BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kepatuhan menurut Trostle dalam Simamora (2004), adalah tingkat perilaku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang dapat mengenai paru-paru

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis Dapat Disembuhkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

PRATIWI ARI HENDRAWATI J

BAB I PENDAHULUAN. oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB

S T O P T U B E R K U L O S I S

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan penelitian

PENANGANAN DAN PENCEGAHAN TUBERKULOSIS. Edwin C4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. jumlah kematian per tahun. Kematian tersebut pada umumnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB tidak hanya menyerang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. penyakit infeksius yang menyerang paru-paru yang secara khas ditandai oleh

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. meminum obatnya secara teratur dan tuntas. PMO bisa berasal dari keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. dari golongan penyakit infeksi. Pemutusan rantai penularan dilakukan. masa pengobatan dalam rangka mengurangi bahkan kalau dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC)

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Melalui pembangunan kesehatan diharapkan akan tercapai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KUESIONER PENGARUH PROMOSI KESEHATAN TERHADAP PERILAKU PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PARU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS 1 DAN RUMAH TAHANAN KELAS 1 MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat dunia. Setiap tahunnya, TB Paru menyebabkan hampir dua juta

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. bahwa penyakit tuberkulosis merupakan suatu kedaruratan dunia (global

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis, dengan gejala klinis seperti batuk 2

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) Tahun 2011, kesehatan adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terdapat di negara-negara berkembang dan 75% penderita TB Paru adalah

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti karena menular. Menurut Robins (Misnadiarly, 2006), tuberkulosis adalah

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. tanah lembab dan tidak adanya sinar matahari (Corwin, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mencapai kualitas hidup seluruh penduduk yang lebih baik. Oleh banyak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran dari bakteri ini cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis yang masih menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberculosis Paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan. masyarakat di dunia tidak terkecuali di Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. kadang-kadang juga berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai,

BAB II. Tinjauan Pustaka

Tema Lomba Infografis Community TB HIV Care Aisyiyah 2016

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.bakteri ini berbentuk batang dan bersifat

BAB 1 PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang sudah ada sejak zaman purbakala. Hal ini terbukti dari penemuan-penemuan kuno seperti sisa-sisa tulang belakang

BAB I PENDAHULUAN. bakterituberkulosis tersebut (Kemenkes RI,2012). Jumlah prevalensi TB di

1 Universitas Kristen Maranatha

I. PENDAHULUAN. secara global masih menjadi isu kesehatan global di semua Negara (Dave et al, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Sumber infeksi TB kebanyakan melalui udara, yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KERANGKA ACUAN KEGIATAN PROGRAM TB PARU. Tuberkulosis adalah penyaki tmenular langsung yang disebabkan oleh kuman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sulianti (2004) Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. yang akan dilakukan yaitu : Program Pemberantasan TB Paru. 3. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit TB paru di Indonesia masih menjadi salah satu penyakit yang

I. PENDAHULUAN. Angka kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium tuberculosis masih

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia. Jumlah kasus TB pada tahun 2014 sebagian besar terjadi di Asia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. komplikasi berbahaya hingga kematian (Depkes, 2015). milyar orang di dunia telah terinfeksi bakteri M. tuberculosis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit ini tersebar ke seluruh dunia. Pada awalnya di negara industri

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. World. Health Organization (WHO) dalam Annual report on global TB

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat menimbulkan komplikasi kesakitan (morbiditas) dan kematian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi

SKRIPSI. Penelitian Keperawatan Komunitas

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Penyakit TBC banyak menyerang usia kerja produktif, kebanyakan dari

HUBUNGAN DUKUNGAN PASANGAN PENDERITA TB DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT PADA PENDERITA TB PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PEKAUMAN BANJARMASIN TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan kehidupan bangsa. Dalam mewujudkan hal ini secara optimal

BAB 1 PENDAHULUAN. nasional dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan serta ditujukan

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini sering

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Mikobakterium tuberculosis dan kadang-kadang oleh Mikobakterium bovis

2016 GAMBARAN MOTIVASI KLIEN TB PARU DALAM MINUM OBAT ANTI TUBERCULOSIS DI POLIKLINIK PARU RUMAH SAKIT DUSTIRA KOTA CIMAHI

BAB 1 PENDAHULUAN. bertambah, sedangkan insiden penyakit menular masih tinggi. Salah satu penyakit


BAB 1 PENDAHULUAN. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk

BAB I PENDAHULUAN. kuman TBC (Microbecterium Tuberkalosis). Sebagian besar kuman TBC

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) sejak tahun 1993

Transkripsi:

10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis 2.1.1. Definisi Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB Paru (Mycobacterium TB Paru). Sebagian besar kuman TB Paru menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes RI, 2008). 2.1.2 Sejarah Epidemiologi TB Paru Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1993 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah pendduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia Tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk. Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2-3 juta setiap tahun. Laporan WHO 10 10

11 tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul. Pada tahun 1995, diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 9 juta penderita baru TB Paru dengan kematian 3 juta orang (WHO, Treatment of TB Paru, Guidelines for National Programmes, 1997). Di negara-negara berkembang, kematian TB Paru merupakan 25% dari seluruh kematian, yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95% penderita TB Paru berada di negara berkembang, 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun (Depkes RI, 2002).. 2.1.3. Kuman dan Cara Penularan Tuberkulosis Kuman, Mycobacterium Tuberculosis sebagai kuman penyebab Tuberkulosis yang ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882, adalah suatu basil yang bersifat tahan asam pada pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang bersifat aerob, panjangnya 1-4 mikron, lebarnya antara 0,3 sampai 0,6 mikron. Kuman akan tumbuh optimal pada suhu sekitar 37 C yang memang kebetulan sesuai dengan tubuh manusia, basil tuberkulosis tahan hidup berbulan-bulan pada suhu kamar dan dalam ruangan yang gelap dan lembab, dan cepat mati terkena sinar matahari langsung (sinar ultraviolet), dalam jaringan tubuh kuman ini bersifat dormant (tertidur lama) selama beberapa tahun dan dapat kembali aktif jika mekanisme pertahanan tubuh lemah (Alsagaff, 2005). 11

12 Kuman TB Paru bersifat aerob dan lambat tumbuh. Suhu optimum pertumbuhannya 37-38 C. Kuman TB Paru cepat mati pada paparan sinar matahari langsung tapi dapat bertahan beberapa jam pada tempat yang gelap dan lembab serta dapat bertahan hidup 8-10 hari pada sputum kering yang melekat pada debu (Depkes RI, 2002). Sumber infeksi yang terpenting adalah dahak penderita TB Paru Positif. Penularan terjadi melalui percikan dahak (droplet Infection) saat penderita batuk, berbicara atau meludah (Soediman, 1995). Kuman TB Paru dari percikan tersebut melayang di udara, jika terhirup oleh orang lain akan masuk kedalam sistem respirasi dan selanjutnya dapat menyebabkan penyakit pada penderita yang menghirupnya. Dengan demikian penyakit ini sangat erat kaitanya dengan lingkungan, penyakit TB Paru dapat terjadi akibat dari komponen lingkungan yang tidak seimbang (pencemaran udara). Masalah pencemaran udara di permukaan bumi sudah ada sejak zaman pembentukan bumi itu sendiri. Namun dampak bagi kesehatan manusia, tentu dimulai sejak manusia pertama itu terbentuk. Udara adalah salah satu media transmisi penularan TB Paru dimana manusia memerlukan oksigen untuk kehidupan. Jadi jika seorang penderita TB Paru positif membuang dahak di sembarang tempat, maka kuman TB dalam jumlah besar berada di udara ( Achmadi U F, 2011). Kuman TB Paru dapat menginfeksi berbagai bagian tubuh dan lebih memilih bagian tubuh dengan kadar oksigen tinggi. Paru-paru merupakan tempat predileksi utama kuman TB Paru. Gambaran TB Paru pada paru yang dapat di jumpai adalah kavitasi, fibrosis, pneumonia progresif dan TB Paru endobronkhial. Sedangkan bagian tubuh ekstra paru yang sering terkena TB Paru adalah pleura, kelenjar getah bening, susunan saraf pusat, abdomen dan tulang (WHO, 2002). Kemungkinan suatu infeksi 12

13 berkembang menjadi penyakit, tergantung pada konsentrasi kuman yang terhirup dan daya tahan tubuh (Depkes RI, 2002). Sumber penularan adalah pasien TB Paru BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko Terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif. 2.1.4. Gejala TBC (Tuberkulosis) Paru Gambaran klinik Tuberkulosis paru, (Depkes RI, 2002) 1. Batuk 13

14 Batuk terus-menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau, lebih. Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkus dan terjadi iritasi. Akibat adanya peradangan pada bronkus, batuk akan menjadi produktif yang berguna untuk membuang produk-produk ekskresi peradangan. 2. Dahak Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian berubah menjadi mukopurulen/kuning atau kuning hijau sampai purulen dan kemudian dapat bercampur dengan darah. 3. Batuk darah Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercak- bercak darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah yang sangat banyak. Kehilangan darah yang banyak kadang akan mengakibatkan kematian yang cepat. 4. Sesak Nafas Gejala ini ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan kerusakan paru yang cukup luas atau pengumpulan cairan di rongga pleura sebagai komplikasi tuberkulosis paru. 5. Nyeri Dada Nyeri kadang berupa, nyeri menetap yang ringan. Kadang-kadang lebih sakit sewaktu menarik nafas dalam. Bisa juga disebabkan regangan otot. 2.1.5 Riwayat Terjadinya Tuberkulosis. 1. Infeksi Primer Tuberkulosis paru primer adalah peradangan paru yang disebabkan oleh basil 14

15 tuberculosis pada tubuh penderita yang belum pemah mempunyai kekebalan yang spesifik terhadap basil tersebut. Terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Kelanjutan dari infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman tuberkulosis. Meskipun demikian, ada beberapa, kuman akan menetap sebagai kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit diperkirakan sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2002). 2. Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TBC) Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah tuberkulosis primer. Infeksi dapat berasal dari luar (eksogen) yaitu infeksi ulang pada tubuh penderita tuberkulosis, infeksi dari dalam (endogeny) yaitu infeksi berasal dari basil yang sudah ada dalam tubuh, merupakan proses lama yang pada mulanya, tenang dan oleh suatu keadaan menjadi aktif kembali, misalnya karena daya, tahan tubuh menurun (Depkes RI, 2002). 2.1.6. Tipe Penderita TB Paru Menurut Depkes RI (2007), ada beberapa tipe penderita TB Paru berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya yaitu: 15

16 1. Kasus baru adalah penderita TB paru yang belum pernah diobati dengan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) atatu sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan ( 4 minggu ).\ 2. Kasus kambuh (relaps) adalah penderita TB Paru yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur) 3. Kasus setelah putus berobat (default) adalah penderita TB Paru yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih, kemudian kembali berobat dengan BTA positif. 4. Kasus setelah gagal (failure) adalah penderita TB Paru yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih setelah pengobatan. 5. Kasus pindahan (transfer in) adalah penderita TB Paru yang dipindahkan dari UPK (Unit Pelayan Kesehatan) yang memiliki register TB ke UPK lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu penderita TB Paru dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. 2.1.7. Pemeriksaan Dahak Menurut Depkes RI (2002), diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Pemeriksaan tiga spesimen Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS) dahak secara mikroskopis langsung merupakan pemeriksaan yang paling 16

17 efisien, mudah dan murah, dan hampir semua unit laboratorium dapat melaksanakan. Adapun tujuan dari pemeriksaan dahak pada program penanggulangan TB Paru adalah : 1. Menegakkan diagnosis dan menentukan tipe/klasifikasi. 2. Menilai kemajuan pengobatan. 3. Menentukan tingkat penularan. Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pada : 1. Akhir tahap intensif. Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-2 pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-3 pengobatan ulang penderita BTA positif kategori 2. 2. Sebulan sebelum akhir pengobatan Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-5 pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-7 pengobatan ulang penderita BTA positif dengan kategori 2. 3. Akhir pengobatan Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-6 pada penderita BTA positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke-8 pengobatan ulang BTA positf dengan kategori 2. 2.1.8. Prinsip Pengobatan Tuberkulosis Paru Menurut Depkes RI (2002), obat TB Paru diberikan kepada penderita TB paru baru ialah dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, agar semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Pengobatan TB Paru diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. 1. Tahap Intensif 17

18 Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari selama dua bulan dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat dalam tahap intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. 2. Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama yaitu selama minimal empat bulan. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TB Paru akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung ( DOTS = Directly Observed Treatment Shortcourse) oleh seorang Pengawas Menelan Obat 2.2. Pencegahan Penularan TB Paru Cara pencegahan penularan TB menurut Depkes RI (2007) sebagai berikut: 1. Minum obat TB secara lengkap dan teratur sampai sembuh. 2. Pasien TB harus menutup mulutnya pada waktu bersin dan batuk karena pada saat bersin dan batuk ribuan hingga jutaan kuman TB keluar melalui percikan dahak. 18

19 3. Tidak membuang dahak di sembarang tempat, tetapi dibuang pada tempat khusus dan tertutup. Misalnya dengan menggunakan wadah tertutup yang sudah diberi karbol/antiseptik atau pasir. Kemudian timbunlah dengan tanah. 4. Menjalankan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), antara lain: a. Menjemur peralatan tidur. b. Membuka jendela dan pintu setiap pagi agar udara dan sinar matahari masuk. c. Ventilasi yang baik dalam ruangan dapat mengurangi jumlah kuman di udara. Sinar matahari langsung dapat mematikan kuman. d. Makan makanan bergizi. e. Tidak merokok dan minum minuman keras. f. Lakukan aktifitas fisik/olah raga secara teratur. g. Mencuci peralatan makan dan minum dengan air bersih mengalir memakai sabun. h. Mencuci tangan dengan air bersih mengalir dan memakai sabun. 2.3. Kepatuhan Berobat Kepatuhan berasal dari kata patuh yang berarti taat, suka menuruti, disiplin. Kepatuhan menurut Trostle dalam Simamora (2004), adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan kebiasaan hidup sehat dan ketetapan berobat. Dalam pengobatan, seseorang dikatakan tidak patuh apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat 19

20 mengakibatkan terhalangnya kesembuhan Menurut Sacket (Ester,2000), kepatuhan pasien adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Menurut Sarafino (Dermawanti, 2014), kepatuhan atau ketaatan sebagai tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau boleh yang lain. Menurut Sarafino (Dermawanti, 2014), secara umum ketidaktaatan meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang atau memperburuk kesakitan yang sedang diderita. Dalam hal pengobatan TB Paru, (Depkes RI,2002) mengemukakan bahwa penderita yang patuh berobat ialah yang menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 8 bulan, sedangkan penderita yang tidak patuh adalah penderita yang tidak datang rutin berobat dan bila frekuensi meminum obat tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana pengobatan yang ditetapkan. Selain menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan hal penderita dinyatakan patuh dalam pengobatan TB paru ialah penderita yang melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis secara langsung yaitu : 1. Akhir tahap intensif 2. Sebulan sebelum akhir pengobatan 3. Akhir pengobatan Adapun Faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi delapan bagian, yaitu : 1. Pemahaman tentang Instruksi 20

21 Tak seorang pun mematuhi instruksi jika orang tersebut salah paham tentang instruksi yang diberikan padanya. Ley dan Spelman (Ester, 2000) menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan pada mereka. Kadang-kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah medis, dan banyak memberikan instruksi yang harus diingat oleh pasien. Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan pasien ditemukan oleh DiNicola dan DiMatteo (Ester, 2000), yaitu : a. Buat instruksi yang jelas dan mudah diinterpretasikan. b. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal yang harus diingat. c. Jika seseorang diberi suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus diingat, maka akan ada efek keunggulan, yaitu mereka berusaha mengingat hal-hal yang pertama kali ditulis. d. Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dan halhal penting perlu ditekankan. 2. Faktor umur Gunarsa (2005) mengemukakan bahwa semakin tua umur seseorang maka proses perkembangan mentalnya bertambah baik, dengan demikian dapat disimpulkan faktor umur akan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang yang akan mengalami puncaknya pada umur-umur tertentu dan akan menurun 21

22 kemampuan penerimaan atau mengingat sesuatu seiring dengan usia semakin lanjut. Hal ini menunjang dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah. 3. Kesakitan dan pengobatan Perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau resiko yang jelas), saran mengenai gaya hidup dan kebiasaan lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek samping, perilaku yang tidak pantas 4. keyakinan sikap dan kepribadian Ahli psikologis telah menyelidiki tentang hubungan antara pengukuranpengukuran kepribadian dan kepatuhan. Orang-orang yang tidak patuh adalah orang-orang yang lebih mengalami depresi, ansietas, sangat memerhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Ciri-ciri kepribadian yang disebutkan di atas itu yang menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh dari program pengobatan. 5. Dukungan Keluarga Dukungan Keluarga dapat menjadi faktor yang dapat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta menentukan program pengobatan yang akan mereka terima. 6. Tingkat ekonomi Tingkat ekonomi merupakan kemampuan finansial untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, akan tetapi ada kalanya penderita TB sudah pensiun dan tidak bekerja namun biasanya ada sumber keuangan lain yang bisa 22

23 digunakan untuk membiayai semua program pengobatan dan perawatan sehingga belum tentu tingkat ekonomi menengah ke bawah akan mengalami ketidakpatuhan dan sebaliknya tingkat ekonomi baik tidak terjadi ketidakpatuhan. 7. Dukungan sosial Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga teman, waktu, dan uang merupakan faktor penting dalam kepatuhan. Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka dapat menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan dan mereka dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan. 8. Dukungan profesi kesehatan Dukungan profesi kesehatan merupakan faktor penting yang dapat memengaruhi perilaku kepatuhan penderita. Dukungan mereka terutama berguna pada saat penderita menghadapi kenyataan bahwa perilaku sehat yang baru itu merupakan hal yang penting Menurut teori Feuerstein dalam Niven (2002), ada lima faktor yang mendukung kepatuhan pasien, dimana jika faktor ini lebih besar daripada hambatannya maka kepatuhan harus mengikuti. Kelima faktor tersebut adalah: 1. Pendidikan Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif. 2. Akomodasi 23

24 Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Sebagai contoh, pasien yang lebih mandiri harus dapat merasakan bahwa ia dilibatkan secara akut dalam program dalam pengobatan, sementara pasien yang lebih mengalami ansietas menghadapi sesuatu, harus diturunkan dulu tingkat ansietasnya dengan cara menyakinkan dia atau dengan teknik-teknik lain sehingga ia termotivasi untuk mengikuti anjuran pengobatan. 3. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan temanteman. Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan terhadap program-program pengobatan seperti pengurangan berat badan, berhenti merokok, dan menurunkan konsumsi alkohol. 4. Perubahan model terapi Program-program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin, dan pasien dapat terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut. Dengan cara ini komponen-komponen sederhana dalam program pengobatan dapat diperkuat, untuk selanjutnya dapat mematuhi komponen-komponen yang lebih kompleks. 5. Interaksi petugas kesehatan dengan pasien Adalah suatu hal penting untuk memberi umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat 24

25 mereka lakukan dengan kondisi seperti itu. Untuk melakukan konsultasi dan selanjutnya dapat membantu meningkatkan kepatuhan. Sementara menurut Asti (2006) bahwa banyak faktor berhubungan dengan kepatuhan terhadap terapi tuberkulosis, antara lain: 1. Faktor struktural dan ekonomi Tidak adanya dukungan sosial dan kehidupan yang tidak mapan menciptakan lingkungan yang tidak mendukung program tercapainya kepatuhan pasien. 2. Faktor pasien Umur, jenis kelamin dan suku/ras berhubungan dengan kepatuhan pasien dibeberapa tempat. Pengetahuan mengenai penyakit tuberkulosis dan keyakinan terhadap efikasi obatnya akan mempengaruhi keputusan pasien untuk menyelesaikan terapinya atau tidak. 3. Kompleksitas regimen Banyaknya obat yang harus diminum dan toksisitas serta efek samping obat dapat merupakan faktor penghambat dalam penyelesaian terapi pasien. Dukungan dari petugas pelayanan kesehatan Empati dari petugas pelayanan kesehatan memberikan kepuasan yang signifikan pada pasien. Untuk itu, petugas harus memberikan waktu yang cukup untuk memberikan pelayanan kepada setiap pasien. 4. Cara pemberian pelayanan kesehatan Sistim yang terpadu dari pelayanan kesehatan harus dapat memberikan sistem pelayanan yang mendukung kemauan pasien untuk mematuhi terapinya. 25

26 Dalam sistem tersebut, harus tersedia petugas kesehatan yang berkompeten melibatkan berbagai multidisiplin, dengan waktu pelayanan yang fleksibel. 2.4. Penanggulangan Penyakit TB Paru dengan Strategi DOTS Pada tahun 1995 WHO menganjurkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse), yaitu strategi komprehensif untuk digunakan oleh pelayanan kesehatan primer di seluruh dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan penderita TB Paru, agar transmisi penularan dapat dikurangi di masyarakat. Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan. Strategi DOTS mempunyai lima komponen: 1. Komitmen politisi dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana 2. Diagnose TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis 3. Penobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). 4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin 5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB. Pengertian DOTS dapat diterapkan dalam kasus per kasus TB yaitu dimulai dari memfokuskan perhatian (direct attention) dalam usaha menemukan/mendiagnosis penderita secara baik dan akurat, utamanya melalui pemeriksaan mikroskopik. Selanjutnya setiap penderita harus diawasi (observed) dalam meminum obatnya yaitu obat diminum didepan seorang pengawas, dan inilah yang dikenal sebagai Directly 26

27 Observed Therapy (DOT). Penderita juga harus menerima pengobatan (treatment) dalam sistem pengelolaan, penyediaan obat anti tuberkulosis yang tertata dengan baik, termasuk pemberian regimen OAT yang adekuat yakni melalui pengobatan jangka pendek (short course) sesuai dengan klasifikasi dan tipe masing-masing kasus Tujuan penanggulangan dengan strategi DOTS adalah untuk mencapai angka kesembuhan TB Paru yang tinggi, mencegah putus berobat, mengatasi efek samping obat jika timbul dan mencegah resistensi ganda terhadap obat TB yang disebut Multiple Drug Resistance / MDR (Sembiring, 2001). 2.5. Pengawas Menelan Obat (PMO) 2.5.1. Syarat dan Kriteria Pengawas Menelan Obat (PMO) Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO. Menurut Depkes RI (2002), persyaratan seorang PMO adalah : - Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun penderita, selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita. - Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita. - Bersedia membantu penderita dengan sukarela. - Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita. Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang 27

28 memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. Adapun PMO yang tidak berasal dari petugas kesehatan maka sebaiknya petugas kesehatan memberikan penyuluhan ataupun pelatihan dalam memberikan informasi mengenai waktu pemberian obat serta jadwal pemeriksaan dahak dan pengambilan obat tahap selanjutnya. 2.5.2 Tugas Pengawas Menelan Obat (PMO) Menurut Depkes RI (2007), tugas seorang PMO antara lain adalah : 1. Mengawasi ( melihat. Memantau ) penderita TB Paru agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan. 2. Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur. 3. Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu yang telah ditentukan. 4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB Paru yang mempunyai gejala-gejala tersangka TB Paru untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan. 2.6. Penyuluhan Kesehatan Adapun peran dari Petugas kesehatan lainnya yaitu memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat terkait dalam masalah TB Paru. Menurut Depkes RI (2002), penyuluhan TB Paru perlu dilakukan karena masalah TB Paru berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan 28

29 TB Paru. Penyuluhan TB Paru dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun menggunakan media. Dalam program penanggulangan TB Paru, penyuluhan langsung per orangan sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Penyuluhan ini ditujukan kepada suspek, penderita dan keluarganya, supaya penderita menjalani pengobatan sacara teratur sampai sembuh. Bagi anggota keluarga yang sehat dapat menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatannya, sehingga terhindar dari penularan TB Paru. Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat tentang TB Paru dari suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan menjadi suatu penyakit yang berbahaya tapi bisa disembuhkan. Penyuluhan langsung per orangan dapat dianggap berhasil bila penderita bisa menjelaskan secara tepat tentang riwayat pengobatan sebelumnya, penderita datang berobat secara teratur sesuai jadwal pengobatan, anggota keluarga penderita dapat menjaga dan melindungi kesehatannya. Menurut Dermawanti (2014), Adapun informasi Penyuluhan Tuberkulosis yang perlu disampaikan antara lain: 1. Pesan pokok: apa itu penyakit TB, bagaimana cara penularan dan pengobatannya serta bagaimana cara pencegahannya 2. Pesan penunjang: mengenai perilaku hidup sehat dan bersih (PHBS) 3. Manfaat mematuhi pengobatan secara teratur dan rutin, dan akibat apabila tidak meminum obat secara rutin dan teratur. Agar informasi dapat dimengerti dan dipahami maka ada beberapa hal yang dapat 29

30 dilakukan yaitu: a. Pesan yang disampaikan harus sesuai dengan permasalahan yang dihadapi misalnya masalah keteraturan meminum obat, maka pesan yang dapat diberikan yaitu bagai mana cara mencegah agar tidak lupa minum obat dan apa akibat bila tidak teratur minum obat. b. Pesan yang disampaikan harus jelas dan mudah dimengerti oleh pasien c. Melakukan Tanya jawab setelah selesai memberi pesan untuk mengetahui apakah sasaran memahami pesan penyuluhan yang disampaikan d. Menggunakan alat bantu seperti poster, leaflet dan lain lain. 2.7 Hubungan interaksi Petugas Kesehatan 2.7.1 Komunikasi interpersonal/tatap Muka Menurut teori Feuerstein dalam Niven (2002), salah satu peran petugas kesehatan yang dapat meningkatkan kepatuhan berobat penderita TB paru yairu ada nya interaksi Petugas kesehatan dengan pasien. Hal ini dapat berupa komunikasi interpersonal. Sementara penelitian lain menurut Dermawanti (2014), mengatakan ada nya pengaruh komunikasi interpersonal Petugas Kesehatan terhadap kepatuhan berobat penderita TB paru di Puskesmas Sunggal Medan. Pada hakekatnya komunikasi interpersonal adalah komunikasi antar komunikator dengan komunikan, komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang, karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan. Menurut Sunarto dalam Dermawanti (2014), Arus balik bersifat langsung, komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga. Pada saat komunikasi 30

31 dilancarkan, komunikator mengetahui secara pasti apakah komunikasinya positif atau negatif, berhasil atau tidaknya. Jika ia dapat memberikan kesempatan pada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya. Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal atau non verbal. Komunikasi interpersonal ini adalah komunikasi yang hanya dua orang, seperti suami istri, dua sejawat, dua sahabat dekat, guru-murid dan sebagainya. Menurut Devito (1989), komunikasi interpersonal adalah pengiriman pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung. Dalam menerangkan komunikasi interpersonal, maka perlu dijelaskan pengertian komunikasi diadik serta komunikasi interpersonal. Karena dalam proses komunikasi interpersonal secara universal adalah karakteristik atau konsepkonsep yang relevan dengan semua bentuk komunikasi interpersonal. Menurut Devito dalam Dermawanti (2014), Faktor-faktor yang memengaruhi Komunikasi interpersonal antara lain: 1. Keterbukaan (opennest) Adanya keterbukaan dalam mengungkapkan apa yang ada ataupun yang terjadi sekarang ini. Terbuka dalam pengertian ini ialah mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang diungkapkan adalah memang milik anda dan anda bertanggung jawab atasnya. 2. Empati (empathy) Adanya perasaan empati yaitu perasaan merasakan sesuatu seperti orang yang mengalaminya, merasakan perasaan yang sama dan cara yang sama. Orang yang 31

32 berempati mampu memahami motivasi dan keinginan orang lain. 3. Sikap mendukung (supportiveness) Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan yang terdapat sikap saling mendukung (supportivess). Hal ini dikarenakan komunikasi yang terbuka dan empati tidak akan dapat berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. 4. Sikap positif (positiveness) Mengacu kepada adanya hubungan komunikasi yang efektif yang umumnya sangat penting dalam interaksi yang efektif. Bersikap positif dapat menciptakan situasi komunikasi yang menyenangkan. 5. Kesetaraan (equality) Adanya sikap mampu menerima pihak lain apa adanya mampu menciptakan komunikasi yang efektif dimana kesetaraan dapat membuat situasi yang harmonis tanpa merasa terkucil dan dikucilkan. 2.7.2. Motivasi Menurut Notoatmodjo (2003) motivasi diartikan sebagai dorongan dalam bertindak untuk mencapai tujuan tertentu. Hasil dorongan dan gerakan ini diwujudkan dalam bentuk perilaku. Adapun perilaku itu sendiri terbentuk melalui proses tertentu, dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya. Menurut Mitchell dalam Simamora (2004), motivasi mewakili proses-proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkannya, dan terjadinya persistensi kegiatan-kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke arah tujuan tertentu. Adapun pendapat lain menyatakan motivasi merupakan hasil sejumlah proses yang bersifat 32

33 internal atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya antusiasme dan persistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu. Motivasi merupakan keadaan dalam diri individu yang mendorong perilaku ke arah tujuan. Motivasi itu mempunyai 3 aspek, yaitu : 1. Keadaan terdorong dalam diri organism (a driving state), yaitu kesiapan bergerak karena kebutuhan misalnya kebutuhan jasmani atau karena keadaan mental seperti berpikir dan ingatan; 2. Perilaku yang timbul terarah karena keadaan ini 3. Tujuan yang dituju oleh perilaku tersebut. Banyak teori-teori yang menggambarkan tentang motivasi di antaranya : 1. Teori Penguatan Teori penguatan menggunakan pendekatan keperilakuan, dalam arti bahwa penguatan menentukan perilaku seseorang. Para penganut teori penguatan melihat perilaku seseorang sebagai akibat lingkungannya. Yang dimaksud dengan faktorfaktor penguatan adalah setiap konsekuensi yang apabila timbul mengikuti suatu respon, memperbesar kemungkinan bahwa tindakan itu akan diulangi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa inti teori ini terletak pada pandangan bahwa jika tindakan seorang manajer kepada bawahan mendorong perilaku positif tertentu, bawahan yang bersangkutan akan cenderung mengulangi tindakan serupa. Sebaliknya, jika seorang manajer menegur bawahannya karena melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak dilakukannya, bawahan tersebut akan cenderung untuk tidak mengulangi tindakan tersebut terlepas dari dalam diri orang yang bersangkutan. Singkatnya, motivasi seseorang bawahan untuk melakukan atau tidak melakukan 33

34 sesuatu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya seperti sikap pimpinan, pengaruh rekan kerja dan sejenisnya. Dalam hal kepatuhan berobat pada penderita TB Paru, faktor-faktor di luar dirinya seperti pengawasan PMO dan dorongan petugas dapat menjadi faktor-faktor penguat yang mendorong penderita TB Paru untuk persisten dalam menjalani pengobatannya sehingga tidak menyebabkan penderita putus berobat. Bentuk penguatan tersebut dapat berupa perhatian maupun teguran dari keluarga dan PMO bila penderita jenuh dalam menjalani proses pengobatan, serta sikap petugas yang senantiasa mendengar segala keluhan penderita, meresponnya dan memberikan solusi dengan baik. 2. Teori X dan Y McGregor Teori X dari Douglas McGregor menyatakan bahwa sebagian besar orang lebih senang diberikan pengarahan, dan tidak tertarik akan rasa tanggung jawab, serta menginginkan keamanan atas segalanya. Mengikuti falsafah ini maka kepercayaannya adalah orang-orang itu hendaknya dimotivasi dengan uang, dan diperlakukan dengan sanksi hukuman (Dermawanti,2014). Menurut asumsi teori X menyatakan bahwa orang-orang ini pada hakikatnya adalah : 1. Tidak menyukai kemauan dan ambisi untuk bertanggung jawab, dan lebih menyukai diarahkan atau diperintah. 2. Mempunyai kemampuan yang kecil untuk berkreasi mengatasi masalah. 3. Hanya membutuhkan motivasi fisiologis dan keamanan saja. 4. Harus diawasi secara ketat dan sering dipaksa untuk mencapai tujuan. Untuk menyadari kelemahan dari asumsi teori X itu maka McGregor 34

35 memberikan alternatif teori lain yang dinamakannya teori Y. Asumsi teori Y ini menyatakan bahwa orang-orang pada hakikatnya tidak malas dan dapat dipercaya, tidak seperti yang diduga oleh teori X 35

36 2.8. Kerangka Konsep ini: Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan berikut Peran serta Petugas Kesehatan: 1. Pengawas Menelan Obat (PMO) 2. Penyuluh Kesehatan 3. Komunikasi Interpersonal 4. Motivasi/ dorongan petugas kesehatan Kepatuhan berobat penderitatb Paru Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian 36