk mengubah struktur belanja menjadi semakin kuat, khususnya pada daerah-daerah yang mengalami kapasitas fiskal rendah (Halim,2001). Perubahan alokasi belanja ditujukan untuk pembangunan berbagai fasilitas modal. Pemerintah perlu memfasilitasi berbagai aktivitas peningkatan perekonomian, salah satunya dengan membuka kesempatan berinvestasi. Daerah harus mampu mengalokasikan anggaran belanja modal dengan baik karena belanja modal merupakan salah satu langkah bagi Pemerintah Daerah untuk memberikan pelayanan kepada publik. Darwanto dan Yustikasari (2007)

menyatakan bahwa pemanfaatan anggaran belanja seharusnya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misalnya untuk pembangunan. Penerimaan pemerintah daerah seharusnya dialokasikan untuk program-program layanan publik. Kedua pendapat tersebut menyatakan bahwa pengalokasian anggaran belanja modal untuk kepentingan publik sangatlah penting. Untuk dapat meningkatkan pengalokasian belanja modal, maka perlu diketahui variabel-variabel yang berpengaruh terhadap pangalokasian belanja modal, seperti Dana Alokasi Khusus, Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi. Tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu tujuan penting pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Pertumbuhan ekonomi mendorong Pemerintah Daerah untuk melakukan pembangunan ekonomi dengan mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan dengan masyarakat untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru yang akan mempengaruhi perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut (Kuncoro, 2004). Pembangunan ekonomi ditandai dengan meningkatnya produktivitas dan pendapatan perkapita penduduk sehingga terjadi perbaikan kesejahteraan. Kenyataan yang terjadi dalam Pemerintah Daerah saat ini adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi tidak selalu diikuti dengan peningkatan belanja modal, hal tersebut dapat dilihat dari kecilnya jumlah belanja modal yang dianggarkan dengan total anggaran belanja daerah. Penelitian dengan memposisikan belanja modal sebagai variabel mediasi antara lain penelitian yang dilakukan oleh Muis (2012). Penelitiannya yang berjudul Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Belanja Modal Sebagai Variabel Intervening Pada

Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara menemukan bahwa belanja modal dapat secara positif memediasi hubungan antara DAU dan DAK dengan pertumbuhan ekonomi. Dalam pengelolaan anggaran, asas kemandirian dijadikan dasar Pemerintah Daerah untuk mengoptimalkan penerimaan dari daerahnya sendiri yaitu sektor Pendapatan Asli Daerah (PAD). Menurut Undang-undang No.32 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan Pemerintah Daerah yang berasal dari daerah itu sendiri berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan yang sah (Kawedar, 2008). Dengan adanya peningkatan PAD diharapkan dapat meningkatkan investasi belanja modal pemerintah daerah sehingga pemerintah memberikan kualitas pelayanan publik yang baik. Perbedaan kemampuan keuangan yang dimiliki setiap daerah dalam hal pendanaan kegiatan pemerintahannya dapat memicu terjadinya ketimpangan fiskal antar daerah. Sebagai upaya menghadapi ketimpangan fiskal tersebut, pemerintah daerah dapat melakukan pengalokasian dana yang diperoleh dari APBN untuk pendanaan kebutuhan rumah tangga daerahnya untuk pelaksanaan desentralisasi. Hal tersebut direalisasikan melalui Dana Alokasi Umum. Disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Pengelolaan DAU juga perlu memperhatikan mengenai sejauh mana aspirasi masyarakat dapat terserap dengan mekanisme pengelolaan yang tepat dan transparan. Kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah dikelola berdasarkan pendekatan kinerja yaitu pengelolaan angaran yang mengutamakan pencapaian outcome dari alokasi biaya atau input yang telah ditetapkan dengan memperhatikan kondisi semua komponen keuangan (Leode,2009). Dana transfer dari pemerintah pusat ke Pemerintah Daerah selain DAU adalah DAK yaitu dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional (UU No. 33 tahun 2004). DAK ini digunakan untuk kegiatan pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, infrastruktur jalan dan jembatan, infrastruktur irigasi, infrastruktur air minum dan sanitasi, prasarana pemerintah daerah, lingkungan hidup, kehutanan, sarana prasarana pedesaan, perdagangan, pertanian serta perikanan dan kelautan yang semuanya itu termasuk dalam komponen belanja modal dan Pemerintah Daerah diwajibkan untuk mengalokasikan dana pendamping sebesar 10% dari nilai DAK yang diterimanya untuk mendanai kegiatan fisik. Gunantara dan Dwirandra (2014) dengan menggunakan teknik Moderated Regression Analysis menemukan bahwa PAD, DAU, dan Belanja Modal berpengaruh secara simultan terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Sementara itu, hasil uji parsial menunjukkan bahwa PAD dan DAU berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi, sedangkan Belanja Modal berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Hasil uji moderasi menunjukan bahwa Belanja Modal memperlemah pengaruh PAD terhadap Pertumbuhan

Ekonomi, sedangkan Belanja Modal sebagai variabel pemoderasi tidak mampu memoderasi pengaruh DAU terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Hal tersebut disebabkan oleh pengalokasian pendapatan daerah untuk Belanja Modal tidak dimanfaatkan dengan baik sehingga proyek yang dikerjakan bersifat mubasir. Selain DAU dan DAK, Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi salah satu sumber pendapatan bagi daerah. PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. PAD hanya mampu membiayai belanja pemerintah daerah paling tinggi sebesar 20%. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi, peningkatan PAD selalu diupayakan karena merupakan penerimaan dari usaha untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah. Peningkatan PAD harus berdampak pada perekonomian daerah (Maryati dan Endrawati, 2010). Setiyawati dan Hamzah (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Pengaruh PAD, DAU, DAK, dan Belanja Pembangunan terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Pengangguran: Pendekatan Analisis Jalur menyimpulkan bahwa PAD secara langsung berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan DAU berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal yang sama juga ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Ardhani (2010). Ia menemukan bahwa variabel PAD dan DAU berpengaruh signifikan terhadap alokasi anggaran belanja modal. Pemerintah Daerah yang memiliki PAD dan DAU tinggi maka pengeluaran untuk alokasi anggaran belanja modal juga semakin tinggi.

Adapun hasil analisis yang dilakukan oleh Maryati dan Endrawati (2010) membuktikan bahwa PAD berpengaruh signifikan positif terhadap pertumbuhan ekonomi, DAU berpengaruh signifikan positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan DAK tidak berpengaruh signifikan positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Kemudian, hasil penelitian yang dilakukan oleh Permanasari (2013) menunjukkan bahwa DAU dan PAD berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan DAK dan belanja modal berpengaruh tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan hasil alokasi belanja modal belum dapat dinikmati dalam kurun waktu yang pendek atau pembangunan infrastruktur masih berjalan sehingga belum memperoleh hasil dari belanja modal tersebut. Paseki dkk (2014) menganalisis bagaimana Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Belanja Langsung terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Dampaknya terhadap Kemiskinan di Kota Manado tahun 2004-2012. Hasil penelitian ini adalah secara simultan Dana Alokasi Umum dan Belanja Langsung tidak berpengaruh terhadap Pertumbuhan ekonomi di Kota Manado. Selain mengejar pertumbuhan ekonomi, pemerintah daerah juga dituntut untuk dapat mengejar pembangunan manusia di daerah mereka melalui pengelolaan APBD yang efektif dan efisien. Pendekatan pembangunan manusia tidak semata-mata menjadi sebuah tujuan, namun merupakan sebuah proses. Secara spesifik, UNDP menetapkan empat elemen utama dalam pembangunan manusia, yaitu pemerataan (equity), produktivitas (productivity), pemberdayaan (empowerment) dan kesinambungan (sustainability). Untuk meningkatkan IPM tidak hanya bertumpu pada peningkatan ekonomi semata, namun diperlukannya pembangunan dari segala aspek. Dengan adanya pemerataan pembangunan, maka

adanya jaminan bahwa semua penduduk merasakan hasil-hasil pembangunan tersebut (Ardiansyah dan Widyaningsih, 2014). Meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) memungkinkan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) apabila pengalokasian dana tersebut tepat dan berjalan sesuai dengan sasaran. Setyowati dan Suparwati (2012) menyatakan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kualitas pelayanan publik, pemerintah daerah hendaknya mampu mengubah proporsi belanja yang dialokasikan untuk tujuan dan hal-hal yang positif seperti melakukan aktivitas pembangunan yang berkaitan dengan program-program kepentingan publik. Adanya program-program untuk kepentingan publik diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik yang akhirnya berdampak pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat bagaimana peran DAU, DAK dan PAD dalam meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Putra dan Ulupui (2015). Hasil pengujian menunjukkan PAD, DAU, DAK berpengaruh positif signifikan terhadap IPM. Setyowati dan Yohana (2012) melakukan penelitian tentang pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, DAU, DAK dan PAD terhadap Indeks Pembangunan Manusia dengan Alokasi Anggaran Belanja Modal sebagai variabel intervening. Dalam penelitiannya, mereka menemukan bahwa DAU, DAK dan PAD terbukti berpengaruh positif terhadap IPM melalui pengalokasi anggaran belanja modal (PABM).

Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014 bahwa pemerintah daerah harus mengalokasikan belanja modal pada APBD sekurang-kurangnya 30% dari belanja daerah. Namun pada kenyataannya, pemerintah daerah kabupaten dan kota di wilayah Provinsi Sumatera utara masih sulit untuk mengalokasikan besaran belanja modal dalam belanja daerah sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan. Hal ini sedikit banyak dapat mempengaruhi optimalisasi pelayanan kepada masyarakat. Di samping itu, karena belanja modal yang terbatas akan menghambat kreativitas dan inovasi dari pemerintah daerah dalam meningkatkan daya tarik daerahnya kepada para investor. Tabel 1.1 Alokasi Belanja Modal dan Persentase Belanja Modal terhadap APBD 2010-2014 di Sumatera Utara Tahun Agregat Alokasi Belanja Persentase Alokasi Belanja Modal (Rp) Terhadap APBD (%) 2010 17.526.692.072.657 17 2011 21.228.003.370.582 21 2012 25.014.924.891.276 23 2013 30.333.344.465.330 26 2014 38.193.002.819.463 28 *Sumber: DJPK-Kemenkeu Tabel 1.1 tersebut menggambarkan perkembangan alokasi belanja modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara selama 5 (lima) tahun yaitu periode 2010-2014. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa setiap tahunnya alokasi belanja modal pada APBD semakin meningkat. Namun demikian, ternyata alokasi belanja modal tersebut belum dapat memenuhi ketentuan minimal yang telah ditetapkan dalam ketentuan mengenai pedoman penyusunan APBD yang diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri. Sumber dana yang digunakan oleh pemerintah daerah untuk membiayai belanja modal umumnya berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana

Alokasi Khusus (DAK). Besarnya ketergantungan pemerintah daerah terhadap kedua dana tersebut tercermin dalam besarnya persentase kedua dana tersebut terhadap alokasi belanja modal seperti yang digambarkan dalam tabel berikut ini. Tahun Tabel 1.2 Realisasi DAK dan DAU serta Persentasenya terhadap Belanja Modal di Sumatera Utara Realisasi DAK (Rp) Realisasi DAU (Rp) Persentase Realisasi DAK terhadap Belanja Modal (%) Persentase Realisasi DAU terhadap Belanja Modal (%) 2010 1.399.952.017.300 10.801.144.137.100 45,49 350,97 2011 1.486.192.400.000 12.690.207.162.800 32,72 279,42 2012 1.482.399.990.000 15.305.302.222.000 25,75 265,83 2013 1.789.078.770.000 17.470.369.491.000 23,10 225,61 2014 1.864.581.710.435 19.143.226.518.043 26,11 268,02 *Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara (data diolah) Dari tabel 1.2 diatas dapat dilihat bahwa realisasi DAK dan DAU pada Kabupaten/ Kota di Provinsi Sumatera Utara setiap tahunnya selalu mengalami kenaikan. Besarnya ketergantungan belanja modal akan dana yang berasal dari DAK mencapai lebih dari 20%. Sedangkan besarnya ketergantungan belanja modal akan dana yang berasal dari DAU mencapai lebih dari 200%. Hal ini menunjukkan bahwa alokasi belanja modal pada Kabupaten/ Kota di Provinsi Sumatera Utara sangat bergantung akan dana yang berasal DAK dan DAU. Pada tahun 2010, realisasi DAK pada Kabupaten/ Kota di Provinsi Sumatera Utara mencapai Rp 1.399.952.017.300,- dan pada akhir 2014 sudah mencapai Rp 1.864.581.710.435,-. Semakin besarnya realisasi DAK pada Kabupaten/ Kota di Provinsi Sumatera Utara tidak memberikan dampak positif pada alokasi belanja modal. Besarnya persentase realisasi DAK terhadap belanja modal pada Kabupaten/ Kota di Provinsi Sumatera Utara dari tahun ke tahun justru mengalami penurunan yang cukup signifikan. Pada tahun 2010, persentase realisasi DAK terhadap belanja modal pada Kabupaten/ Kota di Provinsi

Sumatera Utara adalah sebesar 45,49% dan mengalami penurunan cukup besar pada tahun 2014 yaitu menjadi sebesar 26,11%. Hal yang sama juga terjadi pada realisasi DAU. Realisasi DAU dari tahun 2010 sampai dengan 2014 terus mengalami kenaikan. Hal ini dapat dilihat dalam tabel 1.2. Pada tahun 2010, realisasi DAU sebesar Rp 10.801.144.137.100,- dan mengalami kenaikan pada tahun 2011 menjadi sebesar Rp 12.690.207.162.800,-. Kemudian pada tahun 2012, realisasi DAU mencapai Rp 15.305.302.222.000,- dan terus meningkat pada tahun 2014 menjadi Rp 19.143.226.518.043,-. Kenaikan realisasi DAU setiap tahunnya justru berdampak terbalik dengan kontribusinya terhadap belanja modal. Pada tahun 2010, realisasi DAU mencapai angka Rp 10.801.144.137.100,- dan persentasenya terhadap belanja modal adalah sebesar 350,97%. Kemudian pada tahun 2014, realisasi DAU mencapai angka Rp 19.143.226.518.043,- dan persentasenya terhadap belanja modal adalah sebesar 268,02%. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya persentase DAU terhadap belanja modal pada kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara terus mengalami penurunan yang signifikan. Selain itu, adanya perbedaan alokasi DAK dan DAU ke masing-masing kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara berdampak pada pencapaian pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Pertumbuhan ekonomi itu sendiri dapat diukur dari selisih antara PDRB pada tahun sekarang dengan PDRB tahun sebelumnya dibagi dengan PDRB tahun sebelumnya. Ketimpangan fiskal antar suatu daerah di Provinsi Sumatera Utara yang terjadi akibat adanya perbedaan alokasi DAK dan DAU dapat dilihat dalam tabel 1.3 berikut.

No. Tabel 1.3 Realisasi DAK, DAU, PAD, Pertumbuhan Ekonomi dan IPM pada Kab/Kota di Provinsi Sumatera Utara tahun 2010-2014 Kabupaten/ Kota DAK DAU PAD (Miliar (Miliar (Miliar Rupiah) Rupiah) Rupiah) 1 Kab. Asahan 62,39 632,24 40,25 5,51 66,35 2 Kab. Dairi 49,13 439,71 26,99 4,97 66,97 3 Kab. Deli Serdang 80,96 1.081,35 332,12 6,57 69,17 4 Kab. Tanah Karo 46,93 538,83 44,00 5,18 71,11 5 Kab. Labuhan Batu 51,21 445,95 62,21 5,63 64,35 6 Kab. Langkat 64,45 836,67 62,84 5,90 65,46 7 Kab. Mandailing Natal 51,95 542,59 35,89 6,25 62,16 8 Kab. Nias 58,72 271,69 23,42 6,36 56,02 9 Kab. Simalungun 78,80 850,44 63,72 5,55 69,58 10 Kab. Tapanuli Selatan 51,44 450,94 57,50 8,47 65,41 11 Kab. Tapanuli Tengah 65,13 422,61 26,48 5,10 65,28 12 Kab. Tapanuli Utara 51,83 482,95 27,41 4,93 69,46 13 Kab. Toba Samosir 52,79 379,44 17,64 4,55 71,69 14 Kota Binjai 27,21 410,22 41,92 5,76 71,07 15 Kota Medan 73,80 1.122,76 1.175,18 6,81 77,39 16 Kota Pematang Siantar 34,08 421,57 57,97 6,28 73,90 17 Kota Sibolga 24,71 297,76 27,82 5,65 69,50 18 Kota Tanjung Balai 22,31 317,58 27,62 5,94 64,30 19 Kota Tebing Tinggi 27,55 310,29 33,39 5,89 70,73 20 Kota Padang Sidimpuan 29,70 367,37 28,30 5,71 70,73 21 Kab. Pakpak Bharat 39,02 237,27 8,08 5,94 63,91 22 Kab. Nias Selatan 74,76 370,83 74,24 4,51 56,25 23 Kab. Humbang Hasundutan 39,51 379,64 17,38 5,01 64,47 24 Kab. Serdang Bedagai 65,93 548,97 45,31 5,82 65,91 25 Kab. Samosir 40,63 336,81 19,88 5,67 66,00 26 Kab. Batubara 43,98 457,09 23,35 4,78 63,83 27 Kab. Labuhan Batu Utara 43,38 402,40 16,32 6,05 66,54 28 Kab. Labuhan Batu Selatan 41,43 340,25 21,41 5,92 66,27 29 Kab. Padang Lawas 38,22 320,46 23,89 6,10 63,96 30 Kab. Padang Lawas Utara 37,87 332,21 13,99 6,41 65,01 31 Kota Gunung Sitoli 40,34 278,57 8,19 6,18 63,98 32 Kab. Nias Utara 51,77 251,43 6,47 6,22 57,72 33 Kab. Nias Barat 39,87 203,18 5,19 5,62 56,08 *Sumber: BPS Provinsi Sumatera Utara PE (%) Dari tabel 1.3 diatas kita dapat melihat perkembangan realisasi DAU, DAK dan PDRB masing-masing kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara. Tiga daerah yang memperoleh alokasi DAU terbesar adalah Kota Medan, Kabupaten IPM

Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun. Selama periode tahun 2010-2014, besarnya realisasi DAU di ketiga daerah tersebut adalah 1.122.755,34 juta rupiah, 1.081.346,27 juta rupiah, dan 850.437,91 juta rupiah. Sedangkan tiga daerah yang memperoleh alokasi DAU terendah adalah Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Nias Utara dan Kabupaten Nias Barat yaitu masing-masing sebesar 237.273,11 juta rupiah, 251.426,24 juta rupiah dan 203.180,12 juta rupiah. Tiga daerah yang memperoleh DAK terbesar pada tahun selama periode tahun 2010-2014 adalah Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Nias Selatan yaitu masing-masing sebesar 80.963,93 juta rupiah; 78.803,64 juta rupiah dan 74.759,40 juta rupiah. Sedangkan daerah yang memperoleh DAK terendah adalah Kota Tanjung Balai yaitu sebesar 22.314,80 juta rupiah. Ditinjau dari segi PAD, daerah yang memperoleh DAU dan DAK terbesar justru mempunyai PAD terbesar pula. Ini terlihat dari besarnya PAD Kota Medan dan Deli Serdang selama periode tahun 2010-2014 yaitu sebesar 1.175.176,57 juta rupiah dan 338.990,67 juta rupiah. Alokasi DAU dan DAK yang berbeda-beda ke setiap daerah tidak dapat dipungkiri akan berakibat pada ketimpangan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di masing-masing daerah. Alokasi DAU dan DAK yang besar kepada Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun justru tidak memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi dan IPM di daerah tersebut. Pertumbuhan ekonomi dan IPM di daerah tersebut bahkan lebih kecil bila dibandingkan dengan daerah lainnya yang mendapatkan alokasi DAU dan DAK yang kecil. Pada tabel 1.3 dapat dilihat bahwa selama periode tahun 2010-2014,

daerah yang mempunyai pertumbuhan ekonomi tertinggi adalah Kabupaten Tapanuli Selatan yaitu sebesar 8,26%. Sementara dilihat dari alokasi dana DAU dan DAK yang diterima daerah tersebut justru lebih kecil dibandingkan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Simalungun. Dari segi pembangunan manusia, daerah yang mempunyai IPM tertinggi selama periode tahun 2010-2014 setelah Kota Medan adalah Kota Pematang Siantar yaitu sebesar 76,16. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka sangat menarik untuk melakukan penelitian dengan judul Analisis Pengaruh Dana Alokasi Khusus, Dana Alokasi Umum, dan Pendapatam Asli Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Indeks Pembangunan Manusia melalui Belanja Modal di Sumatera Utara. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka masalah yang hendak diteliti dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Apakah DAK, DAU, dan PAD berpengaruh secara simultan dan parsial terhadap Belanja Modal di Sumatera Utara? 2. Apakah DAK, DAU, dan PAD berpengaruh secara simultan dan parsial terhadap Pertumbuhan Ekonomi melalui Belanja Modal di Sumatera Utara? 3. Apakah DAK, DAU, dan PAD berpengaruh secara simultan dan parsial terhadap IPM melalui Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara?

1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk menganalisis pengaruh DAK, DAU, dan PAD secara simultan dan parsial terhadap Belanja Modal di Sumatera Utara. 2. Untuk menganalisis pengaruh DAK, DAU, dan PAD secara simultan dan parsial terhadap Pertumbuhan Ekonomi melalui Belanja Modal di Sumatera Utara. 3. Untuk menganalisis pengaruh DAK, DAU, dan PAD secara simultan dan parsial terhadap IPM melalui Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera Utara. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk : 1. Bagi peneliti, diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam bidang penganggaran di pemerintahan khususnya mengenai PAD, DAU, DAK, pertumbuhan ekonomi, indeks pembangunan manusia dan alokasi belanja modal. 2. Bagi pemerintah daerah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan dapat memberikan informasi serta pertimbangan dalam pengambilan kebijakan pengalokasian DAU, DAK dan belanja modal. 3. Bagi akademisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan dan referensi yang dapat mendukung bagi peneliti maupun pihak lain yang tertarik dalam bidang penelitian yang sama.