BAB 1 PENDAHULUAN. Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) merupakan masalah kesehatan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul yang terjadi lebih dari 3

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. inflamasi kronik telinga tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan berkomunikasi dengan orang lain. Gangguan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. otitis media dibagi menjadi bentuk akut dan kronik. Selain itu terdapat sistem

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012.

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Telinga tengah berasal dari bagian endoderm kantong faringeal

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) atau yang biasa disebut congek adalah

LAPORAN OPERASI TIMPANOMASTOIDEKTOMI. I. Data data Pasien Nama : Umur : tahun Jenis Kelamin : Alamat : Telepon :

4.3.1 Identifikasi Variabel Definisi Operasional Variabel Instrumen Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

IDENTITAS I.1. IDENTITAS RESPONDEN

KEPUSTAKAAN. Aboet A, Radang Telinga Tengah Menahun dalam Pidato pada Pengukuhan Sebagai Guru Besar pada FK USU. Medan.

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Otitis Media Supuratif Kronis

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

ABSTRAK. Kata Kunci: Gangguan Pendengaran, Audiometri

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015

SURVEI KESEHATAN TELINGA PADA ANAK PASAR BERSEHATI KOMUNITAS DINDING MANADO

BAB 1 PENDAHULUAN. Perubahan struktur masyarakat agraris ke masyarakat industri banyak

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba Eustachius

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara. Dari hasil WHO Multi Center

BAB I PENDAHULUAN. Hearing loss atau kurang pendengaran didefinisikan sebagai kurangnya

Otitis Media Supuratif Kronik pada Anak

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH SELAMA PERIODE BULAN JANUARI JUNI 2013

BAB I PENDAHULUAN. Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering dari semua

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Eustachius dan prosessus mastoideus (Dhingra, 2007).

12/3/2010 YUSA HERWANTO DEPARTEMEN THT-KL FK USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN FISIOLOGI PENDENGARAN

Kesehatan telinga siswa Sekolah Dasar Inpres 1073 Pandu

Pemeriksaan Pendengaran

BAB I PENDAHULUAN. timbul yang disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada masa

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJUAN KEPUSTAKAAN

AUDIOLOGI. dr. Harry A. Asroel, Sp.THT-KL BAGIAN THT KL FK USU MEDAN 2009

ANGKA KEBERHASILAN MIRINGOPLASTI PADA PERFORASI MEMBRANA TIMPANI KECIL, BESAR, DAN SUBTOTAL PADA BULAN JUNI 2003 SAMPAI JUNI 2004

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Rheumatoid arthritis adalah penyakit kronis, yang berarti dapat

BAB I PENDAHULUAN. mencakup dua aspek, yakni kuratif dan rehabilitatif. Sedangkan peningkatan

Keywords : P. aeruginosa, gentamicin, biofilm, Chronic Supurative Otitis Media

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1. Diajukan Oleh : RIA RIKI WULANDARI J

Personalia Penelitian

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

BAB I PENDAHULUAN. keganasan yang berasal dari sel epitel yang melapisi daerah nasofaring (bagian. atas tenggorok di belakang hidung) (KPKN, 2015).

BAB 1 : PENDAHULUAN. membungkus jaringan otak (araknoid dan piameter) dan sumsum tulang belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sirosis hati merupakan stadium akhir dari penyakit. kronis hati yang berkembang secara bertahap (Kuntz, 2006).

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduknya memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan serta

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KRITERIA DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS

HUBUNGAN DIABETES MELITUS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh : ANNISA DWI ANDRIANI

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Audiometri. dr. H. Yuswandi Affandi, Sp. THT-KL

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK AD AKTIF TIPE AMAN

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih dari setengahnya terdapat di negara berkembang, sebagian besar dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit hati di Indonesia umumnya masih tergolong tinggi. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam mempertahankan hidup. Hati termasuk organ intestinal terbesar

BAB 1 PENDAHULUAN. sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia.

PERBANDINGAN HASIL PEMERIKSAAN RADIOLOGIK MASTOID DENGAN HASIL PEMERIKSAAN KLINIK PADA PENDERITA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang prevalensinya paling tinggi dalam masyarakat umum dan. berperan besar terhadap mortalitas dan morbiditas.

1. Pria 35 tahun, pekerja tekstil mengalami ketulian setelah 5 tahun. Dx a. Noise Induced HL b. Meniere disease c. Labirintis d.

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan profil kesehatan provinsi Daerah Istimewa. Yogyakarta tahun 2012, penyakit infeksi masih menduduki 10

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan gangguan neurologis fokal maupun global yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. lima tahun pada setiap tahunnya, sebanyak dua per tiga kematian tersebut

SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. Mencapai derajat sarjana S-1. Diajukan Oleh : NURHIDAYAH J FAKULTAS KEDOKTERAN

Pola bakteri aerob dan kepekaan antibiotik pada otitis media supuratif kronik yang dilakukan mastoidektomi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Karsinoma laring adalah keganasan pada laring yang berasal dari sel epitel laring.

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan pada 60 pasien geriatri di Poliklinik Geriatri dan

BAB I PENDAHULUAN. penyebarannya sangat cepat. Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN. Tesis

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang ditemukan pada banyak populasi di

Profil Penderita Otitis Media Supuratif Kronis

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. tubuh dikenal dengan benda asing endogen (Yunizaf, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronis telah terjadi di Indonesia seiring dengan kemajuan teknologi dan

BAB 1 :PENDAHULUAN. masih merupakan masalah kesehatan utama yang banyak ditemukan di. hubungan status gizi dengan frekuensi ISPA (1).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Farokah, dkk Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran

BAB 1 PENDAHULUAN. hidup manusia dan derajat kesehatan masyarakat dalam aspek pencegahan,

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB I PENDAHULUAN. pendengaran terganggu, aktivitas manusia akan terhambat pula. Accident

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Studi yang dilakukan pada bayi baru lahir didapatkan 2-3/1000 bayi lahir

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Paradigma mengenai kanker bagi masyarakat umum. merupakan penyakit yang mengerikan.

SURVEI KESEHATAN TELINGA MASYARAKAT PESISIR PANTAI BAHU

Definisi Vertigo. Penyebab vertigo

(Assessment of The Ear)

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. mortalitas dari penyakit diare masih tergolong tinggi. Secara global, tahunnya, dan diare setiap tahunnya diare membunuh sekitar

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002,

BAB IV METODE PENELITIAN. Bedah Kepala dan Leher subbagian Neuro-otologi. Perawatan Bayi Resiko Tinggi (PBRT) dan Neonatal Intensive Care Unit (NICU)

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terbesar pada beberapa populasi di dunia, yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Penyakit ini berdampak nyata pada kerugian ekonomi dan sosial. Hal ini umumnya terjadi pada komunitas miskin pada suatu negara berkembang dan tentunya menimbulkan kerugian pada negara berkembang (WHO, 1996). Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otorea) lebih dari tiga bulan baik terus menerus ataupun hilang timbul (Telian dan Schmalbach, 2002). Penyakit ini merupakan salah satu penyakit infeksi kronis bidang THT di Indonesia yang masih sering menimbulkan ketulian dan kematian (Djaafar, 2001). Terjadinya otitis media akut menjadi awal penyebab OMSK yang merupakan invasi mukoperiosteum organisme yang virulen, terutama berasal dari nasofaring yang terdapat paling banyak pada masa anak-anak (Kenna dan Latz, 2006). Angka kejadian OMSK jauh lebih tinggi di negara-negara sedang berkembang dibandingkan dengan negara maju, karena beberapa hal misalnya higiene yang kurang, faktor sosioekonomi, gizi yang rendah,

kepadatan penduduk serta masih ada pengertian masyarakat yang salah terhadap penyakit ini sehingga mereka tidak berobat sampai tuntas (Mills, 1997; Djaafar, 2003). Berdasarkan hasil survei epidemiologi yang dilakukan di tujuh propinsi di Indonesia tahun 1994-1996, didapati bahwa prevalensi OMSK secara umum adalah 3,8%. Disamping itu pasien OMSK merupakan 25% dari pasien yang berobat di poliklinik THT rumah sakit di Indonesia. Angka kejadian OMSK yang rendah, di negara maju ditemukan pada pemeriksaan berkala, pada anak sekolah yang dilakukan oleh School Health Service di Inggris Raya sebesar 0,9%, tetapi prevalensi OMSK yang tinggi juga masih ditemukan pada ras tertentu di negara maju, seperti Native American Apache 8,2%, Indian Kanada 6%, dan Aborigin Australia 25% (Djaafar, 2005). Data poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006 menunjukkan pasien OMSK merupakan 26% dari seluruh kunjungan pasien (Aboet, 2007), sedangkan pada tahun 2007 dan 2008 sebesar 28 dan 29%. Survei prevalensi diseluruh dunia, yang walaupun masih bervariasi dalam hal definisi penyakit, metode sampling serta mutu metodologi, menunjukkan beban dunia akibat OMSK melibatkan 65 330 juta orang dengan telinga berair, 60% di antaranya (39 200 juta) menderita kurang pendengaran yang signifikan (Aboet, 2007). Pasien OMSK yang datang ke RSCM Jakarta (2001) kurang lebih 90% berasal dari masyarakat sosioekonomi lemah. Namun demikian sebagian besar (± 80%) dari mereka secara tidak teratur sudah pernah berobat ke

dokter umum, dokter THT, atau diobati sendiri berulang-ulang dengan obat tetes. Sebagian dari pasien ini datang oleh karena ketulian yang sudah mengganggu komunikasi atau sudah disertai tanda-tanda komplikasi (Djaafar, 2001). Gangguan pendengaran yang terjadi dapat bervariasi. Pada umumnya gangguan pendengaran yang terjadi berupa tuli konduktif namun dapat pula bersifat tuli saraf atau tuli campuran apabila sudah terjadi gangguan pada telinga dalam misalnya akibat proses infeksi yang berkepanjangan atau infeksi yang berulang. Beratnya ketulian bergantung kepada besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem penghantaran suara di telinga tengah (Djaafar, 2004). Perforasi yang lebih besar dapat menyebabkan lebih banyak kehilangan suara yang ditransmisikan ke telinga dalam (Maqbool, 1993). Suri dkk dalam penelitiannya terhadap penderita OMSK tipe benigna di R.S. Sardjito Yogyakarta menjumpai adanya hubungan yang bermakna antara besarnya perforasi dengan derajat ketulian (Suri, Soekardono & Hulu, 1999). Hal yang sama juga dijumpai oleh Rambe dalam penelitiannya terhadap penderita OMSK di RSUP. H. Adam Malik Medan, bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara besarnya perforasi dengan derajat ketulian (Rambe, 2002). Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi seringkali kolesteatoma bertindak sebagai penghantar suara ke foramen ovale sehingga gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologis sangat hebat

(Djaafar, 2004). Pasien akan merasakan pendengaran yang makin buruk apabila liang telinga dipenuhi oleh sekret dan akan berkurang apabila sekret dibersihkan (Ramalingam, 1990). Pada kenyataannya, gangguan pendengaran pada OMSK tidak seluruhnya tuli konduktif murni. Tidak sedikit penderita OMSK menderita tuli sensorineural atau tuli campur. Setiap kali ada infeksi didalam telinga tengah, maka ada kemungkinan produk-produk infeksi akan menyebar melalui fenestra rotundum ke telinga dalam, dan akan mengakibatkan ketulian sensorineural (Sari dan Samiharja, 1999). Rambe pada penelitiannya yang dilakukan antara April 2002 Juli 2002 di RSUP. H. Adam Malik Medan terhadap 94 sampel telinga penderita OMSK, mendapatkan jenis gangguan pendengaran yang terbanyak dijumpai adalah tuli konduktif sebanyak 75 telinga (79,8%), tuli campur sebanyak 16 telinga (17%) dan tuli saraf sebanyak 3 telinga (3,2%) (Rambe, 2002). Wisnubroto pada penelitian retrospektif di RS. Soetomo Surabaya antara tahun 1999 2002, dari data rekam medis penderita OMSK yang telah menjalani pembedahan telinga, tercatat hanya ada 475 rekam medis yang dilengkapi hasil audiogram prabedah. Yang mengalami tuli konduktif terdiri dari 93 (19,6%) kasus OMSK reversibel, 140 (29,5%) kasus OMSK benigna dan 115 (24,2%) sebagian kasus OMSK maligna. Sisanya sebanyak 127 (26,7%) kasus OMSK maligna sudah mengalami tuli perseptif berat sampai total (Wisnubroto, 2003).

Morisson (1969) melaporkan bahwa 25% dari kasus dengan peradangan telinga tengah mengalami tuli sensorineural (Yeoh, 1997). English et al (1973) pada penelitian terhadap 404 pasien dengan OMSK, menjumpai adanya suatu hubungan antara lamanya penyakit dengan derajat tuli sensorineural (Yeoh, 1997). Cusimano et al (1989) juga melaporkan bahwa lamanya penyakit mempunyai pengaruh terhadap terjadinya tuli sensorineural dan tidak dijumpai adanya hubungan dengan umur sewaktu terjadinya serangan (Yeoh, 1997). Nani dkk pada penelitiannya untuk mendeteksi ketulian sensorineural terhadap penderita OMSK unilateral di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Ujung Pandang antara April 1996 September 1996 menemukan dari 22 penderita yang ditemukan, terdapat 9 (40,9%) kasus yang terdeteksi adanya ketulian sensorineural (Nani, Mangape & Sedjawidada, 1996). De Azevedo et al pada penelitiannya terhadap 115 penderita OMSK dengan dan tanpa kolesteatoma, mendapatkan 78 penderita OMSK dengan kolesteatoma dan sebanyak 15 penderita (13%) mengalami tuli sensorineural (De Azevedo et al, 2007). Data subdivisi otologi THT-KL RSCM Jakarta antara Januari 2002 Desember 2006, dari 212 penderita OMSK tipe maligna yang menjalani pembedahan telinga, didapatkan 53 penderita (25%) mengalami tuli sensorineural (Restuti, 2007).

Insiden tuli campur (mixed hearingloss = MHL) pada OMSK telah dilaporkan oleh banyak penulis. Paparella et al, sebagaimana dikutip oleh Shenoi (1987) mendapatkan 279 kasus MHL diantara 500 telinga dengan OMSK. Gardenghi melaporkan insiden MHL pada OMSK adalah 42%. Sementara Bluvesteis melaporkan insiden MHL pada OMSK ini adalah 38%. Nani (1996) melaporkan terdapat sekitar 5% dari 22 penderita OMSK mengalami MHL. Di RSUP Dr. Kariadi Semarang, insiden MHL juga pernah dilaporkan oleh Pradipto sebesar 12,75% dan Dullah (1996) mendapatkan MHL sebanyak 44,5% dari 54 telinga dengan OMSK (Sari dan Samiharja, 1999). Santoso dan Ahadiah pada penelitiannya terhadap penderita OMSK tipe maligna dengan komplikasi ekstrakranial antara Januari 2004 Desember 2006 di RS. Dr. Soetomo Surabaya, mendapatkan dari 163 penderita ditemukan 56 penderita (34,36%) mengalami komplikasi ekstrakranial dan jenis ketulian yang terbanyak ditemukan adalah MHL (46,43%) (Santoso dan Ahadiah, 2007). Terjadinya MHL pada OMSK ini menunjukkan bahwa lesi fungsional telah terjadi di telinga tengah dan juga telinga dalam (Sari dan Samiharja, 1999). Djafaar dalam penelitiannya yang dilakukan antara 1991 1993 di RSCM Jakarta, menjumpai dari 145 pasien OMSK tipe berbahaya yang berobat ditemukan 88 penderita (60%) tuli konduktif sedang berat, 8 orang penderita (6%) dengan tuli campur, 18 penderita (12%) dengan tuli saraf

berat, dan sisanya 31 penderita (22%) tidak ada audiogramnya (Djaafar, 2001). Evaluasi audiometri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan fungsi koklea. Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran udara dan tulang, besarnya kerusakan tulang-tulang pendengaran dapat diperkirakan, dan manfaat dari operasi rekonstruksi telinga tengah terhadap perbaikan pendengaran dapat ditentukan (Ballenger, 1997; Djaafar, 2000). Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara jenis OMSK dengan gangguan pendengaran. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu bagaimana hubungan jenis OMSK dengan gangguan pendengaran? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan jenis OMSK dengan gangguan pendengaran. 1.3.2. Tujuan Khusus a. Mengetahui hubungan antara jenis OMSK dengan jenis dan derajat ketulian. b. Mengetahui hubungan antara lamanya sakit dengan jenis dan

derajat ketulian. c. Mengetahui hubungan antara jenis perforasi membran timpani dengan jenis dan derajat ketulian. 1.4 Hipotesa a. Ada hubungan antara jenis OMSK dengan jenis dan derajat ketulian. b. Ada hubungan antara lamanya sakit dengan jenis dan derajat ketulian. c. Ada hubungan antara jenis perforasi membran timpani dengan jenis dan derajat ketulian. 1.5 Manfaat Penelitian a. Untuk memotivasi penderita OMSK agar dilakukan operasi Mastoidektomi dan Timpanoplasti. b. Sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan rekonstruksi dari telinga tengah. c. Sebagai pengembangan keilmuan di bidang Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher.