BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. berperan dalam meletakan dasar-dasar perilaku bagi anak-anaknya. Sikap,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan Nasional, anak usia dini adalah anak usia 0 (Sejak Lahir) sampai usia

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi perbaikan perilaku emosional. Kematangan emosi merupakan

MENGENAL MODEL PENGASUHAN DAN PEMBINAAN ORANGTUA TERHADAP ANAK

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. Kasus perceraian di Indonesia saat ini bukanlah menjadi suatu hal yang asing

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah

BAB IV HASIL PENELITIAN. remaja ini terbagi di SMKN 1, SMKN 2, SMKN 5, SMA Mataram, SMA

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian Kematangan Emosional. hati ke dalam suasana hati yang lain (Hurlock, 1999).

I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahkan sampai merinding serta menggetarkan bahu ketika mendengarkan kata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dimana kedua aspek tersebut terjadi secara bersama-sama. Sebagai makhluk

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari tiga ciri utama yaitu derajat kesehatan, pendidikan dan. bertumbuh dan berkembang (Narendra, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pengasuhan anak, dilakukan orang tua dengan menggunakan pola asuh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan suatu periode yang disebut sebagai masa strum and drang,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB II LANDASAN TEORI. arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya,

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

BAB I PENDAHULUAN. sosial anak. Hurlock (1993: 250) berpendapat bahwa perkembangan sosial

I. PENDAHULUAN. teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. datang, jika suatu bangsa memiliki sumber daya manusia yang berkualitas

PERBEDAAN KEMATANGAN EMOSI REMAJA DITINJAU DARI STRUKTUR KELUARGA

BAB I PENDAHULUAN. mempelajari dan menjalani kehidupan. Era ini memiliki banyak tuntutantuntutan

BAB I PENDAHULUAN. dijalanan maupun ditempat-tempat umum lainnya (Huraerah, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi hampir bersamaan antara individu satu dengan yang lain, dan

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. pasangan (suami) dan menjalankan tanggungjawabnya seperti untuk melindungi,

MENJADI ORANGTUA TERBAIK UNTUK ANAK DENGAN METODE PENGASUHAN YANG TEPAT

Definisi keluarga broken home menurut Gerungan (2009:199) adalah:

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan dan pertumbuhan tersebut, salah satu fase penting dan menjadi pusat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP OVER PROTECTIVE ORANGTUA DENGAN KECENDERUNGAN TERHADAP PERGAULAN BEBAS. S k r i p s i

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mencari pengalaman hidup serta ingin menuntut ilmu yang lebih tinggi di

BAB I PENDAHULUAN. bagi setiap kalangan masyarakat di indonesia, tidak terkecuali remaja.

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan bebas, sumber daya manusia yang diharapkan adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu fase dalam kehidupan manusia yang sangat penting dilalui bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah merupakan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB 1 PENDAHULUAN. penuh gejolak dan tekanan. Istilah storm and stress bermula dari psikolog

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

PENYESUAIAN DIRI DAN POLA ASUH ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. dari ketiga subjek pada penelitian ini, maka ditarik kesimpulan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB I PENDAHULUAN. hari ini disebut warna efektif. Warna efektif ini kadang kadang lemah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orang tua sangat berperan dalam meletakan dasar-dasar perilaku bagi anak-anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tidak sadar diresapinya dan kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anak-anaknya (Aisyah, 2010). Remaja yang diasuh dalam sebuah keluarga yang lengkap dengan kedua orang tua menjalankan peran yang efektif besar kemungkinan akan lebih mampu mencapai kematangan emosi daripada remaja yang berasal dari keluarga tidak lengkap. Beberapa penelitian menunjukkan pengaruh kondisi keluarga tidak utuh terhadap perkembangan anak. Penelitian Hetherington (dalam Dagun, 2002) menyimpulkan bahwa peristiwa perceraian dapat menimbulkan ketidakstabilan emosi, mengalami rasa cemas, tertekan dan sering marah-marah pada anak. Peristiwa perceraian juga menimbulkan berbagai akibat terhadap orang tua dan anak, tercipta perasaan yang tidak menentu. Dagun (2002) menambahkan bahwa peran ayah juga sangat besar dalam perkembangan anak. Perceraian menyebabkan struktur keluarga berubah menjadi tidak lengkap dengan hilangnya salah satu figur orangtua. Bersamaan dengan fenomena ini istilah single parent atau orang tua tunggal menjadi populer di kalangan

2 masyarakat. Istilah single parent lebih sering digunakan untuk menyebut ibu yang berperan sebagai orang tua tunggal karena kebanyakan anak yang orangtuanya bercerai berada dalam pengasuhan ibu. Ibu yang berperan sebagai orang tua tunggal dianggap memiliki keterbatasan dalam proses pembentukan kemandirian anak (Retnowati, 2008). Tidak adanya figur ayah dalam keluarga membuat anak kurang disiplin dan kurang memiliki kepercayaan diri. Ibu tunggal sering tidak konsisten dalam menjalankan disiplinnya (Frankl, 1972). Keluarga tidak utuh memiliki pengaruh negatif bagi perkembangan anak. Dalam masa perkembangan seorang anak membutuhkan suasana keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang. Di dalam keluarga yang tidak utuh kebutuhan ini tidak didapatkan secara memuaskan. Anak yang diasuh oleh ibu tunggal kehilangan figur ayah dalam keluarga. Hilangnya figur ayah akibat perceraian mengakibatkan anak kehilangan tokoh identifikasi. Tokoh tempat anak belajar bertingkah laku menjadi berkurang. Figur ayah memberikan perlindungan, rasa aman dan kebanggaan pada diri anak. Ketegasan seorang ayah memberikan pengaruh kuat dalam menanamkan disiplin dan kepercayaan diri anak (Retnowati, 2008). Menurut Gottman dan DeClaire (1998) keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak penting karena mempengaruhi perkembangan sosial anak. Anak-anak yang mendapatkan kehangatan dari ayah sewaktu kanak-kanak cenderung mempunyai hubungan sosial yang lebih baik. Ayah dapat mengatur serta mengarahkan aktivitas anak seperti menyadarkan anak bagaimana cara menghadapi lingkungan dan situasi di luar rumah. Hal ini merupakan salah satu cara untuk memperkenalkan anak dalam

3 menghadapi perubahan sosial yang membantu perkembangan emosinya. Sehingga kelompok anak yang kurang mendapat perhatian ayahnya cenderung memiliki kemampuan akademis rendah, aktivitas sosial terhambat, dan interaksi sosialnya terbatas (Dagun, 2002). Keberadaan figur ibu juga tak kalah penting dalam menentukan perkembangan emosi anak. Penelitian Retnowati (2008) mengemukakan bahwa pola komunikasi yang diterapkan orang tua tunggal (ibu) mempengaruhi tinggi rendah kemandirian anak. Pola komunikasi interaksi dan transaksi membuat anak dari keluarga tunggal menjadi lebih mandiri, sedangkan pola komunikasi linear membuat kemandirian anak rendah. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa keluarga dengan orangtua tunggal belum dapat dipastikan terkait secara langsung dengan rendahnya kemandirian. Hurlock (2004) mengemukkan bahwa karakteristik yang dimiliki oleh seorang yang mandiri adalah juga karakteristik yang dimiliki oleh orang yang memiliki kematangan emosi, yaitu mampu bertindak berdasarkan pertimbangan dan keinginan pribadi dan bukan ditentukan oleh orang di luar dirinya. Ahmadi (dalam Nashukah dan Darmawanti, 2013) mengartikan keluarga lengkap sebagai keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak di mana kedua orang tua memiliki suatu keutuhan sebagai orang tua terhadap anaknya dan memiliki perhatian yang penuh atas tugas-tugasnya sebagai orang tua. Keberadaan figur ayah dan ibu yang berfungsi secara tepat dalam sebuah keluarga karena itu menjadi penentu awal perkembangan emosi anak. Ketiadaan salah satu figur tersebut membuat fungsi keluarga menjadi tidak lengkap atau sempurna, dan dapat berdampak pada terhambatnya anak mencapai kematangan emosi.

4 Kematangan emosi adalah ketika seseorang telah dapat mengendalikan emosinya, maka individu akan dapat berpikir secara matang, berpikir secara baik, berpikir secara obyektif. Kematangan emosi ini berkaitan erat dengan umur pada individu, diharapkan dengan bertambah usia maka emosinya akan lebih matang, dan individu akan dapat lebih menguasai atau mengendalikan emosinya. Namun, ini tidak berarti bahwa bila seseorang telah bertambah umurnya akan dengan sendirinya dapat mengendalikan emosinya. Dengan kematangan emosi diharapkan individu akan dapat berpikir secara baik, melihat persoalan dengan secara obyektif. Periode kehidupan yang emosinya sangat menonjol yaitu pada masa remaja (Walgito, 2004). Masa remaja adalah masa transisi/peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan fisik, psikis, dan psikososial. Batasan usia pada remaja adalah usia 12 tahun sampai 21 tahun, sedangkan batasan pada remaja akhir adalah usia 17 tahun sampai 21 tahun (Paramitasari dan Alfian, 2012). Masa remaja juga merupakan titik puncak emosionalitas, dimana terjadi perkembangan emosi yang tinggi, salah satunya terdapat pada pertumbuhan fisik remaja, terutama organ-organ seksual yang mempengaruhi berkembangnya emosi atau perasaan-perasaan dan dorongandorongan baru yang dialami sebelumnya, seperti perasaan cinta, rindu, dan keinginan untuk berkenalan lebih intim dengan lawan jenis (Yusuf, 2012). Sehubungan dengan itu Ronald Dahl (dalam Brooks, 2011) menjelaskan reaksi emosional kuat yang dimiliki remaja, dan perkembangan kemampuan emosional, dan kognitif yang lebih lambat dalam mengola perasaan.

5 Pembentukan kematangan emosi tidak lepas dari peranan pola asuh orangtua, karena orangtua adalah orang pertama yang memiliki peranan dalam mengatur dan mendidik seorangremaja untuk memperoleh kematangan emosi yang baik. Hurlock (2004) mengatakan, bahwa masalah emosi yang terjadi pada remaja dapat diakibatkan salah satunya oleh pola asuh orangtua. Baumrind (dalam Yusuf, 2012) mendefinisikan pola asuh sebagai pola sikap atau perlakuan orangtua terhadap remaja yang masing-masing mempunyai pengaruh tersendiri terhadap perilaku remaja antara lain terhadap kompetensi emosional, sosial, dan intelektual. Menurut Baumrind (dalam Yusuf, 2012) terdapat tiga pola asuh orangtua terhadap remaja dimana masing-masing memiliki kontribusi yang penting dalam pembentukan karakter anak. Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan kematangan emosi seseorang adalah pola asuh orang tua. Pola asuh orang tua terhadap anak bervariasi. Ada yang yang bersifat otoriter, acuh tak acuh (permisif), dan demokratis (Astuti, 2011). Perbedaan pola asuh dari orangtua seperti ini dapat berpengaruh terhadap perbedaan perkembangan emosi anak. Pola asuh orangtua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Selain itu faktor lain yang mempengaruhi emosi pada remaja adalah keluarga. Keluarga merupakan lembaga pendidikan primer yang berperan dalam

6 pembentukan norma norma social, tempat individu pertama-tama belajar memperhatikan keinginan orang lain, belajar bekerjasama, dan belajar memegang peranannya sebagai anggota masyarakat yang diikat oleh norma tertentu (Nashukah dan Darmawanti, 2013). Keluarga memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan emosi anak karena keluarga merupakan kelompok sosial pertama di mana anak belajar menunjukkan perilaku, menyatakan pikiran, serta mengekspresikan keinginan dan emosinya dalam sebuah interaksi sosial. Pengalaman interaksi anak dalam keluarga akan menentukan pola tingkah laku anak dalam hubungannnya dengan orang lain di masyarakat. Menurut Ahmadi (dalam Nashukah dan Darmawanti, 2013) anak mengenal lingkungan keluarga dan menyerap norma-norma dan nilai yang berlaku di dalamnya menjadi bagian dari kepribadiannya yang akan bertahan hingga dewasa. Menurut Ali dan Asrori (dalam Fellasari dan Lestari, 2016) pada masa remaja, perkembangan fisik yang semakin nyata membuat remaja seringkali mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan. Akibatnya, tidak jarang mereka cenderung menyendiri sehingga akan merasa terasing, merasa kurang perhatian dari orang lain, atau bahkan merasa tidak ada orang yang memperdulikannya. Kontrol terhadap dirinya sangat sulit dan mereka cepat marah dengan cara-cara yang kurang wajar untuk meyakinkan dunia sekitarnya. Perilaku ini terjadi karena adanya kecemasan terhadap dirinya sendiri sehingga muncul reaksi yang kadang-kadang tidak wajar. Kecemasan yang ada pada diri remaja akan dapat menampilkan perilaku yang menunjukkan bahwa remaja tidak dapat mengontrol emosinya dengan baik. Bentuk perilaku kecemasan

7 cenderung berbentuk perilaku negatif. Oleh karena itu, hendaknya remaja telah mampu mencapai kematangan emosi pada masa ini. Hasil penelitian dari Friedberg (dalam Astuti, 2011) mengindikasikan berbagai permasalahan emosional remaja disebabkan oleh dampak kasus-kasus keluarga atau lingkungan sekitar remaja, diantaranya; korban perceraian orang tua, ketidakharmonisan antara anggota keluarga, dan sebagainya. Permasalahan emosional remaja yang muncul ialah perilaku-perilaku agresif, impulsif, mengalami gangguan perhatian seperti kurang konsentrasi, kecemasan, kehilangan harapan-harapan, dan hal-hal yang terkait dengan mood management. Dalam penelitian tersebut menjelaskan tentang remaja, yang berhubungan dengan kematangan emosinya. Ada hubungan negatif yang signifikan antara kematangan emosi dan perilaku agresi pada mahasiswa, semakin tinggi kematangan emosi maka akan semakin rendah perilaku agresi, sebaliknya semakin rendah kematangan emosi maka akan semakin tinggi perilaku agres. Jadi remaja yang hidup dalam sebuah keluarga dengan orangtua tunggal kemungkingan besar akan mengalami pola pengasuhan yang tidak lengkap yang akan berdampak pada kematangan emosinya seperti kecenderungan menjadi pemarah, suka melamun bahkan suka menyendiri (Munandar, 2000). Menurut Manoharan dan Doss (dalam Nashukah dan Darmawanti, 2013) seseorang dapat dikatakan memiliki kematangan emosi jika dapat menunjukkan emosinya dalam derajat yang tepat dengan pengendalian diri yang wajar, juga akan mengekspresikan emosinya dalam cara yang dapat diterima lingkungan sosialnya yang cenderung lebih mengutamakan intelektualitas daripada emosinya.

8 Istilah kematangan emosi sering kali membawa implikasi adanya kontrol emosi. Menurut Chaplin (2006), kematangan emosi adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional, sehingga individu tidak lagi menampilkan pola emosional seperti pada anak-anak. Menurut Walgito (2004) orang yang matang emosinya mempunyai ciri-ciri antara lain: a). Dapat menerima keadaan dirinya maupun orang lain sesuai dengan objektifnya. b). Pada umumnya tidak bersifat impulsive, dapat mengatur pikirannya dalam memberikan tanggapan terhadap stimulus yang mengenainya. c). Dapat mengontrol emosinya dengan baik dan dapat mengontrol ekspresi emosinya walaupun dalam keadaan marah dan kemarahan itu tidak ditampakkan keluar. d). Dapat berpikir objektif sehingga akan bersifat sabar, penuh pengertian dan cukup mempunyai toleransi yang baik. e). Mempunyai tanggung jawab yang baik, dapat berdiri sendiri, tidak mengalami frustrasi dan mampu menghadapi masalah dengan penuh penngertian. Dari ciri-ciri tersebut peneliti melakukan observasi terhadap AD yang tinggal di Semarang dia kurang mendapatkan kasih sayang dari ibunya hal ini nampak karena sang ibu tidak berada di rumah selama sekitar 3 tahunan sehingga ciri-ciri pertama pada kasih sayang dari orag tua tidak utuh AD dapatkan. Selain itu sang ayah bekerja dari sore sampai pagi dan ketika pulang sang ayah langsung beristirahat jadi waktu jarang sekali berkumpul dengan AD. Emosi pada AD pun tidak stabil hal ini terlihat ketika dia sering sekali marah-marah dan mengumpat kepada orang lain yang tidak dia sukai. Bahkan tidak jarang AD berkelahi dengan sesama temannya selain itu juga dia jarang pulang ke rumah. Dari hal ini dapat

9 dilihat bahwa AD kurang dapat mengendalikan emosinya. AD juga kurang suka apabila dikritik sebab saat di kritik AD melawan atau pergi begitu saja dan tidak jarang AD mengumpat terhadap orang yang mengkritiknya. Hal ini berlawanan dengan ciri yang ke tiga dimana emosi terbuka dan mmampu menerima kritikan. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah tentang kematangan emosi pada remaja dengan orangtua tunggal. Remaja yang hidup dalam sebuah keluarga dengan orang tua tunggal kemungkingan besar akan mengalami pola pengasuhan yang tidak lengkap yang akan berdampak pada kematangan emosinya seperti kecenderungan menjadi pemarah, suka melamun bahkan suka menyendiri (Munandar, 2000). Kematangan emosi remaja usia sekolah dapat dilihat dari kemampuannya mengatur waktu belajar, waktu menyelesaikan tugas, waktu menikmati liburan, mengatur hubungan dengan teman dan segala sesuatu yang berkaitan dengan mengelola dan mengendalikan emosi ke arah positif. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran kematangan emosi pada remaja yang di asuh oleh orang tua single (ayah).

10 B. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kematangan emosi pada remaja yang diasuh oleh orang tua tunggal (ayah). 2. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis, diharapkan penelitian ini memberikan sumbangan di bidang ilmu psikologi khususnya Psikologi Perkembangan dan Psikologi klinis, tentang kematangan emosi pada remaja yang di asuh oleh orangtua tunggal. b. Manfaat praktisnya adalah penelitian ini memberikan pandangan pada pembaca tentang bagaimana kita mengevaluasi bagian-bagian yang perlu dibenahi untuk upaya memperbaiki kematangan emosi remaja.