BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penderita gagal ginjal kronik (GGK) di dunia, termasuk negara berkembang seperti Indonesia, mengalami peningkatan (Himmelfarb dan Sayegh, 2010). Dari data United State Renal Data System (USRDS) prevalensi penderita GGK yang menjalani dialisis di populasi meningkat 3,2% di tahun 2011 menjadi 430.273 jiwa. Angka ini 52% lebih tinggi jika dibandingkan dengan penderita GGK yang menjalani dialisis pada tahun 2000. Peningkatan angka penderita GGK disebabkan tingginya prevalensi penderita penyakit-penyakit penyebab utama atau mayor terjadinya GGK, seperti glomerulonefritis, diabetes melitus (DM), hipertensi, dan cystic diseases (Zhang dan Rothenbacer, 2008, Saran R. et al., 2015). Komplikasi dari GGK salah satunya adalah anemia. Anemia merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan dan terjadi lebih awal dibandingkan komplikasi lain, serta dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas secara bermakna dari penderita GGK (Pali et al., 2012). Anemia pada pasien GGK terjadi dikarenakan beberapa faktor, antara lain: defisiensi besi baik absolut maupun fungsional, turunnya produksi eritropoietin (EPO), kehilangan darah akibat proses hemodialisis, serta tingginya urea dalam darah yang menyebabkan supresi sumsum tulang (turunnya eritropoiesis) dan pendeknya usia sel darah merah (Nurko, 2006). Salah satu terapi anemia pada GGK adalah dengan memberikan erythropoietin-stimulating agent (ESA). Namun, pasien yang mendapatkan terapi 1
2 EPO harus memiliki kadar zat besi yang normal (Pernefri, 2011). Di samping itu, pemberian ESA akan meningkatkan konsumsi zat besi, sehingga dapat menyebabkan defisiensi besi pasien GGK (Maruyama et al., 2015). Dengan demikian, penilaian status besi yang presisi sangat dibutuhkan baik untuk diagnosis defisiensi besi maupun monitoring terapi. Sejauh ini, parameter yang memiliki nilai diagnostik paling baik dalam penilaian status besi adalah feritin serum dan saturasi transferin (TSAT) (Fishbane et al., 1996, World Health Organization/WHO, 2007). Sayangnya, pemeriksaan kedua parameter tersebut tidak rutin dilakukan dan memakan biaya yang cukup tinggi juga tidak tersedia di setiap fasilitas pelayanan kesehatan. Selain itu, pemeriksaan status besi menggunakan feritin serum dan TSAT membutuhkan spesimen tambahan atau pengambilan sampel darah yang lebih banyak dan meningkatkan risiko anemia pada pasien GGK karena kehilangan darah. Pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis dan mendapatkan terapi ESA tanpa terapi penambahan besi akan kehilangan ±2 gram zat besi per tahun akibat pengambilan darah berulang untuk pemeriksaan laboratorium dan kehilangan darah dalam proses hemodialisis (Schrier, 2015). Berangkat dari alasan-alasan di atas, dibutuhkan parameter lain yang dapat menggambarkan kondisi besi pada pasien yang dilakukan dalam pemeriksaan hematologi lengkap, sehingga pemeriksaan dapat lebih efektif, efisien, hemat biaya, dan tersedia di hampir seluruh fasilitas pelayanan kesehatan. Lebih jauh, dengan menggunakan parameter dalam pemeriksaan hematologi lengkap, tidak perlu dilakukan pengambilan spesimen dalam jumlah besar sehingga risiko anemia yang lebih berat karena kehilangan darah lebih kecil. Pemeriksaan hematologi lengkap
3 minimal mencakup sembilan komponen, antara lain: kadar hemoglobin (Hb), hematokrit (Hct), angka leukosit (AL), hitung jenis leukosit, angka trombosit (AT), angka eritrosit (AE), indeks eritrosit yang mencakup: mean corpuscular volume (MCV), mean corpuscular hemoglobin (MCH), dan mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC), serta kini pemeriksaan biasa ditambahkan pemeriksaan red cell distribution width (RDW) (Ciesla, 2011). Hb, Hct, indeks eritrosit (MCV dan MCH), dan RDW dapat dijadikan sebagai indikator status besi dalam tubuh (WHO, 2007). Selain kegunaannya sebagai indikator status besi dalam tubuh, RDW diketahui sebagai parameter prediktor mortalitas yang paling baik pada pasien yang menjalani hemodialisis bila dibandingkan dengan parameter anemia tradisional lain seperti Hb, feritin, dan besi serum (Vashistha et al., 2016). Dalam penelitian kali ini, akan dilihat korelasi RDW dengan status besi penderita GGK yang menjalani hemodialisis. B. Rumusan Masalah Apakah terdapat korelasi antara red cell distribution width (RDW) dengan status besi pada pasien gagal ginjal kronik (GGK) di Instalasi Hemodialisis RSUP Dr. Sardjito? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara red cell distribution width (RDW) dengan status besi pada pasien gagal ginjal kronik (GGK) di Instalasi Hemodialisis RSUP Dr. Sardjito.
4 D. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang memiliki kemiripan dengan penelitian ini telah dilakukan mengenai RDW dan status besi (serum feritin dan TSAT) maupun dengan subjek penelitian pasien hemodialisis atau penderita GGK. Pada penelitian Lynn et al. tahun 1981 di London, dilakukan pemeriksaan indeks eritrosit (MCH dan MCV) dan dikorelasikan dengan simpanan besi tubuh pada pemeriksaan ini digunakan feritin serum pada pasien GGK yang menjalani hemodialisis. Korelasi RDW dengan status besi pasien tidak dilakukan dalam pemeriksaan ini. Celada (1982) dalam penelitiannya mengorelasikan feritin serum dengan cadangan besi pada pasien yang menjalani dialisis, baik hemodialisis maupun dialisis peritoneal. Lebih jauh, serum feritin juga dikorelasikan dengan parameterparameter hematologi, termasuk MCH dan MCV, namun dalam penelitian ini serum feritin tidak dikorelasikan dengan RDW. Viswanath et al. (1997) melakukan penelitian di Bengaluru, India pada subjek anak usia 6 bulan hingga 5 tahun dengan anemia mikrositik. Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain kohort prospektif, dimana subjek dengan anemia mikrositik diberikan terapi besi dan diikuti selama delapan minggu. Peneliti membandingkan sensitivitas RDW dibandingkan dengan apus darah pemeriksaan morfologi darah tepi (MDT) dalam mendiagnosis anemia defisiensi besi (ADB) pada anak. Kedua parameter tersebut dilihat korelasinya dengan TSAT sebagai parameter status besi.
5 Penelitian di Sudan (Abdelrahman et al., 2012) melihat gambaran RDW dengan anemia defisiensi besi pada wanita hamil. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif-potong lintang. Lebih jauh, penelitian ini bersifat diagnostik. Pada penelitian ini, peneliti membandingkan RDW dengan parameter status besi serum feritin sebagai baku emas/rujukan referensi. Tiwari et al. (2012) melakukan penelelitian mengenai korelasi hemoglobin dan indeks eritrosit (termasuk RDW) dengan feritin serum pada wanita hamil trimester dua dan tiga di India. Pada penelitian ini ditemukan adanya korelasi yang signifikan antara RDW dengan feritin serum, namun korelasi RDW dengan TSAT tidak diteliti. Penelitian Pali et al. tahun 2012 di BLU RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou, Manado, melihat gambaran parameter-parameter hematologi pada pasien GGK stadium III, IV, dan V. Parameter hematologi yang diperiksa antara lain konsentrasi Hb, feritin serum, besi serum, total iron-binding capacity (TIBC), dan TSAT. Desain penelitian ini adalah observasional dengan rancangan potong lintang. Pada penelitian ini, pasien yang menjalani terapi hemodialisis tidak diikutsertakan dan RDW subjek tidak diteliti, juga tidak dilakukan uji korelasi antarvariabel yang diteliti. Penelitian di Turki pada tahun 2014 oleh Tekce et al., melakukan evaluasi RDW pada pasien yang menjalani hemodialisis kronik. Pada penelitian ini dilihat korelasi antara RDW dengan karakteristik subjek, parameter inflamasi, dan parameter anemia, yang di dalamnya termasuk Hb, feritin serum, dan TSAT.
6 Subjek pada penelitian ini tidak mengalami anemia, hipovolemia, dan dipastikan cadangan besi tubuh cukup atau tidak mengalami defisiensi besi. De Almeida et al. (2015) melakukan penelitian dengan tujuan melihat adanya hubungan antropometri, status besi, parameter hematologi, serta profil inflamasi pada pasien Juvenile End-Stage Renal Disease yang menjalani hemodialisis dan dialisis peritoneal di Kota Guatemala, Guatemala, bersifat observasional menggunakan rancangan potong lintang. Pada penelitian ini, indeks (parameter) hematologi yang dilihat adalah konsentrasi Hb, Hct, dan LED, sedangkan RDW tidak diperhatikan pada subjek penelitian.
7 E. Manfaat Penelitian Pasien Hemodialisis Pasien hemodialisis mendapatkan informasi mengenai status besinya, bila ditemukan defisiensi pada pemeriksaan dapat dilakukan penatalaksanaan yang sesuai. Instalasi Hemodialisis Penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penalatalaksanaan pasien hemodialisis yang mengalami defiensi besi maupun anemia pada umumnya, sehingga luaran pasien dapat lebih baik. Institusi Penelitian ini memberikan data dan statistik mengenai korelasi RDW dengan indikator status besi (dalam hal ini feritin serum dan TSAT) sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai pustaka dalam penelitian selanjutnya. Peneliti Penelitian ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan terkait status besi serta korelasinya dengan parameter hematologi lainnya.