BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang

hepatotoksisitas bila digunakan secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama atau tidak sesuai aturan, misalnya asetosal dan paracetamol

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

tanpa tenaga ahli, lebih mudah dibawa, tanpa takut pecah (Lecithia et al, 2007). Sediaan transdermal lebih baik digunakan untuk terapi penyakit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Para-aminofenol Asetanilida Parasetamol Gambar 1.1 Para-aminofenol, Asetanilida dan Parasetamol (ChemDraw Ultra, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. kecil daripada jaringan kulit lainnya. Dengan demikian, sifat barrier stratum korneum

periode waktu yang terkendali, selain itu sediaan juga harus dapat diangkat dengan mudah setiap saat selama masa pengobatan (Patel et al., 2011).

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. senyawa kimia N-asetil-p-aminofenol yang termasuk dalam nonsteroid antiinflamatory

molekul yang kecil (< 500 Dalton), dan tidak menyebabkan iritasi kulit pada pemakaian topikal (Garala et al, 2009; Ansel, 1990).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. benda tajam ataupun tumpul yang bisa juga disebabkan oleh zat kimia, perubahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan.

menghilangkan kesadaran. Berdasarkan kerja farmakologinya, analgesik dibagi dalam dua kelompok besar yaitu analgesik narkotik dan analgesik non

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. iritan, dan mengatur perbaikan jaringan, sehingga menghasilkan eksudat yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

30,90%; heksil format 4,78%; derivat monoterpen teroksigenasi (borneol 0,03% dan kamfer hidrat 0,83%); serta monoterpen hidrokarbon (kamfen 0,04%,

BAB 1 PENDAHULUAN. terdapat banyak keuntungan dari penyampaian obat melalui kulit, seperti

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. I. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

sehingga mebutuhkan frekuensi pemberian dosis yang cukup tinggi. Penelitian sebelumnya oleh Chien (1989) mengenai perbandingan antara nilai

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. telah sangat berkembang, salah satunya adalah sediaan transdermal. Dimana sediaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Gambar 1.2. Struktur molekul Asam O-(4-klorobenzoil) Salisilat (Rendy,2006)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. (Munasir, 2001a). Aktivitas sistem imun dapat menurun oleh berbagai faktor,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ketoprofen [(3-benzophenyl)-propionic acid] adalah turunan asam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

DRUG DELIVERY SYSTEM INTRANASAL FIFI ELVIRA JAMRI ( )

Penghantaran obat secara transdermal dibuat dalam bentuk patch. Dimana patch terdiri dari berbagai komponen, namun komponen yang paling penting dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kulit merupakan jaringan pelindung yang lentur dan elastis, yang

BAB 1 PENDAHULUAN. inflamasi. Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu glukokortikoid

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dimana obat menembus ke dalam kulit menghasilkan efek lokal dan efek sistemik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari lemak tumbuhan maupun dari lemak hewan. Minyak goreng tersusun

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN DOSEN PEMULA

Gambar 1.1. Struktur molekul asam salisilat dan turunannya (Gringauz, 1997 ). O C OH CH 3

BAB 5 HASIL PENELITIAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

santalin, angolensin, pterocarpin, pterostilben homopterocarpin, prunetin (prunusetin), formonoetin, isoquiritigenin, p-hydroxyhydratropic acid,

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan

/ ml untuk setiap mg dari dosis oral, yang dicapai dalam waktu 2-3 h. Setelah inhalasi, hanya sekitar 10% -20% dari dosis dihirup mencapai paruparu

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S)

I. PENDAHULUAN. progresif. Proses ini dikenal dengan nama menua atau penuaan (aging). Ada

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengurung (sekuester) agen pencedera maupun jaringan yang cedera. Keadaan akut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (Harty,2003). Perlukaan sering terjadi di dalam rongga mulut, khususnya pada gingiva (Newman dkk, 2002). Luka merupakan kerusakan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tingginya angka kesakitandan angka kematian terutama pada negara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

diperlukan pemberian secara berulang. Metabolit aktif dari propranolol HCl adalah 4-hidroksi propranolol yang mempunyai aktifitas sebagai β-bloker.

BAB I PENDAHULUAN. yaitu radiasi UV-A ( nm), radiasi UV-B ( nm), dan radiasi UV-C

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DiGregorio, 1990). Hal ini dapat terjadi ketika enzim hati yang mengkatalisis reaksi konjugasi normal mengalami kejenuhan dan menyebabkan senyawa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Rute pemberian oral merupakan rute yang paling digemari dibandingkan

BAB I PENDAHULUAN. rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya

Biofarmasetika sediaan perkutan

Banyak penyakit yang dihadapi para klinisi disebabkan karena respons inflamasi yang tidak terkendali. Kerusakan sendi pada arthritis rheumatoid,

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengalami penyembuhan luka (Fedi dkk., 2004). Proses penyembuhan luka meliputi beberapa fase yaitu fase inflamasi,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) adalah salah satu jenis tanaman

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Temperatur tubuh manusia atau individu dalam keadaan sehat berkisar pada 37-38 C yang dipertahankan oleh hipotalamus anterior melalui sistem pengaturan yang kompleks. Hipotalamus merupakan pusat sistem termoregulasi yang bertanggung jawab untuk menjaga suhu tubuh pada set-point (dikenal sebagai set-poin suhu). Mekanisme yang dapat menghasilkan panas tubuh yaitu dengan penyerapan panas pasif dari lingkungan, vasokonstriksi perifer, dan proses termogenik seperti reaksi metabolik dan semua kondisi yang dapat menyebabkan peningkatan secara abnormal pada temperatur tubuh tiap individu. Kehilangan panas dapat dicapai terutama melalui proses berkeringat dan vasodilatasi perifer. (Sweetman, 2008). Demam adalah saat temperatur tubuh manusia atau individu berada di atas batas normal, yang disebabkan oleh adanya bahan-bahan toksik atau kelainan dalam otak yang dapat mempengaruhi pusat pengaturan suhu (Guyton, 2008). Bakteri dan virus juga dapat menjadi salah satu penyebab demam, bakteri dan virus yang dapat menyebabkan demam yaitu pirogen eksogen. Pirogen eksogen awalnya bekerja dengan merangsang fagosit untuk membentuk pirogen tubuh sendiri, yang kemudian menyebabkan peningkatan pada prostaglandin yang akan menyebabkan pengaturan temperatur tubuh ke temperatur yang lebih tinggi dari temperatur normal (Tjay dan Rahardja, 2002). Tubuh manusia yang mengalami demam akan merangsang sistem pertahanan tubuh berupa sel-sel leukosit akan memberikan respon karena 1

ada benda asing yang menimbulkan peradangan masuk ke dalam tubuh manusia. Benda-benda asing seperti bakteri patogen, virus, dan produkproduk bakteri dapat masuk ke dalam tubuh manusia. Namun, sistem pertahanan atau sistem imun tubuh manusia tidak selalu bisa melawan benda asing yang masuk kedalam tubuh. Sistem pertahanan tubuh manusia terdiri dari sel-sel leukosit. Jenis-jenis sel leukosit sebagai sistem pertahanan tubuh terdiri dari neutrofil, eusinofil, basofil, limfosit, dan monosit (Lestaringrum, 2012). Neutrofil merupakan agen pertahanan seluler tubuh pertama kalinya terhadap invasi dari jasad renik dan memfagosit partikel kecil yang aktif dikarenakan neutrofil berada dalam darah dalam jumlah banyak dan mobilitasnya yang sangat tinggi (Susanti, 2017). Neutrofil memiliki arti bahwa sel-sel leukosit granular matur polimorfonuklear, memiliki daya lekat dengan kompleks imun, dan kemampuan fagositosis (Nusa dkk., 2015). Presentase jumlah sel darah putih dalam leukosit yaitu neutrofil polimorfonuklear 62%, eosinofil polimorfonuklear 2,3%, basofil polimorfonuklear 0,4% monosit 5,3% dan limfosit 30%. Selama terjadinya proses destruksi dari bahan-bahan asing, terkadang jumlah dari neutrofil meningkat selama beberapa jam sebesar 4-5 kali lipat dari jumlah normalnya (Guyton, 2007). Neutrofil yang meningkat dalam tubuh akan segera merangsang pembentukan pirogen endogen yang berada dalam tubuh, sehingga neutrofil yang terdapat dalam darah memiliki presentase paling banyak dalam tubuh dan dapat diidentifikasi dengan pengamatan dengan mikroskop dengan cara membuat preparat apusan darah dengan menggunakan pewarnaan wright stain dengan larutan buffer. Demam dapat ditangani dengan pengobatan yang digunakan untuk mengembalikan temperatur dari tubuh ke set point temperatur normal yaitu 2

37 C. Obat-obat antipiretik sebagian besar digunakan untuk membantu mengembalikan ke temperatur tubuh normal dengan menghambat sintesis dan pelepasan prostaglandin E2, yang dapat memediasi efek pirogen endogen di hipotalamus (Sweetman, 2008). Beberapa macam obat yang digunakan untuk menurunkan demam yaitu dengan pemberian obat antipiretik. Obat analgesik-antipireik golongan NSID (Non Steroid Inflmatory Drug) digunakan secara per oral. Obat golongan NSID ini bekerja pada pusat pengatur kalor di hipotalamus yang mengakibatkan vasodilatasi perifer dan menghambat prostaglandin (Tjay dan Rahardja, 2002). Obat-obat golongan antipiretik dapat digolongkan menjadi beberapa yaitu golongan salisilat, pirazolon, para amainofenol dan analgesik antiinflamasi nonsteroid lainnya. Obat-obatan antipiretik yang paling luas digunakan adalah asetaminofen atau parasetamol (N-acetyl-para-aminophenol) dan ibuprofen. Obat parasetamol dapat menyebabkan hepatotoksik karena terjadi akumulasi protein sehingga dapat menyebabkan nekrosis centiobular dan melewati first pass effect (Jurnalis dkk., 2015). Efek samping dari penggunakan obat-obatan antipiretik yang sebagian besar menyebabkan resiko hepatotoksik maka dapat digantikan dengan penggunaan obat-obatan herbal sehingga dapat mengurangi resiko dari efek samping penggunaan obat-obatan sintetis. Kandungan senyawa dalam tumbuhan juga dapat digunakan sebagai penurun demam adalah alkaloid. Alkaloid diduga dapat menghambat sintesis prostaglandin E-2 (suatu mediator demam perifer) melalui penghambatan sintesis prostaglandin, lebih tepatnya adalah endoperoksida (Wulan dkk., 2015). Golongan alkaloid yang memiliki khasiat sebagai penurun demam adalah senyawa piperin. Senyawa piperin memiliki beberapa manfaat untuk 3

pengobatan antiinflamasi, pengobatan antimalaria, menurunkan berat badan, menurunkan demam, menetralkan racun bisa ular, antiepilepsi, dan membantu meningkatkan penyerapan vitamin (Hikmawanti dkk., 2016). Senyawa piperin dapat diperoleh dari buah lada hitam, lada putih, lada panjang, cabe jawa, kemukus, dan sirih. Kandungan senyawa piperin dari masing-masing tanaman berbeda-beda. Senyawa piperin yang terkandung dalam buah lada hitam (45,21 mg/g), lada putih (33,51 mg/g), lada panjang (37,12 mg/g), cabe jawa (21,33 mg/g), kemukus (11,19 mg/g), dan sirih (9,22 mg/g) sehingga senyawa piperin paling banyak terkandung dalam buah lada hitam (Piper nigrum L.) (Evizal, 2013). Berdasarkan data tersebut lada hitam (Piper nigrum L.) dapat digunakan sebagai obat penurun demam dikarenakan mengandung senyawa piperin paling besar jika dibandingkan dengan buah lainnya yang juga mengandung piperin. Kandungan piperin dalam ekstrak etanol buah lada hitam dan buah lada putih yang diekstraksi dengan variasi konsentrasi etanol menggunakan metode KLT-Desintometri. Hasil kadar tertinggi yang didapatkan dengan rendemen sebesar 40,82 ± 1,07% menggunakan pelarut pengekstraksi yaitu etanol 60%. Hasil dari rendemen ekstrak etanol dilanjutkan dengan pengukuran rata-rata kadar piperin dari hasil ekstrak etanol. Hasil rata-rata kadar piperin dalam ekstrak etanol buah lada hitam didapatkan sebesar 52,81 ± 4,66%. Senyawa piperin yang terdapat dalam ekstrak etanol 60% dapat menghasilkan kadar piperin yang terbaik dibandingkan dengan pelarut pengekstraksi yang lain (Hikmawanti dkk., 2016). Penelitian terdahulu mengakatakan pada tanaman lada hitam sebagai obat antipiretik dengan bahan aktif piperin yang diberikan secara peroral dengan dosis 20 mg/kg bb dan 30 mg/kg bb terbukti dapat menurunkan temperatur tubuh yang mengalami demam. Dosis piperin 30 mg/kg bb 4

temperatur tubuh lebih cepat jika di bandingkan dengan dosis 20 mg/kg bb, sehingga dapat disimpulkan bahwa senyawa aktif piperin dapat menurunkan demam (Sabina, 2013). Pemberian obat dapat diberikan kepada pasien dapat melalui sejumlah rute yaitu per oral, parenteral, topikal, rektal, intranasal, intraokular, konjungtival, intrarespiratori, vaginal dan uretral (Allen, 2014). Pengobatan antipiretik sendiri sebagian besar digunakan secara per oral. Penggunaan per oral akan melintasi efek lintas pertama dan dalam dosis besar dapat menyebabkan nekrosis hati dan gangguan fungsi ginjal namun, sebagian besar masyarakat lebih suka dengan pengobatan dengan rute per oral, karena rute penggunaan oral lebih mudah dan lebih fleksibel. Rute pemberian transdermal dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kelemahan sediaan per oral dan tetap mengutamakan kemudahan dalam pengaplikasian obat. Kelebihan sediaan transdermal adalah menghindari kesulitan absorbsi pada saluran cerna, aktivitas enzim, dan interaksi obat dengan makanan, minuman dan obat yang diberikan secara per oral lainnya, Subtitusi pemberian obat per oral yang tidak memungkinkan, menghindari efek lintas utama (first-pass effect), menghindari ketidaknyamanan terapi dengan rute parenteral, dapat dihentikan dengan cepat dengan cara melepas patch dari kulit. Keterbatasan sediaan dengan rute transdermal adalah beberapa pasien mengalami dermatitis sehingga pengobatan harus segera dihentikan dan hanya obat yang relatif potensial yang dapat dihantarkan secara transdermal karena adanya keterbatasan masuknya obat melalui kulit (Allen, 2014). Sistem penghantaran obat transdermal harus dapat menembus lapisan kulit dan melepaskan obat dengan baik. Formulasi obat efektivitasnya juga ditentukan oleh peningkat penetrasi, plasticizer dan 5

matriks polimer. Matriks polimer adalah salah satu komponen yang berpengaruh terhadap sistem dari pelepasan obat dan Hidroksipropil Metilselulosa (HPMC) termasuk polimer yang bersifat hidrofilik yang dapat digunakan dalam sediaan oral dan patch (Kandavilli, 2002). Penelitian kali ini digunakan HPMC sebagai matriks polimer. Plasticizer juga dapat ditambahkan dalam sediaan patch yang digunakan untuk mengubah sediaan patch menjadi lebih elastis. Fungsi dari penambahan plasticizer yaitu untuk memodifikasi dengan mengubah viskoelastik sediaan patch. Plasticizer dalam penelitian ini digunakan propilen glikol. Penggunaan propilen glikol dalam penelitian ini dikarenakan lebih mudah diserap secara topikal. Kulit terdiri dari lapisan stratum korneum yaitu lapisan terluar kulit, epidermis, dan dermis yang mempunyai lapisan penghalang dari penetrasi bahan-bahan eksternal sehingga sediaan transdemal memerlukan bahan tambahan sebagai peningkat penetrasi. Pengertian dari peningkat penetrasi adalah pemacu penetrasi kulit kimia yang meningkatkan permeabilitas kulit melalui kerusakan dan perubahan kondisi fisiko kimia stratum korneum yang reversibel untuk tahanan difusi (Allen, 2014). Peningkat penetrasi yang digunakan seharusnya tidak mengiritasi kulit, tidak berbahaya, tidak beracun, dan dapat meningkakan permeabilitas kulit. Isopropil mristat (IPM) merupakan salah satu komponen yang dapat membantu penetrasi obat dalam kulit dan dapat bersifat sinergis dengan plasticizier yang digunakan dalam penelitian ini yaitu propilen glikol (Benson, 2012). Isopropil miristat (IPM) adalah golongan lipid yang cocok sebagai penambah penetrasi obat dalam formulasi transdermal (Akram dkk., 2018). Penelitian yang dilakukan oleh Akram pada tahun 2018 adalah membandingkan efek dari beberapa macam penggunaan peningkat penetrasi didapatkan data bahwa Isopropil Miristat (IPM) dapat menghantarkan bahan 6

aktif dari obat paling baik jika dibandingkan dengan Tween 20, Span 80, limonene, dan eucalyptus oil. IPM adalah peningkat penetrasi yang dapat ditoleransi dengan baik dan dapat digunakan untuk formulasi topikal dalam industri kosmetik dan farmasi. IPM memiliki manfaat dengan mengganggu struktur lipid pada lapisan kulit, sehingga dapat mengubah permeabilitas kulit dan menghantarkan obat dengan baik. Isopropil miristat (IPM) memiliki sifat lipofilik sehingga IPM dapat berinteraksi dengan lapisan bilayer kulit. IPM termasuk dalam kelas ester alifatik, dan kelas ini cenderung meningkatkan koefisien partisi kulit, dan meningkatkan tingkat difusifitas terhadap kulit. Penelitian ini akan dilakukan pembuatan obat antipiretik dalam bentuk sediaan patch yang digunakan lada hitam sebagai bahan aktif, Hidroksipropil Metilselulosa (HPMC) sebagai polimer dan IPM sebagai peningkat penetrasi. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah: 1. Apakah patch ekstrak etanol lada hitam (Piper nigrum L.) dapat menurunkan temperatur dan menurunkan jumlah neutrofil tikus putih yang mengalami demam? 2. Apakah penambahan IPM sebagai peningkat penetrasi dalam formulasi patch ekstrak etanol lada hitam (Piper nigrum L.) dapat lebih cepat dalam menurunkan temperatur dan menurunkan jumlah neutofil tikus putih yang mengalami demam? 7

1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui sediaan patch ekstrak etanol lada hitam (Piper nigrum L.) dapat menurunkan temperatur dan menurunkan jumlah neutrofil tikus putih yang mengalami demam. 2. Untuk mengetahui bahwa penambahan IPM sebagai peningkat penetrasi dalam formulasi patch ekstrak etanol lada hitam (Piper nigrum L.) dapat lebih cepat dalam menurunkan temperatur dan menurunkan jumlah neutrofil tikus yang mengalami demam. 1.4 Hipotesis Penelitian 1. Patch ekstrak etanol lada hitam dapat menurunkan temperatur dan jumlah neutrofil tikus putih. 2. Penambahan IPM sebagai permeation enhancer dalam formulasi patch ekstrak etanol lada hitam (Piper nigrum L.) dapat lebih cepat dalam menurunkan temperatur dan menurunkan jumlah neutrofil tikus yang mengalami demam. 1.5 Manfaat Penelitian Mengembangkan formulasi patch topikal ekstrak etanol lada hitam (Piper nigrum L.) sebagai antipiretik dengan penambahan IPM sebagai peningkat penetrasi. 8