BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan dalam periode tahun 2015-2019 difokuskan pada empat program prioritas yaitu penurunan angka kematian ibu dan bayi, penurunan prevalensi balita pendek (stunting), pengendalian penyakit menular dan pengendalian penyakit tidak menular (RPJMN, 2015-2019). Menurut World Health Organization (WHO), masalah gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang dikatakan baik jika <20%, kurang jika berada pada rentang 20-29%, jelek jika antara 30-39%, dan sangat buruk jika 40%. Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi serta menggambarkan kegagalan pertumbuhan yang terakumulasi sejak sebelum dan sesudah kelahiran (Millennium Challenge Account Indonesia, 2014). Stunting mulai terjadi saat janin masih berada di dalam kandungan dan akan tampak saat anak berusia dua tahun. Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak, lebih mudah sakit dan memiliki postur tubuh tidak maksimal saat dewasa, dan kemampuan kognitif berkurang, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi Indonesia (Millennium Challenge Account Indonesia, 2014).
Stunting pada balita perlu menjadi perhatian khusus karena berkaitan dengan peningkatan risiko kesakitan dan kematian serta terhambatnya tumbuh kembang motorik dan mental anak (Kartikawati, 2011). Balita yang mengalami stunting memiliki risiko terjadinya penurunan kemampuan intelektual, produktivitas, dan peningkatan risiko penyakit degeneratif di masa mendatang. Hal ini dikarenakan anak stunting cenderung lebih rentan terhadap penyakit infeksi, sehingga berisiko mengalami penurunan kualitas belajar di sekolah dan berisiko lebih sering absen. Stunting juga meningkatkan risiko obesitas, karena orang dengan tubuh pendek berat badan idealnya juga rendah. Kenaikan berat badan beberapa kilogram saja dapat menjadikan Indeks Massa Tubuh (IMT) orang tersebut naik melebihi batas normal. Keadaan overweight dan obesitas yang terus berlangsung lama akan meningkatan risiko kejadian penyakit degenerative (Purwandini K, 2013). Umeta, Onayade, Branca dan Ferrari dalam penelitian Fariani (2013) mengatakan masalah bayi dan balita stunting sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Secara tradisional, stunting dipengaruhi oleh ketersediaan pangan di masyarakat, pembangunan ekonomi yang lemah, kemiskinan, serta faktor lain yang turut berperan, antara lain pemberian makan yang tidak tepat dan prevalensi penyakit infeksi yang tinggi. Pemberian makan yang tidak tepat akan mengganggu status gizi dan kesehatan bayi. Pemberian makan pada bayi yang tepat adalah dengan cara bertahap sesuai dengan umurnya. Pada usia 0-6 bulan, bayi cukup diberikan
Air Susu Ibu saja (ASI eksklusif). Mulai usia 6 bulan, bayi sudah tidak mendapatkan asupan gizi yang cukup jika hanya dari ASI saja, oleh karena itu harus diberikan makanan pendamping ASI (MPASI) secara bertahap dari mulai makanan cair ke makanan padat. ASI eksklusif selama 6 bulan mendukung pertumbuhan bayi dalam 6 bulan pertama kehidupannya. Bayi yang diberi ASI eksklusif berat badan dan panjang badannya bertambah dengan cukup dan berisiko lebih kecil menderita penyakit demam, diare dan ISPA dibandingkan yang diberikan MPASI sebelum usia enam bulan. Setelah lahir sampai enam bulan pertama kehidupan, ASI eksklusif akan memberikan energi dan zat gizi lainnya yang diperlukan bayi. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, ASI saja selama enam bulan pertama sudah cukup memberikan kebutuhan gizi dan bayi akan berisiko kecil menderita sakit dibandingkan yang tidak diberikan ASI eksklusif. Menurut World Health Organization (2001) pemberian ASI kepada bayi memberikan kontribusi pada status gizi dan kesehatan bayi. Semua zat gizi yang dibutuhkan bayi pada enam bulan pertama kehidupannya dapat dipenuhi dari ASI, dan ASI dapat memenuhi setengah dari kebutuhan zat gizi bayi umur 7-12 bulan. Pada tahun kedua kehidupan bayi, ASI menyumbang sepertiga zat gizi yang dibutuhkan. Tidak diragukan lagi, bahwa ASI mengandung zat imunitas yang melindungi bayi dari penyakit infeksi. Efek perlindungan tersebut lebih besar pada enam bulan pertama umur bayi. Pemberian ASI juga berhubungan dengan pertumbuhan panjang badan anak. Durasi menyusui positif berhubungan dengan pertumbuhan
panjang, semakin lama anak-anak disusui, semakin cepat mereka tumbuh baik pada kedua dan tahun ketiga kehidupan (Adair dan Guilkey, 1997). Penelitian Kramer et al (2008) menunjukkan pertumbuhan panjang badan bayi umur 9-12 bulan yang mendapat ASI eksklusif 6 bulan, lebih cepat dibandingkan dengan bayi ASI eksklusif 3 bulan (perbedaan panjang badan 0,9 mm/bulan). Hasil penelitian Syarif (2008) menunjukkan proporsi anak yang tidak mendapat ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada anak umur 2-3 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi anak yang diberi ASI eksklusif dan hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting tidak bermakna karena rendahnya proporsi ibu yang memberikan ASI eksklusif. Menurut penelitian Wahdah (2012) anak yang tidak mendapatkan ASI secara eksklusif berisiko menderita stunting 2 kali lebih besar dari anak yang yang diberikan ASI eksklusif. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Alat untuk menentukan balita mengalami stunting atau tidak menggunakan tabel WHO berdasarkan Baku Rujukan WHO-NCHS dan cara menilai status gizi dengan menggunakan kaidah Z-score yang tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Balita stunting adalah balita dengan
status gizi yang berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umurnya bila dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) tahun 2005 nilai z-scorenya dibawah normal yaitu kurang dari -2SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai z-scorenya kurang dari -3SD. Z-score PB/U merupakan indikator yang sensitif untuk mengetahui perubahan berat badan bayi dalam jangka waktu singkat. Berdasarkan penelitian Ramli, et al (2009) prevalensi stunting dan severe stunting lebih tinggi pada anak usia 6-24 bulan, yaitu sebesar 50% dan 24% dibandingkan anak-anak berusia 0-23 bulan. Temuan tersebut mirip dengan hasil dari penelitian di Bangladesh, India dan Pakistan dimana anak-anak berusia 6-24 bulan yang ditemukan berada dalam risiko lebih besar pertumbuhan yang terhambat. Tingginya prevalensi stunting pada anak usia 6-24 bulan menunjukkan bahwa stunting tidak mungkin reversible. Selain itu, pada usia 3-5 tahun atau yang bisa juga disebut usia prasekolah kecepatan pertumbuhannya (growth velocity) sudah melambat. Stunting dapat dicegah dengan beberapa hal seperti memberikan ASI Esklusif, memberikan makanan yang bergizi sesuai kebutuhan tubuh, membiasakan perilaku hidup bersih, melakukan aktivitas fisik untuk menyeimbangkan antara pengeluaran energi dan pemasukan zat gizi kedalam tubuh, serta memantau tumbuh kembang anak secara teratur. (Millennium Challenge Account Indonesia, 2014). Menurut UNICEF, tahun 2011 ada 165 juta (26%) balita dengan stunting di seluruh dunia. Indonesia termasuk dalam 5 negara dengan angka
balita stunting tertinggi yaitu 7,5 juta balita (UNICEF, 2013). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi pendek secara nasional adalah 37,2%, yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%) (Kemenkes, 2013). Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%) (Millennium Challenge Account Indonesia, 2014). Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki lima kabupaten yaitu Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo dan Kota Yogyakarta. Berdasarkan profil Dinas Kesehatan DIY 2016, Kabupaten Gunung Kidul dengan permasalahan cakupan ASI eksklusif yang masih rendah (58,52%) dan prevalensi stunting tertinggi pada tahun 2013 sebesar 21,89%, tahun 2014 sebesar 18,22% dan tahun 2015 sebesar 19,82%. Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Kidul didapatkan angka kejadian balita stunting di Kabupaten Gunung Kidul pada tahun 2016 mencapai 16,78% atau setara dengan 549 dari 3057 balita mengalami stunting dalam setahun, peringkat atas diduduki oleh wilayah kerja Puskesmas Wonosari II, dan ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan kategori buruk. Banyaknya jumlah anak stunting memberikan indikasi bahwa di masyarakat bersangkutan terdapat masalah yang sudah berlangsung cukup lama. Oleh karena itu perlu dipelajari apa masalah dasar dari gangguan pertumbuhan ini, sebelum dilakukan program perbaikan gizi secara menyeluruh.
Kejadian stunting bisa saja terus meningkat apabila faktor-faktor risiko yang telah dijelaskan sebelumnya tidak diperhatikan. Maka dari itu berdasarkan permasalahan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan riwayat pemberian ASI dengan kejadian stunting pada balita usia 6-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Wonosari II Kabupaten Gunung Kidul pada tahun 2017. Daerah tersebut terpilih menjadi lokasi penelitian disebabkan menurut hasil riskesdas 2013, 2014 dan 2015, diketahui bahwa prevalensi pendek dan sangat pendek tertinggi diduduki oleh Kabupaten Gunung Kidul. B. Rumusan Masalah Di Indonesia, penurunan kejadian stunting pada balita tidak memperlihatkan perubahan yang bermakna serta masih rendahnya pencapaian indikator pemberian ASI eksklusif, uraian dalam latar belakang masalah di atas dengan melakukan pengukuran tinggi badan balita usia 6-24 bulan memberi dasar bagi peneliti untuk merumuskan pertanyaan penelitian apakah ada hubungan antara riwayat pemberian ASI dengan kejadian stunting pada anak usia 6-24 bulan di wilayah Kabupaten Gunung Kidul pada tahun 2017? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada anak usia 6-24 bulan di wilayah Kabupaten Gunung Kidul.
2. Tujuan Khusus a. Mengetahui karakteristik responden berdasarkan usia dan jenis kelamin anak b. Mengetahui riwayat pemberian ASI eksklusif pada anak c. Mengetahui karakteristik anak berdasarkan riwayat penyakit infeksi selama enam bulan terakhir D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu dan pengetahuan kepada pembaca dan sebagai bahan masukan dalam kegiatan proses belajar mengajar 2. Manfaat Praktis a. Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Kidul sebagai dasar dalam program pencegahan dan melakukan intervensi pengambilan kebijakan penanggulangan masalah stunting. b. Bagi tenaga kesehatan khususnya bidan dan petugas gizi untuk menambah pengetahuan dalam memberikan intervensi dan melakukan deteksi dini faktor risiko yang dapat mengakibatkan kelahiran stunting, sehingga dapat memberikan edukasi kepada ibu hamil dan keluarga. c. Bagi kader untuk menambah pengetahuan dalam memegang peran pemantauan dan penyuluhan tentang status gizi balita
d. Bagi peneliti selanjutnya sebagai salah satu referensi untuk melakukan penelitian lanjut yang belum bisa dilakukan dalam penelitian ini dengan mengembangkan pemikiran yang kritis serta memecahkan permasalahan gizi di masyarakat terkait hubungan ASI eksklusif sebagai faktor risiko terhadap kejadian stunting E. Keaslian Penelitian No Judul Persamaan Perbedaan 1 Hubungan Pemberian Variabel bebas: ASI Desain penelitian: cohort ASI Eksklusif dengan Status Gizi Berdasarkan ekslusif Variabel terikat: status retrospektif Teknik pengambilan Tinggi Badan Menurut gizi sampel: multistage Umur pada Anak Umur 2 Variabel terikat lainnya: cluster sampling Tahun di Kabupaten pendidikan ibu, tinggi Jumlah subjek: 6956 anak Purworejo Propinsi Jawa badan orang tua Tempat penelitian: Tengah (Irna Avianti, Indonesia 2006) 2 Hubungan Antara Variabel bebas: ASI Desain penelitian: crosssectional Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Stunting Anak Umur 2-3 tahun di ekslusif Variabel terikat: status gizi Subjek penelitian: anak usia 6-12 bulan Kabupaten Seluma Variabel terikat lainnya: Jumlah subjek: 35 anak Propinsi Bengkulu pendidikan ibu, Tempat penelitian: (Syarif Irfan, 2008) pekerjaan ibu, umur ibu, wilayah kerja Puskesmas tinggi badan orang tua Pandanaran dan Teknik pengambilan Ngemplak Simongan sampel: non-probability sampling dengan 3 Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Anak Umur 6-36 Bulan di Wilayah Pedalaman Kecamatan Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Siti Wahdah, 2012) Lanjut ke halaman berikutnya... consecutive sampling Variabel bebas: pemberian ASI eksklusif Variabel terikat: stunting Teknik pengambilan sampel: non-probability sampling Desain penelitian: crosssectional Variabel bebas lain : pengetahuan dan sikap ibu Subjek penelitian: anak usia 6-36 bulan Jumlah subjek 120 anak Tempat penelitian: Wilayah Pedalaman Kecamatan Kapuas Hulu, Kalimantan Barat
Lanjutan... 4 ASI Eksklusif sebagai Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Anak Usia 6-24 Bulan di Kota Yogyakarta (Fariani Hidayah, 2013) 5 Hubungan Antara Praktik Pemberian ASI Eksklusif dan Stunting pada Anak Usia 6-23 Bulan di Indonesia (Bunga Astria Paramashanti, 2015) Desain penelitian: case control Subjek penelitian: anak usia 6-24 bulan Variabel bebas: ASI ekslusif Variabel terikat: status gizi Variabel terikat lainnya: pendidikan 4ibu, pekerjaan ibu, tinggi badan orang tua Variabel bebas: ASI ekslusif Variabel terikat: status gizi Variabel terikat lainnya: pendidikan ibu, tinggi badan orang tua Teknik pengambilan sampel: non-probability sampling dengan consecutive sampling Desain penelitian: crosssectional Teknik pengambilan sampel: multistage cluster sampling Jumlah subjek: 6956 anak Tempat penelitian: Indonesia