BAB I PENDAHULUAN an. Autisme mulai dikenal secara luas sekitar tahun 2000-an dan jumlahnya

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai seorang ibu. Wanita sebagai Ibu adalah salah satu dari kedudukan sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan suatu lembaga yang memberikan pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang otomotif, setiap perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan adalah suatu bentuk organisasi yang didirikan untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang melakukan. pembangunan pada berbagai bidang. Dalam melaksanakan pembangunan dan

BAB I PENDAHULUAN. Stres merupakan kata yang sering muncul dalam pembicaraan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang untuk dapat beraktivitas dengan baik. Dengan memiliki tubuh yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini banyak bermunculan berbagai jenis penyakit yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terbebas dari

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan. Penyakit-penyakit kronis tersebut, di antaranya: kanker,

BAB I PENDAHULUAN. Deficiency Syndrome) merupakan salah satu penyakit yang mematikan dan

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya

BAB I. Indonesia terdiri dari beberapa pulau yang tersebar begitu luas dimana

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkualitas tinggi. Perkembangan masyarakat dengan kemajuan

BAB I PENDAHULUAN. pada pembangunan di sektor ekonomi. Agar dapat bersaing antar bangsa, Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. setiap anak berhak memperoleh pendidikan yang layak bagi kehidupan mereka,

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pada era globalisasi seperti sekarang ini, kedaulatan Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB 1 PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia saat ini telah memasuki era reformasi yang

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari mengenai tingkah laku

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perawat dalam pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai tenaga

BAB I PENDAHULUAN. DKI Jakarta adalah ibu kota negara Indonesia yang memiliki luas wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Strategi Coping. ataupun mengatasi Sarafino (Muta adin, 2002). Perilaku coping merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu bidang kehidupan yang dirasakan penting

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. maupun eksternal. Secara internal, kedaulatan NKRI dinyatakan dengan keberadaan

BAB I PENDAHULUAN. mencapai kebahagiaan seperti misalnya dalam keluarga tersebut terjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki masa pensiun merupakan salah satu peristiwa di kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA (IPD)

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008

BAB V HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat diukur secara kuantitas dari waktu ke waktu, dari satu tahap ke tahap

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Abstrak. Kata kunci:

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. mempertaruhkan waktu dan tenaganya untuk mengumpulkan pundi-pundi uang.

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB I PENDAHULUAN. banyaknya perusahaan yang terancam mengalami kebangkrutan karena tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. Hal yang tidak pasti dari kematian adalah waktu datang dan proses menjelangnya.

BAB I PENDAHULUAN. Coping Mechanism adalah tingkah laku atau tindakan penanggulangan

STRATEGI KOPING PADA LANSIA YANG DITINGGAL MATI PASANGAN HIDUPNYA NASKAH PUBLIKASI

BAB V PEMBAHASAN. kelompok berdasarkan atribut khas seperti ras, kesukubangsaan, agama, atau

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah

L1. Aktivis Gereja. Universitas Kristen Maranatha

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress / Coping Stress. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. melihat sisi positif sosok manusia. Pendiri psikologi positif, Seligman dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri

BAB I PENDAHULUAN. akan merasa sedih apabila anak yang dimiliki lahir dengan kondisi fisik yang tidak. sempurna atau mengalami hambatan perkembangan.

BAB III METODE PENELITIAN. dihimpun hanya berdasarkan stres dan strategi penanggulangan stres pada

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu di dunia ini melewati fase-fase perkembangan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB 1 PENDAHULUAN. dari Tuhan. Selain itu, orang tua juga menginginkan yang terbaik bagi anaknya,

BAB I PENDAHULUAN. alam dan memiliki banyak gunung berapi yang masih aktif. Oleh karena itu penduduk Indonesia

BAB III METODE PENELITIAN. Bab ini berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan penelitian. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat menginjak masa dewasa, individu telah menyelesaikan masa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang

BAB V PEMBAHASAN. A. Rangkuman Hasil. Usia anak pada saat didiagnosis memiliki epilepsi berbeda-beda.

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress/Coping Stress MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 10

BABI PENDAHULUAN. Semua orangtua menginginkan anak lahir dengan keadaan fisik yang

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar negara memiliki sistem pendidikan formal yang umumnya

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipilih oleh calon mahasiswa dengan berbagai pertimbangan, misalnya dari

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi AS adalah yang terbesar di dunia. Dampak bagi Indonesia, untuk beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress. gunakan dalam menghadapi situasi stressfull (dalam Smet, 1994).

HUBUNGAN TINGKAT STRES DENGAN PENGGUNAAN STRATEGI COPING PADA MAHASISWA YANG SEDANG MENYUSUN SKRIPSI DI JURUSAN BK ANGKATAN 2008 FIP UNJ

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

Lampiran 1 : Data Penunjang dan Kuesioner Strategi Penanggulangan Stres. Kuesioner Strategi Penanggulangan Stres

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era pasar bebas banyak tantangan dan persaingan harus dihadapi

BAB I PENDAHULUAN. antara suami istri saja melainkan juga melibatkan anak. retardasi mental termasuk salah satu dari kategori tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dari variabel-variabel yang terkait

PENDAHULUAN. sebagai subjek yang menuntut ilmu di perguruan tinggi dituntut untuk mampu

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Prestasi Akademik dalam Layanan Bimbingan Belajar. Pengertian bimbingan menurut Crow dan Crow (Prayitno, 2004) adalah

BABI PENDAHULUAN. kehidupan individu selalu dan tidak lepas dari masalah yang ada sehingga kadangkala

COPING STRESS PADA WANITA YANG MENGALAMI KEMATIAN PASANGAN HIDUP. Skripsi. Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1

BAB I PENDAHULUAN. kalanya masalah tersebut berbuntut pada stress. Dalam kamus psikologi (Chaplin,

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

STUDI KASUS MENGENAI STRATEGI COPING STRESS PADA KORBAN DATING VIOLENCE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

BAB I PENDAHULUAN. PT. Pratama Abadi Industri adalah perusahaan yang bergerak di bidang

BAB I PENDAHULUAN. masa-masa yang amat penting dalam kehidupan seseorang khususnya dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan

BAB I PENDAHULUAN. harus dilakukan sesuai dengan tahapan perkembangannya. Salah satu tugas

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan pekerjaan ataupun kegiatan sehari hari yang tidak. mata bersifat jasmani, sosial ataupun kejiwaan.

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

Peran Psikolog Dalam Meningkatkan Coping Strategy dan Adaptational Outcomes Pada Ibu Yang Memiliki Anak Autis

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Center for Disease Control and Prevention pada tahun 2007, jumlah anak autisme di seluruh dunia semakin meningkat dewasa ini. Autisme bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu gangguan perkembangan pada anak yang gejalanya tampak sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Sebagian dari anak autisme gejalanya sudah ada sejak lahir, namun seringkali luput dari perhatian orangtua (Sutadi, 1997). Di Indonesia, isu anak dengan gangguan autisme muncul sekitar tahun 1990-an. Autisme mulai dikenal secara luas sekitar tahun 2000-an dan jumlahnya menunjukkan peningkatan yang makin mencolok (Yuwono, 2009). Melonjaknya jumlah anak autisme membutuhkan berbagai aspek yang terkait harus terus dikembangkan. Misalnya tenaga ahli yang kompeten, sistem pendidikan, bantuan ke keluarga dengan anak autisme hingga kebijakan yang memberikan kontribusi penting bagi anak-anak autisme di Indonesia. Salah satu diantaranya adalah pemahaman para profesional tentang autisme yang berbeda-beda sehingga mempengaruhi implikasi layanan pendidikannya, di mana dalam hal mendiagnosisnya bisa berbeda-beda. Faktanya, 1

2 sebagaian besar masyarakat menjadi terlalu latah dengan kata autisme (Yuwono, 2009). Faktor-faktor yang menyebabkan anak menjadi autisme belum ditemukan secara pasti, meskipun secara umum ada kesepakatan yang membuktikan adanya keragaman tingkat penyebabnya. Hal ini termasuk bersifat genetik, metabolik dan gangguan saraf pusat, infeksi pada masa kehamilan (rubella), gangguan pencernaan hingga adanya keracunan logam berat (Safaria, 2005). Dugaan lainnya adalah perilaku ibu pada masa kehamilan yang kekurangan mineral penting, seperti zinc, magnesium, iodine, lithium, dan potassium. Menurut Kanner (dalam Yuwono, 2009) autisme merupakan suatu gangguan yang dicirikan dengan tiga ciri utama, yaitu respon yang tidak umum terhadap benda di sekitar lingkungannya, kebutuhan patologis akan kesamaan (imitation) dan mutism atau cara berbicara yang tidak komunikatif, termasuk ecolalia dan kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi. Menurut Duvall & Miller (1985), peran orangtua adalah sangat penting dalam keberhasilan seorang anak dalam memenuhi tugas perkembangannya. Apalagi orangtua merupakan figur utama yang pertama kali dilihat dan diketahui bagaimana gerak langkahnya dalam hidup keluarga. Merawat dan membesarkan anak autisme tidaklah semudah merawat anak pada umumnya, terlebih ketika anak tersebut memasuki usia remaja. Orangtua memiliki kekhawatiran mengingat anak autisme memiliki hambatan dalam komunikasi, berperilaku dan juga dalam memahami tatanan sosial. Kebanyakan orangtua mengalami kesulitan dalam

3 menghadapi rangkaian masalah yang dihadapi oleh anak autisme, padahal peran orangtua sangatlah penting dalam mempersiapkan anaknya dalam menghadapi masa remaja dan masa dewasa mereka. Tanpa pemahaman yang cukup dari orangtua dalam mendampingi anak memasuki masa remaja, remaja autisme akan bingung dan cemas dalam menghadapi perubahan fisik dan dorongan seksual dalam diri mereka (Dharta, 2010). Menurut Hopes dan Harris (dalam Berkell, 1992), orangtua dengan anak autisme akan mengalami stres yang lebih besar daripada orangtua dari anak yang mengalami keterbelakangan mental karena hilangnya respon interpersonal pada anak-anak autisme tersebut. Kondisi ini tentunya dapat menjadi salah satu penyebab stres (stressor), seperti yang diungkapkan oleh Johnson, dkk (dalam Sarafino, 1990) yang menyebutkan bahwa sumber stres dapat berasal dari keluarga, dikarenakan mereka (keluarga) harus beradaptasi dengan stres yang unik dan dalam jangka waktu yang lama. Orangtua dari anak-anak autisme melaporkan bahwa mereka memiliki perjuangan yang panjang dan berat untuk mendapatkan diagnosis, waktu dan intervensi yang tepat adalah bagi sebagian besar orangtua dan keluarga merupakan pengalaman dalam situasi yang sangat tertekan (NAS, 1999a, p.l dalam Yuwono, 2009). Selain itu juga terlihat adanya kecenderungan terjadinya penolakan terselubung. Pada saat anaknya didiagnosis sebagai autisme, sebagian besar orangtua tidak dapat menerimanya. Orangtua bingung dan cemas atas

4 situasi dan kondisi perkembangan anaknya yang autisme pada saat ini dan di masa mendatang. Hardman, Drew, Egan dan Wolf (1993 dalam Puspita, 2009) menyatakan anak yang didiagnosis sebagai autisme menyebabkan orangtua mengalami shock (tidak percaya). Sikap ini biasanya diikuti dengan berbagai sikap, seperti cemas, merasa bersalah, menjadi permasalahan dalam rumah tangga, binggung, tidak memiliki harapan, marah, tidak berdaya, menolak, marah kepada diri sendiri, pasangan bahkan kepada anaknya yang autisme dan bertanya-tanya kepada Tuhan mengapa hal ini terjadi. Orangtua menjadi sedih dan muncul sikap putus asa yang dapat berkembang menjadi depresi dan stres berkepanjangan, merasa tidak diperlakukan secara adil, tidak percaya pada fakta dan berpindah dari satu dokter ke dokter lain untuk menegaskan bahwa diagnosis dokter tersebut salah. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), stres terjadi jika terdapat ketidakseimbangan antara tuntutan lingkungan dan tuntutan dalam diri dengan sumber daya yang dimiliki individu. Saat individu mengalami stres, maka ia akan berusaha untuk menanggulangi stres tersebut. Hal ini dikatakan Lazarus (1984) sebagai coping stress atau strategi penanggulangan masalah, yaitu perubahan kognitif dan tingkah laku yang terus menerus sebagai usaha individu untuk mengatasi tuntutan internal dan eksternal yang dinilai sebagai beban atau melampaui sumber daya individu atau membahayakan keberadaannya atau kesejahteraannya (Lazarus dan Folkman, 1984). Pendekatan coping stress dapat dibagi menjadi dua, yaitu problem- focused coping (strategi penanggulangan stres

5 yang berpusat pada masalah) dan emotion-focused coping (strategi penanggulangan stres yang berpusat pada emosi). Stres psikologis yang parah yang disertai dengan buruknya kemampuan coping, merupakan salah satu faktor yang berakibat negatif pada kemampuan orangtua untuk menerima keadaan anaknya yang autisme dan pola asuh yang buruk terhadap anaknya (Lazarus dan Folkman, 1984). Hal ini dikarenakan kemampuan dan pola coping stress yang dikembangkan oleh orangtua dengan anak yang autisme secara tidak langsung mempengaruhi harapan hidupnya. Coping stress yang digunakan oleh setiap orangtua dapat berbeda beda. Keadaan ini bergantung pada bagaimana orangtua menilai dan menghayati situasi stres yang dihadapinya. Apabila kondisi stres ini tidak diatasi, maka keadaan ini akan mempengaruhi kesehatan orangtua, unjuk kerja, kepuasan kerja dan kualitas hidup mereka. Orangtua akan mengalami tekanan tekanan, baik secara fisik maupun psikis, yang dapat berpengaruh terhadap pola asuh mereka kepada anak. Hasil wawancara pada tiga Sekolah Luar Biasa dan dua sekolah reguler yang berada di Kota Bandung, terdapat sekitar 3 atau 4 anak autisme di setiap sekolah tersebut. Selain itu, orangtua dengan remaja autisme tersebut merasa malu terhadap kondisi anak dan sulit untuk menerima kekurangan sehingga jarang diantara para orangtua melihat kelebihan yang ada didalam diri anak tersebut, yang sebenarnya dapat dikembangkan menjadi suatu potensi yang membanggakan. Pihak keluarga pun banyak yang mengucilkan bahkan menelantarkan anggota keluarga sendiri yang anaknya menderita autisme,

6 padahal anak autisme membutuhkan perhatian dan dukungan yang lebih untuk mencapai ikatan dengan keluarga, khususnya dengan orangtuanya. Perilaku menelantarkan anak dengan autisme tersebut akan menyebabkan kurangnya ikatan, yakni memaknakan hal-hal negatif yang dilakukan keluarganya, seperti penolakan atau pengabaian secara lebih intens dibandingkan hal-hal positif yang dilakukan oleh keluarganya (Santrock, 2002). Hasil dari wawancara awal yang telah dilakukan terhadap MH, yang memiliki seorang remaja laki-laki yang didiagnosa autisme oleh psikiater. MH mengakui bahwa pada awalnya ia merasa shock ketika mengetahui bahwa anaknya memiliki kebutuhan khusus. Banyak gejolak emosional yang muncul, mulai dari marah, kesal, depresi sampai frustrasi. Ia juga merasa malu terhadap keluarga besar dan masyarakat sekitar. Hal ini ditambah dengan ia yang merasa bahwa hanya ia sendiri yang menghadapi keadaan anaknya. Hal itu karena suami MH belum dapat menerima kondisi anaknya yang autisme dan tidak turut melibatkan diri terhadap permasalahan. Awalnya ia hanya membiarkan istrinya saja yang mengurus anak. Ia hanya menyediakan kebutuhan atau fasilitas yang diperlukan oleh MH dalam mengurus anak. Misalnya dengan menyediakan mobil agar mempermudahkan MH dalam mengantar dan menjemput anak ke sekolah dan menemui psikiaternya. Seiring berjalannya waktu, MH berusaha untuk menanggulangi perasaannya terlebih dahulu dalam mengasuh anaknya, sehingga ia dapat memikirkan tindakan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Pada akhirnya, MH

7 memutuskan untuk mencari bantuan yang mengharuskannya keliling Bandung dan Jakarta untuk mendapat perawatan bagi anaknya. Ia juga mencari berbagai informasi dari segala sumber dan meminta bantuan dari berbagai pihak, khususnya pihak sekolah agar anaknya dapat diterima di sekolah reguler. Ibu yang mempunyai remaja autisme merupakan stres tersendiri bagi NY dan keluarga. Pada awalnya NY dan suami tidak dapat menerima anak mereka menderita autisme. NY berusaha mencari bantuan dari tenaga ahli untuk mendiagnosa anaknya benar-benar menderita autisme karena NY masih ragu walaupun beliau menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda dengan anaknya. NY dan suaminya mencoba untuk menganalisa, menggali apa yang menjadi penyebab dari perilaku autisme setelah mengetahui penjelasan bahwa anak mereka benar menderita autisme. NY sulit untuk menerima kenyataan mengenai keadaan anaknya. Pada akhirnya ia mulai dapat menanggulangi perasaannya setelah mencoba untuk mengatasi perasaannya dan disertai dukungan dari suami. Mereka bersama-sama berusaha untuk melakukan apapun agar anaknya dapat merasakan kasih sayang mereka karena anaknya sangat sulit untuk disentuh seperti anak-anak pada umumnya. Salah satu alternatif yang dilakukan oleh NY beserta suaminya adalah dengan memberikan kebebasan pada anaknya untuk menggambar di dinding dan lantai rumah mereka. Hal ini bertujuan agar mereka dapat lebih mendekatkan diri dengan anaknya selagi anaknya sedang menggambar, yang pada akhirnya menunjukkan adanya suatu bakat yang dimiliki oleh anaknya. Setelah mengetahui adanya suatu kelebihan yang ada pada diri

8 anak, NY dan suaminya terus menggali potensi yang ada dalam diri anaknya tersebut agar hasilnya menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Melihat kondisi anaknya yang berbeda dengan anak lain seusianya, seperti contoh kasus di atas, orangtua yang memiliki anak autisme tersebut menghayati bahwa dengan kondisi anak mereka yang seperti itu, dapat membuat keadaan semakin menekan di tengah situasi yang sulit. Hal ini dikarenakan orangtua, khususnya ibu, memiliki keinginan yang kuat untuk merawat anaknya. Namun, karena kondisi anak mereka yang tidak suka disentuh, kesulitan dalam berkomunikasi dan asik dengan aktivitasnya sendiri sehingga membuat seorang ibu kesulitan untuk mendekatkan diri dan merawat anaknya. Banyak hal yang terjadi dalam waktu yang bersamaan tersebut merupakan stressor yang sangat berpengaruh terhadap tingkat stress orangtua dari remaja autisme, sehingga diharapkan mampu mengembangkan pola coping untuk mengurangi tingkat stres tersebut. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti coping stress pada orangtua dari remaja autisme di Kota Bandung. Kota Bandung dipilih sebagai wilayah penelitian karena jumlah anak dengan autisme cukup signifikan di kota ini. 1.2 Identifikasi Masalah Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana gambaran dinamika coping stress pada orangtua dari remaja autisme di Kota Bandung.

9 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Untuk mendapatkan gambaran mengenai coping stress pada orangtua dari remaja autisme di Kota Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Untuk memperoleh dinamika dari bentuk coping stress yang dominan pada orangtua dari remaja autisme di Kota Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis a. Memberikan informasi yang dapat melengkapi ilmu pengetahuan dalam bidang Psikologi Klinis, khususnya memberikan informasi mengenai coping stress pada orangtua dari remaja autisme. b. Sebagai pertimbangan peneliti lain bila ingin meneliti lebih lanjut mengenai halhal yang berhubungan dengan coping stress pada orangtua dari remaja autisme. 1.4.2 Kegunaan Praktis a. Memberikan informasi kepada lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang klinis atau yang langsung menangani remaja autisme, agar dapat melakukan langkah yang tepat untuk keluarga, khususnya orangtua dari remaja autisme. b. Memberikan informasi bagi keluarga dan rekan-rekan orangtua dengan remaja autisme mengenai coping stress yang dilakukan orangtua.

10 1.5 Kerangka Pikir Pada saat mengasuh dan membesarkan anak dengan autisme, orangtua sering dihadapkan pada tekanan-tekanan yang menjadi stressor yang memungkinkan orangtua menjadi stres (Hopes & Harris dalam Berkell, 1992). Baik secara finansial karena anak dengan autisme memerlukan perawatan yang khusus dibanding dengan anak normal, maupun secara emosional karena anak sulit diajak dalam berkomunikasi dan berinteraksi sehingga banyak diantara para orangtua dengan anak autisme merasa frustrasi. Hal ini dikarenakan orangtua, khususnya ibu memiliki peran yang kuat untuk merawat anaknya sehingga ketika anak tidak mau disentuh, seorang ibu akan merasa ditolak oleh anak dan merasa gagal menjadi orangtua. Bertambahnya usia orangtua di masa dewasa madya akan menunjukkan kemunduran secara fisik dan semakin berkurangnya jumlah waktu yang tersisa dalam hidupnya (Santrock, 2002). Keadaan ini membuat orangtua khawatir dengan masa depan anak mereka yang harus dibimbing setiap saat karena kesulitan anak dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Orangtua mau tidak mau tetap menghadapi situasi yang menekan mereka, karena bila berlangsung terus menerus dapat menyebabkan iritasi dan menimbulkan stres negatif pada orangtua (Lazarus dan Folkman, 1984). Setiap orangtua dengan remaja autisme diharapkan mampu dalam mengatasi setiap permasalahan yang ada dengan menggunakan strategi atau cara penanggulangan yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki serta sesuai dengan situasi yang dihadapi. Permasalahan yang dihadapi, yaitu stigma, rasa malu, ancaman terhadap fisik, emosional dan sebagainya akan dinilai oleh orangtua dari remaja

11 autisme melalui proses penilaian kognitif, yaitu primary appraisal. Pada tahap ini orangtua dari remaja autisme akan menilai apakah peristiwa tersebut mengancam kesejahteraannya terkait kondisi anaknya yang autisme. Orangtua dari remaja autisme akan mengambil keputusan apakah masalah yang menimpanya adalah kejadian yang tidak relevan (irrelevant), positif-tidak berbahaya (benign-positive) atau menimbulkan stres (stressful). Orangtua dari remaja autisme menilai kejadian tidak relevan apabila melihatnya sebagai kejadian yang tidak mengganggu keberadaannya, tidak bertentangan dengan norma, kebutuhan dan komitmennya. Penilaian positif-tidak berbahaya akan diberikan apabila hasil dari kejadian dinilai oleh orangtua dari remaja autisme ditafsirkan positif, yang ditandai dengan emosi yang menyenangkan, seperti gembira, senang, tenang. Saat orangtua dari remaja autisme menilai hal ini menimbulkan stres (stressful) bagi dirinya, maka orangtua akan mengkategorikan masalah ini menjadi harm/loss, threat atau challlenge. Apabila dianggap sebagai harm/loss, maka orangtua dari remaja autisme akan mengalami kehancuran harga diri, baik sosial maupun personal, atau kehilangan sesuatu yang berharga. Orangtua dari remaja autisme yang melihat masalah sebagai threat, akan mengalami emosi negatif seperti cemas, takut, atau marah, namun situasi yang dihadapi masih dapat diantisipasi dan belum benar-benar terjadi. Sedangkan, apabila masalah dilihat sebagai challenge oleh orangtua dari remaja autisme, maka akan memungkinkan mobilisasi untuk melakukan

12 coping. Hal inilah yang akan turut menentukan derajat stres pada orangtua dari remaja autisme. Penilaian kedua disebut secondary appraisal, di mana orangtua dari remaja autisme akan melakukan evaluasi terhadap sumber-sumber yang dimiliki dalam mengatasi stres yang berhubungan dengan stigma, rasa malu, ancaman fisik dan emosional yang dihadapinya, apa yang mungkin dan dapat dilakukan dari setiap masalah yang dihadapi. Hal ini menyangkut penilaian orangtua dari remaja autisme mengenai pemilihan coping, kemungkinan apa yang dicapai dari coping yang dipilih, serta kemungkinan bahwa orangtua dapat menggunakan suatu coping tertentu atau serangkaian coping yang efektif. Penilaian ini sangat penting bagi terbentuknya mekanisme coping dan penyesuaian terhadap remajanya yang menderita autisme. Menurut Lazarus (1984), primary dan secondary appraisal lebih didasarkan atas penilaian subjektif individu terhadap dirinya dan terhadap situasi yang dihadapinya. Hal inilah yang menyebabkan kondisi stres dapat dihayati secara berbeda oleh setiap individu walaupun situasi dan stressor yang dihadapinya sama. Setelah dilakukan penilaian sekunder (secondary appraisal), orangtua dari remaja autisme akan mengeluarkan respon coping yang merupakan strategi penanggulangan stres, yang biasa disebut dengan coping stress. Coping stress adalah perubahan usaha kognitif dan tingkah laku yang terus menerus untuk mengelola tuntutan eksternal dan internal yang dinilai sebagai beban atau melampaui sumber daya individu atau membahayakan kesejahteraannya. Keberhasilan strategi coping stress yang digunakan ditentukan oleh sumber daya

13 dalam diri orangtua dengan anak autisme. Sumber daya tersebut terdiri atas kesehatan dan energi, keyakinan diri, keterampilan problem solving, dukungan sosial, sumbersumber material dan keterampilan sosial. Orangtua dari remaja autisme akan lebih mudah untuk menanggulangi masalah yang terkait dengan kondisi anak apabila dalam keadaan sehat. Jika orangtua dari remaja autisme dalam keadaan sakit atau lelah, maka energi untuk melakukan suatu penanggulangan akan berkurang. Sikap optimis atau pandangan yang positif terhadap kemampuan yang dimiliki oleh orangtua dari remaja autisme merupakan sumber daya psikologis yang penting dalam upaya penanggulangan stres yang dihadapi. Keadaan ini akan membangkitkan motivasi orangtua dari remaja autisme untuk terus berupaya mencari alternatif penanggulangan stres yang paling tepat. Keterampilan problem solving merupakan kemampuan orangtua dari remaja autisme dalam mencari informasi, menganalisa situasi dan mengidentifikasi masalah terkait kondisi anaknya yang menyandang autisme sebagai usaha dalam mencari alternatif tindakan, mempertimbangkan dan menerapkan rencana yang tepat dalam menanggulangi stres. Orangtua dari remaja autisme juga akan terbantu dalam menangani stres yang dihadapi bila mendapat dukungan emosional atau memperoleh informasi dan bantuan dari orang lain. Sedangkan sumber-sumber material seperti uang, barang atau fasilitas lain yang dimiliki oleh orangtua dari remaja autisme dapat mendukung terlaksananya penanggulangan stres secara lebih efektif terkait dengan kondisi anaknya yang autisme. Orangtua dari remaja autisme yang memiliki keterampilan sosial yang adekuat dan efektif akan memudahkan pemecahan masalah

14 yang dihadapi terkait kondisi anaknya yang autisme bila dilakukan bersama dengan orang lain. Keadaan ini membuat kemungkinan bagi orangtua dari remaja autisme untuk bekerjasama serta memperoleh dukungan dari orang lain. Coping stress mempunyai dua bentuk, yaitu strategi penanggulangan yang berpusat pada emosi (emotion-focused form of coping) yang berfungsi mengatur respon emosional terhadap masalah dan terdiri atas proses-proses kognitif yang ditunjukkan pada pengurangan tekanan emosional. Bentuk selanjutnya adalah strategi penanggulangan yang berpusat pada masalah (problem-focused form of coping) yang berfungsi untuk mengatur dan mengatasi masalah penyebab stres melalui perubahan relasi yang sulit terhadap lingkungan sehingga orangtua dari remaja autisme menilai bahwa situasi yang dihadapi harus berubah. Strategi penanggulangan yang berpusat pada emosi (emotion-focused form of coping), terdiri dari distancing, self-contol, seeking social support, accepting responsibility, escape-avoidance, dan positive reappraisal. Distancing merupakan reaksi dengan tidak melibatkan diri dalam permasalahan, termasuk menciptakan pandangan-pandangan yang lebih positif. Misalnya, jika penyebab stres utama dari orangtua dari remaja autisme adalah susahnya dalam mengajarkan komunikasi dua arah kepada anaknya dan adanya penolakan dari masyarakat, maka orangtua dari remaja autisme akan berusaha untuk menjalani kehidupan seperti biasa dan berpikir bahwa hal ini dapat mengajarkan banyak hal kepada mereka. Self-control merupakan reaksi dengan melakukan regulasi baik pada perasaan maupun tindakan. Contohnya, orangtua dari remaja autisme tetap

15 mendekatkan diri dengan keluarga dan lingkungannya walaupun mereka merasa terkucilkan atau berusaha mengendalikan perasaannya. Seeking social support, yaitu reaksi untuk mencari dukungan dari pihak luar, baik berupa informasi, bantuan nyata, maupun dukungan sosial. Misalnya, saling bertukar pikiran dengan sesama orangtua dari remaja autisme, melakukan katarsis dengan teman-teman terdekat orangtua. Accepting responsibility adalah reaksi untuk mengakui peran orangtua dari remaja autisme sendiri dalam permasalahan yang dihadapi dan mencoba untuk mendukung segala sesuatu dengan benar sebagaimana mestinya. Misalnya, dengan menerapkan gaya hidup sehat untuk menjaga kesehatan sambil mencari perkembangan informasi mengenai autisme yang dapat diterapkan pada anaknya. Escape-avoidance merupakan reaksi berkhayal dan usaha menghindari atau melarikan diri dari masalah yang sedang dihadapinya. Contohnya orangtua dari remaja autisme menggangap bahwa anaknya normal dan menolak mengakui bahwa anaknya menderita autisme. Terakhir adalah positive reappraisal, yaitu reaksi untuk menciptakan makna yang positif dan memusatkan pada perkembangan personal dan juga melibatkan ke hal-hal yang bersifat religius, misalnya orangtua dari remaja autisme mengganggap bahwa anaknya seperti itu merupakan cobaan dari Tuhan dan dia harus menerima dan menghadapinya dengan tegar. Pada bentuk strategi penanggulangan yang berpusat pada masalah (problemfocused form of coping), orangtua dari remaja autisme akan menggunakan strategistrategi yang mirip dengan strategi problem solving atau pemecahan masalah. Pada

16 umumnya, problem-focused form of coping diarahkan pada pencarian akan kejelasan masalah, penentuan solusi-solusi alternatif, pertimbangan alternatif-alternatif ditinjau dari sisi kerugian dan keuntungannya, pemilihan alternatif-alternatif tersebut, dan kemudian pelaksanaan dalam tingkah laku. Terdapat dua bentuk problem-focused form of coping, yaitu planful problem solving yang merupakan reaksi dengan melakukan usaha-usaha tertentu yang bertujuan untuk mengubah keadaan, diikuti pendekatan analisis dalam pemecahan masalah. Melalui cara ini, orangtua dari remaja autisme berusaha untuk mencari pemecahan masalah yang terbaik bagi dirinya. Kedua, confrontative coping menggambarkan reaksi agresif untuk mengubah keadaan yang menggambarkan pula tingkat agresivitas dan tindakan pengambilan resiko. Misalnya saat orangtua mengetahui bahwa anaknya didiagnosa menderita autisme, mereka tidak percaya dan mulai mencari psikolog dan psikiater lain untuk memastikan bahwa anak mereka memang autis. Pada kenyataannya, kedua jenis coping ini (emotion-focused form of coping dan problem-focused form of coping) dapat digunakan secara bersamaan dan dapat saling mendukung atau bahkan saling bertentangan pada orangtua dengan anak autisme yang menggunakannya dalam menanggulangi stres yang mereka alami. Perbedaan tersebut tergantung bagaimana orangtua dengan autisme menilai sumber stres dan kepribadian dari orangtua tersebut. kesehatan dan energi, keterampilan memecahkan masalah (problem solving), keyakinan yang positif, keterampilan sosial yang adekuat dan efektif, dukungan

17 sosial dan sumber-sumber material. Saat orangtua dengan anak autisme menilai bahwa strategi penanggulangan stres yang ia lakukan telah mampu mengatasi masalah yang menyebabkan stres, maka dapat dikatakan ia telah berhasil mengatasi stres yang dialaminya dan berada dalam kondisi adaptasi. Hal ini dapat diartikan bahwa orangtua dengan anak autisme tersebut telah menyelaraskan kemampuan dirinya sendiri dengan tuntutan lingkungannya. Apabila penggunaan suatu strategi yang digunakan dirasakan tidak sesuai atau mengalami kegagalan, maka orangtua dengan remaja autisme akan melakukan proses penilaian kembali (reappraisal) terhadap situasi untuk menentukan penggunaan strategi mana yang lebih sesuai dan lebih tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengevaluasi diri maupun situasi yang mereka hadapi untuk menentukan strategi coping mana yang lebih cocok dan efektif untuk menghadapi situasi tersebut. Singkatnya, lewat proses reappraisal yang dijalankan, orangtua dengan anak autisme melakukan kembali proses appraisal terhadap masalah yang sama dari awal dan memodifikasi appraisal yang dilakukannya. Untuk lebih jelas mengenai alur pemikiran peneliti, dapat dilihat pada skema kerangka pemikiran di halaman selanjutnya.

18 SKEMA KERANGKA PIKIR Tahap perkembangan dewasa madya Faktor-faktor yang mempengaruhi coping: 1. Kesehatan dan energi 4. Dukungan sosial 2. Keyakinan diri 5. Sumber-sumber material 3. Keterampilan problem solving 6. Keterampilan sosial Orangtua dari remaja autisme (yang memiliki peran signifikan dalam penanganan anaknya) Situasi karakteristik anak Stressor Primary appraisal - Irrelevant - Benign possitive - stressful Stressful Secondary appraisal Coping Problem focused coping: - Planful problem solving - Confrontive coping Emotion-focused coping: - Distancing - Self control - Seeking social support - Accepting responsibility - Escape avoidance - Positive reappraisal Skema 1.1 Skema Kerangka Pikir

19 1.6 Asumsi 1. Orangtua dari remaja autisme akan mengalami stres. Situasi ini dinilai oleh orangtua melalui proses primary appraisal dan secondary aprraisal. 2. Orangtua yang mengalami stres akan mencari cara untuk meredakan stres yang disebut dengan coping. 3. Coping stress yang digunakan oleh orangtua dari remaja autisme berbeda-beda karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kesehatan dan energi, keyakinan diri, keterampilan dan problem solving, dukungan sosial, sumber-sumber material, dan keterampilan sosial. 4. Orangtua dari remaja autisme yang menggunakan kedua jenis coping (emotionfocused coping dan problem-focused coping) secara seimbang akan lebih baik dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan terhadap dirinya dibandingkan dengan orangtua dengan anak autisme yang menggunakan salah satu jenis strategi coping saja. 5. Apabila penggunaan strategi coping yang dilakukan oleh orangtua dari remaja autisme efektif, maka mereka dapat beradaptasi dengan lingkungannya.